"Lalu bagaimana dengan Mas Hamdan dan kedua orang tuanya, Bu?" tanyaku."Hamdan masih koma di rumah sakit, sementara Pak Broto dan Bu Laras, mereka menjadi buronan polisi.""Aku pikir Ibu sudah tiada atau melupakanku."Air Mataku kembali menetes. Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan kehidupan layaknya anak-anak lain tetapi tak aku dapatkan."Bagaimana Ibu bisa melupakanmu Kinan, Ibu rela melakukan apapun untuk melindungimu."Ibu mengecup pucuk kepalaku."Dimana suamimu, Nak?""Aku seorang diri, Bu.""Apa maksudmu, Kinan?""Aku bercerai, suamiku diam-diam menikah dengan wanita lain karena ibunya memaksa.""Astagfirullah, Bagaimana seorang Ibu bisa menghancurkan rumah tangga anaknya?""Di mata ibunya harta yang utama, Bu. Meskipun aku sudah memiliki segalanya ia lebih menginginkan Bang Adnan menikah dengan wanita janda kaya. Aku hanya orang miskin, bodoh dan tak mengenal sekolah."Ibu memelukku, air matanya jatuh membasahi pipi yang sudah banyak kerutan."Maafkan Ibu, Kinan, karena Ibu
"Lalu bagaimana dengan Mas Hamdan dan kedua orang tuanya, Bu?" tanyaku."Hamdan masih koma di rumah sakit, sementara Pak Broto dan Bu Laras, mereka menjadi buronan polisi.""Aku pikir Ibu sudah tiada atau melupakanku."Air Mataku kembali menetes. Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan kehidupan layaknya anak-anak lain tetapi tak aku dapatkan."Bagaimana Ibu bisa melupakanmu Kinan, Ibu rela melakukan apapun untuk melindungimu."Ibu mengecup pucuk kepalaku."Dimana suamimu, Nak?""Aku seorang diri, Bu.""Apa maksudmu, Kinan?""Aku bercerai, suamiku diam-diam menikah dengan wanita lain karena ibunya memaksa.""Astagfirullah, Bagaimana seorang Ibu bisa menghancurkan rumah tangga anaknya?""Di mata ibunya harta yang utama, Bu. Meskipun aku sudah memiliki segalanya ia lebih menginginkan Bang Adnan menikah dengan wanita janda kaya. Aku hanya orang miskin, bodoh dan tak mengenal sekolah."Ibu memelukku, air matanya jatuh membasahi pipi yang sudah banyak kerutan."Maafkan Ibu, Kinan, karena Ibu
"Ibu," lirihku menohon, tetapi ibu justru tersenyum kepadaku."Biarkan dia tahu, Kinan. Dia sudah besar dan saatnya dia mengetahui.""Umi, ayo jawab pertanyaan Zafran, benarkah dia Abiku?"Zafran memegang tanganku dan menggoyang-goyangkan menanti jawabanku."Iya, Zafran. Dia Abinya Zafran," jawabku."Sini, Sayang. Abi rindu. Abi ingin memeluk Zafran."Aku mengalihkan pandangan, tak kuasa menahan air mata yang tak dapat kuajak bekerja sama.Zafran memeluk Bang Adnan, kulihat Bang Adnan menangis memeluk Zafran."Kenapa Abi lama sekali kerjanya?" "Maafkan Abi, Zafran.""Ayahnya Hanifa bekerja tetapi ia selalu video call, kenapa Abi tak pernah menelpon Zafran?" ucapnya polos.Bang Adnan kembali memeluk Zafran dengan erat."Maafkan Abi, Zafran. Maafkan Abi tak pernah berani menemuimu karena malu.""Kenapa Abi malu?""Tidak apa-apa, yang penting sekarang Abi sudah bersama Zafran.""Kenapa Umi dan Abi menangis? Apa Abi dan Umi tak bahagia saling bertemu?"Zafran andai kamu sudah paham tenta
"Mbak terimakasih sudah merawat anakku hingga menjadi wanita yang Sholeh dan baik," ucap ibu kepada Bunda Salamah."Dia sudah aku anggap seperti anak sendiri Bu Rosa, aku bersyukur sekarang Kinan sudah bertemu kembali dengan orang tuanya."Aku membawakan nampan minuman untuk ibu dan Bunda Salamah. Saat asyik bercengkrama ponsel ibu berbunyi."Assalamualaikum Saka?""Walaikumsallam Bu, den Hamdan sudah sadarkan diri Bu," kudengar lirih dari telepon ibu."Benarkah? Alhamdulillah besok saya akan kembali ke Jakarta.""Baik Bu."Ibu menutup teleponnya."Ada apa Bu?""Masmu sudah sadar nak, Alhamdulillah.""Alhamdulillah.""Apa Kinan akan ikut ibu Rosa ke Jakarta?"Bunda Salamah bertanya pada ibu."Saya harap Kinan mau menemani masa tua saya.""Aku akan mencari orang dulu untuk mengurus tokoku, Bu.""Baiklah.""Aku akan istirahat dulu supaya besok lebih fokus.""Iya sayang."Aku meninggalkan ibu dan Bunda Salamah yang masih bercengkrama.Melihat Zafran yang tengah tertidur dengan lelap aku
Kami duduk untuk makan bersama."Ibu, doakan aku semoga bisa mendapatkan penghargaan.""Tentu Sayang.""Zafran akan dijemput Bang Fatur, ibu bisa berangkat bersamaku, nanti Zafran akan diantar Bang Fatur," terangku yang dijawab anggukan oleh ibu Aku mempersiapkan semuanya, semua yang Bu Wisma pesan kemarin. Mobil yang Bu Wisma kirim sudah menunggu di depan rumah."Assalamualaikum?" ucapan salam dan ketukan pintu terdengar bebarengan."Waalaikumsalam." Aku dan Bunda Salamah menjawab dengan serentak.Ibu masih di belakang membantu Zafran bersiap. Bunda Salamah membukakan pintu untuk bang Fatur, hatiku berdebar tak berani keluar."Kinan? Kenapa masih berdiri di dalam?" tanya ibu yang sudah berdiri di belakangku."Em… tidak apa-apa Bu.""Ayo keluar."Aku mengekor di belakang ibu yang sudah keluar. Kulihat Bang Fatur duduk bersama Bunda Salamah. Zafran keluar dan langsung duduk di pangkuan Bang Fatur.Aku menunduk benar-benar tak berani menatap Bang Fatur, bagaimana jika pipiku merona sep
Aku membuka pintu ruangan konsumsi tersebut, mencari sosok Zain serta bertanya pada setiap pemuda yang ada disana, tetapi tak ada seorang pun yang mengenal Zain hingga seorang pemuda memanggil nama Al."Al kemarilah?"Seorang pemuda membawa beberapa piring dari tempat cucian piring yang berada di sebelah ruangan tersebut."Zain? Dia Zainku."Pemuda itu menoleh melihatku, dia anakku, anak sulungku."Umi."Ia menaruh piring di bawahnya dan berlari memelukku dengan air mata di pipinya."Maafkan Umi, Nak."Aku benar-benar tak kuasa menahan sesak di hati, kenapa anakku harus menderita karena perbuatan orang tuanya."Zain rindu Umi." Kuusap wajahnya, dia sudah tumbuh dewasa."Kenapa Umi tak pernah menelpon Zain?" "Ayo kita pulang, kita akan bicara di rumah."Zain berpamitan kepada teman-temanya, aku menggandeng tangannya. Aku melihat Bang Fatur tersenyum kepadaku.Ia memeluk Zain."Kamu sudah besar Zain." Kami bertiga kembali keruang dimana ibu dan Zafran menunggu kami."Umi lihat Umi dap
"Istri baru Abi tak mengizinkannya?" ucap Zain."Kenapa?""Ia bilang aku hanya membuang uang Abi.""Kenapa Zain pergi dari rumah Abi?""Zain tak ingin bersama yang bukan muhrim Umi, berkali-kali Zain melihat istri Abi tanpa hijab dan menggunakan baju terbuka, Zain takut ada fitnah. Terlebih Umi tak ada di sana, dan istri baru Abi selalu mengancamku untuk meninggalkan Abi dari rumah itu," terangnya.Aku mengusap wajah Zain."Kenapa Zain tak pulang ke rumah Nenek Salamah?""Istri Abi tak memperbolehkan aku menghubungi Umi. Jika tidak ingin Zafran atau Umi ada apa-apa, Zain pikir tak akan bisa bertemu Umi lagi."Aku menangis memeluknya, bagaimana aku akan mengirim anakku untuk bersama Bang Adnan besok jika Zain yang sudah besar saja diperlakukan begitu."Apa Abi tak mengetahuinya?""Abi hanya menurut dengan istrinya."Astaga, bagaimana bisa Bang Adnan melakukan itu kepada putranya."Ya sudah, sekarang kita makan terlebih dulu. Sekarang Zain jangan pikirkan apapun karena Zain sudah bersam
Kami sampai di bandara."Terimakasih Bang Fatur telah mengantar kami," ucapku."Sama-sama, Kinan.""Om Fatur kapan-kapan main ke rumah Oma, ya? Zafran pasti rindu," ucap Zafran.Bang Fatur berjongkok agar sejajar dengan tubuh kecil Zafran."Baiklah tuan."Ia mencubit gemas pipi Zafran, kemudian memeluk Zain yang disambut hangat oleh Zain."Om, jika Om benar-benar ingin bersama Umi, segera datang ke rumah untuk membahagiakan Umi."Aku mendengar ucapan Zain dengan jelas, kucubit pinggangnya ia meringis menahan sakit."Om akan segera datang," jawab Bang Fatur.Ibu tersenyum melihatku, pasti pipiku sudah merona menahan malu.Bang Fatur berpamitan dan meninggalkan kami, sementara kami menunggu waktu penebangan..Ponselku bergetar. Ada pesan masuk di ponselku."Benarkah kamu akan menikah dengan Fatur, Dik?"Pesan dari Bang Adnan, aku hanya membacanya tanpa berniat membalas pesan darinya. Bisa saja Lulu yang mengirimkan dan mencari tahu tentangku, lebih baik aku membuatnya panas."Jika benar
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera