"Selamat pagi, Sayang!" Sapaan ceria Alzam terdengar penuh semangat, padahal dengusan Lani terdengar melalui eartphone. "Kenapa sambutanmu begini?"Lani tersenyum kecil sambil menepuk perutnya yang sudah membuncit. "Mas, kamu semalam kan sudah telpon, kok pagi-pagi sudah nelpon lagi? Kasihan dedek di perutku, kan, kalau bundanya kurang tidur."Alzam tertawa kecil, tapi ada nada rindu yang tak bisa disembunyikan. "Gimana aku bisa tidur nyenyak tanpa dengar suaramu, Lani? Kamu sama dedek itu bikin aku susah jauh, tahu nggak."Lani terkekeh." Baru juga semalam kita pisah tempat tidur, aku sudah sulit memejamkan mata."" Terus ini kamu lagi lari-lari gitu ta?" tanya Lani. Dia tahu Alzam sedang mencoba kembali ke rutinitasnya setelah beberapa minggu merasa putus asa."Aku baru mulai lagi minggu ini. Rasanya, seminggu nggak joging tuh bikin badan aku beda," ujar Alzam sambil mengatur napas. Dia masih setengah berlari di sepanjang jalan kecil dekat rumahnya."Emang beda, Mas, kamu melar,
Langkah Agna melambat ketika suara berat menyapanya dari samping."Mau cari apa di sini?"Seketika, detak jantungnya melonjak. Dia menoleh cepat, mendapati sosok pria tinggi besar berseragam berdiri santai dengan senyum tipis di wajahnya. Reynaldi.Mata Agna menyipit, rasa kaget masih tertinggal di ekspresinya. "Apa urusanmu? Mau jalan, kek, mau makan, itu urusanku," ucapnya sengol. Hatinya memang tak lagi baik-baik saja. Sejak kejadian semalam, pikirannya menjadi kacau. Badannya terasa remuk. Dan hari ini, untuk menghilangkan penat, seperti kebiasaannya, dia pergi shopping di mall.Rey tertawa kecil, tak terganggu dengan sikap dinginnya. "Cuma tanya. Siapa tahu aku bisa bantu."Agna menarik napas dalam. Keberadaannya di sini sudah cukup untuk menenangkan pikirannya, dan sekarang pria ini muncul seolah tak ada pekerjaan lain selain membuat Agna makin pusing."Aku butuh tas dan sepatu," jawabnya akhirnya, malas meladeni lebih jauh.Rey mengangguk pelan. "Mau acara apa?""Apa beli sesua
Setelah kepergian Agna, Damar berjalan mendekati Vero, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di samping tubuh. Matanya menatap tajam perempuan itu yang masih berdiri tenang di depan toko suvenirnya."Kenapa bilang ke Agna kalau kamu istriku?" suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi dingin menusuk.Vero menoleh santai. "Kamu keberatan?""Jangan main-main, Vero."Vero menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit melihat Diandra yang sedang asyik memainkan gelang kecil yang baru dibelinya. Dia membelai lembut rambut putrinya sebelum menatap Damar lagi."Aku nggak bermaksud apa-apa."Damar mendecak. "Kamu tahu Agna kenal Mira. Gimana kalau dia cerita?"Vero mengangkat bahu. "Ya terus?"Damar menggeram pelan. "Aku serius sama Mira."Ada sekilas perubahan di wajah Vero, tapi hanya sekejap sebelum dia tersenyum miring. "Oh ya? Tapi, sampai sekarang kamu belum menikah, kan?""Baru juga kemarin aku diterima ibunya, Vero."Vero tertawa kecil. "Berarti belum ada kepastian kan?"Damar mengerjap,
Alzam berjalan cepat keluar dari pabrik, matanya menyapu sekeliling. Lani tidak ada.Biasanya, dia masih duduk di dekat ruang pribadinya, menyelesaikan laporan akhir atau keluar sekadar berbincang dengan orang yang kerja sebelum pulang. Tapi kali ini, tempat itu kosong.Dia menghela napas pelan.Sial, aku terlambat.Ini sudah hari kedua dia tak bertemu istrinya.Tugas tambahan tiba-tiba datang bertubi-tubi. Semuanya seolah menumpuk. Tidak ada yang bisa dia abaikan. Setiap kali dia berpikir pekerjaan akan selesai lebih cepat, selalu ada hal baru yang menahannya.Langkahnya melambat saat sampai di mobil setelah dari markas dia langsung ke pabrik itu, bermaksud bisa bertemu dengan Lani. Kalau pagi Lani pasti belum datang padahal Alzam sudah berangkat ke markas.Diam di rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Mungkin karena Lani tidak ada di sampingnya, seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada cerita ringan tentang pekerjaannya, atau tawa kecilnya saat membahas bayi mereka yang semakin
Di luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan."Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak."Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih."Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya."Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya."Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air ya
"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.Lani menggeleng kuat."Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai.""Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani."Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak."Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja
"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani."Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega."Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku.""Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" "Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan.""Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"Lani menggeleng."Kamu punya musuh?""Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya."Dia siapa?""Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya k
"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar.""Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu.""Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya."Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."Lani menggeleng."Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu.""Tidak, Mas!""Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini.""Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?""Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu.""Contohnya?""Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci.""Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya mel
Alzam berjalan cepat keluar dari pabrik, matanya menyapu sekeliling. Lani tidak ada.Biasanya, dia masih duduk di dekat ruang pribadinya, menyelesaikan laporan akhir atau keluar sekadar berbincang dengan orang yang kerja sebelum pulang. Tapi kali ini, tempat itu kosong.Dia menghela napas pelan.Sial, aku terlambat.Ini sudah hari kedua dia tak bertemu istrinya.Tugas tambahan tiba-tiba datang bertubi-tubi. Semuanya seolah menumpuk. Tidak ada yang bisa dia abaikan. Setiap kali dia berpikir pekerjaan akan selesai lebih cepat, selalu ada hal baru yang menahannya.Langkahnya melambat saat sampai di mobil setelah dari markas dia langsung ke pabrik itu, bermaksud bisa bertemu dengan Lani. Kalau pagi Lani pasti belum datang padahal Alzam sudah berangkat ke markas.Diam di rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Mungkin karena Lani tidak ada di sampingnya, seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada cerita ringan tentang pekerjaannya, atau tawa kecilnya saat membahas bayi mereka yang semakin
Setelah kepergian Agna, Damar berjalan mendekati Vero, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di samping tubuh. Matanya menatap tajam perempuan itu yang masih berdiri tenang di depan toko suvenirnya."Kenapa bilang ke Agna kalau kamu istriku?" suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi dingin menusuk.Vero menoleh santai. "Kamu keberatan?""Jangan main-main, Vero."Vero menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit melihat Diandra yang sedang asyik memainkan gelang kecil yang baru dibelinya. Dia membelai lembut rambut putrinya sebelum menatap Damar lagi."Aku nggak bermaksud apa-apa."Damar mendecak. "Kamu tahu Agna kenal Mira. Gimana kalau dia cerita?"Vero mengangkat bahu. "Ya terus?"Damar menggeram pelan. "Aku serius sama Mira."Ada sekilas perubahan di wajah Vero, tapi hanya sekejap sebelum dia tersenyum miring. "Oh ya? Tapi, sampai sekarang kamu belum menikah, kan?""Baru juga kemarin aku diterima ibunya, Vero."Vero tertawa kecil. "Berarti belum ada kepastian kan?"Damar mengerjap,
Langkah Agna melambat ketika suara berat menyapanya dari samping."Mau cari apa di sini?"Seketika, detak jantungnya melonjak. Dia menoleh cepat, mendapati sosok pria tinggi besar berseragam berdiri santai dengan senyum tipis di wajahnya. Reynaldi.Mata Agna menyipit, rasa kaget masih tertinggal di ekspresinya. "Apa urusanmu? Mau jalan, kek, mau makan, itu urusanku," ucapnya sengol. Hatinya memang tak lagi baik-baik saja. Sejak kejadian semalam, pikirannya menjadi kacau. Badannya terasa remuk. Dan hari ini, untuk menghilangkan penat, seperti kebiasaannya, dia pergi shopping di mall.Rey tertawa kecil, tak terganggu dengan sikap dinginnya. "Cuma tanya. Siapa tahu aku bisa bantu."Agna menarik napas dalam. Keberadaannya di sini sudah cukup untuk menenangkan pikirannya, dan sekarang pria ini muncul seolah tak ada pekerjaan lain selain membuat Agna makin pusing."Aku butuh tas dan sepatu," jawabnya akhirnya, malas meladeni lebih jauh.Rey mengangguk pelan. "Mau acara apa?""Apa beli sesua
"Selamat pagi, Sayang!" Sapaan ceria Alzam terdengar penuh semangat, padahal dengusan Lani terdengar melalui eartphone. "Kenapa sambutanmu begini?"Lani tersenyum kecil sambil menepuk perutnya yang sudah membuncit. "Mas, kamu semalam kan sudah telpon, kok pagi-pagi sudah nelpon lagi? Kasihan dedek di perutku, kan, kalau bundanya kurang tidur."Alzam tertawa kecil, tapi ada nada rindu yang tak bisa disembunyikan. "Gimana aku bisa tidur nyenyak tanpa dengar suaramu, Lani? Kamu sama dedek itu bikin aku susah jauh, tahu nggak."Lani terkekeh." Baru juga semalam kita pisah tempat tidur, aku sudah sulit memejamkan mata."" Terus ini kamu lagi lari-lari gitu ta?" tanya Lani. Dia tahu Alzam sedang mencoba kembali ke rutinitasnya setelah beberapa minggu merasa putus asa."Aku baru mulai lagi minggu ini. Rasanya, seminggu nggak joging tuh bikin badan aku beda," ujar Alzam sambil mengatur napas. Dia masih setengah berlari di sepanjang jalan kecil dekat rumahnya."Emang beda, Mas, kamu melar,
Ruangan terasa dingin karena AC yang menyala, tapi bukan karena itu rasa dingin yang menusuk hingga ke sumsum. Ketegangan yang membara di antara Alzam dan Agna membuat suasana lebih mencekam. Alzam berdiri di ambang kesabarannya, sementara Agna menyilangkan tangan di dada, mencoba menguasai situasi meski emosinya sudah di ujung tanduk."Kamu nggak tahu apa-apa soal aku, Alzam!" suara Agna meninggi. Wajahnya merah padam, tapi Alzam hanya tersenyum dingin."Benar, aku nggak tahu semuanya," balas Alzam, melangkah mendekati Agna hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Tapi aku tahu cukup banyak untuk membuat kamu merasa terpojok."Agna mundur selangkah, matanya menyipit penuh kemarahan. "Memangnya apa yang kamu tau, Alzam. Apa yang aku lakukan atau tidak lakukan, itu bukan urusanmu!""Aku tau banyak hal," Alzam mendengus. "banyak hal tentang kebohongan yang terus kamu pelihara. Mau aku buktikan? Ayo, kita ke dokter, tes virgin! Karena kau tidak pernah menyentuhmu, seharusnya kamu masih
Rumah lumayan besar untuk ukuran di desa Lani itu menyambut Lani dengan tenang, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Benar kata Mas Alzam, aku harus membuat sesuatu seperti yang dia berikan padaku, pikir Lani tentang kamar mandi. Walau untuk mengatakannya dari kemarin, dia tak berani, takut menyinggung perasaan orangtuanya.Langkahnya pelan melewati ruang depan, lalu menyapa orangtuanya yang tengah duduk di ruang keluarga."Kamu baru datang, Lani? ""Iya, Bu. Ini tuh sudah cepat. Biasanya lebih sore lagi," ucap Lani sambil mencium punggung tangan Towirah dan Wagimin."Kamu hamil, Nak. Ya, ghak usah lama-lama kerja. Toh di tempat sendiri saja kok.""Ya, ghak gitu juga kali, Pak.""Yaudah, sana ke kamar, lalu cepat mandi," ujar Towirah."Belum juga hilang keringatnya, Bu." Lani malah ikut ibunya duduk di sofa, mengupas jeruk."Nggak baik orang hamil kemalaman mandinya."Akhirnya Lani menalah dengan mengangguk kecil, lalu berangkat ke kamarnya. Sejenak, di cermin dia mengelus
"Mas, maaf baru bisa lapor." Terdengar suara berat dari kejauhan di telinga Arhand.Telepon orang itu membuat Arhand terdiam sesaat, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tidak beraturan. Orang di seberang bicara penuh percaya diri, suaranya sarat dengan keseriusan, sepadan dengan bayaran yang dia terima."Siang tadi saya lihat sesuatu yang menarik, Bos," ujar pria itu. "Agna menjemput Alzam di markasnya. Awalnya Alzam nggak mau masuk mobil, tapi setelah ada seseorang turun dari mobil lain dan menyapa mereka, dia akhirnya ikut. Orang itu sepertinya komandannya."Arhand mendengus, rahangnya mengeras. "Komandan Alzam?""Ya, Bos. Dari cara dia berbicara dan posturnya, juga mobil dinas yang dia kenakan, jelas bukan orang sembarangan." Orang itu terdiam sesaat."Lalu, apa yang ingin kamu sampaikan?" Arhand seolah tak sabar." Itu, Bos. Yang aneh, sikapnya. Sepertinya Alzam tidak suka jika bersama Agna. Beda sekali dengan yang pagi tadi. Waktu sama Lani, Alzam kelihatan beda banget. Tata
Pak Surip menatap kosong ke jalanan di depan markas . Alzam yang seharusnya menunggu, tidak tampak. Ia mengusap tengkuknya dengan gelisah, lalu mengambil ponsel untuk menelepon Lani."Mbak Lani, ini saya, Pak Surip. Mas Alzam nggak ada di depan markas. Apa mungkin dia sudah pergi duluan?" suaranya terdengar panik.Lani yang sedang duduk di ruang pribadi kantornya tersenyum kecil. Ia melirik Alzam yang sedang cengar-cengir sambil memainkan sesuatu di meja kerjanya."Pak Surip, Mas Alzam di sini kok. Maaf, ya. Mungkin dia lupa ngabarin," jawab Lani santai, matanya tetap mengawasi suaminya."Baiklah kalau begitu Mbak, saya akan kembali ke pabrik. Bukannya sebentar lagi Mbak Lani akan pulang ke Sendang Agung?""Iya, Pak. Maaf."Alzam mendongak saat mendengar namanya disebut. "Kok malah aku yang disalahin?" gumamnya."Terus harus aku?"Setelah Pak Surip mengakhiri panggilan, Lani melipat tangan di dada, memandang Alzam dengan alis terangkat. "Mas, kenapa kamu nggak nunggu dijemput Pak Suri
Alzam terbangun karena bunyi ponsel di meja sampingnya. Panggilan tidak dikenal masuk, diikuti pesan. Ia meraih ponsel dan membuka pesan yang berisi sebuah foto. Lagi-lagi foto yang sama: Agna dan Reynaldi, tetapii wajah Reynaldi tidak tertutup stiker seperti kemarin.Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Langkahnya ringan menuju ruang tengah agar tidak membangunkan Lani. Namun, suara lembut istrinya menyapa dari belakang."Mas, kamu ngapain?" tanya Lani, setengah mengantuk.Alzam tertegun, tak ingin membuat istrinya khawatir. "Cuma ngecek sesuatu," jawabnya datar sambil memperlihatkan foto itu.Lani memperhatikan ponsel Alzam. "Pesan ini lagi? Dari siapa, Mas? Aku nggak tenang lihat kayak begini.""Aku juga nggak tahu, Lani. Tapi jelas ini bukan kebetulan. Ada yang sengaja ingin membuat kita salah langkah."Lani menatap suaminya dalam, menyadari emosi yang tersirat di wajahnya. "Mas, hati-hati. Salah langkah sedikit, kamu nggak cuma kehilangan kepercayaan orang,