Agna merasa pipinya memanas. Kata-kata Reynaldi, meskipun disampaikan dengan nada bercanda, mengusik hatinya. Ia mengalihkan pandangan, mengaduk kopi yang sudah dingin tanpa alasan. "Kenapa diam?" tanya Reynaldi sambil menyipitkan matanya. Pria itu bersandar di kursinya dengan ekspresi santai, namun tatapannya tajam.Agna mendesah pelan, mencoba menguasai dirinya. "Aku cuma heran, Rey. Apa semua laki-laki di dunia ini punya kemampuan untuk membuat perempuan merasa rendah?"Rey tertawa kecil. "Jangan terlalu keras sama aku, Agna. Aku cuma bilang apa yang aku pikirkan. Kamu nggak perlu terlalu bawa perasaan."Agna menatapnya tajam. "Kamu pikir aku nggak sadar? Aku tahu maksud ucapanmu. Kamu sedang merendahkanku karena aku mencoba mempertahankan Alzam, bahkan setelah dia lebih memilih Lani."Reynaldi mendekatkan tubuhnya ke meja, tatapannya serius. "Agna, kamu yang memilih jalan ini. Kamu yang memilih untuk mengejar seseorang yang jelas-jelas sudah tidak ada di pihakmu. Kenapa nggak lep
Di pagi yang sama, jalanan desa masih basah oleh embun di pagi hari yang dingin. Langit biru bersih, tanpa noda awan, menemani Lani dan Alzam yang berjalan santai menuju pasar krempyeng di tengah desa. Alzam terus melirik ke arah Lani yang berjalan di sampingnya, matanya penuh kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan."Kamu yakin kuat jalan sejauh ini, Sayang?" tanya Alzam, menghentikan langkahnya. Ia mengamati wajah Lani yang terlihat tenang, bahkan tersenyum kecil bergayut manja di lengannya.Lani mendesah, lalu berbalik menatap suaminya. "Mas, ini cuma jalan kaki ke pasar, bukan mendaki gunung. Aku baik-baik saja.""Tapi kamu setelah semalaman itu, apa kamu ghak capek?""Kamu ngapain sih bahas itu. Sudah, jangan berlebihan. Aku malah senang kita jalan kaki. Rasanya kayak balik ke masa kecil, waktu aku sering diajak Ibu ke pasar ini," jawab Lani. "Ayo jalan lagi. Kalau aku capek, aku bilang kok.""Iya, ntar aku gendong."Lani terkikik. "Ih, ngawur kamu. Yang ada malah diketawain orang
Agna mendengus. Tangannya memegang ponsel di meja kecil di sebelahnya. Pesan terakhir dari Arhand tadi siang masih terngiang-ngiang di benaknya."Kita harus bertemu, Agna. Aku baru saja tiba di Jawa. Aku kangen sekali sama kamu."Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir kegelisahannya. Arhand selalu tahu cara menekan kelemahannya. Namun candaan Reynaldi, sempat membuat dia berfikir tentang lelaki itu. Mayor Reynaldi, ucapnya lirih dengan sebuah senyum tersungging.Ponselnya bergetar, memunculkan nama yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Arhand lagi. Agna memutuskan untuk tidak menjawab. Namun, telepon itu tak berhenti hingga akhirnya dia menyerah."Apa lagi, Arhand?" suara Agna terdengar kesal."Kenapa kamu menghindariku? Sejak di Makasar aku menelponmu tapi sepertinya kamu enggan diajak ngobrol. Apa kamu pikir aku akan membiarkan semua ini selesai begitu saja?" Nada Arhand penuh tekanan."Aku tidak punya apa pun untuk dibicarakan lagi denganmu. Sudah selesai. Kamu tahu i
Alzam terbangun karena bunyi ponsel di meja sampingnya. Panggilan tidak dikenal masuk, diikuti pesan. Ia meraih ponsel dan membuka pesan yang berisi sebuah foto. Lagi-lagi foto yang sama: Agna dan Reynaldi, tetapii wajah Reynaldi tidak tertutup stiker seperti kemarin.Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Langkahnya ringan menuju ruang tengah agar tidak membangunkan Lani. Namun, suara lembut istrinya menyapa dari belakang."Mas, kamu ngapain?" tanya Lani, setengah mengantuk.Alzam tertegun, tak ingin membuat istrinya khawatir. "Cuma ngecek sesuatu," jawabnya datar sambil memperlihatkan foto itu.Lani memperhatikan ponsel Alzam. "Pesan ini lagi? Dari siapa, Mas? Aku nggak tenang lihat kayak begini.""Aku juga nggak tahu, Lani. Tapi jelas ini bukan kebetulan. Ada yang sengaja ingin membuat kita salah langkah."Lani menatap suaminya dalam, menyadari emosi yang tersirat di wajahnya. "Mas, hati-hati. Salah langkah sedikit, kamu nggak cuma kehilangan kepercayaan orang,
Pak Surip menatap kosong ke jalanan di depan markas . Alzam yang seharusnya menunggu, tidak tampak. Ia mengusap tengkuknya dengan gelisah, lalu mengambil ponsel untuk menelepon Lani."Mbak Lani, ini saya, Pak Surip. Mas Alzam nggak ada di depan markas. Apa mungkin dia sudah pergi duluan?" suaranya terdengar panik.Lani yang sedang duduk di ruang pribadi kantornya tersenyum kecil. Ia melirik Alzam yang sedang cengar-cengir sambil memainkan sesuatu di meja kerjanya."Pak Surip, Mas Alzam di sini kok. Maaf, ya. Mungkin dia lupa ngabarin," jawab Lani santai, matanya tetap mengawasi suaminya."Baiklah kalau begitu Mbak, saya akan kembali ke pabrik. Bukannya sebentar lagi Mbak Lani akan pulang ke Sendang Agung?""Iya, Pak. Maaf."Alzam mendongak saat mendengar namanya disebut. "Kok malah aku yang disalahin?" gumamnya."Terus harus aku?"Setelah Pak Surip mengakhiri panggilan, Lani melipat tangan di dada, memandang Alzam dengan alis terangkat. "Mas, kenapa kamu nggak nunggu dijemput Pak Suri
"Mas, maaf baru bisa lapor." Terdengar suara berat dari kejauhan di telinga Arhand.Telepon orang itu membuat Arhand terdiam sesaat, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tidak beraturan. Orang di seberang bicara penuh percaya diri, suaranya sarat dengan keseriusan, sepadan dengan bayaran yang dia terima."Siang tadi saya lihat sesuatu yang menarik, Bos," ujar pria itu. "Agna menjemput Alzam di markasnya. Awalnya Alzam nggak mau masuk mobil, tapi setelah ada seseorang turun dari mobil lain dan menyapa mereka, dia akhirnya ikut. Orang itu sepertinya komandannya."Arhand mendengus, rahangnya mengeras. "Komandan Alzam?""Ya, Bos. Dari cara dia berbicara dan posturnya, juga mobil dinas yang dia kenakan, jelas bukan orang sembarangan." Orang itu terdiam sesaat."Lalu, apa yang ingin kamu sampaikan?" Arhand seolah tak sabar." Itu, Bos. Yang aneh, sikapnya. Sepertinya Alzam tidak suka jika bersama Agna. Beda sekali dengan yang pagi tadi. Waktu sama Lani, Alzam kelihatan beda banget. Tata
Rumah lumayan besar untuk ukuran di desa Lani itu menyambut Lani dengan tenang, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Benar kata Mas Alzam, aku harus membuat sesuatu seperti yang dia berikan padaku, pikir Lani tentang kamar mandi. Walau untuk mengatakannya dari kemarin, dia tak berani, takut menyinggung perasaan orangtuanya.Langkahnya pelan melewati ruang depan, lalu menyapa orangtuanya yang tengah duduk di ruang keluarga."Kamu baru datang, Lani? ""Iya, Bu. Ini tuh sudah cepat. Biasanya lebih sore lagi," ucap Lani sambil mencium punggung tangan Towirah dan Wagimin."Kamu hamil, Nak. Ya, ghak usah lama-lama kerja. Toh di tempat sendiri saja kok.""Ya, ghak gitu juga kali, Pak.""Yaudah, sana ke kamar, lalu cepat mandi," ujar Towirah."Belum juga hilang keringatnya, Bu." Lani malah ikut ibunya duduk di sofa, mengupas jeruk."Nggak baik orang hamil kemalaman mandinya."Akhirnya Lani menalah dengan mengangguk kecil, lalu berangkat ke kamarnya. Sejenak, di cermin dia mengelus
Ruangan terasa dingin karena AC yang menyala, tapi bukan karena itu rasa dingin yang menusuk hingga ke sumsum. Ketegangan yang membara di antara Alzam dan Agna membuat suasana lebih mencekam. Alzam berdiri di ambang kesabarannya, sementara Agna menyilangkan tangan di dada, mencoba menguasai situasi meski emosinya sudah di ujung tanduk."Kamu nggak tahu apa-apa soal aku, Alzam!" suara Agna meninggi. Wajahnya merah padam, tapi Alzam hanya tersenyum dingin."Benar, aku nggak tahu semuanya," balas Alzam, melangkah mendekati Agna hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Tapi aku tahu cukup banyak untuk membuat kamu merasa terpojok."Agna mundur selangkah, matanya menyipit penuh kemarahan. "Memangnya apa yang kamu tau, Alzam. Apa yang aku lakukan atau tidak lakukan, itu bukan urusanmu!""Aku tau banyak hal," Alzam mendengus. "banyak hal tentang kebohongan yang terus kamu pelihara. Mau aku buktikan? Ayo, kita ke dokter, tes virgin! Karena kau tidak pernah menyentuhmu, seharusnya kamu masih
Kinan masih berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Agna yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi."Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan?" suara Kinan rendah, tapi tajam.Agna menarik napas, berusaha tenang. "Aku nggak ngerti maksudmu.""Jangan pura-pura bodoh," Kinan melangkah lebih dekat. "Selama ini kamu selalu bersembunyi di balik topeng baik-baik, tapi kenyataannya? Kamu selingkuh di belakang suamimu. Untung juga Alzam nggak cinta sama kamu. Kalau cinta, bisa hancur rumah tangga."Pak Bara menghela napas, tak tahu harus bagaimana menghentikan Kinan. "Aku nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun," Agna akhirnya bicara. "Justru karena dia nggak cinta sama aku, hinggah aku,.."Kinan tertawa sinis. "Itu bukan alasan untuk orang selingkuh."Agna menegang."Semua ini memang salahku. Aku yang menyebabkan Agna melakukan semua itu. Jadi tolong, berhentilah menghinanya." Akhirnya Arhand angkat bicara.Air mata sudah menggenang di pip Agna.Pak Bara akhirnya melangkah men
Langkah Arhand melambat saat mendekati mobil. Agna, yang berada di sisinya, juga ikut berhenti. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya menoleh ke belakang."Mami, Papi duluan aja. Kita masih mau mampir ke ruangan Alzam," ujar Agna, suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana. Merela tau, Sandra tidak akan tinggal diam dengan pemitan mereka.Benar saja, Sandra mendengus, seolah tidak senang dengan keputusan itu. "Buat apa? Mereka pasti sibuk sama bayinya. Ngapain juga kalian ke sana? Merepotkan diri saja," gerutunya."Kita cuma mau pamit," Arhand menimpali. "Sebentar aja."Arya, yang berdiri di sisi Sandra, hanya melirik sekilas. "Iya, Hand, dia saudaramu. Sudah sewajarnya kamu harus pamit padanya. Cepatlah kalau memang itu maumu. Kami bisa duluan pulang."Tanpa menunggu lebih lama, Arhand menggenggam tangan Agna, membawanya melangkah menuju ruang perawatan Lani. Namun, saat mereka tiba di sana, tempat itu kosong. Tidak ada Lani, tidak ada Alzam.Agna mengerutkan kenin
Di ruang tunggu rumah sakit, Agna bersandar pada kursi dengan wajah yang sulit suram. Sesekali, kakinya bergerak gelisah, sementara matanya melirik ke arah pintu, menunggu orang yang kini ke ruang administrasi. Arhand masih di dalam, mengurus segala urusan sebelum mereka bisa pulang.Di sebelahnya, Sandra tak henti-henti berbicara."Jadi, Lani akhirnya nggak dapat donor dari Arhand?"Nada suaranya penuh dengan penekanan, seolah ingin memastikan semua orang tahu betapa anehnya keputusan itu.Agna mendengus pelan. Ia melirik Sandra, lalu menoleh ke Arya yang duduk di seberangnya. Dari tadi tingkah maminya begitu membuatnya sebal."Mi, ini sudah bolak-balik dibahas," ucap Agna akhirnya, mencoba menahan kesal."Tapi aneh, kan?" Sandra masih bersikeras. "Masak Arhand, yang katanya peduli, nggak jadi donor? Ada apa sebenarnya? Atau jangan-jangan—""Mi. Sudah ada temannya Mas Alzam yang tiba lebih duluh."Arya memotong cepat. Wajahnya tetap tenang, tapi intonasi suaranya sedikit menekan."K
Rey dan Mira duduk di taman rumah sakit, memperhatikan orang-orang yang berjalan menuju ruang bayi yang tak jauh dari pandangannya, walau di sebrang mereka duduk. Mira ikut menatap ke arah yang sama, tangannya masih menggenggam botol air mineral yang tadi ia beli di kantin rumah sakit."Kita kok belum lihat ke sana. Masih di sini saja?""Jangan ke sana.""Memang kenapa? Aku kan juga pingin lihat gimana rupa bayinya Lani sama Alzam itu," guman Mira."Ntar kamu jadi segera pingin punya anak, padahal kita kan belum waktunya itu,..." Rey terkekeh."Ih, pikiran kamu ngeres." Mira bahkan sempat bergidik saat selintas terbayang Rey sebesar itu mendekatinya."Tuh kan, bayangin aku," gurau Rey.Lagi-lagi Mira bergidik. "Amit-amit deh bayangin kamu, Rey. Yang ada malah aku sawanan. Kamu sebesar itu."Rey terkekeh. Namun dia kemudian terdiam."Lihat, siapa yang datang," gumam Rey pelan.Mira mengernyit. "Siapa?"Sebelum Rey menjawab, seorang lelaki melangkah pelan menuju tempat wudhu di musholla
Rey menatap Mira yang masih menunduk, pipinya bersemu merah. Jarinya hampir saja menyelipkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah Mira ketika sebuah suara menggelegar dari belakang."Rey!"Tangan Rey terhenti di udara. Kepalanya menoleh cepat. Mira juga tersentak.Tukiran berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut. Matanya tajam, mengawasi mereka berdua.Rey cepat-cepat menarik tangannya. Mira mundur selangkah. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena Rey, tetapi karena ketahuan."Kalian belum buka puasa, kan?" Tukiran melanjutkan, nada suaranya sedikit lebih lembut. "Ini tadi ibumu beli nasi. Makanlah."Rey menghela napas lega, lalu tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Perutnya memang sudah keroncongan. Tadi dia hanya sempat makan kurma dan minum air putih yang diberikan suster sebelum donor darah.Mira melirik ke arah Tukiran, mencoba menetralkan wajahnya. "Yang lain sudah makan?""Kayaknya baru makan setelah tahu Lani sadar," jawab Marni, yang tiba-tiba ikut berdiri di
Arhand berdiri di depan ruang perawatan. Agna yang masih tampak lemah, menggenggam tangannya erat."Kamu yakin kuat?" bisik Arhand.Agna mengangguk. "Anggap saja ini penebusan dosaku untuk Lani dan Alzam.Arhand menarik napas panjang. "Kalau begitu, jalan pelan, ya. Atau aku minta kursi roda?""Nggak usah. Sekalian biar aku sehat. Beberapa hari di sini dan hanya tiduran, aku bosan.""Agna, kamu baru saja lepas infus. Istirahat dulu," bujuk Sandra.Agna menggeleng. "Aku ingin melihatnya, Mi. Sekalian aku mau minta maaf.Arhand menggandeng Agna pelan. Keduanya berjalan menuju ruang perawatan. Langkah Agna masih tertatih, tapi dia bersikeras.***Lani akhirnya membuka mata perlahan. Cahaya lampu membuat pandangannya masih kabur. Suara alat medis berdenging samar.Seseorang menggenggam tangannya. Hangat. "Sayang,...." Alzam hampir meneteskan air mata saat melihat Lani mengerjab. Betapapun sakit hatinya karena Lani mencari Rey di saat sadar, dia berusaha meredam perasaannya.Lani berus
"Ada apa, Arhand?" Sandra yang habis mengerjakan sholat Isya', bangkit menghampiri Arhand yang memegang tangan Agna.Arhand dan Agna menoleh ke Sandra."Arhand melihat Alzam dan keluarganya sedang menunggu Lani operasi melahirkan."Memangnya kenapa kalau melahirkan? Biar komplit kebahagiaan mereka. Biar makin besar kepala itu Alzam." Sandra masih tak dapat terima dengan masih membenci Alzam."Mami, kok ngomongnya gitu?""Aku sebel aja. Sementara kamu keadaannya begini, mereka senang-senang.""Bukan senang, MI. Tapi mereka lagi ada masalah.""Maslah apa juga. Biar tau rasa sekalian. Orang yang bikin orang lain menderita, pasti ada karmanya.""Mami,..""Sini, mana makanan Mami, Hand. Ini nungu Papi juga kelaparan aku. Tapi buka puasa cuma roti aja.""Sudahlah, kamu makan cepat. Biar nanti kuat. Kita ke sana bareng.""Yakin kamu ikut?"Agna mengangguk.****Mira berdiri kaku, jantungnya berpacu cepat. Rey di sebelahnya mengepalkan tangan. Towirah hanya terus berzikir direngkuh Salma. Sem
Mira menggenggam ponselnya erat. Jemarinya gemetar, menelusuri daftar kontak dengan panik. Otaknya mencoba mengingat siapa yang harus dihubungi.Nomor Lani? Tidak mungkin. Siapa yang pegang ponsel Lani sekarang?Alzam? Tidak enak rasanya.Mira menggigit bibir, frustrasi. Sampai akhirnya ia teringat sesuatu.Dita.Tadi Dita yang ngantar ke rumah sakit bersama Budi. Mereka pasti tahu sesuatu.Tanpa pikir panjang, ia mencari nomor Budi. Nomor itu sering ia hubungi untuk urusan kulit jeruk yang dijadikan sovenir oleh Budi, jadi tak sulit menemukannya. Setelah beberapa detik, telepon tersambung.Budi mengangkat, suaranya serak. "Mira?""Apa yang terjadi? Lani gimana? Bayinya sudah lahir? Budi, cepat bilang!"Hening beberapa saat.Mira semakin gelisah. "Budi, jawab!""Lani masih berjuang." Suara di seberang terdengar lemah.Mira menahan napas. "Kenapa?"Tarikan napas berat terdengar sebelum Budi menjawab. "Pendarahan. Banyak."Jantung Mira serasa berhenti. "Apa... dia baik-baik saja?""Dokte
Mira menggenggam tangannya erat. Hatinya semakin gelisah, perasaan itu tak mau hilang sejak mereka meninggalkan rumah.Marni duduk di sebelahnya, wajahnya murung. Biasanya, perempuan itu tidak pernah kehabisan kata-kata jika sudah membahas Lani, tapi kali ini berbeda. Ada kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya. Keponakan suaminya hanya Lani. Dia yang duluh selalu membenci Lani merasa takut jika terjadi sesuatu pada Lani."Aku takut," gumam Marni tiba-tiba.Mira menoleh, menatap Marni yang mengusap wajah dengan tangan gemetar."Takut kehilangan Lani," lanjutnya dengan suara lirih.Mira merasakan hal yang sama. Perasaan yang menyesakkan dada.Di sebela mereka, Tukiran juga tidak bisa duduk diam. Beberapa kali ia berjalan, menengok sibuknya lalu lintas yang melewati jalan besar di depannya, mondar-mandir gelisah."Tolong lebih cepat, Pak," kata Rey pada tukang tambal ban yang sedang bekerja.Laki-laki itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan kecepatan