Hari ini ibu dan Dira pulang dari klinik, sedangkan aku dan Mas Gilang mengurus pembatalan gugatan perceraian di pengadilan. Semua sudah selesai. Perpisahan yang nyaris ada di depan mata, kini tinggal kenangan. Aku akan berusaha mempertahankan pernikahan ini apapun yang terjadi. Kini aku masih duduk di ranjang sembari menyandarkan punggung ke tembok. Menatap foto pernikahanku dengan Mas Arga yang masih terpajang di kamar. Terlihat jelas di foto itu jika aku dan Mas Arga begitu bahagia dengan tatapan penuh cinta. Aku berharap cinta sebesar itu akan terus hadir di setiap pergantian tahun pernikahanku dengannya. Aku memberikan kesempatan untuk Mas Arga agar membuktikan janji-janjinya. Nyatanya, Mas Arga memang berusaha menepati ucapan-ucapannya waktu itu. Dia semakin sayang dan perhatian padaku dan buah hatinya. Apalagi sejak kuberikan rekaman keduaku di klinik itu, kesalahan dan kebencian Mas Arga pada Dira sepertinya bukan kaleng-kaleng. Dia bahkan memblokir nomor Dira begitu saj
"Mas, besok jadi 'kan?" tanyaku saat Mas Arga masih sibuk dengan beberapa berkas di tangannya. "Jadi? Jadi apa, Sayang?" tanyanya singkat. Duh! Sepertinya dia lupa kalau besok pagi jam sepuluhan ada acara reuni di restoran Syela itu. Reuni teman-teman SMA yang baru kali ini akan kuhadiri. Mas Arga sendiri yang memintaku untuk ikut, tapi dia justru lupa dengan acaranya. "Oh, iya, Sayang. Aku ingat. Besok reuni teman-teman SMAmu kan?" Akhirnya dia ingat juga. Kalau nggak ingat aku sudah mengancam akan mengomelinya panjang kali lebar biar jadi luas persegi panjang sekalian. "Nah! Inget tuh," balasku singkat lalu duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerjanya. "Inget dong, cuma tadi agak lupa karena fokus sama berkas-berkas ini, Karen. Dua minggu ini aku memang agak sibuk urus kerjaan kantor, soalnya akan ada kenaikan jabatan kalau suamimu bisa menyelesaikan masalah cukup pelik di kantor ini dengan baik. Apalagi atasanku memilih cuti ke luar negeri. Jadi, dia memintaku untuk handle s
Mas Arga sudah mandi dan memakai kemeja yang kusiapkan di atas ranjang. Gegas kubuatkan kopi untuknya serta roti panggang dengan selai kacang kesukaannya. Hari ini dia memang request roti panggang. Mungkin bosen kalau aku buat nasi goreng atau beli sarapan di taman kompleks. Aku pun sudah siap dengan gamis yang senada dengan kemejanya, sementara jilbab belum kupakai. Nanti setelah sarapan selesai baru dandan lagi supaya tak terlalu kusut. "Mas, makan dulu. Setelah itu kita berangkat ya? Sudah jam sembilan lebih ini, jangan sampai telat nanti aku malu kalau di sana sudah banyak orang." Jiwa introvertku kembali muncul, tak pernah padam sekalipun sudah puluhan kali berusaha percaya diri seperti yang Mas Arga pesankan. "Nah, kan. Percaya diri, Sayang. Jangan minder." Entah sudah berapa kali kudengar kata-kata itu dari bibirnya. Aku selalu mengiyakan, tapi tetap saja dalam prakteknya keminderan itu tetap ada dan nyata. Duh! "Iya, iya, Mas. Diusahakan ya?" Dia tersenyum tipis lalu men
"Ohya teman-teman, selain pintar soal akademik. Ternyata teman kita ini juga pintar merebut suami orang. Ini sahabat saya dari Jogja. Namanya Dira dengan dua orang anak. Dia adalah istri pertama dari Arga, yang kini manjatuhkan talak padanya hanya demi perempuan ini. Karenina. Teman sekelas kita yang ternyata seorang pelakor!" ucap Rita menggelegar. Suaranya memenuhi tiap sudut ruangan. Nyaris aku pingsan andai saja tak ada tangan yang tiba-tiba menegakkan tubuhku kembali. Aku menoleh seketika sembari memijit pelipis pelan."Ba-- Bara? Ngapain kamu di sini?" tanyaku cukup kaget. Dira pun terkejut melihat kedatangan Bara tiba-tiba. Ekspresinya mulai tak menyenangkan, mungkin takut rencana yang sudah disusunnya gagal. "Gue biasa datang ke sini. Si Syela itu sepupu gue, Ren. Kebetulan dia ajak gue ke sini buat cari cewek katanya. Hahhaa." Bara tertawa seketika. Tak pahamkah dia jika saat ini menjadi tontonan banyak orang? Aku bahkan tak berani melihat ke arah teman-teman saking maluny
Bara menggebrak meja di depannya, membuat semua yang hadir diam seketika, padahal tadi cukup riuh dan berisik. Aku yakin detik ini Bara benar-benar emosi. Rahangnya mengeras, kedua alisnya nyaris tertaut dengan tatapan setajam elang. Baru beberapa langkah mendekati Dira, tiba-tiba Syela datang dengan laki-laki di sampingnya. Syela tak berubah, masih modis dan cantik seperti dulu makanya aku cukup mudah mengenalinya. Dia sangat shock melihat sepupunya itu mulai tak baik-baik saja. "Wei, ada apa ini? Sorry kutinggal keluar sebentar tadi soalnya jemput si bos ini dari rumah sakit. Kenapa tiba-tiba tegang begini? Ada masalah apa? Ohya, dia sepupuku. Sengaja aku ajak ke sini barang kali bisa dapat calon bini. Kasihan jomblo kelamaan. Apa dia yang bikin onar?" Cecar Syela membuat Bara menumpuknya dengan buku menu. "Rese Lo ah. Tahu gitu nggak gue ajak!" omel Syela lagi. "Ada apaan, Rit? Kenapa jadi tegang begini sih? Padahal sebelum kutinggal oke-oke aja kan?" Syela tak patah arang. Dia
"Ren, aku benar-benar minta maaf. Nggak tahu cerita sebenarnya seperti apa. Aku mengenal Dira kalau tak salah memang baru setahunan ini. Sejauh itu kulihat hubungannya dengan Mas Arga begitu baik dan bahagia. Kupikir dia dan Mas Arga memang saling mencintai sejak awal menikah. Arvin dan Irvan kukira juga anak kandung Mas Arga sebab dia sangat menyayangi kedua anak itu. Begitu tulus, seperti kasih sayang seorang ayah kandung pada anaknya sendiri. Tak menyangka jika cerita sebenarnya seperti ini. Lebih tak menyangka lagi jika selama ini Dira terlalu pintar bersandiwara. Sekali lagi aku minta maaf dan janji tak akan lagi mengusik rumah tanggamu dengan Mas Arga," ucap Rita dengan penuh penyesalan. Kedua matanya berkaca saat menatapku.Perutku terasa kram mendadak bahkan jemariku sedikit bergetar. Sungguh, aku sangat bersyukur ada Bara yang menyelamatkanku. Jika tidak, aku tak tahu bagaimana mereka membullyku.Rita menggenggam tangan kananku sembari minta maaf. Air matanya menetes seketika
"Gue antar pulang." Tiba-tiba Bara nongol saat aku dan Mas Arga melangkah keluar restoran.Entah darimana dia tadi. Muncul tiba-tiba, hilang pun tiba-tiba. Laki-laki di samping Mas Arga itu kembali nyengir lalu menunjuk mobilnya yang masih terparkir. "Ayolah," sambungnya lagi. "Karen sakit, Bar. Kita ke klinik terdekat dulu deh. Takut kenapa-kenapa sama kandungannya," ucap Mas Arga sembari mengusap perutku yang mendadak kram kembali. Bara cukup kaget lalu buru-buru membuka pintu mobilnya dan memintaku masuk. Setelah membantuku duduk di kursi belakang, Mas Arga pun duduk di sampingku sementara Bara seperti supir yang duduk di kursi depan sendirian. "Mendadak jadi supir calon mama papa nih," ucapnya sembari memakai seat belt lalu melajukan mobil ke klinik terdekat. "Makanya buru pilih salah satu di antara sekian banyak perempuan yang mengantri itu, Bar. Perempuan itu butuh kepastian, bukan sekadar janji tanpa tujuan," pesan Mas Arga kemudian. Bara hanya terkekeh mendengar jawaban s
[Dengarkan baik-baik rekamannya, Dir. Jangan shock apalagi depresi. Mas Arga menempatkan kebahagiaanku di atas bahagianya. Jadi, kamu jangan pernah bermimpi untuk merebutnya dariku. Jika bukan karena kelicikanmu yang membuat Mas Arga iba, mana mungkin dia sudi mempertahankanmu hingga selama ini. Sadar dirilah sedikit. Sebagai sesama wanita, harusnya kamu punya harga diri! Nikmati hidupmu, jangan selalu mengusik kebahagiaanku! Kalau kamu macam-macam, aku tak segan melaporkanmu ke polisi. Ingat Dira, aku mengantongi banyak bukti kesalahanmu. Jika aku jahat, terlalu mudah bagiku untuk memasukkannya ke jeruji besi. Saat ini aku masih punya hati. Tak tega melihatmu mendekam di penjara. Sebenarnya bukan kasihan padamu, tapi kasihan sama kedua anakmu!]Kukirimkan pesan panjang dan rekaman pernyataan Mas Arga itu ke nomor baru Dira. Nomor tanpa nama yang tiba-tiba mengirimkan bermacam pesan ke handphoneku. Tanpa bertanya atau cari tahu, aku cukup yakin jika itu nomor Dira. Perempuan itu mema
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam