“Rudi udah buat surat undangan interview pak, rencananya akan di kirim hari ini via email.” Pandu yang sedang membaca laporan yang di berikan oleh Sam menganggukan kepala.
“Maira tau cara menggunakan email?” tanya laki-laki itu sangsi.
“Sudah saya ajari pak, terakhir itu Maira udah bisa tau tanda ada email masuk dan gimana cara membalasnya.” Pandu spontan mengangkat kepala, laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya.
“Kamu ngajarin Maira?” tanya Pandu sangsi, telunjuknya mengetuk-ngetuk resah. Laki-laki itu merasa terganggu dengan kenyataan Sam mengajari Maira tanpa sepengatahuannya.
“Kapan?”
“Baru-baru ini, tepatnya semenjak bapak kembali ke rumah utama.”
“Kamu enggak izin sama saya?”
“Eh?” Sam mendadak bingung, karena jelas beberapa waktu lalu Pandu memberi laki-laki dengan stelan rambut klimis itu in
Pandu duduk di ruang menonton sembari menopangkan dagunya pada jari-jarinya yang saling bertaut. Laki-laki itu sedang menunggu Maira yang sedang mencoba pakaian di dalam kamarnya. Laki-laki itu memaksa Maira untuk mengenakan beberapa pakaian yang beberapa waktu lalu ia belikan, Maira sempat menolak dan mereka berdebat tapi Pandu dengan sejuta akalnya berhasil memenangkan perdebatan.“Gimana?” Maira keluar, dengan mengenakan blouse berkancing putih polos dengan bawahan rok hitam di atas lutut. Blouse yang sedikit trasparan dan kancingnya masih belum sanggup menutupi belahan dada perempuan itu.“Bagus enggak pak?” Pandu sedkit tersentak, sesaat tadi pikirannya memang melayang entah kemana. Pandu dengan kurang ajarnya membayangkan Maira terbaring pasrah di atas meja kerjanya yang berantakan.“Ekhm, coba ganti yang lain.” Bibir Maira sedikit mengerucut maju, tapi perempuan itu tetap menuruti Pandu dengan mencoba pakaian yang lain.
Pandu sampai di rumahnya dan Ghiana saat hampir tengah malam, laki-laki itu sudah kehabisan akal untuk bertahan di rumah Maira tanpa membuat istri rahasiannya itu besar kepala. Pandu menyampirkan jas kerjanya di lengan sebelum membuka pintu kamarnya yang temaram.“Wah, kamu lagi ngerayain sesuatu Ghi?” tanya Pandu melihat Ghiana di kelilingi botol anggur, makeup di wajah perempuan itu berantakan.“Kamu melakukannya mas?” tanya Ghiana dengan suara serak?”“Melakukan?”“Kamu tidur sama pelayan sialan itu?” Pandu tersenyum miring sembari membuka kancing-kancing kemeja.“Gimana aku bisa nolak kan? Dia cukup cantik untuk sekedar jadi alat pelepas penat”“Mas!”“Jangan salahkan aku, kamu yang ngasih pelayan itu kesempatan untuk ngegoda suami kamu ini.”“Aku kirim dia bukan untuk kamu tiduri!”“Oh, ayolah Ghi. Ini bukan k
“Jadi lo enggak yakin bisa lolos?” Maira yang sedang menggigiti sedotan minumannya menganggukan kepala lemas, perempuan itu baru saja menyelesaikan wawancara kerjanya satu jam yang lalu dan sekarang sedang menikmati makan siangnya tanpa gairah bersama Sam.“Jangan pesimis lah, pasti lolos.” Ucap Sam sembari meringis lucu, Maira jelas akan lolos karena Pandu sendiri yang menjaminnya.“Susah banget ya sekedar mau jadi tukang bersih-bersih di kota.” Ratap Maira, perempuan itu sama sekali tidak keberatan dengan jabatan sebagai cleaning service yang di tawarkan Sam. Ia cukup tau diri, dengan latar belakang Pendidikan dan pengalamannya pekerjaan itu adalah pekerjaan terbaik yang bisa ia dapatkan untuk mencari uang tambahan.“Udah, enggak usah terlalu di pikirin. Kalau memang yang ini enggak dapet, nanti gue bantu cari kerjaan yang lain.” Maira kembali menganggukan kepala, perempuan itu mulai menyantap bakso malang di man
Pandu membatalkan niatnya untuk keluar, laki-laki itu kembali duduk di kursi kebesarannya sembari bertopang dagu. Pandu seolah baru saja menyadari sikap tidak biasanya di kantin karyawan tadi. Sebenarnya ia sedang melakukan peninjauan, dan kantin adalah tempat peninjauan terakhirnya. Biasanya Pandu hanya akan mengamati dari jauh, menunggu laporan dan kemudian pergi.Tapi kali ini sosok Maira yang sedang duduk berdua dengan asisten pribadinya membuat Pandu gerah, laki-laki itu bahkan tidak bisa mendengarkan laporan dari pengelola kantin dengan jelas. Pandu meninggalkan laki-laki tua itu dan langsung melangkah menghampiri Maira dan Sam di meja mereka.“Sialan.” Desis laki-laki itu sembari menggebrak meja, Maira benar-benar berhasil mengusiknya. Pandu yang mulai kelabakan karena merasa tidak lagi mengenal dirinya sendiri mulai mengambil tindakan, di tekannya interkom yang langsung tersambung ke meja Dara dengan cepat.“Dar, booking kamar di hotel
“Selamat pagi semua, saya Maira. Karyawan baru di divisi cleaning, mohon bantuannya.” Maira memperkenalkan diri kepada rekan-rekan kerjanya, hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Sore Corporation.“Oke Maira, selamat bergabung dan mari bekerja dengan baik.”“Siap pak!”“Oke, kalau gitu saya tinggal ya. selamat bekerja.” Maira langsung mendekati salah satu perempuan yang akan menjadi partnernya hari itu.“Siap-siap Mai, kita bakalan bersihin ruangan paling atas.”“Iya mba.” Maira mencoba tidak gugup ketika harus memasuki kotak besar yang di sebut lift oleh rekan kerjanya.“Kamu ini beneran baru dateng dari kampung ya?”“Hehehe iya mba.”“Ck, hati-hati loh Mai. Kalau kamu keliatan banget polosnya nanti sering di kibulin orang.”“Hehe iya mba, enggak akan gitu lagi.” Pintu lift ter
Sam menguap di depan lift yang akan membawanya ke lantai paling atas Sore Corporation, di sampingnya Dara juga melakukan hal yang sama. Selama dua bulan ini rutinitas pagi mereka menjadi lebih cepat karena Pandu mendadak menjadi sangat rajin datang ke kantor. Sebenarnya, jam kerja mereka di mulai pukul sembilan pagi, akan tetapi belakangan ini jam kerja karyawan Sore Corporation lebih maju satu jam yaitu pukul delapan pagi. Mengikuti Pandu yang memang biasanya sudah ada di ruangannya di waktu tersebut.“Sampe kapan tuhan, gue harus bangun jam empat dini hari untuk nyatok sama dandan terus berdiri di depan lift jam setengah delapan.” Dara menggerutu, sejak Pandu selalu datang lebih awal Sam dan Dara berusaha mengimbangi atasannya itu dengan datang lebih pagi juga.“Gue ngantuk!”“Berisik Dar.”“Lo tau, orang-orang sibuk ngegosip kalau pak Pandu jadi rajin dateng awal ke kantor gara-gara adik lo yang selalu ke bagia
“Hei.. kalian beneran ada di dalem sana?” Pandu mengernyit, suara bisik-bisik seorang perempuan terus saja menganggu tidurnya.“Eng, makan yang tadi gimana rasanya? Kalian suka?” Pandu menajamkan telinga, tangannya juga mulai meraba sekeliling kasur khusus penunggu pasien untuk mencari ponselnya. Begitu berhasil menemukannya Pandu langsung melihat jam, pukul 01.00.“Haah, baik-baik ya kalian di sana. Sehat-sehat, enggak perlu khawatirin apapun karena keluarga yang ngasuh kalian nanti orang baik. Mereka juga punya banyak uang, jadi kalian enggak perlu takut kelaparan atau takut hidup di kejar-kejar rentenir hehehe.” Hening, Pandu lagi-lagi mengernyit. Ia penasaran kenapa suara Maira tidak lagi terdengar.“Pak pandu?”“Astaga!” Pandu langsung melonjak kaget saat mendengar bisikan pelan di telinganya, sejak tadi ia memang tidur dengan posisi membelakangi Maira.“Kamu mau bikin saya jant
Manja Jelita Grup “Hot News!” Dara menambahkan banyak tanda seru untuk menarik perhatian anggota grup.“Apaan? Ada apa?”“Gue punya kabar baru, guys. Tapi kalau kalian mau denger, masing-masing transfer dulu ke rekening gue. Seratus ribu.”“Si kampret!”“Dar! lo ah.” Dara terkikik membaca gerutuan teman-temannya, tapi apa pedulinya. Hidup itu keras.“Noh udah gue transfer.”“Yang lain belum, berarti gue personal chat aja ke lo ya Ndo?”“Ih si kampret, nih gue transfer.”“Dar..dar.. tiati karma lo.”“Ck, mau gosip enggak? Kalau mau transfer, kalau enggak diem aja.” ketik Dara dengan kesal.“Udah gue transfer.” Dara memeriksa satu persatu jumlah penghuni grup dan juga saldo yang baru masuk ke rekeningnya, setelah di rasa sama perempuan itu mulai membagikan ceri
“Jadi ayah sama bunda mau menikah lagi?” Bima bertanya.“Bukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.”“Yeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.” Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.“Itu bunda yah.” Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.“Bunda cantik banget, kayak peri!” Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.“Bagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?”“Menurut kamu gimana Mai?”“Eng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.” Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.“Itu aja?” suara Pandu tiba-tiba saja serak.“Iya.”“Baik pak, kalau begit
“Bima, Rama. Ayah sama bunda kalian itu cerai ya?” Adi bertanya kepada si kembar yang saat itu sedang bermain di taman komplek.“Cerai itu apa?”“Duh, cerai itu enggak tinggal sama-sama lagi. Enggak menikah lagi gitu.” Si kembar mencoba mengingat-ingat. Pandu memang tidak pernah tidur di rumah selama ini, laki-laki hanya akan datang di pagi hari untuk ikut sarapan bersama. Siang sibuk di kantor, dan malamnya datang lagi untuk makan malam dan main bersama mereka setelah itu pergi ketika mereka sudah tidur.“Enggak tau, tapi nanti coba aku tanya.”“Kalau cerai, berarti nanti kalian bisa dapet bunda atau ayah baru loh.”“Eh, kenapa gitu?!” Bima berseru tidak suka.“Iya, papa Dyo kan dulu juga cerai terus enggak lama Dyo punya mama baru. Sekarang mamanya Dyo jadi dua.” Adi mendekatkan diri untuk bisa berbisik.“Tapi mama baru Dyo galak.” Bima d
Pandu mengelus dada, keadaan Bima tidak terlalu memprihatinkan. Dokter bilang anak itu tidak sadarkan diri karena mengalami syok dan bukan karena kondisi serius. Bima cukup beruntung kali ini karena air bag di kursi penumpang cukup melindunginya, selain itu mobil yang berlawanan dengan mobil Ghiana juga sempat banting stir. Tapi Ghiana, perempuan itu kritis.“Iya, Bima enggak apa-apa untungnya.” Pandu langsung mengabari Maira begitu urusannya dengan tim penyidik selesai.“Besok aja, hari ini biar aku yang jaga Bima di sini. Rama juga pasti masih syok kan. Aku janji akan kabarin kamu secepatnya kalau ada apa-apa.” laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyum mendengar suara Maira di seberang sana. Suara istrinya itu bersahutan dengan suara Rama yang cerewet menanyai keadaan saudaranya.“Oke, besok biar pak Udin jemput kamu sama Rama.” Laki-laki itu kemudian memutuskan sambungan telefon, setelah menitipkan anaknya kepada perawat
Maira membelai rambut Bima dengan perasaan haru, anak bungsunya itu sekarang kembali tertidur dengan nyaman di ranjang kamarnya yang sederhana. Perempuan itu kemudian menghela napas, mengingat kembali ke jadian beberapa jam yang lalu di rumah keluarga Sore.Maira kira ia terlambat, ia sudah khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bima. untungnya ke khawatirannya tidak terjadi, karena begitu memasuki rumah besar terdebut dengan paksa Maira melihat Bima sudah berada di dalam pelukan Pandu.“Bima, astaga. Kenapa nak?” Maira langsung mengambil anak itu cepat, di peluknya bocah laki-laki yang sebentar lagi akan berusia enam tahun itu dengan erat.“Din, bawa Maira dan anak-anak ke mobil. Tunggu saya di sana.”“Baik pak, Mari bu. Ikut saya dulu sebentar.” Maira sama sekali tidak membantah, ia tidak ingin terlibat dengan masalah rumah tangga Pandu karena yang terpenting baginya anak-anaknya aman.Maira tidak tau ber
“Bunda, kok Bima manggilnya mama ke tante Ghiana?” Rama bertanya sembari memakan makan siangnya, sudah satu bulan Bima sadar dari komanya. Dokter bilang, anak itu mengalami cidera kepala yang membuat Bima tidak bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya.“Kan tante Ghiana istri ayah juga, jadi memang bisa di panggi mama.”“Rama mau punya bunda aja, enggak mau ada mama.” Maira tersenyum miris, jika bisa memilih ia juga ingin anak-anaknya merasa cukup hanya dengan memilikinya.“Pa, ngapain di situ!” Bima berseru heboh begitu Pandu datang dan lansung mengecup kening Maira.“Sebentar ya mas, ayah kangen sama abang ini.”“Pa!”“Iya..iya..” banyak hal yang berubah dari diri Bima. ia tidak lagi mengingat Rama saudara kembarnya dan menolak memanggil Pandu dengan sebutan ayah. Ghiana bilang, Bima harus memanggil Pandu dengan sebutan papa.“Apa ka
Pandu berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Maira yang sejak tadi tidak bisa berhenti menangis. Perempuan itu di kabari oleh salah satu tetangganya soal kecelakaan yang menimpa Bima.“Bunda!” Rama langsung mengehambur, tangisnya pecah di dalam gendongan bundanya yang juga sama gemetarnya dengan anak itu.“Gimana bisa sampe kayak gini pak RT?” Pandu yang bertanya, karena Maira jelas masih tidak bisa mengontrol diri.“Saya cuma denger sekilas dari Adi pak Pandu, katanya ada perempuan yang ngaku-ngaku istrinya pak Pandu dateng terus nanyain rumah bu Maira. Terus Adi bilang kalau bu Maira pelakor, Bima mungkin enggak terima terus mereka berantem sampe ke jalan terus kejadian lah ini.”“Astaga..”“Terus gimana sama penabraknya?”“Maaf pak, tapi dia berhasil kabur.” Pandu mengumpat, ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki itu bersumpah akan menemukan keparat yang sudah me
Sam terus merutuki kebodohannya satu minggu yang lalu, hingga saat Ini ia bahkan tidak berani muncul di rumah Maira pun bekerja dan bertemu dengan Pandu. Jika bisa, Sam ingin mengambil cuti lebih banyak lagi. Sayangnya hari ini dia sudah harus mulai bekerja.“Saya tunggu surat pengunduran diri kamu, kalau kamu memang udah enggak lagi mau kerja sama saya Sam.” Pandu berkata dengan tenang, laki-laki itu masih sibuk memeriksa laporan yang Jia bawakan pagi tadi.“Kalau kamu mulai enggak bisa professional, lebih baik kamu berhenti sekarang. Saya masih bisa keluarin surat rekomdasi untuk semua performa baik kamu selama ini.” Pandu menutup laporannya untuk bisa menatap Sam dengan tajam.“Gimana?”“Akan saya pertimbangkan pak.”“Setelah itu jangan ganggu Maira dan anak-anak lagi Sam, kemaren saya masih nahan diri karena ada anak-anak. Tapi kalau kamu masih enggak tau batas, saya enggak akan segan-segan.
“Mau teh atau kopi?” Maira bertanya begitu Pandu keluar dari kamar anak-anaknya, perempuan itu seharian ini mengamati setiap interaksi Pandu dan juga anak-anaknya dalam diam.“Kopi aja, aku masih harus nyetir nanti.” Maira mengangguk, Pandu memang sudah meminta supir pribadinya untuk pergi siang tadi.“Kalau memang enggak kuat nyetir, bapak tidur di rumah samping aja.”“Aku kira kamu mau nawarin tidur di sini.”“Boleh, di ruang tamu tapi. Pake karpet.”“Tega.” Maira mengabaikan rengekan manja itu, ia berusaha fokus menjerang air panas untuk menyeduh kopi.“Maira..” Perempuan itu nyaris menumpahkan air di dalam panci kareng terkejut dengan pelukan Pandu yang tiba-tiba.“Ternyata, aku bukan cuma kangen sama anak-anak. Tapi sama kamu juga.”“Pak, apaan sih. Lepas ah.”“Kamu harus tau gimana hidup saya selama lim
Ini hari libur, sejak pagi Pandu sudah bersiap mengemas beberapa mainan dari kamar khusus untuk di bawa ke rumah Maira, laki-laki itu sudah bertekad untuk menjaga anak-anak dan juga Maira dengan baik. Untuk itu Pandu perlu menjadi lebih dekat dengan keluarganya itu.“Jia, kamu pesenin mainan yang gambarnya saya kirim tadi ya. Kirim ke alamat yang barusan saya kirim juga, saya enggak mau tau pokoknya kamu harus dapet mainannya.” tidak pernah ada hari libur bagi sekretari ataupun asisten pribadi Pandu, yah kecuali untuk Sam. Laki-laki itu sedang Pandu ungsikan ke jepang demi kelancaran proses pendekatannya dengan Maira dan anak-anaknya.“Din! Bantu saya bawa ini semua.”“Mau kamu bawa kemana ini barang-barang?” Ghiana muncul dari ujung pintu.“Ck, bukan urusan kamu. Udin! Mana sih itu orang, lama banget.”“Oh, karena mereka hidup jadi kamu mau ngasih ini semua ke mereka?” Ghiana bertanya den