Saat Istriku Tahu, Aku Menikahi Istri Kakakku Sesuai Wasiatnya Sebelum TiadaBAB 1"Sayang, aku pulang agak telat ya? Ada hal yang harus kuselesaikan terlebih dahulu," ucap Mas Arga-- suamiku. Seperti biasa, tiap kali keluar kota, Mas Arga tak pernah telat memberiku kabar meski tanpa kuminta. Keterbukaannya itu membuat tingkat kepercayaanku padanya di atas rata-rata."Iya, Mas. Hati-hati di sana. Jaga mata dan hati ya?" ucapku seketika. Aku sendiri tak paham mengapa membalas ucapannya dengan kalimat seperti itu. Refleks saja. Mas Arga tertawa kecil lalu menggodaku. Seperti biasa dia memang pandai mengambil hatiku. "Mas, bumil ngidam mangga muda nih!" Suara yang cukup familiar di telinga membuatku terdiam seketika. Tak lama setelahnya semua kembali hening seperti semula."Siapa yang hamil, Mas?" tanyaku tiba-tiba. Kupikir Mas Arga akan gugup atau kebingungan memberikan jawaban, tapi ternyata dia cukup santai membalas pertanyaanku."Mungkin itu pemain sinetron. Biasalah Dina sama ibu
BAB 2"Dina, yang lewat barusan Mas Arga, kan? Siapa perempuan yang bersamanya?" tanyaku lagi sebab Dina belum juga membalas pertanyaanku. "Iya tadi Mas Arga, Mbak. Perempuan itu sebenarnya saudara kita juga, cuma baru kali ini dia datang ke rumah sejak suaminya meninggal beberapa tahun silam. Ibunya Arvin itu masih hamil, Mbak. Tadi dia bilang pengin makan mangga muda, makanya Mas Arga berusaha bantuin dia sekalian cari angin katanya," ucap Dina menjelaskan. Aku manggut-manggut saja meski Dina pun tak tahu anggukan kepalaku. Oh, jadi perempuan itu sudah memiliki anak sebelumnya yang bernama Arvin dan kini dia tengah hamil muda. "Mbak tak perlu risau. Ada aku di sini. Kalau Mas Arga nakal, biar aku yang beri dia pelajaran," ucapnya lagi dengan tawa yang sama setelah melihatku tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak selang lama dia pamit sebab Mas Arga memanggilnya. Mungkin Mas Arga tak tahu jika saat ini Dina tengah ngobrol denganku. Setelah menutup video call itu aku kembali ber
[Kemarin, mereka merayakan hari pernikahan yang keempat dan mereka sudah dikaruniai dua orang anak kembar. Otw tiga, sebab Dira sudah hamil lagi yang ketiga]Ucapan Rita tadi kembali terngiang di benak. Berarti benar dugaanku jika perempuan hamil dan ngidam di rumah ibu tadi sama dengan perempuan yang fotonya diunggah Rita barusan. Mereka sama-sama hamil dan sama-sama dekat dengan Mas Arga.Kenapa Mas Arga membohongiku selama ini? Kenapa dia tak jujur jika sudah menikah sebelumnya? Kenapa pula ibu dan Dina ikut menutupi kebohongan ini? Apa tujuan sebenarnya?Pantas saja selama ini Mas Arga tak pernah membahas soal anak padaku, ternyata dia sudah memiliki anak dari perempuan lain. Pantas saja dia selalu menenangkanku saat aku risau karena tak kunjung hamil, ternyata bukan karena dia tak ingin anak, tapi karena dia sudah punya anak dari perempuan itu. Bodohnya aku tak pernah menyadari ini sebelumnya. Pantas saja ibu tak pernah sekalipun ribut soal cucu padaku, ternyata karena dia suda
Kini aku masih merenungi nasibku sendiri. Di satu sisi aku teramat kecewa karena dibohongi, tapi di sisi lain aku jelas masih begitu mencintainya. Tak mudah menghapus jejak cintanya untukku selama tiga tahun bersama.Aku mulai takut jika Mas Arga bilang cinta dan kasih sayangnya selama ini sekadar sandiwara. Aku takut dia mengatakan sendiri di depanku bahwa aku hanyalah persinggahannya saja, sementara Dira adalah tujuan hidupnya. Nyeri. Aku belum siap untuk mendengar cerita darinya.Rasa cintaku pada Mas Arga memang terlalu dalam, tapi tak lantas membuatku terus terdiam dan pura-pura tak tahu dengan keadaan di luar yang nyatanya tak lagi nyaman. Aku akan menyelidikinya dengan caraku sendiri.Aku jelas nggak mau disebut perebut laki-laki lain, apalagi perusak rumah tangga orang. Aku bukan perempuan yang menghalalkan segala cara demi ambisiku, apalagi sekadar perkara cinta. Aku masih ingat betul bagaimana pesan ibu dan bapak sebelum mereka tiada agar aku bisa mencari kebahagiaanku sendi
"Sayang, maafkan aku. Aku tak bermaksud berdusta. Perempuan itu bernama Dira. Dia saudara kita juga, hanya saja jarang ke rumah dan baru kali ini dia mau datang setelah sekian lama. Dira ngidam mangga muda, karena itulah aku membantunya. Kamu jangan berpikir macam-macam ya? Satu hal yang harus kamu ingat dan percaya, cuma kamu satu-satunya perempuan yang kucinta." Mas Arga kembali meyakinkan. Jemarinya membelai rambutku lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Seperti biasa, dia memang selembut itu padaku.Biasanya aku selalu berbunga-bunga tiap kali melihat perlakuannya yang terlalu istimewa, tapi kini rasanya telah berbeda. Aku tak tahu seperti apa, tapi yang pasti kebohongannya membuat hatiku sangat terluka. "Kalau aku nggak video call dengan Dina, kamu juga nggak akan memberitahuku soal dia kan, Mas?" tanyaku lagi, sengaja sedikit menyudutkannya. Memang begitu bukan? Selama ini Mas Arga tak pernah menceritakan tentangnya sedikit pun padahal dia sendiri bilang Dira bagian dari k
Sebuah pesan masuk ke handphone Mas Arga. Nomor tanpa nama yang membuatku semakin yakin jika hubungan Mas Arga dengan ibunya Arvin atau Dira itu memang istimewa.[Mas Arga, maaf aku melanggar perjanjian kita. Barusan Arvin demam dan kini dilarikan ke klinik. Dia selalu panggil nama kamu. Sudikah kamu balik Jogja lagi satu atau dua jam saja nggak apa-apa, aku takut Arvin kenapa-kenapa] Aku tak membukanya, hanya membaca lewat notifikasi di layar. Namun itu sudah cukup jelas jika Mas Arga memang terlalu peduli dengan keluarganya yang lain. Ini terlalu menyakitkan buatku. Bisa saja perempuan itu sengaja menjadikan anak-anak dan kehamilannya sebagai tameng untuk menjerat perhatian dan tanggungjawab lebih dari Mas Arga kan? Sebab selama ini dia jauh lebih memprioritaskan aku dibandingkan mereka. Atau ... sekarang mereka akan balas dendam padaku? Padahal jelas selama ini pun aku tak tahu jika Mas Arga menduakanku. Kuletakkan kembali handphone Mas Arga ke atas nakas lalu kembali ke pembar
Mas Arga terlihat biasa. Dia memintaku membuatkan kopi dan roti panggang seperti biasanya. Aku pun menurut. Berpura-pura baik-baik saja memang tak mudah, tapi aku ingin membongkar semuanya perlahan. Karena itulah aku tak ingin membuat Mas Arga curiga jika perubahan sikapku yang terlalu mencolok. Aku tahu dia mencintaiku, tapi aku juga tak paham alasan pastinya kenapa dia berani mendua. Wajar jika aku ingin menyelidikinya lebih dulu sebelum memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupku kan? "Sudah baikan, Sayang?" tanya Mas Arga dengan senyum tipisnya, seperti biasa. Aku mengangguk sembari membalas dengan senyum lalu menarik kursi di sebelahnya dan duduk perlahan. "Alhamdulillah, aku senang melihatnya. Jadi nggak was-was saat ditinggal kerja," ucapnya lagi lalu mengusap pelan lengan kiriku. "Mas, aku boleh kerja kan? Biar nggak suntuk di rumah," ucapku lagi untuk kesekian kalinya. Mas Arga menghela napas panjang, meletakkan roti panggang ya kembali lalu menatapku lekat. Rasa deg-
Aku masih mendengarkan cerita Rita tentang kondisinya. Suami yang selingkuh dan KDRT, lebih parahnya perempuan yang merebut suaminya adalah tetangganya sendiri, karena itulah dia pindah rumah. Rita bilang hanya ingin menjaga hati dan kewarasannya. Tak ingin setiap hari bertemu dengan dua orang yang mengkhianatinya itu. Setelah menjauh, Rita merasa lebih baik, lebih ikhlas dan memasabodohkan sikap suaminya. Suami yang tinggal menghitung hari saja berstatus mantan, katanya. "Aku nggak mau tenggelam dalam sakit hati, Ren. Sekalipun cinta jika dia berdusta dan tak setia, apalagi main tangan, buat apa? Masih banyak lelaki lain yang menanti kita di luar sana. Jangan menyakiti diri sendiri, jika memang tak memungkinkan bertahan, ya lepaskan. Itu prinsipku sejak dulu sih." Aku mengangguk pelan lalu memeluk Rita yang mulai berkaca. Aku tahu ada kecewa teramat sangat di wajahnya yang manis. Kisahnya di masa lalu memang cukup menyakitkan. Mendadak kalimat panjang Rita tadi kembali terngia
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam