Alzam masih tertegun, langkahnya terhenti di depan lelaki tinggi tegap berkulit sawo matang itu. "Kamu? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, suara bergetar menahan perasaan tak menentu.Pria itu tersenyum santai, menepuk bahu Alzam. "Kejutan, ya? Aku di sini untuk periksa lanjutan. ""Lho, kenapa tidak di Rumah Sakit Angkatan Darat saja?" tanya Alzam."Sepupuku yang dokter di sini memintaku pindah ke rumah sakit ini saja. Karena aku ghak mau bolak-balik ke rumah sakit Angkatan Darat, ya aku nurut dia. lagian aku da nyaman sama dia dasripada ditangani dokter lain."Alzam tersenyum kecil, canggung. "Oh... aku baru tahu. Maaf jika semua ini harus terjadi padamu. Gara-gara kamu menyelamatkan aku, kamu yang kayak gini.""Sudah, jangan dibahas lagi," ujarnya terkekeh. "O, ya,.. jadi apa titisanmu itu? Jagan apa bidadari?""Jagoan.""Wah, cocok banget bisa nerusin impian kamu di dunia militer. Aku salut sama kamu, anak pertama lelaki, pasti seneng bisa kita ajak ngopi.""Ah, kamu bisa saja, kayak
Pertanyaan Rey tidak ada yang menjawab, selain pandangan mereka yang salin berbicara. Bagaimanapun juga, sampai ke rumah sakit sejauh ini, adalah untuk menutupi pernikahan Alzam dengan Lani agar tak tercium markas. Mereka tidak tau, sangsi apa yang akan didapat Alzam yang seharusnya naik pangkat setelah menjalani missi berbahaya itu jiak tau kalau Alzam memiliki wanita lain selain Agna yang diketahui leh markas sebagai istri sahnya Alzam.Dunia dalam sekejab selah berhenti berputar. Hnaya tatapan Rey yang tak berhenti memandang Lani. Dan tanga Alzam yagn mengepal karena cemburu. Namun, suara Dandi memecah keheningan. "Eh, gimana kalau kita makan dulu? Hanum belum makan, kan?" katanya, melirik Hanum yang tampak canggung.Hanum mengangguk kecil. "Iya, tadi aku cuma minum teh. Perut mulai keroncongan nih."Dandi menepuk bahu Alzam. "Yuk, ke kantin. Rey, kamu ikut juga. Kita nostalgia, cerita-cerita masa dulu sambil makan."Alzam tersentak dari pikirannya. "Iya, oke. Lani, ayo."Lani ter
Rey menatap Lani dengan sorot mata yang sulit ditebak, antara kekecewaan, amarah, dan rasa tidak percaya yang terpatri jelas di wajahnya. Suasana kantin yang tadinya ramai menjadi sunyi seperti menyisakan mereka berlima saja di sana."Kamu...," suara Rey bergetar, ia menunjuk dokumen yang digenggam Lani, "benar kamu yang tadi dari dokter kandungan, bukan Agna yang sekarang masih di sana?"Lani tidak menjawab. Ia hanya menatap Alzam, seolah meminta dukungan. Alzam mengangguk pelan, lalu menundukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Hatinya remuk redam. Antara ingin merengkuh Lani dan mengatakan bahwa dia adalah istrinya ataukah karier yang akan hancur karena tak menjamin, Rey akan tinggal diam dengan tak mengatakan apapun tentang mereka ke markas."Lani!" Rey hampir berteriak. "Jawab aku! Apa ini benar?""Rey, apa tidak cukup anggukanku?""Aku tidak butuh jawabanmu, Zam. Aku hanya mau bicara dengan Lani.""Jawaban apa lagi yang mau kamu dengar?"Akhirnya, dengan napas berat, Lani m
"Itu artinya dia hamil, tapi kamu tinggal menikahi orang lain! Tega sekali kamu, Zam!" Gigi Reynaldi sampai gemertak."Kejadian tidak seperti itu, Rey!""Lalu seperti apa?" "Ini memang satu kesalahanku pada Lani. Aku tak mempercayainya karena kasus tertentu."Rey bangkit dari kursinya, gerakannya kaku dan tegas, seolah mengguncang ruangan. Sorot matanya menyala, seperti bara yang siap membakar. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, napasnya berat."Apa kamu tahu berapa dalam luka yang kamu buat?" Suaranya menggetarkan udara di sekitarnya, memaksa setiap telinga yang mendengar untuk mendengarkan. "Kalau tahu bakal begini, aku lebih baik membiarkanmu ditembak waktu itu. Aku bahkan terluka, hampir kehilangan ibu jariku karena kamu!"Tatapannya beralih cepat, menancap ke wajah Alzam seperti anak panah. "Dan sekarang kamu berdiri di sini, seolah semua ini cuma masalah kecil. Kamu telah menikah dengan Lani, Zam. Lalu, menikahi Agna. Kamu tahu artinya, kan? Instansi nggak akan terima o
Dandi menghidupkan mesin mobil. Suasana di dalam mobil sepi. Tak ada suara selain desis AC dan deru mesin. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keheningan—sebuah percakapan yang tak terucapkan, tergambar dari genggaman tangan Alzam di jemari Lani.Alzam menatap sekilas, matanya penuh penyesalan. "Aku... aku minta maaf, Lani. Aku nggak cukup kuat buat melindungimu tadi," gumamnya dengan suara parau.Lani tidak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya. Jemarinya gemetar, tapi ia tetap memaksakan sebuah senyuman kecil.Hanum yang duduk di samping Dandi. Ia melirik keduanya, lalu menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kita semua lelah. Sampai di rumah kamu nanti, istirahatlah. Aku yakin Ummi dan Abi sudah menyiapkan sesuatu untuk kita. Bukankah kamu sudah mengabari mereka kalau kita mampir, Mbak?"Lani mengangguk pelan. Matanya masih menatap jalan, tetapi pikirannya melayang."benar kamu sudah ngabari Abi sama Ummi, Lani?" tanya Alzam."Iya, sudah sejak kemarin."
Langkah Alzam berat menapaki halaman rumah. Dadanya berdebar karena amarah pada Damar yang entah mengapa berada di sini, terlebih saat melihat senyumnya yang mengarah ke dalam rumah. Dia yang tak pernah masuk rumah Lani dari depan, bahkan tak ingat lagi. Bayangan Lani yang diajak Damar tersenyum, membuatnya segera beranjak ke sanaNamun, sebelum sempat mendekat, suara riang terdengar dari teras.Mira terlihat, mengenakan celana jeans dan baju sederhana. Rambutnya yang menggapai punggung digerainya. Wajahnya tampak malu-malu, tetapi senyumnya merekah saat melihat Damar di luar."Oh, Alzam," sapanya lembut. "Maaf ya, kami dari kemarin sudah janjian di sini. Soalnya, Mas Damar bawaannya pingin banget ketemu. Kalau di mess saya kan nggak mungkin bawa cowok. masuk. Jadi, saya minta izin ke Lani buat di sini. Aku harap kamu nggak keberatan."Alzam menelan ludah. Raut wajahnya kaku, tetapi ia berusaha menampilkan senyum. "Oh, gitu. Ya nggak apa-apa. Masuk saja kalau mau ngobrol. Ini rumah
Di sebuah hotel, suara tawa terdengar dari kamar di lantai lima. Agna duduk di tepi tempat tidur, kakinya terayun pelan. Di hadapannya, Arhand berdiri sambil membawa segelas kopi yang masih mengepul."Arhand, kamu lucu banget kalau lagi cerita gitu." Agna tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Aku nggak pernah nyangka orang kayak kamu bisa selucu ini." Arhand memang menceritakan satu pengalamannya saat tahun baru bersama keluarga besar mereka saat mereka masih berkumpul bersama.Arhand tersenyum tipis, tetapi matanya berbinar. Tatapannya penuh kekaguman setiap kali memandang Agna. Ada sesuatu dalam sorot matanya—seperti seseorang yang benar-benar jatuh cinta, tetapi terlalu takut untuk mengatakannya. Ia menatap wajah Agna, memperhatikan setiap detail, seolah tak ingin melewatkan satu pun momen bersamanya."Agna," katanya pelan, suaranya rendah tetapi penuh perasaan. "Aku nggak tahu apa yang aku rasakan ini. Tapi setiap kali aku di dekat kamu, aku merasa seperti... semuanya
Rumah itu masih lengang. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul tiga dini hari. Salma terbangun dari tidur nyenyaknya dan berniat melaksanakan tahajud. Langkahnya pelan keluar dari kamar dan menyalakan lampu di musholla. Namun begitu mendengar langkah kaki di ruang tengah, ia beranjak ke sana dan mendapati seseorang yang baru datang."Agna?" suara Salma setengah berbisik, jelas tak menyangka melihat menantunya di sana baru datang dari luar, malam-malam seperti ini. Agna, dengan wajah lelah dan mata yang sedikit sembab, hanya menoleh pelan tanpa bicara."Kamu baru datang?" Salma mendekat, memastikan itu bukan bayangan semata. "Dai mana saja kamu, Agna, kenapa malam sekali baru pulang?"Agna mengusap wajahnya, mencoba menahan kantuk yang sudah menyerangnya. "Dari luar, Mi. Ini kan malam tahun baru. Biasanya kita kumpul-kumpul sampai pergantian malam."Salma memandangnya penuh tanda tanya. "Kenapa ghak ngajak Alzam?"Agna tertawa kecil, getir. "Ummi tau sendiri kan bagaimana Mas Al
Mira terbangun dengan perasaan hangat yang aneh. Ada sesuatu yang menempel erat di punggungnya, sesuatu yang membuat tubuhnya tak bisa leluasa bergerak. Perlahan ia membuka mata. Cahaya malam belum menyibak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan ada sosok yang memeluknya erat dari belakang.Tubuh Mira menegang. Tanpa menoleh, dengan sekali dorong, tubuh disampingnya yang tak siap segera terjatuh."Aduh! Mira, kamu kebangetan ya,.. aku memelukmu, kamu malah melemparkan aku sampai aku terjatuh."Detik berikutnya, Mira menoleh sedikit dan mendapati wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya, yang sempat hanya bisa ia bayangkan lewat layar ponsel dan doa di sepertiga malam. Tapi kini... wajah itu nyata."Rey?!"Sontak Mira terlongo. Ternyata yang dia kibaskan dengan kedua tangannya kuat-kuta adalah tubuh Rey. Rey, yang rupanya masih setengah sadar, jatuh dengan bunyi ‘bug’ kecil ke lantai."Sakit, tau!" erang Rey, mengaduh sambil memegangi sisi perutnya."Astaghfirullah! Maaf! Aku... aku
Sirene polisi dari sektor terdekat meraung menembus keheningan malam, membelah suara jangkrik dan desau angin yang sebelumnya begitu tenang. Beberapa warga mulai berkumpul di depan rumah Lani, heran dan khawatir. Beberapa dari mereka membawa senter, sebagian lain mengucek-ngucek mata karena baru saja terbangun. Seorang ibu-ibu bahkan masih memakai daster dan kerudung yang belum rapi."Pak Damar? Masa iya dia masuk rumah orang?" bisik salah satu warga dengan nada tak percaya. Dia adalah karyawan pabrik Lani yang pernah mengenal Damar."Katanya dia baik... dia sudah seperti teman bagi Mbak Lani," jawab yang lain."Tapi dia duluh sempat tunangan dengan Mbak Mira. Ngak tau, tiba-tiba putus. Mungkin karena Mbak Mira kecantol orang berpangkat itu hinggah mutusin Pak Damar.""Itu nggak mungkin, Mbak Mira begitu saja memutuskan pertunangannya kalau nggak ada sesuatu.""Sudahlah, kita semua nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Mas Alzam menjodohkan mereka. Pak Rey kan teman akrab Mas
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p
Hari itu, langit Mundingwangi cerah seperti senyum Mira yang kembali merekah. Beberapa hari terakhir begitu sunyi dari ancaman, dari teror dari Damar yang sempat membuatnya trauma. Kini, rumah Lani yang dia tumpangi bersama Mbok Sarem terasa tenang. Bahkan Lani dan Mira merasa cukup nyaman tanpa lagi ditemani para satpam yang dulu bergantian menjaga sekitar rumah. Mira juga mulai berani tidur sendiri lagi.Mira berdiri di depan cermin besar di kamar. Ia menatap wajahnya lama-lama, lalu tersenyum sendiri. Tangan kanannya memainkan ujung kerudung yang membingkai wajahnya, sementara tangan kiri mengusap pipi pelan. Wajahnya terlihat lebih segar. Ada rona harapan yang tumbuh kembali, terutama setelah Alzam berjanji akan membawa Rey pulang.“Kalau Rey datang… aku harus cantik,” bisiknya pelan, seperti berjanji pada bayangan dirinya sendiri di cermin. "Dia akan terkejut dengan hijab ini."Mbok Sarem yang baru keluar dari dapur sambil membawa segelas teh, terkekeh melihat Mira.“Udah cantik,
"Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti
"Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di
Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak,