Malam itu terasa dingin menusuk. Alzam menggigil di atas ranjang, tubuhnya terasa lengket setelah mandi besar di kamar mandi luar rumah Lani. Meski sudah mengenakan jaket, hawa dingin masih meresap hingga ke tulang. Lani yang terlelap di sebelahnya mulai gelisah mendengar bunyi nafas berat suaminya. Ia membuka mata perlahan, mendapati Alzam yang meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri. Rambutnya basah, wajahnya pucat.Lani duduk, membelai rambut Alzam. "Mas, malam-malam begini kamu sudah keramas?" tanyanya setengah mengantuk.Alzam hanya mengangguk tanpa berkata. Tubuhnya gemetar. Dia dari tadi menahan diri tak memeluk Lani untuk menghangatkan tubuhnya karena takut Lani bangun."Kenapa nggak bangunin aku dulu kalau mau mandi? Aku kan bisa bantu bikin air hangat." Lani segera menyelinap di dada suaminya.Alzam mendesah, malu-malu. "Aku... nggak enak. Kalau tengah malam masak air, nanti ibu atau bapak terbangun. Dilihat mereka malu, Lani."Lani menahan tawa. "Jadi, Mas mandi pakai air
Agna merasa pipinya memanas. Kata-kata Reynaldi, meskipun disampaikan dengan nada bercanda, mengusik hatinya. Ia mengalihkan pandangan, mengaduk kopi yang sudah dingin tanpa alasan. "Kenapa diam?" tanya Reynaldi sambil menyipitkan matanya. Pria itu bersandar di kursinya dengan ekspresi santai, namun tatapannya tajam.Agna mendesah pelan, mencoba menguasai dirinya. "Aku cuma heran, Rey. Apa semua laki-laki di dunia ini punya kemampuan untuk membuat perempuan merasa rendah?"Rey tertawa kecil. "Jangan terlalu keras sama aku, Agna. Aku cuma bilang apa yang aku pikirkan. Kamu nggak perlu terlalu bawa perasaan."Agna menatapnya tajam. "Kamu pikir aku nggak sadar? Aku tahu maksud ucapanmu. Kamu sedang merendahkanku karena aku mencoba mempertahankan Alzam, bahkan setelah dia lebih memilih Lani."Reynaldi mendekatkan tubuhnya ke meja, tatapannya serius. "Agna, kamu yang memilih jalan ini. Kamu yang memilih untuk mengejar seseorang yang jelas-jelas sudah tidak ada di pihakmu. Kenapa nggak lep
Di pagi yang sama, jalanan desa masih basah oleh embun di pagi hari yang dingin. Langit biru bersih, tanpa noda awan, menemani Lani dan Alzam yang berjalan santai menuju pasar krempyeng di tengah desa. Alzam terus melirik ke arah Lani yang berjalan di sampingnya, matanya penuh kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan."Kamu yakin kuat jalan sejauh ini, Sayang?" tanya Alzam, menghentikan langkahnya. Ia mengamati wajah Lani yang terlihat tenang, bahkan tersenyum kecil bergayut manja di lengannya.Lani mendesah, lalu berbalik menatap suaminya. "Mas, ini cuma jalan kaki ke pasar, bukan mendaki gunung. Aku baik-baik saja.""Tapi kamu semalaman itu, apa kamu ghak capek?""Sudah, jangan berlebihan. Aku malah senang kita jalan kaki. Rasanya kayak balik ke masa kecil, waktu aku sering diajak Ibu ke pasar ini." Lani memotong ucapan Alzam. "Ayo jalan lagi. Kalau aku capek, aku bilang kok.""Iya, ntar aku gendong."Lani terkikik. "Ih, ngawur kamu. Yang ada malah diketawain orang, Mas. Tuh, sekarang
Agna merasa pipinya memanas. Kata-kata Reynaldi, meskipun disampaikan dengan nada bercanda, mengusik hatinya. Ia mengalihkan pandangan, mengaduk kopi yang sudah dingin tanpa alasan. "Kenapa diam?" tanya Reynaldi sambil menyipitkan matanya. Pria itu bersandar di kursinya dengan ekspresi santai, namun tatapannya tajam.Agna mendesah pelan, mencoba menguasai dirinya. "Aku cuma heran, Rey. Apa semua laki-laki di dunia ini punya kemampuan untuk membuat perempuan merasa rendah?"Rey tertawa kecil. "Jangan terlalu keras sama aku, Agna. Aku cuma bilang apa yang aku pikirkan. Kamu nggak perlu terlalu bawa perasaan."Agna menatapnya tajam. "Kamu pikir aku nggak sadar? Aku tahu maksud ucapanmu. Kamu sedang merendahkanku karena aku mencoba mempertahankan Alzam, bahkan setelah dia lebih memilih Lani."Reynaldi mendekatkan tubuhnya ke meja, tatapannya serius. "Agna, kamu yang memilih jalan ini. Kamu yang memilih untuk mengejar seseorang yang jelas-jelas sudah tidak ada di pihakmu. Kenapa nggak lep
Di pagi yang sama, jalanan desa masih basah oleh embun di pagi hari yang dingin. Langit biru bersih, tanpa noda awan, menemani Lani dan Alzam yang berjalan santai menuju pasar krempyeng di tengah desa. Alzam terus melirik ke arah Lani yang berjalan di sampingnya, matanya penuh kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan."Kamu yakin kuat jalan sejauh ini, Sayang?" tanya Alzam, menghentikan langkahnya. Ia mengamati wajah Lani yang terlihat tenang, bahkan tersenyum kecil bergayut manja di lengannya.Lani mendesah, lalu berbalik menatap suaminya. "Mas, ini cuma jalan kaki ke pasar, bukan mendaki gunung. Aku baik-baik saja.""Tapi kamu setelah semalaman itu, apa kamu ghak capek?""Kamu ngapain sih bahas itu. Sudah, jangan berlebihan. Aku malah senang kita jalan kaki. Rasanya kayak balik ke masa kecil, waktu aku sering diajak Ibu ke pasar ini," jawab Lani. "Ayo jalan lagi. Kalau aku capek, aku bilang kok.""Iya, ntar aku gendong."Lani terkikik. "Ih, ngawur kamu. Yang ada malah diketawain orang
Agna mendengus. Tangannya memegang ponsel di meja kecil di sebelahnya. Pesan terakhir dari Arhand tadi siang masih terngiang-ngiang di benaknya."Kita harus bertemu, Agna. Aku baru saja tiba di Jawa. Aku kangen sekali sama kamu."Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir kegelisahannya. Arhand selalu tahu cara menekan kelemahannya. Namun candaan Reynaldi, sempat membuat dia berfikir tentang lelaki itu. Mayor Reynaldi, ucapnya lirih dengan sebuah senyum tersungging.Ponselnya bergetar, memunculkan nama yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Arhand lagi. Agna memutuskan untuk tidak menjawab. Namun, telepon itu tak berhenti hingga akhirnya dia menyerah."Apa lagi, Arhand?" suara Agna terdengar kesal."Kenapa kamu menghindariku? Sejak di Makasar aku menelponmu tapi sepertinya kamu enggan diajak ngobrol. Apa kamu pikir aku akan membiarkan semua ini selesai begitu saja?" Nada Arhand penuh tekanan."Aku tidak punya apa pun untuk dibicarakan lagi denganmu. Sudah selesai. Kamu tahu i
Alzam terbangun karena bunyi ponsel di meja sampingnya. Panggilan tidak dikenal masuk, diikuti pesan. Ia meraih ponsel dan membuka pesan yang berisi sebuah foto. Lagi-lagi foto yang sama: Agna dan Reynaldi, tetapii wajah Reynaldi tidak tertutup stiker seperti kemarin.Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Langkahnya ringan menuju ruang tengah agar tidak membangunkan Lani. Namun, suara lembut istrinya menyapa dari belakang."Mas, kamu ngapain?" tanya Lani, setengah mengantuk.Alzam tertegun, tak ingin membuat istrinya khawatir. "Cuma ngecek sesuatu," jawabnya datar sambil memperlihatkan foto itu.Lani memperhatikan ponsel Alzam. "Pesan ini lagi? Dari siapa, Mas? Aku nggak tenang lihat kayak begini.""Aku juga nggak tahu, Lani. Tapi jelas ini bukan kebetulan. Ada yang sengaja ingin membuat kita salah langkah."Lani menatap suaminya dalam, menyadari emosi yang tersirat di wajahnya. "Mas, hati-hati. Salah langkah sedikit, kamu nggak cuma kehilangan kepercayaan orang,
Pak Surip menatap kosong ke jalanan di depan markas . Alzam yang seharusnya menunggu, tidak tampak. Ia mengusap tengkuknya dengan gelisah, lalu mengambil ponsel untuk menelepon Lani."Mbak Lani, ini saya, Pak Surip. Mas Alzam nggak ada di depan markas. Apa mungkin dia sudah pergi duluan?" suaranya terdengar panik.Lani yang sedang duduk di ruang pribadi kantornya tersenyum kecil. Ia melirik Alzam yang sedang cengar-cengir sambil memainkan sesuatu di meja kerjanya."Pak Surip, Mas Alzam di sini kok. Maaf, ya. Mungkin dia lupa ngabarin," jawab Lani santai, matanya tetap mengawasi suaminya."Baiklah kalau begitu Mbak, saya akan kembali ke pabrik. Bukannya sebentar lagi Mbak Lani akan pulang ke Sendang Agung?""Iya, Pak. Maaf."Alzam mendongak saat mendengar namanya disebut. "Kok malah aku yang disalahin?" gumamnya."Terus harus aku?"Setelah Pak Surip mengakhiri panggilan, Lani melipat tangan di dada, memandang Alzam dengan alis terangkat. "Mas, kenapa kamu nggak nunggu dijemput Pak Suri
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad