“Bima, Rama. Ayah sama bunda kalian itu cerai ya?” Adi bertanya kepada si kembar yang saat itu sedang bermain di taman komplek.
“Cerai itu apa?”
“Duh, cerai itu enggak tinggal sama-sama lagi. Enggak menikah lagi gitu.” Si kembar mencoba mengingat-ingat. Pandu memang tidak pernah tidur di rumah selama ini, laki-laki hanya akan datang di pagi hari untuk ikut sarapan bersama. Siang sibuk di kantor, dan malamnya datang lagi untuk makan malam dan main bersama mereka setelah itu pergi ketika mereka sudah tidur.
“Enggak tau, tapi nanti coba aku tanya.”
“Kalau cerai, berarti nanti kalian bisa dapet bunda atau ayah baru loh.”
“Eh, kenapa gitu?!” Bima berseru tidak suka.
“Iya, papa Dyo kan dulu juga cerai terus enggak lama Dyo punya mama baru. Sekarang mamanya Dyo jadi dua.” Adi mendekatkan diri untuk bisa berbisik.
“Tapi mama baru Dyo galak.” Bima d
āJadi ayah sama bunda mau menikah lagi?ā Bima bertanya.āBukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.āāYeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.ā Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.āItu bunda yah.ā Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.āBunda cantik banget, kayak peri!ā Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.āBagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?āāMenurut kamu gimana Mai?āāEng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.ā Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.āItu aja?ā suara Pandu tiba-tiba saja serak.āIya.āāBaik pak, kalau begit
“Kamu yakin?” Tanya Pandu sambil membolak balik koran yang sedang di bacanya.“Yakin, perempuan ini bersih. Dia baru aja dateng dari kampung.”“Aku tau kamu itu cemburuan, kamu yakin?”“Mas Pandu kan enggak perlu sering-sering ketemu dia, cukup datengin dia di masa subur abis itu udah. Kita tunggu beberapa bulan kemudian dia hamil atau enggak, aku enggak akan cemburu kalau begitu.”“Hmmm.”“Mas, kamu mau kan? Ini demi keluarga kita, aku tuh udah cape banget tau enggak di tanyain macem-macem.” Pandu tersenyum tipis mendengar perkataan istrinya.Ghiana Van Sore, perempuan yang di nikahi Pandu lima tahun lalu sangat tidak mau kalah dan benci di komentari. Telinganya panas ketika orang-orang yang bertatus lebih rendah dari keluarga Sore mengatainya mandul walau kemungkinan memang benar begitu keadaannya. “Mas?”“Terserah Ghi, kepu
“Jadi kamu udah tau kan tugas dan peran kamu sebagai istri saya itu apa?” Pandu bertanya saat mereka berada dalam perjalanan mengantarkan istri barunya ke komplek perumahan sederhana di pinggiran kota. Ghiana bilang perumahan itu adalah lokasi yang cocok untuk menyembunyikan keberadaan Maira, gadis desa yang baru saja di nikahi Pandu beberapa saat yang lalu.“Udah pak. Saya Cuma perlu kasih satu penerus untuk keluarga bapak, abis itu saya dapet uang. Iya kan?”“Hmm, kamu enggak keberatan?”“Maksudnya?”“Kalau kamu melahirkan anak saya nanti, kamu enggak akan penah bisa ngeliat anak itu. Karena dia akan menjadi milik saya dan Ghiana. Kamu siap?”“Saya siap pak. Sejak awal ibu Ghiana udah ngasih tau saya soal itu dan saya enggak merasa keberatan.” Jawab Maira setelah diam beberapa saat.“Apa yang Ghiana janjiin untuk kamu?”“Sawah di kampung sama s
Maira menghela napas, perempuan desa itu memutuskan untuk berkeliling sebentar. Mengagumi betapa kokoh dan dan indahnya rumah satu lantai yang di berikan keluarga Sore kepadanya. Maira sekali lagi menghela nafas, setelah itu membawa tas lusuhnya ke dalam kamar.“Bagus.” gumamnya tanpa sadar, perempuan itu menatap benda kotak panjang berwarna putih. Pandu bilang itu pendingin ruangan. Maira mencoba mengingat-ingat hal-hal yang di ajarkan Pandu kepadanya sebelum laki-laki itu pergi beberapa saat yang lalu.“Eh, loh kok ini dingin banget?.” Maira yang panik memencet remot AC di tanganya dengan sembarangan, hal itu rupanya justru membuat suhu di kamar itu menjadi semakin dingin.“Duh enggak tau ah! Mainan orang kaya ribet banget ternyata.” Maira menggigil karena sama sekali tidak terbiasa dengan suhu pendingin ruangan di kamarnya, perempuan itu membereskan barang bawaannya yang tidak seberapa dengan cepat.“Haaah, kay
“Langsung pulang pak?” Tanya supir keluar Sore kepada tuannya, Pandu sudah akan mengiyakan tapi kemudian laki-laki itu mengingat janjinya dengan Maira kemarin.“Ke Griya Pesona dulu Din, saya ada janji sama Maira.”“Baik pak.”Pandu menyandarkan tubuhnya yang lelah, jas kerjanya sudah tidak lagi laki-laki itu kenakan. Pandu hanya mengenakan kemeja berwarna biru dongker yang dua kancing atasnya sudah di buka, rambutnya tidak lagi klimis karena laki-laki itu langsung mengacak tatanan rambutnya begitu sampai di dalam mobil.Pandu turun dari mobilnya yang terpakir tepat di bawah pohon mangga tidak jauh dari lapangan kecil. Laki-laki itu berjalan, walau sesekali merasa tidak nyaman karena sekolompok ibu-ibu yang sepertinya terus meliriknya dari tadi.“Baru pulang mas?”“Oh, iya.”“Suaminya mba Maira kerjanya bagus ya? mobilnya bagus, orangnya juga bagus.”
“Kamu sekarang keliatan kayak gembel yang baru ketemu sama makanan tau enggak.” Maira meneguk air di dalam gelasnya sebentar sebelum menjawab kalimat sarkas yang di berikan oleh Pandu.“Saya memang baru ketemu sama makanan kok, walau bukan gembel. Tapi mantan gembel.” Lagi, maira menyendokan mie aneh yang ternyata rasanya sangat enak di lidah perempuan desa itu.“Lagian ya pak, saya enggak akan makan kayak gini kalau bapak enggak ngabisin makanan di rumah saya.”Pandu pura-pura tidak mendengar gerutuan Maira, laki-laki itu memilih memainkan ponselnya yang sebenarnya sama sekali tidak menarik untuk di lihat. Pandu memang sedikit kalap saat di rumah Maira tadi, niatnya hanya sekedar menuntaskan rasa penasaran dengan masakan Maira yang kelihatan sangat aneh di matanya. Sayangnya cita rasa dari masakan yang belum pernah di cobanya itu membuat Pandu sedikit kehilangan kendali, akhirnya tanpa sadar Pandu menghabiskan s
Ghiana menatap komplek sederhana yang sore hari ini kelihatan sangat ramai dari balik kacamata hitam yang di kenakannya, nyonya keluarga Sore itu menjadi pusat perhatian karena gaya dan juga parasnya yang sangat mencolok. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu masih tampak modis dengan atasan crop top kemben model ruched tanpa tali berwarna putih, dan bawahan celana cotton berwarna hitam panjang.“Cari siapa bu?” Ghiana membuka kacamatanya, memperhatikan ibu-ibu tambun yang juga terang-terangan menilai penampilannya.“Maira, saya nyari dia.”“Oh mba Maira, penganten baru itu ya? ibu saudara suaminya?”“Suami?”“Iya, suaminya mba Maira. Dia orang kaya, ibu juga keliatan kaya. Jadi ibu ini siapanya suami mba Maira?” Lagi si ibu tambun memperhatikan penampilan Ghiana dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Ibu kenal suami Maira?”“Loh i
Pandu menyesap red wine di tangannya dengan senyum terkulum, laki-laki itu mendapatkan laporan dari orang kepercayaannya kalau hari ini Ghiana datang menemui Maira, Istri pertamanya itu jelas mengetahui kegiatan Pandu dan Maira kemarin malam dan Ghiana jelas sangat tidak menyukainya.“Mas, kamu udah pulang?” Ghiana terkejut mendapati Pandu ada di dalam kamar mereka, ini baru pukul tujuh malam. Biasanya Pandu baru akan memasuki kamar mereka di tengah malam atau dini hari.“Dari mana Ghi?” Pandu bertanya sembari memutar gelasnya pelan, Ghiana yang menolak terintimidasi melipat tangan di depan dada. Jelas menantang suaminya.“Aku abis kasih peringatan sama istri ke dua kamu.”“Pft! Kenapa, kamu merasa terancam sekarang?”“Mas!”“Kenapa sayang?”“Aku minta kamu nikahin dia, bukan untuk berbagi kasih sayang. Kita cuma butuh dia ngelahirin calon penerus u
āJadi ayah sama bunda mau menikah lagi?ā Bima bertanya.āBukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.āāYeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.ā Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.āItu bunda yah.ā Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.āBunda cantik banget, kayak peri!ā Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.āBagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?āāMenurut kamu gimana Mai?āāEng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.ā Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.āItu aja?ā suara Pandu tiba-tiba saja serak.āIya.āāBaik pak, kalau begit
“Bima, Rama. Ayah sama bunda kalian itu cerai ya?” Adi bertanya kepada si kembar yang saat itu sedang bermain di taman komplek.“Cerai itu apa?”“Duh, cerai itu enggak tinggal sama-sama lagi. Enggak menikah lagi gitu.” Si kembar mencoba mengingat-ingat. Pandu memang tidak pernah tidur di rumah selama ini, laki-laki hanya akan datang di pagi hari untuk ikut sarapan bersama. Siang sibuk di kantor, dan malamnya datang lagi untuk makan malam dan main bersama mereka setelah itu pergi ketika mereka sudah tidur.“Enggak tau, tapi nanti coba aku tanya.”“Kalau cerai, berarti nanti kalian bisa dapet bunda atau ayah baru loh.”“Eh, kenapa gitu?!” Bima berseru tidak suka.“Iya, papa Dyo kan dulu juga cerai terus enggak lama Dyo punya mama baru. Sekarang mamanya Dyo jadi dua.” Adi mendekatkan diri untuk bisa berbisik.“Tapi mama baru Dyo galak.” Bima d
Pandu mengelus dada, keadaan Bima tidak terlalu memprihatinkan. Dokter bilang anak itu tidak sadarkan diri karena mengalami syok dan bukan karena kondisi serius. Bima cukup beruntung kali ini karena air bag di kursi penumpang cukup melindunginya, selain itu mobil yang berlawanan dengan mobil Ghiana juga sempat banting stir. Tapi Ghiana, perempuan itu kritis.“Iya, Bima enggak apa-apa untungnya.” Pandu langsung mengabari Maira begitu urusannya dengan tim penyidik selesai.“Besok aja, hari ini biar aku yang jaga Bima di sini. Rama juga pasti masih syok kan. Aku janji akan kabarin kamu secepatnya kalau ada apa-apa.” laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyum mendengar suara Maira di seberang sana. Suara istrinya itu bersahutan dengan suara Rama yang cerewet menanyai keadaan saudaranya.“Oke, besok biar pak Udin jemput kamu sama Rama.” Laki-laki itu kemudian memutuskan sambungan telefon, setelah menitipkan anaknya kepada perawat
Maira membelai rambut Bima dengan perasaan haru, anak bungsunya itu sekarang kembali tertidur dengan nyaman di ranjang kamarnya yang sederhana. Perempuan itu kemudian menghela napas, mengingat kembali ke jadian beberapa jam yang lalu di rumah keluarga Sore.Maira kira ia terlambat, ia sudah khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bima. untungnya ke khawatirannya tidak terjadi, karena begitu memasuki rumah besar terdebut dengan paksa Maira melihat Bima sudah berada di dalam pelukan Pandu.“Bima, astaga. Kenapa nak?” Maira langsung mengambil anak itu cepat, di peluknya bocah laki-laki yang sebentar lagi akan berusia enam tahun itu dengan erat.“Din, bawa Maira dan anak-anak ke mobil. Tunggu saya di sana.”“Baik pak, Mari bu. Ikut saya dulu sebentar.” Maira sama sekali tidak membantah, ia tidak ingin terlibat dengan masalah rumah tangga Pandu karena yang terpenting baginya anak-anaknya aman.Maira tidak tau ber
“Bunda, kok Bima manggilnya mama ke tante Ghiana?” Rama bertanya sembari memakan makan siangnya, sudah satu bulan Bima sadar dari komanya. Dokter bilang, anak itu mengalami cidera kepala yang membuat Bima tidak bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya.“Kan tante Ghiana istri ayah juga, jadi memang bisa di panggi mama.”“Rama mau punya bunda aja, enggak mau ada mama.” Maira tersenyum miris, jika bisa memilih ia juga ingin anak-anaknya merasa cukup hanya dengan memilikinya.“Pa, ngapain di situ!” Bima berseru heboh begitu Pandu datang dan lansung mengecup kening Maira.“Sebentar ya mas, ayah kangen sama abang ini.”“Pa!”“Iya..iya..” banyak hal yang berubah dari diri Bima. ia tidak lagi mengingat Rama saudara kembarnya dan menolak memanggil Pandu dengan sebutan ayah. Ghiana bilang, Bima harus memanggil Pandu dengan sebutan papa.“Apa ka
Pandu berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Maira yang sejak tadi tidak bisa berhenti menangis. Perempuan itu di kabari oleh salah satu tetangganya soal kecelakaan yang menimpa Bima.“Bunda!” Rama langsung mengehambur, tangisnya pecah di dalam gendongan bundanya yang juga sama gemetarnya dengan anak itu.“Gimana bisa sampe kayak gini pak RT?” Pandu yang bertanya, karena Maira jelas masih tidak bisa mengontrol diri.“Saya cuma denger sekilas dari Adi pak Pandu, katanya ada perempuan yang ngaku-ngaku istrinya pak Pandu dateng terus nanyain rumah bu Maira. Terus Adi bilang kalau bu Maira pelakor, Bima mungkin enggak terima terus mereka berantem sampe ke jalan terus kejadian lah ini.”“Astaga..”“Terus gimana sama penabraknya?”“Maaf pak, tapi dia berhasil kabur.” Pandu mengumpat, ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki itu bersumpah akan menemukan keparat yang sudah me
Sam terus merutuki kebodohannya satu minggu yang lalu, hingga saat Ini ia bahkan tidak berani muncul di rumah Maira pun bekerja dan bertemu dengan Pandu. Jika bisa, Sam ingin mengambil cuti lebih banyak lagi. Sayangnya hari ini dia sudah harus mulai bekerja.“Saya tunggu surat pengunduran diri kamu, kalau kamu memang udah enggak lagi mau kerja sama saya Sam.” Pandu berkata dengan tenang, laki-laki itu masih sibuk memeriksa laporan yang Jia bawakan pagi tadi.“Kalau kamu mulai enggak bisa professional, lebih baik kamu berhenti sekarang. Saya masih bisa keluarin surat rekomdasi untuk semua performa baik kamu selama ini.” Pandu menutup laporannya untuk bisa menatap Sam dengan tajam.“Gimana?”“Akan saya pertimbangkan pak.”“Setelah itu jangan ganggu Maira dan anak-anak lagi Sam, kemaren saya masih nahan diri karena ada anak-anak. Tapi kalau kamu masih enggak tau batas, saya enggak akan segan-segan.
“Mau teh atau kopi?” Maira bertanya begitu Pandu keluar dari kamar anak-anaknya, perempuan itu seharian ini mengamati setiap interaksi Pandu dan juga anak-anaknya dalam diam.“Kopi aja, aku masih harus nyetir nanti.” Maira mengangguk, Pandu memang sudah meminta supir pribadinya untuk pergi siang tadi.“Kalau memang enggak kuat nyetir, bapak tidur di rumah samping aja.”“Aku kira kamu mau nawarin tidur di sini.”“Boleh, di ruang tamu tapi. Pake karpet.”“Tega.” Maira mengabaikan rengekan manja itu, ia berusaha fokus menjerang air panas untuk menyeduh kopi.“Maira..” Perempuan itu nyaris menumpahkan air di dalam panci kareng terkejut dengan pelukan Pandu yang tiba-tiba.“Ternyata, aku bukan cuma kangen sama anak-anak. Tapi sama kamu juga.”“Pak, apaan sih. Lepas ah.”“Kamu harus tau gimana hidup saya selama lim
Ini hari libur, sejak pagi Pandu sudah bersiap mengemas beberapa mainan dari kamar khusus untuk di bawa ke rumah Maira, laki-laki itu sudah bertekad untuk menjaga anak-anak dan juga Maira dengan baik. Untuk itu Pandu perlu menjadi lebih dekat dengan keluarganya itu.“Jia, kamu pesenin mainan yang gambarnya saya kirim tadi ya. Kirim ke alamat yang barusan saya kirim juga, saya enggak mau tau pokoknya kamu harus dapet mainannya.” tidak pernah ada hari libur bagi sekretari ataupun asisten pribadi Pandu, yah kecuali untuk Sam. Laki-laki itu sedang Pandu ungsikan ke jepang demi kelancaran proses pendekatannya dengan Maira dan anak-anaknya.“Din! Bantu saya bawa ini semua.”“Mau kamu bawa kemana ini barang-barang?” Ghiana muncul dari ujung pintu.“Ck, bukan urusan kamu. Udin! Mana sih itu orang, lama banget.”“Oh, karena mereka hidup jadi kamu mau ngasih ini semua ke mereka?” Ghiana bertanya den