Setelah aku menyetujui usul Ibu, beberapa gadis pun diperkenalkan wanita yang menyayangiku itu. Mulai dari anak tetangga yang hidupnya kurang mampu, anak teman Ibu maupun wanita yang tak sengaja ketemu di jalan. Incaran Ibu adalah gadis miskin yang penyayang, janda yang mandul maupun perawan tua. Saat ketemu denganku, mereka memang tertarik. Namun saat kukenalkan istriku dan tiga anak kami, tak satupun yang mau. Mereka menuduhku mau memanfaatkan mereka. Memang tuduhan itu tidak sepenuhnya salah. Tidak baik seorang pengasuh tinggal di sini kalau istriku tidak sehat. Takut menjadi fitnah. Makanya aku harus menikah agar istri baru dan juga perawat anakku bisa tinggal seatap dengan kami. Rumit memang. apalagi aku tidak siap beristri dua. Tapi tiada pilihan lain. Aku sedang duduk di rumah makan dekat kantor dengan hati yang gundah. Tak pernah lagi aku makan bekal yang dimasak istriku. Semua makanan warung ini tak begitu cocok dengan lidah. Tapi tiada pilihan lain. Aku tidak mau merep
Sejak percakapan dengan Ibu sore itu, aku tetap bekerja seperti biasa. Tak pernah terbersit di pikiran tentang wanita bernama Nadia itu. Hingga suatu hari, saat libur, Ibu mengajakku bicara serius. "Qin, sesuai janji kamu hari itu, kamu harus bersedia menikah dengan Nadia. Ibu sudah melamarnya untukmu," ujar wanita paruh baya itu. Aku tersentak. Masih kurang percaya dengan apa yang kudengar. Dia seorag guru dan juga kepala PAUD, bersedia menjadi istri kedua dengan syarat harus mau mengurus tiga anak? Rasanya mustahil. "Ibu gak salah ucap, kan?" tanyaku."Ya enggak lah, Nak. Dia itu sangat penyayang sama anak-anak. Dia sering loh main ke sini, sepulang sekolah, tapi kamu masih kerja," jelas Ibu. Aku curiga kalau Ibu menceritakan hal-hal yang manis saja. Aku tidak mau kalau gadis itu merasa dimanfaatkan dan akhirnya menyesal. Aku tidak akan tahan kalau dia bersikap manja dan merengek mencari perhatianku, sementara hatiku tidak mencintainya. "Kalau begitu, aku ingin bertemu dengann
Hari ini aku pulang lebih cepat dari kantor dan sengaja mengajak Nurul duduk di ruang tamu untuk menunggu anak-anak kami kembali dari sekolah. Sekolah untuk anak pra sekolah dan merangkap tempat penitipan anak milik Nadia memang tutup jam 4.00. Beberapa wanita karir menitipkan anak mereka di sana dan akan menjemput sepulang kerja. Mereka lebih percaya menitipkan anak di lembaga resmi daripada sama pengasuh sendirian di rumah. Nadia juga memiliki kamar yang luas di sana, lengkap dengan fasilitas dapur juga sehingga anak-anak tidak bosan dan tetap bisa tidur sambil menunggui Nadia siap bertugas bersama tenaga pendidiknya yang berjumlah 10 orang. Soal makan pun, mereka bergantian memasak menu untuk para anak yang dititipkan. Jiwa penyayangnya pada anak-anak tidak pilih kasih sehingga tak pernah kudengar Pita atau Wandi mengeluhkan ibu tiri mereka.Mobil antar jemput milik yayasan Nadia berhenti di halaman dan mereka keluar dengan wajah ceria. Pintu yang terbuka lebar membuatku leluasa
Aku menghidupkan lampu, celingukan mencari keberadaan Nadia. Gak mungkin juga dia terjatuh dari ranjang besar ini. "Nad? Kamu di dalam?" tanyaku saat mendengar suara kran air di kamar mandi tamu. Tidak ada sahutan. Mungkin suara air membuat ucapanku tidak terdengar olehnya.Gegas aku bersiap mandi di kamar mandi yang terletak di kamar utama yang biasa kutempati dengan Nurul. Kulihat wajah teduh itu masih terlelap. Kuperbaiki selimutnya yang sedikit melorot dan mencium keningnya. Selesai mandi junub, aku bersiap menunaikan ibadah sholat shubuh dimesjid yang letak ya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya menangis di atas sajadah yang membuat hati lebih lega. Mengadukan semua ketentuan Allah yang menyesakkan dada. Makhluk lemah ini hanya bisa menjalani apa yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak peduli apakah orang menilaiku pria yang lemah karen itu memang benar adanya. Butiran hangat menggenangi netra diiringi lantunn kalam Allah. Kusempatkan membaca surah pendek sebelum menin
Aku memberikan minum untuk Nurul dengan canggung, lantas menaruh piring dan gelas yang baru kami gunakan ke dapur. Aku jadi serba salah, bergegas masuk ke kamar utama untuk bersiap berangkat ke kantor. Soal pakaian, kaus kaki, sepatu dan semua keperluanku ke kantor sudah disiapkan Nadia semuanya disertai catatan dimana benda-benda itu ia letakkan. Ia melakukan itu karena segan keluar masuk kamar utama. Ah, dia memang wanita yang baik. Tak sekali pun dia menghasud agar meninggalkan istriku, Nurul. Padahal di luaran sana banyak wanita yang dengan egois merampas seorang istri dari suaminya. Perasaan bersalah pada Nadia kembali menyusup, mengobrak-abrik perasaan yang terbungkus rapi untuk Nurulku seorang.Apakah saatnya aku membiasakan diri berlaku adil dengan perbuatan untuk kedua istriku, meski perasaan belum tentu bisa disesuaikan porsinya seperti yang diharapkan.Bismillah, aku harus bisa, karena ini memang jalan hidup yang harus kujalani. Aku mengambil tas kerja dan bergegas ke
"Jangan pernah katakan hal seperti itu, Dek. Abang ingin kamu cepat sembuh. Melihatmu sakit saja sudah membuat Abang kehilangan separuh semangat. Kamu mau membunuh Abang dengan bercerai saat raga masih menyatu dengan ruh? Bunuh saja Abang sekarang, Dek," sentak Bang Yaqin, meletakkan tanganku di lehernya.Ia menitikkan air mata di hadapanku gara-gara kalimat yang juga menyakitiku. Aku sama terlukanya karena memang cintaku semakin subur melihat kesabaran Bang Yaqin mengurus keluarga. Rumah tangga kami tidak seoleng yang kukira. Dia tetap bisa berpikir waras di saat keadaanku seperti ini. Aku sengaja mengatakan akan berpisah karena merasa sudah banyak hutang budi pada Nadia. Perlahan juga binar cinta mulai terlihat di netra suamiku. Jika aku sudah sembuh, berarti bisa beraktivitas tanpa membebani mereka lagi. Hampir setahun menjadi manusia tak berguna itu rasanya menyakitkan. Angan-angan banyak, tapi raga tak mampu melakukannya. Berbagai cita-cita yang sempat kami rencanakan tinggal
Selesai sarapan, aku tak melewatkan kesempatan untuk memeluk ketiga anakku. Seperti mau pergi jauh dalam waktu yang lama. Padahal aku akan pulang jika sudah sembuh dan semoga saja pengobatan ini cocok padaku. Aku tak sempat lagi bicara dengan Olin karena gadis itu seolah menjauh dariku. Dari wajahnya aku menduga kalau Olin seperti takut dengan salah satu anggota keluarga ini.Jika itu memang benar, aku akan menelponnya nanti saat dia sudah pulang ke rumahnya. Dia berhutang penjelasan padaku. "Baik-baik di sini, ya, Nak. Kamu harus bisa jaga adik-adikmu," ujarku, lalu mengecup kening putriku. "Iya, Ma. Mama cepat sembuh, ya," balasnya. Aku menggangguk, lantas memeluknya sekali lagi. Aku dan Bang Yaqin berangkat sekitar tengah delapan menuju tempat pengobatan yang dimaksud oleh bos suamiku. Menghabiskan sekitar dua jam perjalanan melewati jalan raya, lalu masuk lagi ke dalam. Jalannya sudah beraspal, tapi jarak rumah lumayan jauh-jauh. Mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat w
"Jangan suka mempengaruhi pikiran pasien, Pak Dokter! Dokter suka kalau seorang istri membenci suaminya? Kalau iya, berarti kamu tak lebih seperti saudara setan," cibirku. "Jangan terlalu tegang, Bu Nurul. Saya cuma bercanda. Gak mungkinlah suami Anda yang kelihatan baik itu tega berbuat jahat pada istri yang ia cintai," tepisnya dengan seulas senyum. Aku beristighfar. Betapa mudahnya aku terpengaruh dan sedikit curiga pada suami sendiri hanya karena ucapan orang yang baru kukenal ini. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dalam menjalani bahtera rumah tangga. Jika memang Bang Yaqin tidak mencintaiku lagi dan ingin melabuhkan cinta seutuhnya pada wanita lain, kenapa tidak dari dulu? Rasa curiga masih menguasai hati. Olin, Nadia ataupun suamiku pun memang berpotensi menjadi pelakunya. Atau bahkan ibu mertua yang sering menjengukku. Namun aku tak ingin langsung menuduh salah satu di antara mereka, apalagi suamiku sendiri. Dia bagai malaikat dalama hidupku. Berkat kemurahannhatinya,
Yaqin menautkan jemarinya yang dingin saat berkali-kali menghapal ijab qobul sebelum pengantin wanitanya datang."Kayak baru pertama kali mau ijab qobul aja, Mas. Keringatan gitu. Santai saja dong," ledek Pandi, calon suami sang pemilik panti. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yaqin yang ia dengar kabar pernah beristri dua. "Ini jauh lebih mendebarkan, Pan. Sebentar lagi kamu juga akan merasakan hal yang sama saat mau menikahi Isma," balas Yaqin. Pandi tersenyum dan melirik calon istrinya sekilas. Mereka ikut bahagia melihat kisah cinta yang tak biasa itu. Tak berapa lama, rombongan pengantin sudah datang. Sengaja tak menggelar acaranya di hotel agar anak-anak panti ikut menyaksikan acara bahagia itu. Pandi yang merupakan pengusaha sekaligus youtuber terkenal sudah menyiapkan tim untuk mengabadikan kisah mengharukan ini. Mengabarkan pada dunia bahwa pasangan ini layak disebut sebagai pecinta sejati. Kesalahpahaman yang sempat memisahkan, tapi kalau sudah ditakdirkan be
"Tidak usah dengarkan dia, Nurul. Jangan sampai hatimu merasa terpaksa mengiyakan keinginan anak ini. Dia pergi dan meninggalkan luka untuk kita semua. Sekarang Bapak adalah orang tuamu, jadi turuti perkataan Bapak," tegas pria yang memiliki andil menghadirkan aku ke dunia ini. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap menampilkan ketegasan di hadapan semua orang. Bapak, orang yang sangat membelamu sejak dulu. Sekarang beliau begitu marah kepadaku. "Kamu memang gak punya malu, ya, Qin. Baru pertama berjumpa setelah sekian tahun, kamu berani mengajaknya dalam kesusahan. Bikin malu saja. Orang mengajak bahagia saja, masih ada susahnya juga. Apalagi niatnya mau menyusahkan Nurul."Ibu pun ikutan bicara. Nurul masih saja bungkam. Jika memang dia menolakku, aku sudah siap. Aku hanya mengekspresikan rasa yang ada dalam hati ini. Aku butuh dia. Dia, wanita sempurna di hatiku dan selamanya akan begitu."Aku ingin tanya satu hal, boleh?" tanya Nurul. Aku mengangguk pasti. Mendengar suaranya saja s
"Iya, kami udah sampai, Nad, tapi belum ketemu sama orangnya," jelasku pada Nadia melaui sambungan telepon. "Hati-hati, ya, Mas. Aku merindukanmu. Kamu harus pulang ke rumah sebelum maghrib. Aku mau buatkan makanan spesial untukmu," balas wanita yang akrab disapa Bunda oleh anak-anakku. "Iya, Mas juga merindukanmu," bisikku, lalu menutup telpon. Takut kalau Nurul cemburu dan justru itu bisa memperngaruhi kesehatannya. Aku mau memutar badan saat ponselku bersering lagi, ada panggilan masuk dari bosku. Aku begitu antusias saat mendengar kabar gembira dari bos. "Baik, Pak. Makasih telah mempercayakan saya untuk proyek besar ini. Bapak memang orang baik, sangat peduli dengan karyawan biasa seperti saya. Saya akan segera ke sana," ujarku, mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan atasan. Berita ini sangat bagus karena aku memang butuh biaya banyak. Aku punya dua istri dan tiga anak yang merupakan tanggung jawabku. Aku tidak mau kalau Nadia terlalu banyak mengeluarkan uang untuk ke
"Ibu, Bapak, Puspita, Wandi, Dimas!" panggil Nurul membuat jantungku hampir copot. Belum usai keterkejutanku bertemu dengannya, yang lainnya juga ternyata ada di sini. Entah apa yang membawa mereka ke panti asuhan ini. Tergopoh-gopoh Ibu dan Bapak menyongsong wanita yang tetap cantik itu, sementara aku panik. Entah mau bersembunyi di mana.Detak jantungku berpacu lebih cepat, was-was seperti buronan yang tertangkap polisi. Peluh membasahi pelipis dan bajuku pun dibanjiri keringat. Aku ingin menghilang dari sini, tapi tak punya daya. Aku bukan Yaqin yang dulu. Aku tidak berdaya, hanya insan lemah yang akan menyusahkan orang-orang yang kusayang. "Ada apa, Nur? Kamu bikin kaget Bapak sama Ibu saja. Kamu baik-baik saja, kan, Nak?" tanya Ibu dengan raut cemas. Beliau masih cantik meskipun sudah menua. Perhatian beliau masih sama seperti dulu saat aku memperkenalkan Nurul sebagai calon menantu.Aku melirik dengan ekor mata dan terasa berkaca-kaca saat wanita yang melahirkanku begitu khaw
Aku menyajikan minuman dan kue untuk Ibu dan Bapak yang sedang mengobrol dengan bersuka cita bersama dokter Endru dan Bu Tyas.Sejak aku resmi bercerai, Ibu dan Bapak sangat bersemangat. Mereka semakin senang saat dokter Endru mengabarkan akan datang beberapa hari lagi. Aku gelisah hingga sekarang orang yang ditunggu mantan mertuaku telah ada di depan mata.Dokter Endru sesekali melirik padaku dan mengajak bicara Dimas. Sejak pria berkemeja garis-garis itu datang, ia begitu bahagia. Mungkin karena merindukan sosok seorang ayah yang perhatian, Puspita, Dimas dan Wandi antusias saat dibawakan bermacam mainan. Aku merasa seperti disogok melalui anak-anak. Aku berhutang budi pada mereka, tapi apakah aku harus berkorban perasaan? Pernikahan tidak sekadar hubungan sebulan dua bulan, melainkan seumur hidup. Tapi jika aku menolak, banyak hati yang kecewa. Aku bimbang. "Duduk di sini, Nak. Sejak tadi kamu pura-pura sibuk saja," ujar Ibu sambil mengulum senyum. Aku tersenyum hambar dan dudu
"Kalian tidak malu menangis di sini? Orang-orang yang lewat bisa heran melihat kelakuan kalian. Pita saja tahu kalau mau menangis itu bukan di ruang terbuka. Ayo kita nangis di dalam saja," ujar Bapak, menyusut sudut mata dengan telunjuk. Sindiran halus yang mengena ke hati. Aku melonggarkan pelukan di bahu Ibu mertuaku dan mengusap mata dengan kasar. Kenapa kami malah terlena dalam kesedihan? Putriku lagi butuh penjelasan. Aku bersegera masuk dan mengetuk pintu kamar putriku. Kulihat gadis kecil sainganku itu sedang telungkup di atas ranjangnya. "Sayang, kamu kenapa menangis sih?" tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus sebahu. Gadis berwajah manis itu duduk dan menghadapku. Dengan jempol kanannya, ia mengusap pipiku. "Ibu sama Nenek menangis gara-gara Pita, ya, Ma. Maafkan Pita telah nakal," ujarnya sambil mencium tanganku. Ah, putri solehaku. "Ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa bahagiain Pita," balasku. "Enggak, Bu. Pita janji tidak akan marah-marah l
Suara klakson mobil menjeda suasana keharuan yang menyelimuti keluarga kami. Bapak berdiri dan bergegas keluar. Aku tidak tahu siapa tamu yang datang. Apa mungkin itu Bang Yaqin? Entah kenapa hati ini masih mengharapkan kedatangannya karena mencari kami, lalu berlutut dan memohon agar kami bersatu lagi dalam pernikahan yang sakinah. "Mobil si Mamat sudah datang. Kalian berangkat sekarang sama Ibu, Nur. Bawa yang perlu-perlu saja nantinya. Lemari, springbed dan sofa gak usah dibawa. Rumah kita tidak akan muat," ujar Bapak. Aku membuang napas teratur, menata hati yang sempat berharap hujan turun di saat kemarau hati.Aku harus mengikhlaskan kalau memang jalan hidup kami sudah berbeda. Kami masih di dunia yang sama dengan hembusan angin yang mungkin tak jauh berbeda, tapi visi dan misi kami sudah berbeda. Itu sebabnya kami tidak tinggal seatap lagi. "Ayo, Nurul. Kenapa malah bengong?" sentak Ibu. Aku tersenyum hambar dan mengikuti Ibu, mengambil tas dan pamit ke Bapak mau rumah lama
"Ibu malu sama kamu, Nur. Sholat shubuh saja Ibu biasanya kesiangan. Malas bangun karena tidak ada yang buru-buru mau kemana. Padahal Ibu ini sudah bau tanah. Entah berapa tahun lagi kesempatan di dunia ini yang tersisa," celetuk Ibu dengan mata berembun. Aku tersenyum dan mengusap pundak wanita yang menganggapku sebagai putrinya. Beliau tidak segan mengakui kekurangannya, padahal saat berkunjung ke rumah kami dulu, Ibu sangat cepat bangun. Aku lah yang segan jadinya jika masih pulas di saat mertua sudah sibuk di dapur. "Maut tidak memandang usia maupun sehat, Bu. Banyak orang muda dan juga tidak punya penyakit yang tiba-tiba dipanggil menghadap Sang Pencipta. Nurul ini pernah hampir putus asa karena sakit yang tiada kunjung sembuh dan berharap kalau Allah mencabut nikmat hidup dari dunia ini. Tapi ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadi tidak ada kata terlambat, kita sama-sama memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Ibu juga jangan pernah bilang lagi ba
"Nurul, kan? Istrinya Yaqin?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat."Iya, Bu," balasku sambil menyunggingkan senyum. Aku tidak terlalu kenal dengan warga sini karena beberapa bulan setelah menikah, Bang Yaqin mengajakku tinggal di kontrakan sederhana sebelum akhirnya bisa membeli rumah. "Ibu dengar kamu lumpuh, sekarang udah sehat, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bu. Atas izin Allah.""Alhamdulillah. Ibu tinggal dulu, ya," pamitnya dengan seulas senyuman aneh sambil melihatku dari kepala sampai kaki."Kita masuk, Nur. Kamu tidak usah heran kalau orang sini sangat ingin tahu masalah tetangganya. Ada yang benar-benar peduli, tapi sebagian cuma mencari informasi untuk digosipkan. Bapak harap kamu bisa menyesuaikan diri," ujar Bapak.Aku mengangguk paham. Tidak jauh beda kehidupan masyarakat sini dengan tempat tinggalku, walaupun lebih dekat dengan kota.Aku menatap sekeliling, mencari keberadaan hewan berbulu dan bisa terbang itu. Setahuku, Bapak sangat hobi memelihara burung hingga tidak a