ISTRI SEMPURNAKU
"Pita! Cepat mandi, Nak! Mama lagi suapin adek. Wandi! Cepat susun mainannya, Nak!"
Suara istriku bergema dari arah dapur. Sepertinya Nurul tak mendengar suara kenderaan roda empatku berhenti di halaman, karena biasanya dia langsung menyambut dan mencium tanganku dengan takzim.
Hari ini aku memang sengaja pulang lebih cepat untuk melihat aktivitas istriku. Setiap aku pulang, semuanya sudah bersih dan dia juga berdandan menyambutku. Tiada pernah ia bercerita kalau anak-anak kami begitu menyibukkannya setiap hari.
Aku masuk tanpa mengucapkan salam dan kebetulan pintu rumah terbuka sedikit.
Pandanganku nanar menatap anak kedua kami yang berusia tiga tahun. Semua mainan berserakan di lantai karena anak lelaki kami itu sangat aktif.
"Mandinya yang bersih, Nak!" seru istriku lagi. Ia menyusul ke kamar mandi untuk melihat anak perempuan kami yang berusia lima tahun. Dapat kulihat dengan jelas, dia masih menggendong bayi tujuh bulan kami yang belepotan bubur nasi. Dari ruang tamu ke dapur yang di lengkapi kamar mandi memang hanya menggunakan sekat setinggi ketiak orang dewasa.
Kukira selama ini aku yang paling capek kerja di kantor. Tadi salah satu rekan bisnisku bercerita kalau mereka baru punya anak satu dan istrinya sudah kerepotan. Mereka harus memperkerjakan asisten rumah tangga untuk membantu urusan rumah.
"Hati-hati, Nak! Lantainya licin," seru Nurul lagi. Ia menuntun putri kami berjalan keluar dari kamar mandi.
"Abang sudah pulang?" tanya istriku saat pandangan kami bertemu. Netraku sudah basah melihat repotnya istriku. Dia tak banyak menuntut karena Nurul memang wanita sederhana yang menemaniku mulai dari nol. Akulah yang salah, tidak peka dengan kesusahannya.
"Ma-maaf, Bang. Semuanya masih berantakan. Abang ke kamar saja. Nanti aku buatin teh hangat ya," ujarnya dengan wajah bersalah.
Aku menggeleng. Kuletakkan tas kerjaku di tempat yang tidak terjangkau Wandi, anak kedua kami.
Kutuntun istriku ke kamar dan mendudukkannya di bibir ranjang.
"Maafkan Abang selama ini tidak pernah membantu, karena kamu tidak pernah mengeluh. Kamu ganti baju sama dedek Dimas, lalu istirahat. Semuanya biar Abang yang bereskan," ujarku.
Nurul masih menatapku bingung. Kutinggalkan istri dan anak bungsu kami di kamar dan bergegas membantu Pita memakai bajunya. Untung saja dia sudah bisa memakai pakainnya meskipun belum rapi.
"Papa yang sisir rambutnya, ya," tuturku.
Pita mengangguk.
"Aw, sakit, Pa. Yang lembut lah, Pa, kayak Mama," protes putriku.
Beberapa menit aku habiskan untuk menyisirnya. Aku beralih mengambil bedak tabur dan menepuk-nepukkannya di wajah Pita.
"Papa, Pita jadi kayak hantu kalau bedaknya tebal begini," protes gadis cantikku.
Karena tanganku sedikit basah, wajahnya jadi berdempul bedak. Astaga, untuk membedaki anak saja pakai teknik khusus.
Pita mengeringkan wajahnya hingga tertinggal polesan tipis.
Aku menghela napas. Kerjaan begini saja sudah membuatku keringatan. Namun ini belum selesai, masih ada mainan Wandi yang harus kurapikan.
"Ayo dimasukkan ke keranjang mainannya, Wan," ajakku.
Ya Robbi, bedak yang tidak kututup tadi sudah dimainkan Wandi hingga berserakan di lantai.
"Hati-hati, Wan! Lantainya licin," seruku cemas saat melihat bocah aktif itu berlari-lari.
Akibat tidak hati-hati, aku terpeleset setelah menginjak lantai yang kena tumpahan bedak. Ya Allah, ini lumayan sakit. Tapi ini lebih baik daripada anakku yang jatuh.
"Sakit ya, Pa?" tanya Pita, mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
"Enggak kok, Nak," balasku, berusaha tersenyum, menirukan mimik istriku yang tidak pernah mengeluh.
Aku berdiri dan segera mengumpulkan mainan yang dibantu putriku. Setelah selesai, aku mengepel lantai yang terkena tumpahan bedak tadi. Lumayan susah hingga lantainya tidak licin lagi.
"Jagoan Papa mandi dulu, ya," bujukku. Mendengar kata mandi, Wandi langsung bersemangat. Hampir setengah jam ia habiskan waktu bermain air hingga bajuku pun basah.
"Bang, biar aku saja," ujar Nurul. Ia membujuk bocah super aktif kami dan langsung menurut. Sebegitu tak dekatnya kami sehingga anakku tidak mau mendengarkan ucapanku. Padahal, ucapanku dan Nurul tidak jauh berbeda.
Nurul dengan cekatan memandikan, memakaikan baju dan menyuruh Wandi tidur siang. Speaker murottal Al-Qur'an menemani tidurnya hingga terlelap.
"Kenapa Bang Yaqin cepat pulang? Aku belum sempat mandi, Bang. Pasti bau kan. Dedek Dimas baru saja tidur," ujar Nurul dengan wajah sedih.
"Sesekali aku pengen bantu kamu, Dek. Ternyata pekerjaanmu melibihi capeknya kerjaan Abang di kantor. Maafkan Abang sering main game setelah pulang kerja. Maafkan suamimu yang sering bersantai di saat libur. Padahal kita satu tim untuk mengurus keluarga kecil kita ini," tuturku, mencium tangannya dengan penuh cinta.
"Abang kok jadi mendadak aneh begini?" tanya Nurul dengan wajah serius. Sudah lama aku tak bersikap seperti ini.
"Abang serius, Dek. Abang akan mencari orang untuk bisa meringankan pekerjaanmu. Ini daster koyak juga harus diganti. Kita mulai kehidupan rumah tangga yang lebih baik agar cinta kita semakin kokoh."
Kuajak dia duduk di sofa.
"Aku ingin menguatkan ikatan cinta kita agar tidak ada wanita lain di luaran sana yang mencoba masuk ke dalam hubungan kita. Jabatan Abang yang sudah bagus membuat para wanita silau dan ingin ikut menikmati jerih payah Abang. Padahal yang paling pantas mendapatkann itu semua adalah kamu dan anak-anak kita," tuturku.
Istriku menangis dan memelukku erat.
"Kukira Abang sudah berubah. Kusangka aku sudah bukan selera Abang. Maafkan Nurul tidak bisa mengimbangi karir dan penampilan Abang," lirihnya.
Aku mendekap tubuhnya sambil mencium pucuk kepala ibu dari anak-anakku. Bukan dia yang tak bisa mengimbangi, akulah yang tak peka dengan kegundahan hatinya.
"Besok kita shoping dan ke salon ya, Dek," ajakku karena besok hari libur.
"Tapi anak-anak sama siapa, Bang?" tanyanya cemas.
"Abang yang akan menjaga mereka," ujarku meyakinkan.
"Beneran, Bang?" tanyanya lagi.
"Iya, Sayang. Benda apa yang pengen kamu beli, Dek?"
"Sutil," balasnya singkat. Aku tertawa. Masa di pikirannya cuma ada sutil.
"Itu saja?" tanyaku sambil terkekeh.
"Panci, baskom, teflon, gayung, sendok makan, garfu, talenan, baju, tas, sepatu, bedak, gincu, parfum, …."
"Stop! Abang pingsan dulu," ujarku karena sudah menahan nafas mendengar daftar panjang belanjaan besok. Nurul tertawa dan mencubit pinggangku dengan pelan.
Astaga, mungkin lebih baik tokonya saja diangkut ke sini. Istriku ternyata punya banyak kebutuhan dan juga keinginan.
"Kenapa gak jadi pingsan, Bang? Nanti ceritain ya gimana rasanya pingsan," ujar istrikuWaduh? Aku lupa mau pingsan. Eh, emang bisa direncanakan ya? Coba dulu akh. Aku merebahkan kepala di paha Nurul, istri sempurnaku."Pingsan dulu akh," ujarku sambil memejamkan mata.Nurul terpingkal-pingkal hingga kepalaku pun ikut berguncang. Hal sederhana seperti ini saja, dia sudah tertawa bahagia. Kupandangi dengan seksama gurat kelelahan di wajahnya yang tirus. Aku mulai menyadari kalau wanitaku tidak secantik dulu. Ia mencoba menyembunyikan kelelahannya di balik senyum dan tawa di hadapanku.Aku harus mengembalikan bentuk tubuhnya yang ideal agar istriku kembali percaya diri. Aku tidak malu bagaimanapun keadaan Nurul karena dia begini sebab melahirkan tiga buah hati kami yang berjarak lumayan rapat. Tapi aku mulai sadar kalau dia pun ingin dimanjakan dan merindukan bentuk badannya yang dulu. Badannya tidak melebar, tapi bobot tubuhnya yang berkurang. Mungkin semua itu tidak bisa didapatkan
"Kenapa, Bang? Mau pingsan lagi?" cecar Nurul.Aku nyengir. Jangan sampai Nurul mengira kalau suaminya ini gak ikhlas belanjaain dia."Enggak kok, Dek? Abang gak berbakat untuk pingsan. Talenta Abang cuma membahagiakan keluarga," balasku sambil menjawil dagunya."Mending Abang ganti baju dulu, ya. Karena Adek bercahaya dan juga menghangatkan, Abang sampai lupa kalau celana Abang basah saat mandiin Wandi," ujarku sambil nyengir."Oh iya, ganti baju aja, Bang. Kelamaan nanti bisa masuk angin," balasnya tanpa menoleh dari layar ponsel.Aku menghela napas panjang. Apapun yang dibelikan istriku, pasti karena memang perlu. Dia bukan istri yang boros meskipun jabatanku sudah bagus. Dia juga tidak lupa diri dengan keadaan kami yang dulunya hanya manusia biasa dan sekarang telah menjadi … sama aja sih sebenarnya. Masih tetap manusia biasa yang mendapatkan sekelumit nikmat dari Yang Maha Kaya.Teringat akan firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 7 yang artinya:'Dan ingatlah ketika Tuhanmu memak
"Makasih, ya, Dek, kamu sudah maafkan Abang. Lain kali Abang tidak akan terlalu laju, " ujarku, masih merasa bersalah. Nurul tertawa sekilas, menggenggam jemariku dengan erat. "Aku beruntung punya suami kayak Abang. Pengertian banget. Jarang ada suami sebaik Abang di dunia ini. Stoknya terbatas. Jaga hati Abang, ya, jangan sampai diincar pelakor," balasnya. Aku tertawa. Ucapan istriku berlebihan. Aku bukanlah pria tampan dan punya banyak uang berlebih. Aku cuma karyawan di perusahan orang lain dengan gaji yang cuma cukup membiayai keluarga dan sedikit menyimpan untuk tabungan masa depan. Aku tak punya modal untuk berfoya-foya dengan para pelakor yang biasanya mengincar harta korbannya, lalu mencampakkan setelah ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan.Semoga hidup kami jauh dari hal-hal seperti itu. Cinta segitiga yang akan menyakiti salah satu pihak. Ya Allah, tetapkan hatiku agar selalu berada di dalam jalanMu. "Dek, pernah gak Adek marahi anak-anak?" tanyaku penasaran karena mel
"Neneeek! Kapan Nenek datang? Pita rindu banget sama Nenek," ujar putri sulungku sekaligus yang tercantik di antara dua adiknya. Ia langsung menghambur ke pelukan sang Nenek yang juga berbinar bahagia. "Masya Allah, cucu Nenek udah besar rupanya. Nenek baru saja datang karena rindu sama kalian. Perasaan minggu kemaren kamu belum segini deh, Ta. Kayak nambah beratnya sebutir jagung," balas Ibu melebih-lebihkan. Aku mengulum senyum. Sebutir jagung? Mana terasa kalau nambah. Memang ada saja ya ucapan Ibu yang bisa membuat cucunya tersenyum bangga. Pita langsung bercerita kalau dia lahap makan tanpa disuruh dan juga sudah bisa jaga adeknya. "Sana ganti baju, Bang. Biar aku yang gendong Dimas," bisik istriku. Oh iya, sampai kelupaan. Ternyata enak juga pakai daster yang memiliki banyak ventilasi. Ketiak jadi adem dan kaki pun lebih bebas bergerak. Kuserahkan anak bungsu kami kepada mamanya. Terlihat Dimas kebingungan, mungkin susah membedakan mana mamanya yang asli. Soalnya saat b
Kami sekeluarga sampai di rumah hampir mendekati waktu sholat maghrib. Ibu pun menelpon Bapak untuk memberi tahu kalau akan menginap di sini. Aku sudah menawarkan akan mengantar Ibu pulang, tapi wanita berhidung bangir itu menolak. Katanya masih rindu dengan cucu dan anak menantunya.Alhamdulillah. Ibuku bukan tipikal mertua yang julid pada menantunya. Jadi aman saja bila mereka bertemu.Aku langsung tidur setelah menunaikan ibadah sholat isya. Aku tidak perlu membantu istriku mengasuh ketiga anak kami sebelum tidur, karena ada Ibu yang juga pengertian.Rasanya baru sebentar terlelap, harum masakan menguar menusuk indra penciuman. Aku yang masih malas bangun langsung mengerjap dan perlahan membuka mata.Aku menatap jam dinding yang terpasang di tembok, tepat menghadapku saat bangun. Masih pukul 4.30. Apa sekarang bulan puasa? Atau Ibu dan Nurul mau puasa senin? Aku bertanya-tanya dalam hati.Segera aku bangkit dengan perlahan dari ranjang agar tidak sampai membangunkan si bungsu. Wand
"Kenapa pulang cepat, Bang? Mau kusiaapkan minum atau makan?" tanya Nurul, istri yang selama ini sangat sempurna bagiku. "Kenapa, Dek? Apa kamu tak suka kalau suamimu pulang lebih cepat?" Aku balik bertanya. Dia tersenyum terpaksa. "Senang kok, Bang," balasnya, tapi wajahnya menyiratkan hal yang berbeda. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil tas kerja dan masuk kamar. Aku tak bersemangat lagi mau mengajak mereka makan di luar. Mereka saja baru pulang entah dari mana. Buat apa lagi? Aku duduk di sisi ranjang, melipat tangan di depan dada. Aku ingin dia memberi penjelasan sebelum meminta. Namun harapanku tidak sesuai kenyataan, ibu dari anak-anakku itu melengos ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia berganti baju dan meninggalkanku sendirian di kamar. Kenapa istriku berubah? Bukankah sudah kuberikan segalanya untuk wanitaku itu? Apa lagi yang kurang? Hayiku terus bertanya-tanya.Kujatuhkan bobot di atas ranjang, memejamkan mata, namun piki
Hari ini, tugas kantor begitu banyak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang mengganggu. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu pada istriku. Dengan nada terpaksa ia mengiyakan, meskipun tadi pagi ku sudah berjanji akan pulang makan siang.Istriku yang pengertian tidak protes. Ia memberiku kata-kata semangat yang memang ampuh membuat otak dan tangan lebih bisa diajak kerja sama. Aku harus cepat menyelesaikannya agar bisa pulang lebih awal.Saat masih sibuk memeriksa berkas penting, sseorang mengetuk pintu."Masuk!" titahku."Maaf, Pak. Barusan ada telpon dari pembantu Bapak kalau Bu Nurul jatuh di kamar mandi," ujarnya hati-hati, tapi sukses membuatku jantungan.Nurulku jatuh? Bagaimanna keadaannya? Pasti anak-anak sedang menangis sekarang dan Olin juga panik."Apakah masih di rumah atau sudah ke rumah sakit?" tanyaku, langsung berdiri."Katanya masih di rumah, Pak," balasnya.Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung mengambil kunci mobil dan tergesa-gesa untuk pu
"Ibu, kumohon jangan mengungkit hal seperti ini dulu! Yaqin tidak mau menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami. Rasa cintaku tidak pernah berubah padanya. Meskipun Nurul cuma duduk begini, aku sudah senang. Dia hanya lumpuh, Bu, bukan hilang ingatan. Hatinya masih mencintaiku," ujarku, lantas mengusap pipinya yang sudah mengalir cairan hangat. Aku mencium pipi yang dulu mulus dan menggemaskan itu. Rasa cintaku tetap sama padanya meskipun cantik dalam penilaian manusia sudah tak pantas disematkan padanya.Aku ikutan menangis karena bulir bening yang mengaburkan pandangan istriku telah menular pada suaminya ini. Kami satu hati dan tak akan terpisahkan, kecuali oleh maut. Ibu juga sesenggukan dan menyeka matanya dengan kain sarung yang ia kenakan. Ibu yang tidak selincah dulu memang kewalahan membantu menjaga cucu dan menantunya. Penampilan wanita yang merupakan mertua istriku itu juga ikutan tidak terawat. Aku sebenarnya tak ingin memberatkan masa tuanya dengan harus mengurus ke
Yaqin menautkan jemarinya yang dingin saat berkali-kali menghapal ijab qobul sebelum pengantin wanitanya datang."Kayak baru pertama kali mau ijab qobul aja, Mas. Keringatan gitu. Santai saja dong," ledek Pandi, calon suami sang pemilik panti. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yaqin yang ia dengar kabar pernah beristri dua. "Ini jauh lebih mendebarkan, Pan. Sebentar lagi kamu juga akan merasakan hal yang sama saat mau menikahi Isma," balas Yaqin. Pandi tersenyum dan melirik calon istrinya sekilas. Mereka ikut bahagia melihat kisah cinta yang tak biasa itu. Tak berapa lama, rombongan pengantin sudah datang. Sengaja tak menggelar acaranya di hotel agar anak-anak panti ikut menyaksikan acara bahagia itu. Pandi yang merupakan pengusaha sekaligus youtuber terkenal sudah menyiapkan tim untuk mengabadikan kisah mengharukan ini. Mengabarkan pada dunia bahwa pasangan ini layak disebut sebagai pecinta sejati. Kesalahpahaman yang sempat memisahkan, tapi kalau sudah ditakdirkan be
"Tidak usah dengarkan dia, Nurul. Jangan sampai hatimu merasa terpaksa mengiyakan keinginan anak ini. Dia pergi dan meninggalkan luka untuk kita semua. Sekarang Bapak adalah orang tuamu, jadi turuti perkataan Bapak," tegas pria yang memiliki andil menghadirkan aku ke dunia ini. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap menampilkan ketegasan di hadapan semua orang. Bapak, orang yang sangat membelamu sejak dulu. Sekarang beliau begitu marah kepadaku. "Kamu memang gak punya malu, ya, Qin. Baru pertama berjumpa setelah sekian tahun, kamu berani mengajaknya dalam kesusahan. Bikin malu saja. Orang mengajak bahagia saja, masih ada susahnya juga. Apalagi niatnya mau menyusahkan Nurul."Ibu pun ikutan bicara. Nurul masih saja bungkam. Jika memang dia menolakku, aku sudah siap. Aku hanya mengekspresikan rasa yang ada dalam hati ini. Aku butuh dia. Dia, wanita sempurna di hatiku dan selamanya akan begitu."Aku ingin tanya satu hal, boleh?" tanya Nurul. Aku mengangguk pasti. Mendengar suaranya saja s
"Iya, kami udah sampai, Nad, tapi belum ketemu sama orangnya," jelasku pada Nadia melaui sambungan telepon. "Hati-hati, ya, Mas. Aku merindukanmu. Kamu harus pulang ke rumah sebelum maghrib. Aku mau buatkan makanan spesial untukmu," balas wanita yang akrab disapa Bunda oleh anak-anakku. "Iya, Mas juga merindukanmu," bisikku, lalu menutup telpon. Takut kalau Nurul cemburu dan justru itu bisa memperngaruhi kesehatannya. Aku mau memutar badan saat ponselku bersering lagi, ada panggilan masuk dari bosku. Aku begitu antusias saat mendengar kabar gembira dari bos. "Baik, Pak. Makasih telah mempercayakan saya untuk proyek besar ini. Bapak memang orang baik, sangat peduli dengan karyawan biasa seperti saya. Saya akan segera ke sana," ujarku, mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan atasan. Berita ini sangat bagus karena aku memang butuh biaya banyak. Aku punya dua istri dan tiga anak yang merupakan tanggung jawabku. Aku tidak mau kalau Nadia terlalu banyak mengeluarkan uang untuk ke
"Ibu, Bapak, Puspita, Wandi, Dimas!" panggil Nurul membuat jantungku hampir copot. Belum usai keterkejutanku bertemu dengannya, yang lainnya juga ternyata ada di sini. Entah apa yang membawa mereka ke panti asuhan ini. Tergopoh-gopoh Ibu dan Bapak menyongsong wanita yang tetap cantik itu, sementara aku panik. Entah mau bersembunyi di mana.Detak jantungku berpacu lebih cepat, was-was seperti buronan yang tertangkap polisi. Peluh membasahi pelipis dan bajuku pun dibanjiri keringat. Aku ingin menghilang dari sini, tapi tak punya daya. Aku bukan Yaqin yang dulu. Aku tidak berdaya, hanya insan lemah yang akan menyusahkan orang-orang yang kusayang. "Ada apa, Nur? Kamu bikin kaget Bapak sama Ibu saja. Kamu baik-baik saja, kan, Nak?" tanya Ibu dengan raut cemas. Beliau masih cantik meskipun sudah menua. Perhatian beliau masih sama seperti dulu saat aku memperkenalkan Nurul sebagai calon menantu.Aku melirik dengan ekor mata dan terasa berkaca-kaca saat wanita yang melahirkanku begitu khaw
Aku menyajikan minuman dan kue untuk Ibu dan Bapak yang sedang mengobrol dengan bersuka cita bersama dokter Endru dan Bu Tyas.Sejak aku resmi bercerai, Ibu dan Bapak sangat bersemangat. Mereka semakin senang saat dokter Endru mengabarkan akan datang beberapa hari lagi. Aku gelisah hingga sekarang orang yang ditunggu mantan mertuaku telah ada di depan mata.Dokter Endru sesekali melirik padaku dan mengajak bicara Dimas. Sejak pria berkemeja garis-garis itu datang, ia begitu bahagia. Mungkin karena merindukan sosok seorang ayah yang perhatian, Puspita, Dimas dan Wandi antusias saat dibawakan bermacam mainan. Aku merasa seperti disogok melalui anak-anak. Aku berhutang budi pada mereka, tapi apakah aku harus berkorban perasaan? Pernikahan tidak sekadar hubungan sebulan dua bulan, melainkan seumur hidup. Tapi jika aku menolak, banyak hati yang kecewa. Aku bimbang. "Duduk di sini, Nak. Sejak tadi kamu pura-pura sibuk saja," ujar Ibu sambil mengulum senyum. Aku tersenyum hambar dan dudu
"Kalian tidak malu menangis di sini? Orang-orang yang lewat bisa heran melihat kelakuan kalian. Pita saja tahu kalau mau menangis itu bukan di ruang terbuka. Ayo kita nangis di dalam saja," ujar Bapak, menyusut sudut mata dengan telunjuk. Sindiran halus yang mengena ke hati. Aku melonggarkan pelukan di bahu Ibu mertuaku dan mengusap mata dengan kasar. Kenapa kami malah terlena dalam kesedihan? Putriku lagi butuh penjelasan. Aku bersegera masuk dan mengetuk pintu kamar putriku. Kulihat gadis kecil sainganku itu sedang telungkup di atas ranjangnya. "Sayang, kamu kenapa menangis sih?" tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus sebahu. Gadis berwajah manis itu duduk dan menghadapku. Dengan jempol kanannya, ia mengusap pipiku. "Ibu sama Nenek menangis gara-gara Pita, ya, Ma. Maafkan Pita telah nakal," ujarnya sambil mencium tanganku. Ah, putri solehaku. "Ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa bahagiain Pita," balasku. "Enggak, Bu. Pita janji tidak akan marah-marah l
Suara klakson mobil menjeda suasana keharuan yang menyelimuti keluarga kami. Bapak berdiri dan bergegas keluar. Aku tidak tahu siapa tamu yang datang. Apa mungkin itu Bang Yaqin? Entah kenapa hati ini masih mengharapkan kedatangannya karena mencari kami, lalu berlutut dan memohon agar kami bersatu lagi dalam pernikahan yang sakinah. "Mobil si Mamat sudah datang. Kalian berangkat sekarang sama Ibu, Nur. Bawa yang perlu-perlu saja nantinya. Lemari, springbed dan sofa gak usah dibawa. Rumah kita tidak akan muat," ujar Bapak. Aku membuang napas teratur, menata hati yang sempat berharap hujan turun di saat kemarau hati.Aku harus mengikhlaskan kalau memang jalan hidup kami sudah berbeda. Kami masih di dunia yang sama dengan hembusan angin yang mungkin tak jauh berbeda, tapi visi dan misi kami sudah berbeda. Itu sebabnya kami tidak tinggal seatap lagi. "Ayo, Nurul. Kenapa malah bengong?" sentak Ibu. Aku tersenyum hambar dan mengikuti Ibu, mengambil tas dan pamit ke Bapak mau rumah lama
"Ibu malu sama kamu, Nur. Sholat shubuh saja Ibu biasanya kesiangan. Malas bangun karena tidak ada yang buru-buru mau kemana. Padahal Ibu ini sudah bau tanah. Entah berapa tahun lagi kesempatan di dunia ini yang tersisa," celetuk Ibu dengan mata berembun. Aku tersenyum dan mengusap pundak wanita yang menganggapku sebagai putrinya. Beliau tidak segan mengakui kekurangannya, padahal saat berkunjung ke rumah kami dulu, Ibu sangat cepat bangun. Aku lah yang segan jadinya jika masih pulas di saat mertua sudah sibuk di dapur. "Maut tidak memandang usia maupun sehat, Bu. Banyak orang muda dan juga tidak punya penyakit yang tiba-tiba dipanggil menghadap Sang Pencipta. Nurul ini pernah hampir putus asa karena sakit yang tiada kunjung sembuh dan berharap kalau Allah mencabut nikmat hidup dari dunia ini. Tapi ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadi tidak ada kata terlambat, kita sama-sama memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Ibu juga jangan pernah bilang lagi ba
"Nurul, kan? Istrinya Yaqin?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat."Iya, Bu," balasku sambil menyunggingkan senyum. Aku tidak terlalu kenal dengan warga sini karena beberapa bulan setelah menikah, Bang Yaqin mengajakku tinggal di kontrakan sederhana sebelum akhirnya bisa membeli rumah. "Ibu dengar kamu lumpuh, sekarang udah sehat, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bu. Atas izin Allah.""Alhamdulillah. Ibu tinggal dulu, ya," pamitnya dengan seulas senyuman aneh sambil melihatku dari kepala sampai kaki."Kita masuk, Nur. Kamu tidak usah heran kalau orang sini sangat ingin tahu masalah tetangganya. Ada yang benar-benar peduli, tapi sebagian cuma mencari informasi untuk digosipkan. Bapak harap kamu bisa menyesuaikan diri," ujar Bapak.Aku mengangguk paham. Tidak jauh beda kehidupan masyarakat sini dengan tempat tinggalku, walaupun lebih dekat dengan kota.Aku menatap sekeliling, mencari keberadaan hewan berbulu dan bisa terbang itu. Setahuku, Bapak sangat hobi memelihara burung hingga tidak a