Aku duduk di samping Lulu yang menggendong Najwa. Aku berusaha sebaik mungkin agar tak terlihat canggung. Kami terlihat lucu bukan? Aku berharap kisah baiknya hubunganku dengan Bang Adnan juga Lulu bisa membukakan pintu hati kalian yang sedang di landa kebencian dengan mantan suami atau mantan madu.Tak ada lagi yang perlu kita permasalahkan sekarang. Aku memiliki kehidupan yang lebih baik setelah disakiti. Kebencian? Aku juga sama seperti kalian berusaha sekuat hatiku mencoba menerima semuanya.Dari balik gerbang terlihat Bang Fatur dan Zafran keluar dengan tawa yang begitu lepas. Bang Fatur membawa dua koper milik Zafran, di ikuti Zafran yang membawa tas besar. Aku tersenyum menyambut mereka berdua. Tidak begitu dengan Bang Adnan, dia hanya terdiam memandangi pemandangan di depannya.Cemburu jelas terlihat di wajahnya. Apa boleh buat, Zafran belum membuka hatinya. Luka yang Bang Adnan beri untuknya begitu besar. Ia adalah ayah yang harusnya memberi perhatian, nafkah dan cinta saat
Zain, Zafran dan juga Bang Fatur masih di ruang shalat membaca Al-Qur'an bersama. Hatiku terasa tentram melihat mereka semua."Ibu!!"Aku dan Ana sama-sama terkejut mendengar teriakkan Mbak Bella dari kamar ibu.Mas Hamdan yang sedang bermain dengan Najwa, berlari sambil menggendong Najwa menuju ke kamar ibu. Aku dan Ana pun mengikutinya."Ada apa, Mbak?"Aku masih di depan pintu. Mbak Bella memeluk ibu dengan air mata terurai deras di pipinya.Aku mendekati mereka, jantungku berdetak cukup kuat. Kulihat ibu di pelukan Mbak Bella masih menggunakan mukenah dengan mata tertutup dan senyum menghiasi wajahnya yang sudah keriput.Seketika tangisku pecah saat kusentuh tangan ibu tak ada lagi denyut nadi. Baru beberapa saat ia meminta teh dan Mbak Bella mengantar teh buatanku. Kini ia sudah meninggalkanku."Ibu."Mas Hamdan memeluk tubuh ibu. Aku hanya bisa termenung, apakah semalam kata-kata perpisahan dari ibu dan mengumpulkan kami semua."Ada apa, Umi?"Zain bertanya dari balik pintu.Aku
LIMA TAHUN KEMUDIAN"Aku akan mengkhitbah Nadira, Umi."Zafran dengan tegas mengatakan keinginannya saat kami sedang makan malam bersama.Aku menatap wajahnya, dan kemudian tersenyum. "Siapa Nadira, Nak?""Dia gadis yang kutemui saat di Mekkah, sudah sejak pertama aku menaruh hati padanya," ucap Zafran lirih."Baiklah, Jika kamu bersungguh-sungguh. Abi dan Umi hanya bisa mendukungmu, Zafran," ucap Bang Fatur mengusap halus pundak Zafran."Tapi, aku gak ingin Abi Adnan datang, Umi, Abi."Zafran menatap aku dan Bang Fatur bergantian.Aku sedikit kaget mendengar ucapan Zafran. Sudah lama sekali ia tak membahas Bang Adnan."Zafran, Bagaimanapun ia tetap harus tahu."Bang Fatur mencoba menasehati Zafran."Untuk apa dia harus tahu, Abi? Aku bahkan tak pernah meminta biaya hidup kepadanya. Dia dulu tak pernah membiayai sepeserpun hingga aku mendapat gelar ini. Biarkan ia dan anak-anaknya dengan istrinya sekarang," ucap Zafran lagi."Zafran!"Aku sedikit membentaknya. Namun, Bang Fatur memega
Sesuai keinginan Zafran pernikahannya dengan Nadira hanya dihadiri keluarga inti, tanpa Bang Adnan dan tanpa resepsi. Setelah dua tahun pernikahan Zafran Bang Adnan menemuiku di restoran Zain, Ia tak bersama Lulu.Aku menggandeng Najwa menemuinya, Najwa baru pulang dari sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan hendak membawa ke tempat Zafran.Sudah tujuh tahun aku tak mendapat kabar tentang Bang Adnan. tiba-tiba ia mengajakku untuk bertemu."Ada apa, Bang. langsung saja," ucapku setelah duduk di depannya."Kenapa tak kabari Abang tentang pernikahan Zafran?""Aku hanya memenuhi keinginan Zafran," ucapku datar."Apa Zafran begitu membenci Abang?"Bang Adnan bertanya penuh dengan penekanan."Goresan luka di hatinya begitu dalam, Bang. Jejak digital akan selalu terungkap. Aku sudah berusaha sebaik mungkin menasehatinya. Namun, ia memiliki sifat yang sangat keras kepala," ungkapku berusaha menjelaskan dengan sehalus mungkin. Aku tak ingin ia mengira aku menjauhkan Zafran atau Zain dari Abi k
Pak Ahmad dan Bu Aysah datang setelah kami hubungi untuk menjaga Nadira. Mereka baru saja pulang beberapa jam yang lalu dan bergantian dengan kami menemani Zafran dan Nadira.Kami saling berpelukan melepaskan kesedihan yang begitu mendalam. Bang Fatur bersama Zafran mengurus segala administrasi sebelum jenazah Farhan kami bawa pulang.Setelah semuanya selesai, Kami segera membawa Farhan pulang ke rumah Zafran. Kami sengaja memberikan rumah sendiri untuk menghindari zinah karena Nadira dan Bang Fatur bukan muhrim.Bu Aysah masih menunggu Nadira di rumah sakit, ia begitu syok sehingga mengalami kontraksi dini dan harus di rawat.Sampai di rumah Zafran sudah ada Zain dan Ana yang menyiapkan segala keperluannya.Zain memeluk Zafran. "Abang," ucap Zafran lirih. Air mata terus mengalir di pipinya."Sudah takdir Allah, Zafran. Kamu harus kuat menerima ujian. Bukankah ujian adalah cara Allah meningkatkan derajat manusia di hadapannya."Zain masih memeluk Zafran."Kenapa takdirku begitu menya
Kepiluan kehilangan Farhan beberapa bulan lalu membuat Zafran susah sekali kembali seperti saat ini. Ia lebih sering murung dan mengunci diri di kamar.Aku tahu apa yang ia rasakan, kesedihan itu tak dapat ia sembunyikan. Aku dan Bang Fatur berusaha terus menghibur Nadira dan Zafran.Pak Ahmad dan Bu Aysah juga sering di rumah Zafran untuk membantu Nadira. Kehamilannya begitu lemah. Ia sering mengalami kontraksi dini dan harus bolak-balik kontrol. Kadang aku dan Bu Aysah bergantian menemani mereka. Tak ingin mereka kembali dalam sebuah kekelaman.Malam itu saat hujan deras, aku mendapat telpon dari Zafran. Nadira mengalami kontraksi hebat dan segera dilarikan ke rumah sakit.Kami tak tahu pukul berapa tepatnya. Aku menggoncang lembut tubuh Bang Fatur."Abang, Ayo bangun.""Ada apa, Dik." Bang Fatur mengerjapkan mata, terbangun dengan cepat "Sepertinya Nadira mau melahirkan, Bang. Ayo cepat."Aku mengambil hijab dan beberapa keperluan lainnya. Kusiapkan baju untuk Bang Fatur. Bang Fa
Aku mengikuti Zain yang berjalan cepat menarik tanganku dengan wajah tegang. "Dokter mengatakan jika kemungkinan bahwa penyakit anak-anak Zafran karena hubungan sedarah."Aku memegang dadaku yang tiba-tiba sesak mendengar ucapan Zain."Apa? Zain, jangan bercanda.""Benar Umi, mungkinkah—"Zain belum selesai berucap aku sudah menarik tangannya, membawa ia keluar segera.Kuhampiri Zafran yang terduduk menutup wajahnya dengan kedua tangan."Zafran, panggilkan ayah dan ibumu. Bisakah kita berbicara bersama? Umi tunggu di depan," ucapku.Aku mempercepat langkah menuju halaman depan. Air mata sudah tak dapat lagi kutahan. Aku duduk di bawah pohon menangis meratapi nasib anakku Zafran. Meskipun belum seratus persen bahwa Nadira adalah putri Bang Adnan, tetapi hatiku sudah tak enak memikirkannya."Umi, Tenanglah. Kita serahkan semuanya kepada Allah." Zain memelukku."Apa yang harus Umi katakan pada Zafran, Zain. Bahkan ia masih sakit hati kepada Abi kalian," ucapku dengan tangis pilu."Zafra
"Nadira adikku?"Zafran berdiri di belakang kami entah sejak kapan.Bang Adnan terus memohon maaf kepadanya. Dada bergemuruh hebat menahan emosi yang sudah membara sejak tadi. Segera kutepis rasa emosi dan lebih mengutamakan Zafran yang berdiri syok di depan pintu.Aku memeluknya yang masih berlinang air mata.Ia menjauh dariku. Matanya memerah dengan emosi yang menguasai otaknya."Argh... Beginilah cara Tuhan menghukumku karena kesalahan kalian." Zain menunjukkan jari telunjuknya kepadaku dan Bang Adnan.Hatiku terasa mati, sakit dan sangat sakit. Namun, aku tak bisa menyalahkan Zafran. Ini memang salah kami sebagai orang tua. Andai dulu perasaan lebih di korbankan dan menerima Lulu akankah ini semua tidak terjadi.Bang Adnan menangis bersimpuh di bawah kaki Zafran. Zafran tak mempedulikannya ia terus saja mengumpat kepada Bang Adnan. Hingga ia tak tahan lagi dan pergi meninggalkan kami.Tubuhku luruh ke lantai. Bagaimana bisa takdir mempermainkan kami dengan begitu pilu. Karma apa
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera