Manja Jelita Grup
“Hot News!” Dara menambahkan banyak tanda seru untuk menarik perhatian anggota grup.
“Apaan? Ada apa?”
“Gue punya kabar baru, guys. Tapi kalau kalian mau denger, masing-masing transfer dulu ke rekening gue. Seratus ribu.”
“Si kampret!”
“Dar! lo ah.” Dara terkikik membaca gerutuan teman-temannya, tapi apa pedulinya. Hidup itu keras.
“Noh udah gue transfer.”
“Yang lain belum, berarti gue personal chat aja ke lo ya Ndo?”
“Ih si kampret, nih gue transfer.”
“Dar..dar.. tiati karma lo.”
“Ck, mau gosip enggak? Kalau mau transfer, kalau enggak diem aja.” ketik Dara dengan kesal.
“Udah gue transfer.” Dara memeriksa satu persatu jumlah penghuni grup dan juga saldo yang baru masuk ke rekeningnya, setelah di rasa sama perempuan itu mulai membagikan ceri
“Mai! Ada titipan paket nih, buat lo.” Salah satu rekan kerjanya mengacungkan sebuah bungkusan makanan, Maira kembali bekerja setelah satu bulan beristirahat dengan total di rumah sakit dan satu minggu tambahan di rumahnya.“Loh, tapi aku enggak pesen makanan.”“Tuh, ada catetannya. Di liat aja, siapa tau gebetan baru lo. Hahaha.” Maira selalu mendapat ledekan seperti itu sejak kembali bekerja, terlebih lagi sejak ia tidak lagi pernah di minta membersihkan ruangan Pandu seperti dulu.“Jadi Maira ada main sama pak Pandu itu beneran ya?”“Kayaknya, buktinya sekarang dia udah enggak pernah lagi di minta ngebersihin lantai atas kan semenjak ibu Ghiana hamil.”“Duh, kasian. Langsung di buang gitu ya?”“Harus hati-hati nih, siapa tau Maira abis ini cari target baru.”“Bener, duh enggak nyangka ya. Waktu pertama dateng polos banget, enggak taunya doyan
“Maira! Astaga, akhirnya kamu sadar juga.” Sam langsung menekan tombol pemanggil perawat di samping ranjang perempuan itu.“Sam.. pak Pandu?”“Nanti ya, biar dokter pastiin keadaan kamu dulu.”“Tapi..”“Nanti Maira, biar dokter periksa kamu dulu.” Maira tidak lagi membantah, terlebih tidak beberapa lama kemudian dokter datang dan menanyainya beberapa hal.“Bu Maira kurangin setresnya ya, jangan banyak pikiran. Kasian si bayi, untung kali ini enggak sampe pendarahan loh.” Ucap si dokter sembari sibuk dengan catatannya.“Masnya ini?”“Saya asisten suaminya ibu Maira dok, pak Pandu masih di jalan.”“Oh, oke. kalau gitu nanti di sampaikan aja ke suaminya ya kalau istrinya ini enggak boleh banyak pikiran, terus pola makannya di perhatikannya. Berat si ibu terlalu kurus soalnya, saya khawatir itu nanti bisa berpengaruh buruk untuk si
Taman belakang rumah keluarga Sore kembali ramai, kali ini ada banyak dekorasi yang di pasang. Ghiana sedang mengadakan baby shower untuk merayakan kehamilannya yang sudah mencapai usia tujuh bulan.“Ya ampun seneng deh ngeliat kamu sehat gini Ghi.”“Iya, semenjak hamil tuh jadi makin glowing gitu kan guys?”“Iya bener, apa sih rahasia?” Ghiana hanya tersenyum, perempuan itu sama sekali tidak peduli sekalipun ucapan teman-temannya itu hanya sebuah basa basi belaka.“Rahasianya? Kasih sayang suami.” Meja itu langsung di penuhi suara cekikikan para perempuan yang gemas setelah mendengar bisikan Ghiana.“Ngomong-ngomong Ghi, aku kemaren-kemarin liat mobil Pandu deh di perumahan Griya Pesona.”“Griya pesona?”“Iya, salah satu pengasuh anak aku rumahnya di sana. Dia sakit terus Ares rewel pengen nengok.”“Ngapain Ghi Pandu ke perumahan
Pandu membuka satu pintu kamar khusus yang ia buat lima tahun lalu atas saran dokter kejiwaan, selama lima tahun ini pandu memang menjadi langganan salah satu dokter pskiatri tebaik di kotanya. Ia menyerah, karena setiap malam selalu di hantui oleh bayangan anak-anak yang menangis dan bertanya kenapa mereka tidak bisa hidup. Kamar yang di masuki Pandu sangat luas meski sudah di sekat menjadi tiga bagian dengan menggunakan beberapa tema sebagai pembatas.“Ini untuk princessnya ayah, lucukan? Bajunya mirip Elsa.” Pandu sedang menata barang-barang di area yang bertemakan princess.“Liat, ayah juga beli sepatu kaca. Mirip cinderella, tapi ketemu pangerannya nanti aja ya. Kalau udah besar. Hahaha.” Pandu menutup pintu lemari dan berjalan ke area bertemakan astronot.“Kalau ini untuk jagoan ayah, buzz lightyear.” Pandu bersorak sembari mengangkat tingg-tinggi kostum yang di bawanya.“Oh ayah juga beli woody, untuk adek.
Sam memegang kamera, mengarahkannya kepada si kembar yang dengan semangat sedang berebut membuka kado di damping oleh Maira yang membantu membacakan nama pemberi kado.“Oh, ini dari bude Mira. Nanti telefon bude ya, bilang makasih.” Bima langsung mengambil ponsel bundanya dan meminta Maira menelfon adik ibunya itu.“Bude Ra!” si kebar berseru heboh, Sam yang masih sibuk merekam hanya bisa tertawa.“Ya ampun yang lagi ulang tahun kayaknya seneng banget ya.“Bude, makasih kadonya.”“Iya, sayang. Semoga suka ya.”“Suka bude, kata bunda nanti bisa di pake kalau udah masuk TK” Maira mengelus kepala anak-anaknya dengan sayang, hubungannya dengan keluarganya di kampung membaik saat ia pulang beberapa tahun lalu. Meski ibunya masih menanggapinya dengan dingin, setidaknya Maira tau kalau perempuan yang sudah melahirkannya itu menyayangi cucunya. Sayangnya, ibu Maira meninggal enam bula
Ghiana turun dari mobilnya dan memasuki rumah salah satu temannya, Nat yang sedang merayakan ulang tahun anak ke tiganya. Di sampingnya sang supir sembawa satu bungkusan besar, hadiah untuk si empunya acara.“Oh liat siapa yang udah dateng, aunty Ghiana.” Nat melambaikan tangan balita yang masih berusia dua tahun kepadanya.“Hai Gio, selamat ulang tahun ya.”“Makasih aunty, oh liat. Astaga, besar sekali kadonya.” Seolah mengerti, balita yang ada di dalam dekapan ibunya itu juga melonjak kegirangan.“Thank you loh Ghi, udah mau dateng. Apa lagi hadiahnya ini wah, besar banget.”“It’s ok, ini bukan apa-apa.”“Ghiana! Ya ampun.” Ghiana tersenyum menyambut pelukan dari teman-temannya, ini memang pertemuan pertama mereka setelah tragedy lima tahun lalu. Ghiana memilih mengurung diri, tidak berani menanggung malu karena keguguran.“Sasa, bilang halo ke aunty
“Bunda, Rama main ya.”“Bima juga!” Pandu melihat ke dua anak kembar yang menyebut diri mereka sebagai Rama dan Bima mengeluarkan mainan mobil-mobilan yang di lihatnya di dalam foto dengan tidak sabaran. Anak-anak itu dengan antusias bergabung bersama anak-anak komplek lainnya di lapangan yang tidak jauh dari rumah mereka.“Om Sam!”“Om Sam, bawa ice cream?” Pandu mengepalkan tangan geram begitu melihat asisten pribadinya itu merendahkan tubuh dan bersiap menerima pelukan dari anak-anaknya yang ia kira sudah mati.“Bawa dong, kan hari ini abang sama mas udah jadi anak baik.”“Aku, aku tadi bantu bunda beresin kamar om.”“Rama bantu bunda cuci piring.”“Pintarnya, nanti makan ice creamnya di dalem ya.”“Oke!” Sam menunggu anak-anak itu memakirkan mobil-mobilan mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Asisten pribadinya itu benar-benar kelihatan sangat sudah terbiasa berada di sekitar anak-anaknya.“Sialan!” Udin sama sekali tidak ber
Pandu duduk di ruang makan rumah Maira dengan canggung, di hadapannya Bima dan Rama terus saja memberikan tatapan sebal yang justru membuat Pandu merasa gemas alih-alih ketakutan.“Bunda, abang mau ayam!” Pandu menghentikan gerakan tangannya yang ingin mengambil ayam goreng dari mangkuk.“Bunda, mau tempe! Mau tempe.” Kali ini Bima yang merengek, lagi-lagi Pandu mengurungkan uluran tangannya yang hendak mengambil tempe karena anak-anaknya merengek tidak sabaran.“Bunda -"“Abang, itu piringnya udah penuh. Di habiskan dulu baru ambil lauk lain kalau kurang ya. Mas Bima juga.” Sela Maira ketika anak-anaknya kembali akan menghalangi Pandu mengambil lauk makan malam.“Enggak boleh iseng begitu ah, sekarang makan yang bener ya. Sayang lauknya.” Sam mengucapkan kalimat itu sembari mengusap-usap kepala anak-anak, Pandu meringis iri. Ia juga ingin bisa seakrab itu dengan Rama dan Bima.“Udah abis, boleh minta ice cream bunda?”“Boleh, sebentar ya bu
“Jadi ayah sama bunda mau menikah lagi?” Bima bertanya.“Bukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.”“Yeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.” Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.“Itu bunda yah.” Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.“Bunda cantik banget, kayak peri!” Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.“Bagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?”“Menurut kamu gimana Mai?”“Eng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.” Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.“Itu aja?” suara Pandu tiba-tiba saja serak.“Iya.”“Baik pak, kalau begit
“Bima, Rama. Ayah sama bunda kalian itu cerai ya?” Adi bertanya kepada si kembar yang saat itu sedang bermain di taman komplek.“Cerai itu apa?”“Duh, cerai itu enggak tinggal sama-sama lagi. Enggak menikah lagi gitu.” Si kembar mencoba mengingat-ingat. Pandu memang tidak pernah tidur di rumah selama ini, laki-laki hanya akan datang di pagi hari untuk ikut sarapan bersama. Siang sibuk di kantor, dan malamnya datang lagi untuk makan malam dan main bersama mereka setelah itu pergi ketika mereka sudah tidur.“Enggak tau, tapi nanti coba aku tanya.”“Kalau cerai, berarti nanti kalian bisa dapet bunda atau ayah baru loh.”“Eh, kenapa gitu?!” Bima berseru tidak suka.“Iya, papa Dyo kan dulu juga cerai terus enggak lama Dyo punya mama baru. Sekarang mamanya Dyo jadi dua.” Adi mendekatkan diri untuk bisa berbisik.“Tapi mama baru Dyo galak.” Bima d
Pandu mengelus dada, keadaan Bima tidak terlalu memprihatinkan. Dokter bilang anak itu tidak sadarkan diri karena mengalami syok dan bukan karena kondisi serius. Bima cukup beruntung kali ini karena air bag di kursi penumpang cukup melindunginya, selain itu mobil yang berlawanan dengan mobil Ghiana juga sempat banting stir. Tapi Ghiana, perempuan itu kritis.“Iya, Bima enggak apa-apa untungnya.” Pandu langsung mengabari Maira begitu urusannya dengan tim penyidik selesai.“Besok aja, hari ini biar aku yang jaga Bima di sini. Rama juga pasti masih syok kan. Aku janji akan kabarin kamu secepatnya kalau ada apa-apa.” laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyum mendengar suara Maira di seberang sana. Suara istrinya itu bersahutan dengan suara Rama yang cerewet menanyai keadaan saudaranya.“Oke, besok biar pak Udin jemput kamu sama Rama.” Laki-laki itu kemudian memutuskan sambungan telefon, setelah menitipkan anaknya kepada perawat
Maira membelai rambut Bima dengan perasaan haru, anak bungsunya itu sekarang kembali tertidur dengan nyaman di ranjang kamarnya yang sederhana. Perempuan itu kemudian menghela napas, mengingat kembali ke jadian beberapa jam yang lalu di rumah keluarga Sore.Maira kira ia terlambat, ia sudah khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bima. untungnya ke khawatirannya tidak terjadi, karena begitu memasuki rumah besar terdebut dengan paksa Maira melihat Bima sudah berada di dalam pelukan Pandu.“Bima, astaga. Kenapa nak?” Maira langsung mengambil anak itu cepat, di peluknya bocah laki-laki yang sebentar lagi akan berusia enam tahun itu dengan erat.“Din, bawa Maira dan anak-anak ke mobil. Tunggu saya di sana.”“Baik pak, Mari bu. Ikut saya dulu sebentar.” Maira sama sekali tidak membantah, ia tidak ingin terlibat dengan masalah rumah tangga Pandu karena yang terpenting baginya anak-anaknya aman.Maira tidak tau ber
“Bunda, kok Bima manggilnya mama ke tante Ghiana?” Rama bertanya sembari memakan makan siangnya, sudah satu bulan Bima sadar dari komanya. Dokter bilang, anak itu mengalami cidera kepala yang membuat Bima tidak bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya.“Kan tante Ghiana istri ayah juga, jadi memang bisa di panggi mama.”“Rama mau punya bunda aja, enggak mau ada mama.” Maira tersenyum miris, jika bisa memilih ia juga ingin anak-anaknya merasa cukup hanya dengan memilikinya.“Pa, ngapain di situ!” Bima berseru heboh begitu Pandu datang dan lansung mengecup kening Maira.“Sebentar ya mas, ayah kangen sama abang ini.”“Pa!”“Iya..iya..” banyak hal yang berubah dari diri Bima. ia tidak lagi mengingat Rama saudara kembarnya dan menolak memanggil Pandu dengan sebutan ayah. Ghiana bilang, Bima harus memanggil Pandu dengan sebutan papa.“Apa ka
Pandu berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Maira yang sejak tadi tidak bisa berhenti menangis. Perempuan itu di kabari oleh salah satu tetangganya soal kecelakaan yang menimpa Bima.“Bunda!” Rama langsung mengehambur, tangisnya pecah di dalam gendongan bundanya yang juga sama gemetarnya dengan anak itu.“Gimana bisa sampe kayak gini pak RT?” Pandu yang bertanya, karena Maira jelas masih tidak bisa mengontrol diri.“Saya cuma denger sekilas dari Adi pak Pandu, katanya ada perempuan yang ngaku-ngaku istrinya pak Pandu dateng terus nanyain rumah bu Maira. Terus Adi bilang kalau bu Maira pelakor, Bima mungkin enggak terima terus mereka berantem sampe ke jalan terus kejadian lah ini.”“Astaga..”“Terus gimana sama penabraknya?”“Maaf pak, tapi dia berhasil kabur.” Pandu mengumpat, ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki itu bersumpah akan menemukan keparat yang sudah me
Sam terus merutuki kebodohannya satu minggu yang lalu, hingga saat Ini ia bahkan tidak berani muncul di rumah Maira pun bekerja dan bertemu dengan Pandu. Jika bisa, Sam ingin mengambil cuti lebih banyak lagi. Sayangnya hari ini dia sudah harus mulai bekerja.“Saya tunggu surat pengunduran diri kamu, kalau kamu memang udah enggak lagi mau kerja sama saya Sam.” Pandu berkata dengan tenang, laki-laki itu masih sibuk memeriksa laporan yang Jia bawakan pagi tadi.“Kalau kamu mulai enggak bisa professional, lebih baik kamu berhenti sekarang. Saya masih bisa keluarin surat rekomdasi untuk semua performa baik kamu selama ini.” Pandu menutup laporannya untuk bisa menatap Sam dengan tajam.“Gimana?”“Akan saya pertimbangkan pak.”“Setelah itu jangan ganggu Maira dan anak-anak lagi Sam, kemaren saya masih nahan diri karena ada anak-anak. Tapi kalau kamu masih enggak tau batas, saya enggak akan segan-segan.
“Mau teh atau kopi?” Maira bertanya begitu Pandu keluar dari kamar anak-anaknya, perempuan itu seharian ini mengamati setiap interaksi Pandu dan juga anak-anaknya dalam diam.“Kopi aja, aku masih harus nyetir nanti.” Maira mengangguk, Pandu memang sudah meminta supir pribadinya untuk pergi siang tadi.“Kalau memang enggak kuat nyetir, bapak tidur di rumah samping aja.”“Aku kira kamu mau nawarin tidur di sini.”“Boleh, di ruang tamu tapi. Pake karpet.”“Tega.” Maira mengabaikan rengekan manja itu, ia berusaha fokus menjerang air panas untuk menyeduh kopi.“Maira..” Perempuan itu nyaris menumpahkan air di dalam panci kareng terkejut dengan pelukan Pandu yang tiba-tiba.“Ternyata, aku bukan cuma kangen sama anak-anak. Tapi sama kamu juga.”“Pak, apaan sih. Lepas ah.”“Kamu harus tau gimana hidup saya selama lim
Ini hari libur, sejak pagi Pandu sudah bersiap mengemas beberapa mainan dari kamar khusus untuk di bawa ke rumah Maira, laki-laki itu sudah bertekad untuk menjaga anak-anak dan juga Maira dengan baik. Untuk itu Pandu perlu menjadi lebih dekat dengan keluarganya itu.“Jia, kamu pesenin mainan yang gambarnya saya kirim tadi ya. Kirim ke alamat yang barusan saya kirim juga, saya enggak mau tau pokoknya kamu harus dapet mainannya.” tidak pernah ada hari libur bagi sekretari ataupun asisten pribadi Pandu, yah kecuali untuk Sam. Laki-laki itu sedang Pandu ungsikan ke jepang demi kelancaran proses pendekatannya dengan Maira dan anak-anaknya.“Din! Bantu saya bawa ini semua.”“Mau kamu bawa kemana ini barang-barang?” Ghiana muncul dari ujung pintu.“Ck, bukan urusan kamu. Udin! Mana sih itu orang, lama banget.”“Oh, karena mereka hidup jadi kamu mau ngasih ini semua ke mereka?” Ghiana bertanya den