Kami sekeluarga sampai di rumah hampir mendekati waktu sholat maghrib. Ibu pun menelpon Bapak untuk memberi tahu kalau akan menginap di sini. Aku sudah menawarkan akan mengantar Ibu pulang, tapi wanita berhidung bangir itu menolak. Katanya masih rindu dengan cucu dan anak menantunya.
Alhamdulillah. Ibuku bukan tipikal mertua yang julid pada menantunya. Jadi aman saja bila mereka bertemu.
Aku langsung tidur setelah menunaikan ibadah sholat isya. Aku tidak perlu membantu istriku mengasuh ketiga anak kami sebelum tidur, karena ada Ibu yang juga pengertian.
Rasanya baru sebentar terlelap, harum masakan menguar menusuk indra penciuman. Aku yang masih malas bangun langsung mengerjap dan perlahan membuka mata.
Aku menatap jam dinding yang terpasang di tembok, tepat menghadapku saat bangun. Masih pukul 4.30. Apa sekarang bulan puasa? Atau Ibu dan Nurul mau puasa senin? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Segera aku bangkit dengan perlahan dari ranjang agar tidak sampai membangunkan si bungsu. Wandi masih terlelap di atas matras jumbo yang diletakkan di dekat ranjang. Anak yang kata Ibu mirip kelakuannya denganku sewaktu kecil itu memang masih tidur dalam satu kamar dengan kami, tapi dia harus bebas di atas matrasnya sendirian. Tingginya matras yang tak seberapa bisa mengantisipasi cedera yang agar tidak terlalu serius jika dia sampai terguling. Sementara si kakak sudah tidur terpisah di kamar yang berbeda dan tadi malam ditemani neneknya.
Aku menyeret langkah ke dapur dan mendapati dua wanita itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Harum banget masakannya, Dek. Kok tumben masak cepat?" tanyaku sambil mengaduk gulai ayam kampung. Entah kapan semuanya dimasak dan tahu-tahu sudah bisa disantap.
"Kamu kan, tidur cepat. Mana tahu lagi apa yang terjadi. Ini semua sudah dikerjakan tadi malam, tinggal manasin saja," celetuk Ibu.
"Namanya juga capek, Bu," balasku.
"Ya sudah, kamu siap-siap sana. Sebentar lagi shubuh. Ibu juga mau menelpon bapakmu agar bangun," tutur Ibu, menepuk bahuku dengan pelan.
Aku mengangguk dan langsung mandi, lantas berangkat ke mesjid menunaikan kewajiban pada Sang Pemberi rezeki.
=====
Semenjak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk meringankan pekerjaan istriku, aku dan Nurul jadi punya banyak waktu untuk menyaksikan tumbuh kembang anak kami yang tidak bisa diulang lagi.
Wajah Nurul semakin glowing semenjak aku buat anggaran khusus baginya untuk perawatan di salon. Tak lupa kosmetik yang aman dan halal untuk ia gunakan sehari-hari.
Tubuh Nurul juga semakin ideal karena sesekali dia ikut senam bersama istri temanku. Sengaja kubilang kalau ingin membantu mempromosikan usaha istri temanku agar dia tak menolak.
Alhamdulillah, wanitaku setuju jika diatas namakan mau membantu.
Kupandangi Nurul dengan tatapan penuh cinta. Dia semakin percaya diri di depan cermin dan menanyakan penampilannya padaku.
"Kalau Abang katakan kamu tetap cantik meskipun kurus dan tidak terawat, pasti Adek kira Abang gak mau modalin. Bagi Abang, kamu wanita tercantik sejak dahulu sampai sekarang," pujiku tanpa mengedipkan mata. Sengaja agar istriku salah tingkah.
Nurul mengulum senyum dan duduk di sampingku. Aroma parfum yang lembut membuatku betah berlama-lama menghirupnya.
Tiada lagi aroma bawang atau minyak telon yang berlebihan untuk mengobati pegal-pegal di sekujur tubuhnya.
"Bang," bisiknya dengan manja.
"Apa, Dek?" tanyaku dengan perasaan berdebar.
"Aku malu mengatakannya," ujar Nurul dengan senyum terkulum.
Duh, ingin kucubit pipinya yang menggemaskan. Sudah sepuluh tahun berumah tangga masih saja malu mau bilang keinginan hatinya.
"Katakan saja, Dek. Abang akan langsung mengabulkannya," tuturku, mengusap rambutnya yang belum kering sempurna.
"Aku mau minta uang," balasnya sambil menunduk.
Hah? Kirain mau minta yang lain? Sekarang bukan hatiku yang berdebar-debar, tapi kantongku.
Harusnya tadi aku gak usah maksa dia jujur, kalau tahu akhirnya begini.
"Jangan boros-boros ya, Dek," ujarku sambil menyerahkan ATM.
"Sekarang perhitungan, ya," sindirnya.
Aku menggeleng keras. Ternyata banyak juga modal membuat istri tetap cantik dan segar.
Bukan aku tak ikhlas memberikan uang berlebih untuk istriku, aku hanya cemas jika dia lepas kendali. Apalagi anak-anak sudah akrab dengan asisten rumah tangga kami.
Jangan sampai keluarga kami yang sering membuat orang iri harus berantakan.
'Ya Robb, jauhkanlah badai rumah tangga dari keluarga kami.'
=====
Hari ini aku dapat bonus besar dari Bos karena proyek kami berjalan lancar. Uang yang kuberikan kemaren untuk istriku langsung terganti dengan bonus berlipat ganda. Syukur itu memang besar pengaruhnya. Ini salah satu contohnya.
Rencananya, aku akan membawa Nurul dan anak-anak makan di tempat kesukaan mereka. Kafe lesehan berbentuk dangau yang terletak di tengah persawahan. Kebetulan padi lagi menguning dan akan terlihat indah menikmati sore di sana.
Sesampainya di halaman, aku keluar dari mobil dengan kening berkerut. Rumah kami terlihat sepi dengan jendela tertutup rapat. Nurul tidak menelponku sejak pagi. Apakah mereka pergi ke luar? Tapi, tak biasanya Nurul pergi sebelum minta ijin padaku.
Aku begegas membuka pintu dengan kunci cadangan yang ada padaku. Kuhidupkan lampu ruang tamu dan duduk di sofa, berniat mau menghubungi nomor Nurul.
Belum sempat kutekan tombol call, suara anak-anak terdengar dari luar.
"Assalamualaikum. A-bang udah pulang?"
"Walaikum salam," balasku singkat. Enggan membalas pertanyaan Nurul. Aku butuh penjelasan terlebih dahulu. Kenapa dia terlihat cemas dan gugup saat melihatku pulang lebih awal?
Olin, gadis yang bekerja di rumahku langsung mengajak anak-anak ke kamar Pita yang luas. Tinggal aku dan Nurul saling diam di ruang tamu.
"Dari mana kalian, Dek?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk. Berusaha agar suara ini tidak terdengar sedang kesal.
"A-aku arisan sama teman-teman, Bang," balasnya tergagap.
Aku yakin, dia sedang berbohong karena ia terus saja memilin ujung jilbabnya. Apa yang kamu sembunyikan dari suamimu ini, Dek? Sejak kapan ada rahasia di antara kita berdua?
"Di rumah siapa, Sayang?" tanyaku lagi.
Nurul membulatkan mata. Mungkin dia tak menyangka kalau aku akan bertanya lagi. Selama ini aku percaya dan tak banyak tanya padanya setiap ijin mau keluar.
"Rumah Hira, Bang," balasnya kemudian.
Aku meraih ponsel dan berniat menelpon temannya yang juga aku kenal.
"Jangan telpon, Bang! Di-dia sedang sibuk," larang Nurul. Dahiku semakin mengernyit. Rasa curiga menyusup ke dalam hati. Aku tak ingin berada di posisi ini karena aku sangat mencintainya. Tapi kenapa tingkahnya mendorongku untuk berprasangka buruk?
Ya Robb, semoga curigaku ini hanya perasaanku saja.
"Kenapa pulang cepat, Bang? Mau kusiaapkan minum atau makan?" tanya Nurul, istri yang selama ini sangat sempurna bagiku. "Kenapa, Dek? Apa kamu tak suka kalau suamimu pulang lebih cepat?" Aku balik bertanya. Dia tersenyum terpaksa. "Senang kok, Bang," balasnya, tapi wajahnya menyiratkan hal yang berbeda. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil tas kerja dan masuk kamar. Aku tak bersemangat lagi mau mengajak mereka makan di luar. Mereka saja baru pulang entah dari mana. Buat apa lagi? Aku duduk di sisi ranjang, melipat tangan di depan dada. Aku ingin dia memberi penjelasan sebelum meminta. Namun harapanku tidak sesuai kenyataan, ibu dari anak-anakku itu melengos ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia berganti baju dan meninggalkanku sendirian di kamar. Kenapa istriku berubah? Bukankah sudah kuberikan segalanya untuk wanitaku itu? Apa lagi yang kurang? Hayiku terus bertanya-tanya.Kujatuhkan bobot di atas ranjang, memejamkan mata, namun piki
Hari ini, tugas kantor begitu banyak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang mengganggu. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu pada istriku. Dengan nada terpaksa ia mengiyakan, meskipun tadi pagi ku sudah berjanji akan pulang makan siang.Istriku yang pengertian tidak protes. Ia memberiku kata-kata semangat yang memang ampuh membuat otak dan tangan lebih bisa diajak kerja sama. Aku harus cepat menyelesaikannya agar bisa pulang lebih awal.Saat masih sibuk memeriksa berkas penting, sseorang mengetuk pintu."Masuk!" titahku."Maaf, Pak. Barusan ada telpon dari pembantu Bapak kalau Bu Nurul jatuh di kamar mandi," ujarnya hati-hati, tapi sukses membuatku jantungan.Nurulku jatuh? Bagaimanna keadaannya? Pasti anak-anak sedang menangis sekarang dan Olin juga panik."Apakah masih di rumah atau sudah ke rumah sakit?" tanyaku, langsung berdiri."Katanya masih di rumah, Pak," balasnya.Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung mengambil kunci mobil dan tergesa-gesa untuk pu
"Ibu, kumohon jangan mengungkit hal seperti ini dulu! Yaqin tidak mau menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami. Rasa cintaku tidak pernah berubah padanya. Meskipun Nurul cuma duduk begini, aku sudah senang. Dia hanya lumpuh, Bu, bukan hilang ingatan. Hatinya masih mencintaiku," ujarku, lantas mengusap pipinya yang sudah mengalir cairan hangat. Aku mencium pipi yang dulu mulus dan menggemaskan itu. Rasa cintaku tetap sama padanya meskipun cantik dalam penilaian manusia sudah tak pantas disematkan padanya.Aku ikutan menangis karena bulir bening yang mengaburkan pandangan istriku telah menular pada suaminya ini. Kami satu hati dan tak akan terpisahkan, kecuali oleh maut. Ibu juga sesenggukan dan menyeka matanya dengan kain sarung yang ia kenakan. Ibu yang tidak selincah dulu memang kewalahan membantu menjaga cucu dan menantunya. Penampilan wanita yang merupakan mertua istriku itu juga ikutan tidak terawat. Aku sebenarnya tak ingin memberatkan masa tuanya dengan harus mengurus ke
Setelah aku menyetujui usul Ibu, beberapa gadis pun diperkenalkan wanita yang menyayangiku itu. Mulai dari anak tetangga yang hidupnya kurang mampu, anak teman Ibu maupun wanita yang tak sengaja ketemu di jalan. Incaran Ibu adalah gadis miskin yang penyayang, janda yang mandul maupun perawan tua. Saat ketemu denganku, mereka memang tertarik. Namun saat kukenalkan istriku dan tiga anak kami, tak satupun yang mau. Mereka menuduhku mau memanfaatkan mereka. Memang tuduhan itu tidak sepenuhnya salah. Tidak baik seorang pengasuh tinggal di sini kalau istriku tidak sehat. Takut menjadi fitnah. Makanya aku harus menikah agar istri baru dan juga perawat anakku bisa tinggal seatap dengan kami. Rumit memang. apalagi aku tidak siap beristri dua. Tapi tiada pilihan lain. Aku sedang duduk di rumah makan dekat kantor dengan hati yang gundah. Tak pernah lagi aku makan bekal yang dimasak istriku. Semua makanan warung ini tak begitu cocok dengan lidah. Tapi tiada pilihan lain. Aku tidak mau merep
Sejak percakapan dengan Ibu sore itu, aku tetap bekerja seperti biasa. Tak pernah terbersit di pikiran tentang wanita bernama Nadia itu. Hingga suatu hari, saat libur, Ibu mengajakku bicara serius. "Qin, sesuai janji kamu hari itu, kamu harus bersedia menikah dengan Nadia. Ibu sudah melamarnya untukmu," ujar wanita paruh baya itu. Aku tersentak. Masih kurang percaya dengan apa yang kudengar. Dia seorag guru dan juga kepala PAUD, bersedia menjadi istri kedua dengan syarat harus mau mengurus tiga anak? Rasanya mustahil. "Ibu gak salah ucap, kan?" tanyaku."Ya enggak lah, Nak. Dia itu sangat penyayang sama anak-anak. Dia sering loh main ke sini, sepulang sekolah, tapi kamu masih kerja," jelas Ibu. Aku curiga kalau Ibu menceritakan hal-hal yang manis saja. Aku tidak mau kalau gadis itu merasa dimanfaatkan dan akhirnya menyesal. Aku tidak akan tahan kalau dia bersikap manja dan merengek mencari perhatianku, sementara hatiku tidak mencintainya. "Kalau begitu, aku ingin bertemu dengann
Hari ini aku pulang lebih cepat dari kantor dan sengaja mengajak Nurul duduk di ruang tamu untuk menunggu anak-anak kami kembali dari sekolah. Sekolah untuk anak pra sekolah dan merangkap tempat penitipan anak milik Nadia memang tutup jam 4.00. Beberapa wanita karir menitipkan anak mereka di sana dan akan menjemput sepulang kerja. Mereka lebih percaya menitipkan anak di lembaga resmi daripada sama pengasuh sendirian di rumah. Nadia juga memiliki kamar yang luas di sana, lengkap dengan fasilitas dapur juga sehingga anak-anak tidak bosan dan tetap bisa tidur sambil menunggui Nadia siap bertugas bersama tenaga pendidiknya yang berjumlah 10 orang. Soal makan pun, mereka bergantian memasak menu untuk para anak yang dititipkan. Jiwa penyayangnya pada anak-anak tidak pilih kasih sehingga tak pernah kudengar Pita atau Wandi mengeluhkan ibu tiri mereka.Mobil antar jemput milik yayasan Nadia berhenti di halaman dan mereka keluar dengan wajah ceria. Pintu yang terbuka lebar membuatku leluasa
Aku menghidupkan lampu, celingukan mencari keberadaan Nadia. Gak mungkin juga dia terjatuh dari ranjang besar ini. "Nad? Kamu di dalam?" tanyaku saat mendengar suara kran air di kamar mandi tamu. Tidak ada sahutan. Mungkin suara air membuat ucapanku tidak terdengar olehnya.Gegas aku bersiap mandi di kamar mandi yang terletak di kamar utama yang biasa kutempati dengan Nurul. Kulihat wajah teduh itu masih terlelap. Kuperbaiki selimutnya yang sedikit melorot dan mencium keningnya. Selesai mandi junub, aku bersiap menunaikan ibadah sholat shubuh dimesjid yang letak ya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya menangis di atas sajadah yang membuat hati lebih lega. Mengadukan semua ketentuan Allah yang menyesakkan dada. Makhluk lemah ini hanya bisa menjalani apa yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak peduli apakah orang menilaiku pria yang lemah karen itu memang benar adanya. Butiran hangat menggenangi netra diiringi lantunn kalam Allah. Kusempatkan membaca surah pendek sebelum menin
Aku memberikan minum untuk Nurul dengan canggung, lantas menaruh piring dan gelas yang baru kami gunakan ke dapur. Aku jadi serba salah, bergegas masuk ke kamar utama untuk bersiap berangkat ke kantor. Soal pakaian, kaus kaki, sepatu dan semua keperluanku ke kantor sudah disiapkan Nadia semuanya disertai catatan dimana benda-benda itu ia letakkan. Ia melakukan itu karena segan keluar masuk kamar utama. Ah, dia memang wanita yang baik. Tak sekali pun dia menghasud agar meninggalkan istriku, Nurul. Padahal di luaran sana banyak wanita yang dengan egois merampas seorang istri dari suaminya. Perasaan bersalah pada Nadia kembali menyusup, mengobrak-abrik perasaan yang terbungkus rapi untuk Nurulku seorang.Apakah saatnya aku membiasakan diri berlaku adil dengan perbuatan untuk kedua istriku, meski perasaan belum tentu bisa disesuaikan porsinya seperti yang diharapkan.Bismillah, aku harus bisa, karena ini memang jalan hidup yang harus kujalani. Aku mengambil tas kerja dan bergegas ke
Yaqin menautkan jemarinya yang dingin saat berkali-kali menghapal ijab qobul sebelum pengantin wanitanya datang."Kayak baru pertama kali mau ijab qobul aja, Mas. Keringatan gitu. Santai saja dong," ledek Pandi, calon suami sang pemilik panti. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yaqin yang ia dengar kabar pernah beristri dua. "Ini jauh lebih mendebarkan, Pan. Sebentar lagi kamu juga akan merasakan hal yang sama saat mau menikahi Isma," balas Yaqin. Pandi tersenyum dan melirik calon istrinya sekilas. Mereka ikut bahagia melihat kisah cinta yang tak biasa itu. Tak berapa lama, rombongan pengantin sudah datang. Sengaja tak menggelar acaranya di hotel agar anak-anak panti ikut menyaksikan acara bahagia itu. Pandi yang merupakan pengusaha sekaligus youtuber terkenal sudah menyiapkan tim untuk mengabadikan kisah mengharukan ini. Mengabarkan pada dunia bahwa pasangan ini layak disebut sebagai pecinta sejati. Kesalahpahaman yang sempat memisahkan, tapi kalau sudah ditakdirkan be
"Tidak usah dengarkan dia, Nurul. Jangan sampai hatimu merasa terpaksa mengiyakan keinginan anak ini. Dia pergi dan meninggalkan luka untuk kita semua. Sekarang Bapak adalah orang tuamu, jadi turuti perkataan Bapak," tegas pria yang memiliki andil menghadirkan aku ke dunia ini. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap menampilkan ketegasan di hadapan semua orang. Bapak, orang yang sangat membelamu sejak dulu. Sekarang beliau begitu marah kepadaku. "Kamu memang gak punya malu, ya, Qin. Baru pertama berjumpa setelah sekian tahun, kamu berani mengajaknya dalam kesusahan. Bikin malu saja. Orang mengajak bahagia saja, masih ada susahnya juga. Apalagi niatnya mau menyusahkan Nurul."Ibu pun ikutan bicara. Nurul masih saja bungkam. Jika memang dia menolakku, aku sudah siap. Aku hanya mengekspresikan rasa yang ada dalam hati ini. Aku butuh dia. Dia, wanita sempurna di hatiku dan selamanya akan begitu."Aku ingin tanya satu hal, boleh?" tanya Nurul. Aku mengangguk pasti. Mendengar suaranya saja s
"Iya, kami udah sampai, Nad, tapi belum ketemu sama orangnya," jelasku pada Nadia melaui sambungan telepon. "Hati-hati, ya, Mas. Aku merindukanmu. Kamu harus pulang ke rumah sebelum maghrib. Aku mau buatkan makanan spesial untukmu," balas wanita yang akrab disapa Bunda oleh anak-anakku. "Iya, Mas juga merindukanmu," bisikku, lalu menutup telpon. Takut kalau Nurul cemburu dan justru itu bisa memperngaruhi kesehatannya. Aku mau memutar badan saat ponselku bersering lagi, ada panggilan masuk dari bosku. Aku begitu antusias saat mendengar kabar gembira dari bos. "Baik, Pak. Makasih telah mempercayakan saya untuk proyek besar ini. Bapak memang orang baik, sangat peduli dengan karyawan biasa seperti saya. Saya akan segera ke sana," ujarku, mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan atasan. Berita ini sangat bagus karena aku memang butuh biaya banyak. Aku punya dua istri dan tiga anak yang merupakan tanggung jawabku. Aku tidak mau kalau Nadia terlalu banyak mengeluarkan uang untuk ke
"Ibu, Bapak, Puspita, Wandi, Dimas!" panggil Nurul membuat jantungku hampir copot. Belum usai keterkejutanku bertemu dengannya, yang lainnya juga ternyata ada di sini. Entah apa yang membawa mereka ke panti asuhan ini. Tergopoh-gopoh Ibu dan Bapak menyongsong wanita yang tetap cantik itu, sementara aku panik. Entah mau bersembunyi di mana.Detak jantungku berpacu lebih cepat, was-was seperti buronan yang tertangkap polisi. Peluh membasahi pelipis dan bajuku pun dibanjiri keringat. Aku ingin menghilang dari sini, tapi tak punya daya. Aku bukan Yaqin yang dulu. Aku tidak berdaya, hanya insan lemah yang akan menyusahkan orang-orang yang kusayang. "Ada apa, Nur? Kamu bikin kaget Bapak sama Ibu saja. Kamu baik-baik saja, kan, Nak?" tanya Ibu dengan raut cemas. Beliau masih cantik meskipun sudah menua. Perhatian beliau masih sama seperti dulu saat aku memperkenalkan Nurul sebagai calon menantu.Aku melirik dengan ekor mata dan terasa berkaca-kaca saat wanita yang melahirkanku begitu khaw
Aku menyajikan minuman dan kue untuk Ibu dan Bapak yang sedang mengobrol dengan bersuka cita bersama dokter Endru dan Bu Tyas.Sejak aku resmi bercerai, Ibu dan Bapak sangat bersemangat. Mereka semakin senang saat dokter Endru mengabarkan akan datang beberapa hari lagi. Aku gelisah hingga sekarang orang yang ditunggu mantan mertuaku telah ada di depan mata.Dokter Endru sesekali melirik padaku dan mengajak bicara Dimas. Sejak pria berkemeja garis-garis itu datang, ia begitu bahagia. Mungkin karena merindukan sosok seorang ayah yang perhatian, Puspita, Dimas dan Wandi antusias saat dibawakan bermacam mainan. Aku merasa seperti disogok melalui anak-anak. Aku berhutang budi pada mereka, tapi apakah aku harus berkorban perasaan? Pernikahan tidak sekadar hubungan sebulan dua bulan, melainkan seumur hidup. Tapi jika aku menolak, banyak hati yang kecewa. Aku bimbang. "Duduk di sini, Nak. Sejak tadi kamu pura-pura sibuk saja," ujar Ibu sambil mengulum senyum. Aku tersenyum hambar dan dudu
"Kalian tidak malu menangis di sini? Orang-orang yang lewat bisa heran melihat kelakuan kalian. Pita saja tahu kalau mau menangis itu bukan di ruang terbuka. Ayo kita nangis di dalam saja," ujar Bapak, menyusut sudut mata dengan telunjuk. Sindiran halus yang mengena ke hati. Aku melonggarkan pelukan di bahu Ibu mertuaku dan mengusap mata dengan kasar. Kenapa kami malah terlena dalam kesedihan? Putriku lagi butuh penjelasan. Aku bersegera masuk dan mengetuk pintu kamar putriku. Kulihat gadis kecil sainganku itu sedang telungkup di atas ranjangnya. "Sayang, kamu kenapa menangis sih?" tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus sebahu. Gadis berwajah manis itu duduk dan menghadapku. Dengan jempol kanannya, ia mengusap pipiku. "Ibu sama Nenek menangis gara-gara Pita, ya, Ma. Maafkan Pita telah nakal," ujarnya sambil mencium tanganku. Ah, putri solehaku. "Ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa bahagiain Pita," balasku. "Enggak, Bu. Pita janji tidak akan marah-marah l
Suara klakson mobil menjeda suasana keharuan yang menyelimuti keluarga kami. Bapak berdiri dan bergegas keluar. Aku tidak tahu siapa tamu yang datang. Apa mungkin itu Bang Yaqin? Entah kenapa hati ini masih mengharapkan kedatangannya karena mencari kami, lalu berlutut dan memohon agar kami bersatu lagi dalam pernikahan yang sakinah. "Mobil si Mamat sudah datang. Kalian berangkat sekarang sama Ibu, Nur. Bawa yang perlu-perlu saja nantinya. Lemari, springbed dan sofa gak usah dibawa. Rumah kita tidak akan muat," ujar Bapak. Aku membuang napas teratur, menata hati yang sempat berharap hujan turun di saat kemarau hati.Aku harus mengikhlaskan kalau memang jalan hidup kami sudah berbeda. Kami masih di dunia yang sama dengan hembusan angin yang mungkin tak jauh berbeda, tapi visi dan misi kami sudah berbeda. Itu sebabnya kami tidak tinggal seatap lagi. "Ayo, Nurul. Kenapa malah bengong?" sentak Ibu. Aku tersenyum hambar dan mengikuti Ibu, mengambil tas dan pamit ke Bapak mau rumah lama
"Ibu malu sama kamu, Nur. Sholat shubuh saja Ibu biasanya kesiangan. Malas bangun karena tidak ada yang buru-buru mau kemana. Padahal Ibu ini sudah bau tanah. Entah berapa tahun lagi kesempatan di dunia ini yang tersisa," celetuk Ibu dengan mata berembun. Aku tersenyum dan mengusap pundak wanita yang menganggapku sebagai putrinya. Beliau tidak segan mengakui kekurangannya, padahal saat berkunjung ke rumah kami dulu, Ibu sangat cepat bangun. Aku lah yang segan jadinya jika masih pulas di saat mertua sudah sibuk di dapur. "Maut tidak memandang usia maupun sehat, Bu. Banyak orang muda dan juga tidak punya penyakit yang tiba-tiba dipanggil menghadap Sang Pencipta. Nurul ini pernah hampir putus asa karena sakit yang tiada kunjung sembuh dan berharap kalau Allah mencabut nikmat hidup dari dunia ini. Tapi ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadi tidak ada kata terlambat, kita sama-sama memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Ibu juga jangan pernah bilang lagi ba
"Nurul, kan? Istrinya Yaqin?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat."Iya, Bu," balasku sambil menyunggingkan senyum. Aku tidak terlalu kenal dengan warga sini karena beberapa bulan setelah menikah, Bang Yaqin mengajakku tinggal di kontrakan sederhana sebelum akhirnya bisa membeli rumah. "Ibu dengar kamu lumpuh, sekarang udah sehat, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bu. Atas izin Allah.""Alhamdulillah. Ibu tinggal dulu, ya," pamitnya dengan seulas senyuman aneh sambil melihatku dari kepala sampai kaki."Kita masuk, Nur. Kamu tidak usah heran kalau orang sini sangat ingin tahu masalah tetangganya. Ada yang benar-benar peduli, tapi sebagian cuma mencari informasi untuk digosipkan. Bapak harap kamu bisa menyesuaikan diri," ujar Bapak.Aku mengangguk paham. Tidak jauh beda kehidupan masyarakat sini dengan tempat tinggalku, walaupun lebih dekat dengan kota.Aku menatap sekeliling, mencari keberadaan hewan berbulu dan bisa terbang itu. Setahuku, Bapak sangat hobi memelihara burung hingga tidak a