"Zafran Mattias ... Alkanders, sudah waktunya kita bertemu."Inez bergumam sebelum mengambil ponsel, kembali menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas obrolan tersebut terhenti kala Zico masuk ke kamar sang mama."Sudah waktunya berangkat, Ma. Mana koper Mama. Kita terpaksa bawa baju, orang itu pasti sudah mengeluarkan barang-barang kita. Pengen nembak kepalanya aku kalau ketemu lagi.""Hush, gak boleh gitu. Kita kan belum tahu masalah dia apa. Siapa tahu dia cuma salah paham.""Salah paham kok sampai ngambil tanah Mama, buat dijadikan diskotik. Mana dia niat rebut kak Lea lagi," gerutu Zico sepanjang jalan sambil menyeret koper sang mama."Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik bukan. Soal baju, bagaimana kalau kita nanti sekalian shopping?"Dari cemberut, muka Zico berubah sumringah. "Ide bagus," sahut lelaki itu ceria.Shopping, siapa yang tidak suka. Dua orang itu langsung masuk ke dalam mobil setelah berpamitan pada Arch dan juga pada staf yang lain. Zio
"Seingatku papa gak punya saudara. Ortunya sudah lama meninggal." Zio mencoba mengingat silsilah keluarga sang ayah yang dia pikir memang penuh rahasia.Bahkan ketika dia bertanya pada Inez, perempuan itu hanya menjawab sekedarnya. Tidak detail sampai ke akarnya."Masalahnya aku pikir dia, orang itu. Punya hubungan dekat dengan mamamu. Mereka janjian ketemu, tapi aku gak bisa mengikuti mamamu terus kan. Ada James yang harus aku awasi juga. Dia kemarin benar-benar ngamuk waktu tahu Yifan sampai OD. Sampai sekarang belum sadar tu cewek." Revo menerangkan."Sekarang di mana orang itu. Kita bisa minta bantuan Zhang untuk mengawasi Mama.""Nah itu dia. Dia sejak kemarin tidak kelihatan di sana.""Maksudmu apa?" Zio heran seorang Revo bisa sampai kehilangan jejak targetnya."Maksudku, aku tidak melihatnya di rumah sakit, di klub malam atau di rumahnya."Dua orang itu saling pandang, coba menerka apa yang James lakukan. Padahal yang disebut namanya saat ini sedang berhadapan dengan seorang p
Lea, Zio dan Arch baru keluar dari ruangan dokter Niken. Arch senang sekali bisa melihat calon adik bayinya. Walau dia tidak paham dengan apa yang dia lihat barusan.Arch cuma manggut-manggut manut ketika dokter Niken menunjukkan beberapa bagian tubuh adik bayinya yang mulai tampak jelas. Seperti kepala, tangan dan kaki."Berarti kalau perut Mama tambah gede, itu artinya adek juga tambah gede?" Arch bertanya sambil menggoyangkan tangan yang digandeng Zio."Iya, seperti itu.""Makanya Mama harus banyak makan, biar adek makin cepet gedenya terus cepet keluar deh.""Ya gak bisa gitu dong, Arch. Cuma karena dia udah gede terus bisa lahir gitu," Zio lekas menyanggah opini Arch yang menggebu-gebu antusias sekali."Kan udah gede. Lagian kasihan kalau kelamaan di perutnya Mama. Kasihan Mama bawanya. Berat gak, Ma?"Zio tercekat, seakan baru sadar kalau ulahnya membuat sang istri kesusahan. Dia belum lama tahu kehamilan Lea, tapi dia sudah bisa melihat bagaimana rewelnya sang jabang bayi kala
"Surat perjanjian penjualan tanah dan aset milik Ibu Inez. Itu aslinya, jadi kalian bisa menuntut dan mengambil kembali tempat itu," jelas Erna. Zico dan Zhang saling pandang setelah sesaat membuktikan apa yang Erna katakan. "Saya akan urus ini, anak buah pengacara Lawrence ada di sini. Mereka punya cabang di kota ini." Zhang melesat pergi. Dengan bukti ditangannya, besar kemungkinan mereka bisa memenangkan tanah Inez. Sebab di akhir perjanjian ada klausul yang menyatakan penjual bisa mendapatkan kembali tanahnya jika pembeli terbukti melanggar perjanjian. James jelas sudah melanggar perjanjian tersebut. Agen Nika lumayan pintar membuat perjanjian, menyelipkam sebuah pernyataan yang bisa mereka gunakan untuk melawan pihak James. Pemilik Midnight Blue itu dipastikan kalah kali ini. Suasana mendadak dipenuhi kepanikan kala beberapa dokter berlarian masuk ke ruangan Nika. Sebuah dejavu kembali muncul di benak Inez dan Zico. Tanpa sadar Zico menggenggam erat tangan sang mama yang jug
Bunyi pena patah membuat Miguel menghentikan pekerjaannya. Seiring denting notifikasi terdengar dari ponselnya. Sebuah pesan membuat Miguel sesaat merasa hampa. Dia tak lagi memiliki tempat istimewa di hatinya, tapi ketika sosok itu pergi, Miguel tetap merasa kehilangan.Annika Renata, perempuan pertama yang mengenalkan Miguel akan indahnya cinta. Memberinya kenangan manis, sebelum keserakahan mengubahnya. Nika, wanita yang telah memberinya anugerah paling mengagumkan dalam hidupnya, Arch. Walau tak hidup dengannya, tapi Miguel sangat bahagia dengan kehadiran Arch."Selamat tinggal, Nika. Semoga jiwamu tenang di sana."Sama dengan Miguel, Arch pun mendadak terdiam saat kuas melukisnya patah. Dia tak tahu apa yang terjadi, tapi tiba-tiba air mata mengalir begitu saja tanpa diminta."Arch, kamu kenapa?" Ivan menyenggol sang teman yang seketika bengong di tengah kelas melukis mereka."Pengen nangis." Dan benar saja, Arch menangis tersedu tanpa dia tahu apa sebabnya. Yang dia rasakan h
"Ini sudah cukup, Ma." Zico menahan tangan sang mama yang ingin membuka peti mati tempat Nika disemayamkan. Pemakaman dilakukan di kota itu. Nancy sebagai saudara satu-satunya mengizinkan Nika dikebumikan di sana. Mengingat kondisi Nika memang sangat rapuh saat meninggal. Mempertimbangkan akan hal itu, akhirnya Nancy memutuskan Nika dimakamkan di Guangzhao. Perempuan itu dan Revo sedang otewe menuju Guangzhao, tapi mereka tak minta ditunggu jika Nika akan dimakamkan segera. Inez menghentikan tangannya. Lantas dipandangnya paras kemerahan Zico. "Ayolah, Ma. Kita sudah ngikutin dia dibawa ke ruang itu, ini sudah dibungkus. Mau diubek-ubek lagi. Gak kasihan apa." Zico melirik kiri kanan, cukup seram mengikuti semua prosesi pemakaman Nika, dari ruang pemulasaraan jenazah, sampai dimasukkan ke dalam peti. Inez mendengus sebal, tapi dia turuti permintaan sang putra. Keduanya bersama Erna dan Karel, juga Zhang, kelimanya yang mengantar Nika ke peristirahatan yang terakhir. Inez bah
"Mattias," gumam Anita nyaris tanpa suara. Dia syok sekaligus bahagia mendapati lelaki yang dia cinta masih hidup. Dia pikir sang suami sudah meninggal berpuluh tahun lalu, saat putra mereka masih berumur tiga tahun."Maafkan aku. Aku terpaksa pergi saat itu. Tapi sungguh, tiada hari aku lewatkan tanpa melihat kamu dan ... James," ucap Mattias. Kini dia memeluk tubuh Anita yang bergetar karena menangis."Kamu jahat. Kamu jahat, kamu biarkan aku dan James hidup menderita. Kami pikir kamu pergi meninggalkan kami. Kami pikir kamu sudah mati."Anita terus meluahkan unek-uneknya yang selama ini dia pendam. Bahkan mungkin James tidak tahu jika ibunya sesakit itu."Maafkan aku. Sekarang kamu tahu kan kalau aku masih hidup. Jadi berhenti membenci Inez dan anak-anaknya. Mereka hanya melakukan apa yang aku suruh," bujuk Mattias."Kenapa kamu lebih suka menghubungi mereka. Aku ini istrimu, James putramu. Anakmu bahkan sampai disebut anak haram sebab ayahnya pergi tak pernah kembali."Mattias da
"Anakmu gila, Nita," maki Mattias."Dia anakmu juga," bantah Anita.Inez sendiri panik bukan kepalang. Dia hubungi Zio tapi tidak tersambung. Dia coba hubungi Han, sama juga. Baru saat mengontak Irene, calon istri Agra itu menjawab teleponnya."Nyonya itu siapa? Dia bawa Ibu pergi. Lagi dikejar sama Agra."Inez lekas menutup teleponnya. Dipandangnya Mattias dan Anita bergantian. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama menantuku. Kalian akan tahu akibatnya," ancam Inez. Dia lantas menghubungi Zico yang secara mengejutkan muncul di sana."Papa," seru Zico tidak percaya melihat penampakan Mattias."Bukan ya, itu Om Mattias. Adiknya Papa. Kamu gak tahu dia," jelas Inez singkat.Bengonglah Zico dibuatlah. "Papa punya kembaran, Ma?""Iya, kembar identik. Makanya plek ketiplek sama.""Halo, Zico ya?" Mattias mendekati Zico yang masih belum bisa menghilangkan syoknya."Idih! Gak adil!" Protes Zico pada akhirnya."Boleh kok manggil Papa juga," kata Mattias."Gak usah, nanti James mu ngamuk," Inez
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut