Alzam, walau benar tak tertarik untuk menyelidiki ucapan lelaki itu, tapi dia masih mengingat suaranya yang familiar. Bagaimanapun juga dia memiliki rasa khawatir pada Agna hinggah saat dia bangun Subuh, dia menengok ke kamarnya. Sejenak aneh saat melihat Agna masih lengkap dengan pakaiannya tertidur, bukan memakai pakaian tidur seperti biasanya.Ini hari Rabo. Sejengkel-jengkelnya Alzam pada Lani, dia tak dapat mengingkari hatinya kalau dia hanya memikirkan bisa bersama wanita itu. Hinggah dengan tak sabar segera ke rumah Lani."Makan, Mas. Sudah aku siapkan Nila sama sambalnya," ajak Lani. Namun Alzam masih diam dan hanya duduk diam di meja makan, padahal dia menikmati makanan kesukaannya itu. Saat pergi kerja, pun, dia pergi begitu saja. Lani hanya tersenyum melihatnya, bahkan mengintipnya d balik korden saat Alzam pergi kerja bersama Agna yang terlihat cemberut.Suasana kaku pun terjadi diantara mereka. Bahkan saat tidur mereka salin memunggungi. Terlebih saat sore Alzam sudah d
Alzam masih tertegun, langkahnya terhenti di depan lelaki tinggi tegap berkulit sawo matang itu. "Kamu? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, suara bergetar menahan perasaan tak menentu.Pria itu tersenyum santai, menepuk bahu Alzam. "Kejutan, ya? Aku di sini untuk periksa lanjutan. ""Lho, kenapa tidak di Rumah Sakit Angkatan Darat saja?" tanya Alzam."Sepupuku yang dokter di sini memintaku pindah ke rumah sakit ini saja. Karena aku ghak mau bolak-balik ke rumah sakit Angkatan Darat, ya aku nurut dia. lagian aku da nyaman sama dia dasripada ditangani dokter lain."Alzam tersenyum kecil, canggung. "Oh... aku baru tahu. Maaf jika semua ini harus terjadi padamu. Gara-gara kamu menyelamatkan aku, kamu yang kayak gini.""Sudah, jangan dibahas lagi," ujarnya terkekeh. "O, ya,.. jadi apa titisanmu itu? Jagan apa bidadari?""Jagoan.""Wah, cocok banget bisa nerusin impian kamu di dunia militer. Aku salut sama kamu, anak pertama lelaki, pasti seneng bisa kita ajak ngopi.""Ah, kamu bisa saja, kayak
Pertanyaan Rey tidak ada yang menjawab, selain pandangan mereka yang salin berbicara. Bagaimanapun juga, sampai ke rumah sakit sejauh ini, adalah untuk menutupi pernikahan Alzam dengan Lani agar tak tercium markas. Mereka tidak tau, sangsi apa yang akan didapat Alzam yang seharusnya naik pangkat setelah menjalani missi berbahaya itu jiak tau kalau Alzam memiliki wanita lain selain Agna yang diketahui leh markas sebagai istri sahnya Alzam.Dunia dalam sekejab selah berhenti berputar. Hnaya tatapan Rey yang tak berhenti memandang Lani. Dan tanga Alzam yagn mengepal karena cemburu. Namun, suara Dandi memecah keheningan. "Eh, gimana kalau kita makan dulu? Hanum belum makan, kan?" katanya, melirik Hanum yang tampak canggung.Hanum mengangguk kecil. "Iya, tadi aku cuma minum teh. Perut mulai keroncongan nih."Dandi menepuk bahu Alzam. "Yuk, ke kantin. Rey, kamu ikut juga. Kita nostalgia, cerita-cerita masa dulu sambil makan."Alzam tersentak dari pikirannya. "Iya, oke. Lani, ayo."Lani ter
Rey menatap Lani dengan sorot mata yang sulit ditebak, antara kekecewaan, amarah, dan rasa tidak percaya yang terpatri jelas di wajahnya. Suasana kantin yang tadinya ramai menjadi sunyi seperti menyisakan mereka berlima saja di sana."Kamu...," suara Rey bergetar, ia menunjuk dokumen yang digenggam Lani, "benar kamu yang tadi dari dokter kandungan, bukan Agna yang sekarang masih di sana?"Lani tidak menjawab. Ia hanya menatap Alzam, seolah meminta dukungan. Alzam mengangguk pelan, lalu menundukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Hatinya remuk redam. Antara ingin merengkuh Lani dan mengatakan bahwa dia adalah istrinya ataukah karier yang akan hancur karena tak menjamin, Rey akan tinggal diam dengan tak mengatakan apapun tentang mereka ke markas."Lani!" Rey hampir berteriak. "Jawab aku! Apa ini benar?""Rey, apa tidak cukup anggukanku?""Aku tidak butuh jawabanmu, Zam. Aku hanya mau bicara dengan Lani.""Jawaban apa lagi yang mau kamu dengar?"Akhirnya, dengan napas berat, Lani m
"Itu artinya dia hamil, tapi kamu tinggal menikahi orang lain! Tega sekali kamu, Zam!" Gigi Reynaldi sampai gemertak."Kejadian tidak seperti itu, Rey!""Lalu seperti apa?" "Ini memang satu kesalahanku pada Lani. Aku tak mempercayainya karena kasus tertentu."Rey bangkit dari kursinya, gerakannya kaku dan tegas, seolah mengguncang ruangan. Sorot matanya menyala, seperti bara yang siap membakar. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, napasnya berat."Apa kamu tahu berapa dalam luka yang kamu buat?" Suaranya menggetarkan udara di sekitarnya, memaksa setiap telinga yang mendengar untuk mendengarkan. "Kalau tahu bakal begini, aku lebih baik membiarkanmu ditembak waktu itu. Aku bahkan terluka, hampir kehilangan ibu jariku karena kamu!"Tatapannya beralih cepat, menancap ke wajah Alzam seperti anak panah. "Dan sekarang kamu berdiri di sini, seolah semua ini cuma masalah kecil. Kamu telah menikah dengan Lani, Zam. Lalu, menikahi Agna. Kamu tahu artinya, kan? Instansi nggak akan terima o
Dandi menghidupkan mesin mobil. Suasana di dalam mobil sepi. Tak ada suara selain desis AC dan deru mesin. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keheningan—sebuah percakapan yang tak terucapkan, tergambar dari genggaman tangan Alzam di jemari Lani.Alzam menatap sekilas, matanya penuh penyesalan. "Aku... aku minta maaf, Lani. Aku nggak cukup kuat buat melindungimu tadi," gumamnya dengan suara parau.Lani tidak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya. Jemarinya gemetar, tapi ia tetap memaksakan sebuah senyuman kecil.Hanum yang duduk di samping Dandi. Ia melirik keduanya, lalu menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kita semua lelah. Sampai di rumah kamu nanti, istirahatlah. Aku yakin Ummi dan Abi sudah menyiapkan sesuatu untuk kita. Bukankah kamu sudah mengabari mereka kalau kita mampir, Mbak?"Lani mengangguk pelan. Matanya masih menatap jalan, tetapi pikirannya melayang."benar kamu sudah ngabari Abi sama Ummi, Lani?" tanya Alzam."Iya, sudah sejak kemarin."
Langkah Alzam berat menapaki halaman rumah. Dadanya berdebar karena amarah pada Damar yang entah mengapa berada di sini, terlebih saat melihat senyumnya yang mengarah ke dalam rumah. Dia yang tak pernah masuk rumah Lani dari depan, bahkan tak ingat lagi. Bayangan Lani yang diajak Damar tersenyum, membuatnya segera beranjak ke sanaNamun, sebelum sempat mendekat, suara riang terdengar dari teras.Mira terlihat, mengenakan celana jeans dan baju sederhana. Rambutnya yang menggapai punggung digerainya. Wajahnya tampak malu-malu, tetapi senyumnya merekah saat melihat Damar di luar."Oh, Alzam," sapanya lembut. "Maaf ya, kami dari kemarin sudah janjian di sini. Soalnya, Mas Damar bawaannya pingin banget ketemu. Kalau di mess saya kan nggak mungkin bawa cowok. masuk. Jadi, saya minta izin ke Lani buat di sini. Aku harap kamu nggak keberatan."Alzam menelan ludah. Raut wajahnya kaku, tetapi ia berusaha menampilkan senyum. "Oh, gitu. Ya nggak apa-apa. Masuk saja kalau mau ngobrol. Ini rumah
Di sebuah hotel, suara tawa terdengar dari kamar di lantai lima. Agna duduk di tepi tempat tidur, kakinya terayun pelan. Di hadapannya, Arhand berdiri sambil membawa segelas kopi yang masih mengepul."Arhand, kamu lucu banget kalau lagi cerita gitu." Agna tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Aku nggak pernah nyangka orang kayak kamu bisa selucu ini." Arhand memang menceritakan satu pengalamannya saat tahun baru bersama keluarga besar mereka saat mereka masih berkumpul bersama.Arhand tersenyum tipis, tetapi matanya berbinar. Tatapannya penuh kekaguman setiap kali memandang Agna. Ada sesuatu dalam sorot matanya—seperti seseorang yang benar-benar jatuh cinta, tetapi terlalu takut untuk mengatakannya. Ia menatap wajah Agna, memperhatikan setiap detail, seolah tak ingin melewatkan satu pun momen bersamanya."Agna," katanya pelan, suaranya rendah tetapi penuh perasaan. "Aku nggak tahu apa yang aku rasakan ini. Tapi setiap kali aku di dekat kamu, aku merasa seperti... semuanya
Langkah Alzam mantap menapaki jalan menuju kantor Pak Bara. Matahari siang terasa terik, namun ia tak peduli. Pikiran tentang panggilan mendadak dari komandannya, Letkol Bara, membuat dadanya terasa sesak. Panggilan ini terasa tak biasa—seolah ada sesuatu yang penting dan mendesak menantinya.Setibanya di lokasi yang ditempati komandannya, seorang prajurit yang berjaga memberi hormat. Alzam membalasnya dengan anggukan singkat, lalu masuk ke area markas. Suasana di sana penuh kesibukan khas militer: suara langkah kaki berbaris terdengar tegas, beberapa kendaraan taktis terparkir rapi, dan beberapa prajurit berdiskusi serius di sudut halaman.Di gedung utama markas, Alzam menyesuaikan topinya, melangkah masuk ke ruang utama.Di ruang briefing, beberapa prajurit duduk menghadap papan tulis besar, mendiskusikan peta operasi yang terpampang di sana. Suara seruan komandan peleton menggema, memerintahkan evaluasi strategi. Di sisi lain, beberapa staf administrasi sibuk dengan dokumen dan
Rumah itu masih lengang. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul tiga dini hari. Salma terbangun dari tidur nyenyaknya dan berniat melaksanakan tahajud. Langkahnya pelan keluar dari kamar dan menyalakan lampu di musholla. Namun begitu mendengar langkah kaki di ruang tengah, ia beranjak ke sana dan mendapati seseorang yang baru datang."Agna?" suara Salma setengah berbisik, jelas tak menyangka melihat menantunya di sana baru datang dari luar, malam-malam seperti ini. Agna, dengan wajah lelah dan mata yang sedikit sembab, hanya menoleh pelan tanpa bicara."Kamu baru datang?" Salma mendekat, memastikan itu bukan bayangan semata. "Dai mana saja kamu, Agna, kenapa malam sekali baru pulang?"Agna mengusap wajahnya, mencoba menahan kantuk yang sudah menyerangnya. "Dari luar, Mi. Ini kan malam tahun baru. Biasanya kita kumpul-kumpul sampai pergantian malam."Salma memandangnya penuh tanda tanya. "Kenapa ghak ngajak Alzam?"Agna tertawa kecil, getir. "Ummi tau sendiri kan bagaimana Mas Al
Di sebuah hotel, suara tawa terdengar dari kamar di lantai lima. Agna duduk di tepi tempat tidur, kakinya terayun pelan. Di hadapannya, Arhand berdiri sambil membawa segelas kopi yang masih mengepul."Arhand, kamu lucu banget kalau lagi cerita gitu." Agna tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Aku nggak pernah nyangka orang kayak kamu bisa selucu ini." Arhand memang menceritakan satu pengalamannya saat tahun baru bersama keluarga besar mereka saat mereka masih berkumpul bersama.Arhand tersenyum tipis, tetapi matanya berbinar. Tatapannya penuh kekaguman setiap kali memandang Agna. Ada sesuatu dalam sorot matanya—seperti seseorang yang benar-benar jatuh cinta, tetapi terlalu takut untuk mengatakannya. Ia menatap wajah Agna, memperhatikan setiap detail, seolah tak ingin melewatkan satu pun momen bersamanya."Agna," katanya pelan, suaranya rendah tetapi penuh perasaan. "Aku nggak tahu apa yang aku rasakan ini. Tapi setiap kali aku di dekat kamu, aku merasa seperti... semuanya
Langkah Alzam berat menapaki halaman rumah. Dadanya berdebar karena amarah pada Damar yang entah mengapa berada di sini, terlebih saat melihat senyumnya yang mengarah ke dalam rumah. Dia yang tak pernah masuk rumah Lani dari depan, bahkan tak ingat lagi. Bayangan Lani yang diajak Damar tersenyum, membuatnya segera beranjak ke sanaNamun, sebelum sempat mendekat, suara riang terdengar dari teras.Mira terlihat, mengenakan celana jeans dan baju sederhana. Rambutnya yang menggapai punggung digerainya. Wajahnya tampak malu-malu, tetapi senyumnya merekah saat melihat Damar di luar."Oh, Alzam," sapanya lembut. "Maaf ya, kami dari kemarin sudah janjian di sini. Soalnya, Mas Damar bawaannya pingin banget ketemu. Kalau di mess saya kan nggak mungkin bawa cowok. masuk. Jadi, saya minta izin ke Lani buat di sini. Aku harap kamu nggak keberatan."Alzam menelan ludah. Raut wajahnya kaku, tetapi ia berusaha menampilkan senyum. "Oh, gitu. Ya nggak apa-apa. Masuk saja kalau mau ngobrol. Ini rumah
Dandi menghidupkan mesin mobil. Suasana di dalam mobil sepi. Tak ada suara selain desis AC dan deru mesin. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keheningan—sebuah percakapan yang tak terucapkan, tergambar dari genggaman tangan Alzam di jemari Lani.Alzam menatap sekilas, matanya penuh penyesalan. "Aku... aku minta maaf, Lani. Aku nggak cukup kuat buat melindungimu tadi," gumamnya dengan suara parau.Lani tidak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya. Jemarinya gemetar, tapi ia tetap memaksakan sebuah senyuman kecil.Hanum yang duduk di samping Dandi. Ia melirik keduanya, lalu menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kita semua lelah. Sampai di rumah kamu nanti, istirahatlah. Aku yakin Ummi dan Abi sudah menyiapkan sesuatu untuk kita. Bukankah kamu sudah mengabari mereka kalau kita mampir, Mbak?"Lani mengangguk pelan. Matanya masih menatap jalan, tetapi pikirannya melayang."benar kamu sudah ngabari Abi sama Ummi, Lani?" tanya Alzam."Iya, sudah sejak kemarin."
"Itu artinya dia hamil, tapi kamu tinggal menikahi orang lain! Tega sekali kamu, Zam!" Gigi Reynaldi sampai gemertak."Kejadian tidak seperti itu, Rey!""Lalu seperti apa?" "Ini memang satu kesalahanku pada Lani. Aku tak mempercayainya karena kasus tertentu."Rey bangkit dari kursinya, gerakannya kaku dan tegas, seolah mengguncang ruangan. Sorot matanya menyala, seperti bara yang siap membakar. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, napasnya berat."Apa kamu tahu berapa dalam luka yang kamu buat?" Suaranya menggetarkan udara di sekitarnya, memaksa setiap telinga yang mendengar untuk mendengarkan. "Kalau tahu bakal begini, aku lebih baik membiarkanmu ditembak waktu itu. Aku bahkan terluka, hampir kehilangan ibu jariku karena kamu!"Tatapannya beralih cepat, menancap ke wajah Alzam seperti anak panah. "Dan sekarang kamu berdiri di sini, seolah semua ini cuma masalah kecil. Kamu telah menikah dengan Lani, Zam. Lalu, menikahi Agna. Kamu tahu artinya, kan? Instansi nggak akan terima o
Rey menatap Lani dengan sorot mata yang sulit ditebak, antara kekecewaan, amarah, dan rasa tidak percaya yang terpatri jelas di wajahnya. Suasana kantin yang tadinya ramai menjadi sunyi seperti menyisakan mereka berlima saja di sana."Kamu...," suara Rey bergetar, ia menunjuk dokumen yang digenggam Lani, "benar kamu yang tadi dari dokter kandungan, bukan Agna yang sekarang masih di sana?"Lani tidak menjawab. Ia hanya menatap Alzam, seolah meminta dukungan. Alzam mengangguk pelan, lalu menundukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Hatinya remuk redam. Antara ingin merengkuh Lani dan mengatakan bahwa dia adalah istrinya ataukah karier yang akan hancur karena tak menjamin, Rey akan tinggal diam dengan tak mengatakan apapun tentang mereka ke markas."Lani!" Rey hampir berteriak. "Jawab aku! Apa ini benar?""Rey, apa tidak cukup anggukanku?""Aku tidak butuh jawabanmu, Zam. Aku hanya mau bicara dengan Lani.""Jawaban apa lagi yang mau kamu dengar?"Akhirnya, dengan napas berat, Lani m
Pertanyaan Rey tidak ada yang menjawab, selain pandangan mereka yang salin berbicara. Bagaimanapun juga, sampai ke rumah sakit sejauh ini, adalah untuk menutupi pernikahan Alzam dengan Lani agar tak tercium markas. Mereka tidak tau, sangsi apa yang akan didapat Alzam yang seharusnya naik pangkat setelah menjalani missi berbahaya itu jiak tau kalau Alzam memiliki wanita lain selain Agna yang diketahui leh markas sebagai istri sahnya Alzam.Dunia dalam sekejab selah berhenti berputar. Hnaya tatapan Rey yang tak berhenti memandang Lani. Dan tanga Alzam yagn mengepal karena cemburu. Namun, suara Dandi memecah keheningan. "Eh, gimana kalau kita makan dulu? Hanum belum makan, kan?" katanya, melirik Hanum yang tampak canggung.Hanum mengangguk kecil. "Iya, tadi aku cuma minum teh. Perut mulai keroncongan nih."Dandi menepuk bahu Alzam. "Yuk, ke kantin. Rey, kamu ikut juga. Kita nostalgia, cerita-cerita masa dulu sambil makan."Alzam tersentak dari pikirannya. "Iya, oke. Lani, ayo."Lani ter
Alzam masih tertegun, langkahnya terhenti di depan lelaki tinggi tegap berkulit sawo matang itu. "Kamu? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, suara bergetar menahan perasaan tak menentu.Pria itu tersenyum santai, menepuk bahu Alzam. "Kejutan, ya? Aku di sini untuk periksa lanjutan. ""Lho, kenapa tidak di Rumah Sakit Angkatan Darat saja?" tanya Alzam."Sepupuku yang dokter di sini memintaku pindah ke rumah sakit ini saja. Karena aku ghak mau bolak-balik ke rumah sakit Angkatan Darat, ya aku nurut dia. lagian aku da nyaman sama dia dasripada ditangani dokter lain."Alzam tersenyum kecil, canggung. "Oh... aku baru tahu. Maaf jika semua ini harus terjadi padamu. Gara-gara kamu menyelamatkan aku, kamu yang kayak gini.""Sudah, jangan dibahas lagi," ujarnya terkekeh. "O, ya,.. jadi apa titisanmu itu? Jagan apa bidadari?""Jagoan.""Wah, cocok banget bisa nerusin impian kamu di dunia militer. Aku salut sama kamu, anak pertama lelaki, pasti seneng bisa kita ajak ngopi.""Ah, kamu bisa saja, kayak