"Ya Allah, semoga engkau memberikan adik bayi di perut ibu, aku pernah mendengar ibu meminta dedek bayi, kabulkan doanya, ya Allah. Agar ibu lebih bahagia dan tidak sering menangis, aamiin."Aku melihat Hamdan tengah selesai shalat maqrib dan sedang berdo'a, tak terasa butiran air mataku menetes begitu saja. Alhamdulillah aku mendapat seorang malaikat yang berhati baik pikirku, tak rugi aku selalu mendisiplinkannya dan mengajari untuk selalu shalat tepat waktu."Hamdan sayang, ayo makan malam, Nak.""Iya, Ibu."Hamdan mengikutiku menuju dapur, di sana sudah ada Mas Andra yang menunggu kami.Hamdan tumbuh dengan cepat, dia tumbuh menjadi pemuda yang jujur, pandai dan penurut Mas Andre sangat menyayanginya, setelah lulus dari Luar Negri Mas Andra meminta Hamdan mengembangkan anak perusahaanya. Hamdan lulus lebih cepat karena memang otaknya ber IQ tinggi.Saat itu umurku sudah tak muda lagi, tetapi wajahku masih awet muda karena memang aku merawatnya demi Mas Andra. Aku belum dikaruniai
Lamunanku tentang Hamdan hilang bersama dengan tepukan halus di pundakku."Ada apa, Bu? Kenapa melamun?""Tidak apa-apa, Yah. Aku hanya teringat masa kecil Hamdan, sekarang ia sudah tumbuh dewasa padahal seperti baru kemarin aku melihatnya berdoa meminta adik bayi""Sudahlah, Bu. Jangan pikirkan apapun. Ayo istirahat besok kita akan berangkat pagi."Mas Andra merebahkan badannya di sampingku Aku memeluknya erat takut kehilangan dirinya, itu yang aku rasakan sekarang.....Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan rencana Hamdan yang hendak mencelakai kami kemarin.Aku mengirimkan pesan kepada tangan kanan suamiku untuk mengikuti kami ketika kami pergi ke rumah ibu."Baiklah Hamdan ibu akan mengikuti permainanmu."Aku menyiapkan segala keperluan kami, mas Andra memasukannya kedalam bagasi mobil, sementara Kinan sedang asyik bermain dengan simbok."Sudah siap, Bu? Ayo berangkat?""Ayo, Yah."Hatiku berdebar dengan kencang ketika mobil sudah mulai dijalankan oleh Mas Andra. Sepanjang per
"Hamdan, bawa mereka ke panti jompo. Jangan suruh Ibu sama Bapak mengurusnya," ucap Laras sedikit merajuk manja."Aku tak akan membawa mereka ke mana pun!" seru Hamdan menolak."Apa maksudmu, Hamdan? Siapa yang akan mengurus mereka.""Ya, jelas Bu Laras lah. Aku harus bekerja mengurus perusahaan.""Apa! Suruh istrimu!" Laras tak mau kalah."Tidak bisa dia sedang hamil."Dari balik pintu aku mendengar percakapan antara Laras dengan Hamdan. Hamdan meninggalkan Laras yang masih mengomel.Seharian aku dan Mas Andra dikurung di dalam kamar, bahkan makanan dan obat tak mereka sediakan. Hamdan sudah pulang ke rumahnya, aku tak melihat atau mendengar suara Laras atau Pak Broto, apa mungkin mereka sedang pergi.Hari sudah sore, aku dan Mas Hamdan belum makan sesuap nasi pun. Tadi pagi Hamdan hanya memberi kami roti dan susu. Aku kasihan melihat Mas Andra. Aku berniat pergi ke dapur untuk mencari makanan dan obatnya."Mas, aku akan ambilkan makanan dan obatmu."Mas Andra mengangguk.Aku mengend
Aku mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk mengawasi Hamdan serta kematian adikku beserta keluarganya. Hingga aku tau dari cucu Nenek Amah yang biasa datang membersihkan Mas Andra bilang ia pernah melihat Pak Broto merusak rem mobil Rona hingga terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian Rona serta suami dan anaknya.Aku meminta cucu nenek amahmengawasi Hamdan."Nyonya, den Hamdan menyewa banyak orang, Dia juga mencari Pak Broto dan Bu Laras ."Lalu bagaimana hasilnya?""Belum ada yang bertemu, Nyonya.""Awasi terus dia."Hingga entah berapa tahun kami mencari Alfin tetapi belum ketemu, sampai suatu ketika Hamdan mengantarku ke makam Mas Andra. Ya, suamiku telah meninggal satu tahun yang lalu. Mas Andra memintaku memaafkan Hamdan dari sebuah surat yang ia tinggalkan.Makam Mas Andra berada di Jawa dekat dengan makam ibunya. Hamdan melihat Alfin tengah dikeroyok preman, ia berlari mengejarnya."Alfin!"Hamdan menyeret Alfin dari preman-preman tersebut, tetapi para preman justru
"Kamu itu hanya akan menjadi anjing suruhannya, tapi kamu hanya mendapat sebuah tulang. Kamu tak akan dapat apa-apa, Hamdan," ujar Bu Laras."Benar yang ibumu katakan, Hamdan." Ayah ikut membenarkan ucapan Bu Laras."Hamdan, kamu jangan bodoh! Apa kamu pikir jika Kinan sudah dewasa dia tidak akan menendangmu dari keluarga Rosela? Apalagi jika ia memiliki suami yang tak sepadan, dia pasti akan menghasut Kinan untuk menendangmu dari keluarganya dan kamu tak akan dapat apa-apa."Ibu Laras terus menasehatiku, aku yang mulai was-was dengan posisiku berfikir mungkin ada benarnya omongan Bu Laras ibu tiriku itu."Tapi mana mungkin, Bu? Kinan masih kecil.""Apa kamu tak ingat jika dulu Kinan baru lahir Pak Andra mengatakan Kinan adalah ahli waris satu-satunya.""Bagaimana Ibu bisa tahu?" tanyaku heran."Dulu Bapak dan Ibu memeriksakan kakakmu Hani yang tengah mengandung. Ibu tak sengaja mendengarnya dari balik pintu, dari situlah Ibu tahu bahwa itu kamu dan meminta bapak untuk bertemu denganm
"Lalu bagaimana dengan Mas Hamdan dan kedua orang tuanya, Bu?" tanyaku."Hamdan masih koma di rumah sakit, sementara Pak Broto dan Bu Laras, mereka menjadi buronan polisi.""Aku pikir Ibu sudah tiada atau melupakanku."Air Mataku kembali menetes. Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan kehidupan layaknya anak-anak lain tetapi tak aku dapatkan."Bagaimana Ibu bisa melupakanmu Kinan, Ibu rela melakukan apapun untuk melindungimu."Ibu mengecup pucuk kepalaku."Dimana suamimu, Nak?""Aku seorang diri, Bu.""Apa maksudmu, Kinan?""Aku bercerai, suamiku diam-diam menikah dengan wanita lain karena ibunya memaksa.""Astagfirullah, Bagaimana seorang Ibu bisa menghancurkan rumah tangga anaknya?""Di mata ibunya harta yang utama, Bu. Meskipun aku sudah memiliki segalanya ia lebih menginginkan Bang Adnan menikah dengan wanita janda kaya. Aku hanya orang miskin, bodoh dan tak mengenal sekolah."Ibu memelukku, air matanya jatuh membasahi pipi yang sudah banyak kerutan."Maafkan Ibu, Kinan, karena Ibu
"Lalu bagaimana dengan Mas Hamdan dan kedua orang tuanya, Bu?" tanyaku."Hamdan masih koma di rumah sakit, sementara Pak Broto dan Bu Laras, mereka menjadi buronan polisi.""Aku pikir Ibu sudah tiada atau melupakanku."Air Mataku kembali menetes. Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan kehidupan layaknya anak-anak lain tetapi tak aku dapatkan."Bagaimana Ibu bisa melupakanmu Kinan, Ibu rela melakukan apapun untuk melindungimu."Ibu mengecup pucuk kepalaku."Dimana suamimu, Nak?""Aku seorang diri, Bu.""Apa maksudmu, Kinan?""Aku bercerai, suamiku diam-diam menikah dengan wanita lain karena ibunya memaksa.""Astagfirullah, Bagaimana seorang Ibu bisa menghancurkan rumah tangga anaknya?""Di mata ibunya harta yang utama, Bu. Meskipun aku sudah memiliki segalanya ia lebih menginginkan Bang Adnan menikah dengan wanita janda kaya. Aku hanya orang miskin, bodoh dan tak mengenal sekolah."Ibu memelukku, air matanya jatuh membasahi pipi yang sudah banyak kerutan."Maafkan Ibu, Kinan, karena Ibu
"Ibu," lirihku menohon, tetapi ibu justru tersenyum kepadaku."Biarkan dia tahu, Kinan. Dia sudah besar dan saatnya dia mengetahui.""Umi, ayo jawab pertanyaan Zafran, benarkah dia Abiku?"Zafran memegang tanganku dan menggoyang-goyangkan menanti jawabanku."Iya, Zafran. Dia Abinya Zafran," jawabku."Sini, Sayang. Abi rindu. Abi ingin memeluk Zafran."Aku mengalihkan pandangan, tak kuasa menahan air mata yang tak dapat kuajak bekerja sama.Zafran memeluk Bang Adnan, kulihat Bang Adnan menangis memeluk Zafran."Kenapa Abi lama sekali kerjanya?" "Maafkan Abi, Zafran.""Ayahnya Hanifa bekerja tetapi ia selalu video call, kenapa Abi tak pernah menelpon Zafran?" ucapnya polos.Bang Adnan kembali memeluk Zafran dengan erat."Maafkan Abi, Zafran. Maafkan Abi tak pernah berani menemuimu karena malu.""Kenapa Abi malu?""Tidak apa-apa, yang penting sekarang Abi sudah bersama Zafran.""Kenapa Umi dan Abi menangis? Apa Abi dan Umi tak bahagia saling bertemu?"Zafran andai kamu sudah paham tenta
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera