"Arhand?" Agna berdiri dengan wajah kaget, melihat sepupu suaminya itu berdiri di sana dengan santai, seperti tidak ada yang salah. Wajah tampannya bahkan menyunggingkan senyum."Selamat pagi, Agna. Cantik sekali seperti biasa," ucap Arhand sambil melangkah mendekat."Kamu ngapain di sini? Ini kantorku! Pergi sekarang juga sebelum aku panggil keamanan!" seru Agna, suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan akan malam itu yang mungkin akan diketahui orang kantornya. Walau di lingkungannya hal seperti itu juga bukan hal yang tabu dilakukan rekan-rekan kerjanya.Arhand tersenyum sinis. "Tenang, aku cuma mau ajak kamu ngoborol. Habisnya saat kamu aku telpon tidak kamu tanggapi. Padahal aku ingin sekai bisa bicara denganmu, Agna. Aku kangen. Apalagi setelah... kejadian malam itu."Wajah Agna memerah, baik karena malu maupun marah. "Kamu menjebak aku! Itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan dan dibicarakan, Arhand!""Panggil apa saja, jebakan, rencana, atau bahkan takdir," bala
"Hutan ini terlalu sunyi," ujar Reynaldi sambil mengintip dari balik pepohonan lebat. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Kamu yakin kita di jalur yang benar?"Alzam mengangguk, meski napasnya memburu setelah berlari sejauh itu. Telinganya terus waspada, mendengar derap langkah samar di belakang mereka. "Mereka pasti tahu kita di sini. Kita harus bergerak cepat."Rey mengangguk dan melanjutkan langkahnya, menelusuri jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Di kejauhan, suara burung hantu sesekali memecah keheningan, membuat suasana semakin mencekam."Kamu lihat apa tadi di tenda itu?" tanya Rey, berhenti sejenak untuk memastikan tak ada yang mengintai.Alzam menyeka keringat di dahinya. "Dua sandera. Mereka diikat di pojok tenda. Ada empat penjaga, dua bersenjata lengkap. Kita harus mencari cara masuk tanpa menarik perhatian.""Dan kalau mereka tahu kita di sini?" Rey menatap tajam, jelas khawatir.Alzam tersenyum tipis, meski matanya penuh ketegangan. "Maka kita improvisasi."Lan
Langkah pria itu terdengar mantap di beranda. Hentakan sepatu hitamnya menciptakan irama tegas di teras rumah itu. Tak lama, terdengar bel dibunyikan. Mbok Saren, yang tengah menyiapkan makan malam, segera menghentikan gerakannya ketika pria itu kembali membunyikan bel. Mbok Sarem melangkah dengan pelan namun penuh kepastian di tengah keheranannya, menebak siapa yang betamu sore-sore begini."Permisi," suara bassnya terdengar saat Mbok Saren membuka pintu, memperlihatkan pria itu berdiri tegap, wajahnya mengulas senyum."Ada apa, Mas?" tanya Mbok Sarem, suaranya sedikit cemas. Walau lelaki dengan celana jeans dan kaos itu tersenyum ramah, namun wajahnya yang melongok ke dalam rumah, seolah mencari sesuatu, membuat Mbok Sarem sedikit waspada."Apakah Lani ada di rumah?" tanya pria itu singkat.Mbok Saren mengerutkan dahi, matanya mengamati wajah pria itu yang tampak rileks. Rumah Lani memang hampir tak pernah menerima tamu. Jika urusan pabrik selalu di pabrik. Jika urusan lain, selalu
Langkah Lani terasa berat saat keluar dari kamarnya. Namun, senyuman kecil ia paksa hadir di bibirnya. Ketika sampai di ruang tamu, ia mendapati Damar dan Mira sudah duduk berhadap-hadapan. Mira tampak menunduk, menghindari tatapan, sementara Damar hanya tersenyum tipis, mengangguk pada Lani."Wah, kalian sudah janjian, ya?" sapa Lani, mencoba mencairkan suasana.Damar tersenyum tipis, tetapi Mira semakin canggung. "Dia yang ngajak janjian, Lani," ujar Mira, akhirnya bersuara. "Sejak waktu itu, dia hampir setiap saat menelepon. Aku pikir, ya sudahlah, mungkin ini saatnya kita ketemu."Lani menatap keduanya bergantian, senyumnya kini lebih lebar. "Dia kalau lagi jatuh cinta, memang suka begitu, agresif."Mira kaget, wajahnya memerah, sementara Damar tergelak kecil. "Lho, kamu kok tahu, Lani?" tanya Mira, berusaha terdengar santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan."Aku dulu jualan gorengan di pertokoan tempat dia jual suvenir, jadi tahu saja," jawab Lani sambil menahan tawa kecil.Ucap
.Pagi hari, Agna hadir dalam pertemuan bulanan Persit (Persatuan Istri Tentara) yang diadakan di aula markas besar batalyon tempat Alzam bertugas. Ruangan itu dipenuhi oleh puluhan ibu-ibu, semuanya mengenakan seragam hijau khas Persit. Aroma teh melati dan kue tradisional memenuhi ruangan, sementara suara obrolan hangat terdengar di seluruh ruangan.Di sudut ruangan, sebuah meja besar disiapkan, penuh dengan penganan lokal—risoles, lemper, kue lapis, hingga pastel. Beberapa ibu sibuk mengatur posisi makanan sambil bercanda. "Ayo, Bu Agna, coba ini! Pastelnya masih hangat," sapa seorang ibu sambil menyodorkan piring kecil.Agna tersenyum Ia menoleh saat seorang wanita muda, yang tampak berusia sekitar 25 tahun, mendekatinya. Wanita itu mengenakan hijab abu-abu yang elegan, matanya cerah tetapi menyiratkan sedikit kecemasan."Maaf, Bu Agna, saya Ria. Suami saya baru bergabung dengan kru Kapten Alzam dalam misi kali ini.""Oh, begitu? Bagaimana kabar mereka? Aku dengar misi kali ini s
Lani yang baru saja datang dari pabrik, sedang memarkir sepeda maticnya saat terlihat mobil militer datang dan menurunkan Alzam. Berdiri di teras dia menyunggingkan senyum saat pria yang dicintainya itu tersenyum padanya. Namun senyum dan kerinduan Lani itu menjadi kelu saat dilihatnya Agna menyongsong Alzam dan memeluknya. Seketika hatinya hancur, terlebih saat melihat beberapa orang mendekat dan bertanya soal Alzam, dan Agna dengan semangat melayani orang- orang desa yang lewat itu.Kini Lani hanya mematung di balik tirai jendela. Matanya memerah, mengingat Alzam yang baru turun dari mobil militer tadi. Tubuhnya masih tampak gagah meski wajahnya memancarkan kelelahan dan muka yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Tapi bukan itu yang kini membuatnya tercekat dan hatinya hancur.Agna.Mengingat betapa wanita itu langsung berlari menghampiri Alzam, memeluknya erat di depan semua orang. Tawa ceria terdengar dari beberapa penduduk sini yang lewat, yang ikut menyambut kedatangan Alzam. "Wah, Bu
Alzam hanya diam menelan ludah. Apa yang duluh pernah mereka khawatirkan kini terjadi. Apa yang bisa dia lakukan? Apa yang bisa dia berikan pada anak itu? Secara hukum mereka tidak punya surat nikah.Lani masih tidur di sudut ranjang, membelakangi Alzam. Punggungnya gemetar menahan tangis, meskipun ia mati-matian menjaga agar suara isaknya tidak terdengar. Alzam yang masih duduk mematung di tepi tempat tidur, hanya menunduk. Tatapannya tajam, penuh rasa bersalah. Terlebih jika dia mengingat betapa cerobohnya dia saat mengajak Agna menikah. Ia tahu betul wanita di hadapannya sedang terluka, tetapi kata-katanya seperti terhenti di tenggorokan. "Lani..." Suaranya bergetar pelan. "Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku padamu, pada anak kita?"Alzam mendekat, merebahkan dirinya di ranjang. Tangannya terulur, namun ia menahan diri ketika Lani menepis gerakannya dengan dingin."Aku nggak ingin membahasa apa-apa lagi, Mas. Pergilah.""Pergi ke mana? Sudah seminggu aku menahan
Alzam berdiri di sudut ruang tamu dengan pandangan nanar. Foto di ponsel Agna masih tergambar jelas di kepalanya—Lani berdiri bersama seorang pria yang tampak rapi, terlebih dia Damar. Senyum mereka begitu akrab. Dadanya sesak, gemuruh marah beradu dengan gelombang cemburu yang tak tertahankan. Ia merasa tersayat, seperti ada pisau yang menusuknya dari dalam."Damar..." gumam Alzam pelan, nyaris seperti desisan. Namun nama itu membuat emosinya memuncak. Apa yang pria itu lakukan di rumah Lani? pikirnya. Kapan hari dia sudah mengingatkan untuk menjahui Lani. Kenapa kali ini masih balik lagi?" Siapa yang akan mau sama wanita bunting, Mas? " Lani pernah mengatakan semua itu saat dia cemburu pada Rey. Namun bagi Alzam, jika seseorang yang jatuh cinta, akan sama dengan dirinya, yang tak pernah memandang siapa dia. Terlebih bagi Alzam, pesona Lani yang kuning lansat bersinar dengan pipi kemerahan alami itu selalu membuat orang meliriknya. Seperti saat mereka singgah di rumah makan saat pe
Alzam tak bisa menahan diri. Jemarinya segera menekan nomor Lani. Begitu tersambung, tanpa basa-basi, ia langsung bicara."Agna ngajukan cerai."Tak ada respons di seberang."Lani?"Masih sunyi."Kamu nggak mau bilang sesuatu?"Suara napas terdengar sebelum Lani akhirnya menjawab pelan. "Aku ngerasa jahat."Alzam mengernyit. "Kenapa ngomong gitu?""Seolah ini bukan salahku. Aku yang merebut kamu darinya.""Lani, sudah berapa kali aku bilang, kamu yang tidak salah. Kamu tak tau aku bertunangan. Sedangkan aku sendiri memang dari awal tak mencintai Agna.""Aku seharusnya bahagia, kan? Agna menyerah, pergi dari hidup kita, membiarkan kita tetap bersama. Tapi kenapa aku malah ngerasa bersalah?"Alzam mengusap wajah. "Dengar, ini bukan salah kita. Dia yang lebih dulu bikin hidup kita berantakan."Lani tak langsung menjawab."Sudahlah, jangan mikirin hal nggak perlu."Lani diam sebentar sebelum berkata, "Tanya apa yang dia mau, Mas. Kamu harus memberinya sesuatu.""Apa? Kamu bisa-bisanya me
Markas militer terasa lengang siang itu. Matahari bersinar terik, tapi udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dibandingkan biasanya. Langkah Agna terhenti di depan pintu ruang komando. Sekilas, dia menarik napas, memastikan dirinya tetap tegar sebelum mengetuk pintu dan masuk.Di balik meja kayu yang kokoh, Letkol Bara menatapnya dengan ekspresi datar. "Selamat pagi, Pak!""Pagi, Agna," ucap Pak Bara dengan dahi berkerut mengulurkan tangan menyambut jabat tangan Agna."Ada masalah sampai kamu datang kemari?""Saya mau mengajukan gugatan cerai pada Kapten Alzam Pak.""Kamu serius?" Bara bertanya, suaranya tenang, tapi tajam.Agna duduk tegak, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. "Insyaallah yakin, Pak," jawabnya.Bara menghela napas, menatapnya dalam-dalam. "Aku nggak menyangka kamu akan mengambil keputusan secepat ini.""Aku sudah mempertimbangkannya," Agna menegaskan, suaranya tanpa ragu. "Di pernikahan itu saya benar-benar sadar, bahwa saya tidak sekuat yang
Butik itu tampak lengang saat Yasmin melangkah masuk bersama Arhand dan Manda. Aroma lembut lavender memenuhi ruangan berpendingin udara, sementara berbagai gaun pengantin tergantung rapi dalam lemari kaca berlampu redup.Seorang wanita paruh baya dengan setelan rapi menghampiri mereka dengan senyum profesional. "Selamat datang, Bu Manda. Tuan Arhand." Matanya kemudian beralih ke Yasmin. "Dan ini calon pengantinnya? Waw... sungguh cantik."Manda mengangguk kecil. "Kami ingin memastikan gaun ini sempurna untuk hari besarnya. Makanya jauh-jauh hari kami ke sini."Pemilik WO itu menepuk tangannya dua kali. Seorang pegawai segera datang, membungkuk sopan. "Silakan pilih gaunnya, Nona Yasmin. Kami sudah menyiapkan beberapa pilihan sesuai permintaan sebelumnya."Yasmin mengangguk, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa gelisah. Ia mengikuti pegawai butik menuju rak panjang yang dipenuhi gaun putih dengan berbagai desain. Tangannya menyusuri kain-kain lembut itu, sementara matanya men
"Biadab kamu, Arhand!" Umpatan dan cacikn berhamburan dengan barang yang terlempar dari segala penjuru. Tangisan pun tak dapat dibendung lagiAgna melempar vas ke dinding. Suara pecahan terdengar tajam, menghantam keheningan rumah itu. Tangannya gemetar, napas memburu.Bi Ani berlari masuk, wajahnya panik. "Nona, apa yang terjadi?"Agna tak menjawab. Kepalanya penuh dengan ingatannya sebulan yang lalu, saat lelaki itu datang lewat jendela dan memaksakan kehendaknya pada Agna di saat Agna tak sadarkan diri oleh bekamannya yang dicampuri sesuatu. Agna mencengkeram baju di dada, seperti ingin merobek kenyataan yang baru saja ia terima.Tespek itu masih tergeletak di meja. Dua garis merah terang setelah Dandi keluar membelinya ke apotik dan ingin memastikan dugaannya benar, kalau Agna sedang mengandung."Tidak. Ini tidak mungkin!" raungnya memenuhi ruangan, tak lama setela h Rey dan Dandi pamit keluar sebentar, katanya kangen dengan sungai tempat mereka mancing dahulu.Agna segera menga
"Rey, bisakah kamu menolongku?" Terdengar suara Agna gemetar.Rey yang tengah duduk di beranda rumahnya mengernyit. Ia baru saja menikmati kopi panas ketika ponselnya bergetar. Suara Agna terdengar bergetar, seperti menahan sesuatu."Ada apa?" tanyanya."Nanti kamu juga tahu," jawab Agna cepat. "Cepatlah kemari. Aku takut."Suara di latar belakang terdengar riuh. Rey bisa mendengar dentuman keras, suara orang-orang berteriak, bahkan bunyi seperti sesuatu dipukul berkali-kali.Ia langsung bangkit."Aku ke sana sekarang."Tanpa menunggu jawaban, ia memasukkan ponsel ke saku dan melangkah ke garasi.Sementara itu, di depan rumah Agna, puluhan orang berdiri di halaman rumah Alzam yang ditempatinya. Wajah-wajah mereka penuh amarah. Beberapa bahkan mengetuk pintu dengan keras."Keluar!""Jelaskan uang kami!"Dari dalam, Agna melangkah ke pintu dengan rahang mengeras. Ia menarik napas dalam sebelum membukanya sedikit."Mau apa kalian datang dengan marah-marah begini?""Urusan gaji, Bu!"Seor
"Ya Allah, Le, aku kira siapa tadi yang tiba-tiba nongol di dekatku," ucap Marni sambil menyambut uluran tangan Rey.Lelaki itu terkekeh, duduk di sebelah Marni. Dilihat selintas mereka cocok jadi Ibu dan anak, sama-sama besarnya. Hanya Marni besarnya tak terbentuk seperti Rey. Banyak lemaknya.Atik menoleh, dahinya mengernyit. "Siapa dia, Mbak?"Marni terkekeh, menepuk pundak Rey. "Calon mantu yang belum pasti."Rey hanya tersenyum miring. "Insya Allah bisa terlaksana, Bu."Tapi, matanya tetap menatap lurus ke satu arah—ke Mira yang tengah duduk dengan Damar.Damar sadar betul tatapan Rey yang sejak tadi tak lepas dari Mira. Karena itu, tangannya sengaja menggenggam tangan Mira lebih erat. Bahkan, dengan gerakan yang seolah tanpa maksud, ia mengambil sepotong kue kecil dari piring, lalu menyuapkannya langsung ke mulut Mira.Mira tersenyum. Tapi senyumnya hambar. Tatapannya tak sepenuhnya pada Damar. Matanya melirik ke arah lain, sesekali menangkap ekspresi Rey yang kini menatapnya d
Suasana hening. Semua mata tertuju ke arah Alzam yang duduk di depan penghulu. Wajahnya tenang, tapi jemari yang saling menggenggam erat di pangkuan menunjukkan ketegangan yang tertahan.Pak Kyai Abduh menatapnya lekat, lalu mengulang pertanyaan sakral itu dengan suara tegas dan berwibawa."Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan."Alzam menarik napas dalam, lalu menjawab dengan lantang, suara bulat dan mantap."Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan."Hening sejenak.Lalu, gemuruh suara takbir dan ucapan syukur menggema."Sah!""Alhamdulillah!"Beberapa orang bahkan menepuk paha atau bahu mereka sendiri saking gembiranya. Senyum merekah di wajah Wagimin dan Towirah yang berdiri di samping penghulu. Keduanya tak henti-hentinya mengucap syukur, seolah beban yang selama ini mereka tanggung luruh begitu saja.Salma yang sejak tadi menahan haru, akhirnya tak bisa lagi membendung air matanya. Ia merangkul Towirah erat, bahunya bergetar."Selamat, Mbak... Akh
Alzam berdiri di depan pintu, menatap sosok yang memantul di permukaan kaca. Dada berdegup tak menentu. Hari ini, akhirnya semua akan sah.Lani menoleh, lalu berdiri, mengenakan gaun putih yang jatuh lembut hingga menyapu lantai. Cahaya pagi masuk melalui jendela, menyorot wajahnya yang berseri. Alzam menahan napas."Saya permisi duluh." Seorang perias berserta asistennya merasa malu melihat tatapan mesra mereka dan segera pamit keluar dari kamar itu."Kamu cantik sekali," bisiknya, hampir tanpa sadar.Lani tersenyum kecil, menunduk malu. Jemarinya meremas kain gaun yang dipakai. "Terima kasih."Alzam melangkah mendekat, mengulurkan tangan, lalu menggenggam jemari istrinya dengan erat. "Maaf, aku nggak bisa memenuhi impian kita dulu. Nggak ada pedang pora, nggak ada gemuruh rekan-rekan pasukan yang mengangkat pedang menghormati pernikahan kita."Lani menggeleng pelan. "Yang penting kita sampai di titik ini, Mas. Aku sudah bersyukur. Bapak juga kenapa dia memanggil tukang rias sama pela
"Assalamualaikum!" Semua yang ada di gudang serentak menjawab salam. Gudang pengepulan jeruk tampak lebih lengang dari biasanya. Biasanya, sejak pagi, suara petani berteriak-teriak membawa hasil panen mereka dan menimbangnya. Gudang akan semerbak, bercampur aroma jeruk segar yang memenuhi udara. Hari ini, hanya beberapa orang yang sibuk memilah buah. Tidak ada tumpukan jeruk yang melimpah seperti dulu.Pak Sajad berdiri di dekat timbangan, wajahnya muram. Tia dan Laras duduk di meja administrasi, catatan keuangan berserakan di depan mereka. Beberapa petani berkumpul di sudut, membicarakan sesuatu dengan nada kesal.Alzam melangkah masuk. Matanya menyapu keadaan sekitar. "Bagaimana perkembangannya, Pak?"Pak Sajad menoleh, menarik napas berat. "Nggak baik, Mas. Petani mulai beralih ke tempat lain. Harga yang kita tawarkan terlalu rendah buat mereka."Tia menambahkan, "Padahal harga jeruk memang turun di pasar, tapi mereka lebih pilih jual ke pengepul lain yang berani kasih spekulasi