"Bagaimana?" Zio tampak berbincang melalui ponsel. Dia dan Zhang sedang berada di depan Midnight Blue, klub malam milik James. Lagi-lagi memantau James. Hari merayap malam, walau belum terlalu larut, seharusnya James kembali ke tempat tinggalnya. Kecuali pria itu menginap di sana. Zio melanda kesal jika mengingat akan hal itu. Rasa jengkelnya bertambah ketika yang dihubunginya mengiyakan apa yang dia pikirkan, James tidak ada di Midnight Blue. "Kau yakin, Vo?" Zio memastikan pada pria yang tak lain adalah Revo, suami Nancy. "Dia tidak ada di sana. Bahkan tidak ada di kota itu," info Revo lebih lanjut. "Maksudmu apa?" "Dia ... ada di sini." "Apa kamu bilang? Di sana, di kota kita." Zio menggertakkan gigi. Bagaimana bisa pemilik Midnight Blue ada di negaranya. "Iya, dia ada di sini. By the way, apa kamu pernah bertemu James Liu?" "James Liu?" Kutip Zio. "Iya, setelah kutelusuri nama pemilik klub malam itu James Liu. Dia menyamarkan kepemilikan tempat itu. Sebentar
"Kak! Kakak! Kak Lea!"Zico mengekor langkah Lea setelah keduanya sampai The Mirror. Hari sudah lumayan malam saat itu. Dari kantor James, Zico harus mengawal Lea kembali ke Dreamcatcher. Duduk di sana sambil menunggu Lea membereskan pekerjaannya."Apaan sih? Berisik!" Lea membiarkan Zico membuntutinya sampai masuk kamar. Perempuan itu sempat membuka ponsel, seraya melayan ocehan Zico soal James."Jangan dekat-dekat dia lagi. Tahu gak, dia bilang kalau mau mendekati kakak," adu Zico persis Arch kalau habis dijahili Ivan."Aku tahu, aku tidak sebodoh itu.""Iya, Kakak tidak bodoh, tapi oneng. Disukai banyak orang tapi gak tahu.""Bukan tidak tahu, tapi gak mau tahu. Aku sengaja tidak menanggapi mereka, Co.""Tapi itu justru membuat mereka makin tertarik."Lea kini fokus pada Zico. "Lalu aku harus mengurusi mereka satu persatu. Tidak, aku tidak punya waktu. Memikirkan dia saja kadang membuatku pening. Nah kan? Dia tahu kita ngomongin dia."Lea menunjuk perutnya yang mulai terasa mual.
"James Liu, dia sengaja ingin mengadu domba kau dengan istrimu. Itu sudah pasti," Zico mulai mengompori sang kakak."Dia lumayan nekat rupanya," imbuh Revo.Sementara Zio terdiam di seberang sana. Tampak mempertimbangkan sesuatu. "Tapi urusanku belum selesai. Tanah Mama masih dipegang dia. Mana dijadikan klub malam lagi. Aku tidak terima. Tempat kita liburan waktu di sini jadi sarang bikin dosa. Masih mending kalau dijadikan sekolah. Lah ini jadi diskotik, ceweknya seksi-seksi lagi."Revo yang masih terhubung lewat video call saling pandang dengan Zico."Kau yakin gak kepincut salah satu dari mereka. Atau jangan-jangan foto itu betul," tuding Revo. "Sudah kubilang aku cuma nolongin dia. Dan satu lagi ya aku ini setia. Tanya Zhang, apa pernah aku keluar sendirian. Aku selalu pergi dengan Zhang," kilah Zio memberi alibi."Itu karena kau tak tahu jalan!" Suara Revo dan Zico bak koor yang menggema di kamar Zio, kompak menyudutkan suami Lea.Zio seketika menggaruk kepalanya yang tidak ga
Itu bukan suara Lea, tapi Irene. Bagaimana gadisnya Agra ada di sini. Pukulan datang bertubi-tubi, membuat Zio geram. Ke mana Lea, kenapa justru Irene yang menghuni kamarnya. "Pencuri! Rasakan kau!" Irene masih memukuli Zio. Gadis itu tak sadar siapa yang sudah dia aniaya. "Siapa yang kau sebut pencuri?!" Bunyi stik golf beradu dengan lantai marmer jadi melodi yang terdengar kemudian. Irene syok mendapati Zio berdiri di hadapannya. Dia yakin pria itu marah padanya. Walaupun Irene tak melihat jelas paras Zio. "Pak Bos, ma-maaf ...." "Ada apa Ren? Zio! Kapan kamu pulang?" Lea kaget mendapati sang suami ada di kamar mereka setelah dia menyalakan lampu. Lea baru kembali dari ruang kerja Zio. "Kenapa dia ada di sini? Usir dia! Tidak ada yang boleh masuk ke kamar ini selain kita dan Arch." Demi apapun Irene langsung gemetaran. Baru kali dia melihat langsung kemarahan seorang Zio. Hanya karena wilayah privasinya diterobos masuk. "Sayang ...." Zio mendelik melihat tampilan Le
"Dia ...."Zio mendudukkan tubuhnya dengan segera, saat Lea menyerahkan selembar kertas hitam putih. Satu benda yang membuat Zio mengerutkan dahinya. Tampak berpikir sebelum akhirnya dia menjatuhkan pandangannya pada perut sang istri."Dia? Kamu hamil?" Tanya Zio macam orang membentak.Tapi Lea tak sakit hati meski Zio meninggikan suaranya. "Iya, aku hamil. Jalan lima ehh ...."Lea terkejut sekaligus takut waktu Zio mendorongnya hingga dia kembali terbaring di kasur. Pria itu lekas menyibak selimut yang membelit tubuh keduanya. Raga mereka masih polos tanpa sehelai benangpun. Tapi fokus Zio bukan pada betapa menggodanya tubuh molek sang istri yang baru dia sadari, makin berisi di beberapa tempat.Pria tersebut menatap penuh arti perut Lea yang mulai menonjol. "Anak papa," gumamnya dengan netra berkabut penuh haru.Diusapnya lembut tempat itu lantas dia kecup penuh kasih. Bahagia Zio sungguh tak terkira. Penantian lama akan buah hati yang berasal dari benihnya sendiri usai sudah.Di r
The Mirror keesokan harinya."Mama mana? Arch gak mau sarapan kalau Mama belum turun. Papa juga! Lama banget perginya!"Gerutuan Arch jadi sambutan yang harus semua orang dengar ketika mereka sampai di meja makan."He biji melinjo! Lu sensi amat, lagi PMS ya. Jangan kek mamamu. Bentar begini, bentar begitu, bikin pusing tahu," Zico memperparah keadaan. Dia ikut mengomel. Teringat bokongnya yang sakit karena terjatuh saat memanjat pohon mangga di rumah Abian. Untungnya anak itu mudah sekali Zico kibuli. Dia bilang Inez pengen rujakan pakai mangga muda."Idih, Om ngapain ikut ngomel! Arch lagi sebel tahu. Mama bilang mau nemenin Arch tidur eh gak tahunya malah lembur sama Tante Irene.""Irene? Memang dia ke sini? Kok Mama gak tahu," timpal Inez heran."Ada yang tahu Irene ke sini?" Zico bertanya pada staf yang lain."Setelah makan malam memang Mbak Irene ke sini, tapi pulangnya kami gak tahu. Di kamar tamu juga tidak ada, berarti balik kan dia," jelas Sari.Zico dan Inez saling pandang
Begitu nama Wen Yifan disebut, Zio makin mengerutkan dahi. "James Liu, jangan membuat keributan di sini. Kalau mau hajar orang pulang sana. Yang mau ngelecehin adikmu ....""Dia ada di sini! Si brengsek itu ada di sini! Kaulah orangnya!"James bak orang kalap ketika dini hari tadi dihubungi Dylan yang memberitahu jika Yifan dilecehkan orang semalam. Sang adik kini dalam pengawasan dokter, sebab Yifan sangat terpukul dengan apa yang dia alami. Gadis itu mencoba melukai diri bahkan bunuh diri."Kau jangan sembarangan bicara! Aku baru balik dari Guangzhao semalam ...."Han terkejut ketika James menerjang Zio untuk kemudian menghimpit tubuh suami Lea ke dinding. Tangan lelaki itu siap mencekik leher Zio."Setelah kau melakukannya, kau kabur kemari! Aku tidak akan membiarkanmu lolos. Kau harus mati di tanganku!""Aku yang sudah menyelamatkannya hari itu. Kau bisa tanya asistenmu," Zio jelas menyangkal kejadian tersebut.Melecehkan Yifan, yang benar saja. Pegang saja tidak pernah, apalagi
Tubuh James membeku. Apa tadi Dylan bilang? Overdosis? Siapa yang overdosis?James lekas mencengkram kerah leher Dylan, memaksa pria itu mengalihkan pandangannya dari kehebohan di depan mereka."Siapa?" Bentak James tak sabaran."Sorry, James. Aku lalai. Yifan, dia lecehkan dan dokter baru tahu kalau Yifan dicekoki k*kain dalam jumlah besar. Dia hampir henti napas, dari situ dokter curiga kalau Yifan overdosis."Dari tegang, tubuh James melemas. Dia jatuh terduduk dengan ekspresi tak percaya. "Bagaimana kau menjaganya, Lan? Aku cuma pergi beberapa hari. Kenapa dia sampai begini," sesal James tak terkira.Untuk kesekian kali dia menangis. Menangis karena merasa tak becus menjaga orang yang dia kasihi. Yifan, satu-satunya saudara yang dia miliki saat ini. Yifan satu-satunya orang yang peduli padanya."Maaf, James. Aku sungguh minta maaf. Dia menolak waktu aku menyuruh San mengawalnya. Dia bilang cuma pergi ke tempat Mr Chen mengecek stok produknya. Tapi dia tak kembali ke MB, aku pikir
Fakta Mattias memiliki anak. Dan dia adalah James Liu, membuat Li Chong Wei berang. Dia tidak sudi mengalah apalagi mengaku kalah. Dia sudah menunggu lama hingga hari ini tiba.Mempersiapkan diri untuk merebut kepemimpinan Triad Ming juga memiliki Midnight Blue. Tempat hiburan dengan keuntungan paling besar saat ini.Chong Wei tidak akan mundur. Dia akan pertahankan apa yang sudah dia miliki. Triad Ming dan Midnight Blue. Dua hal yang sangat Li Chong Wei damba.Dia pilih war dengan Mattias. Lagi pula, anak buahnya jelas lebih terlatih di banding pria berseragam hitam yang melindungi Mattias. Pria itu tak tahu siapa yang jadi backingan Mattias.Jeritan San tidak Li Chong Wei hiraukan. Dia tidak peduli apa yang James lakukan pada orang yang telah lama jadi sekutunya. Bedanya San punya motif berbeda saat memutuskan membantu Li Chong Wei merebut Midnight Blue.San hanya menginginkan Yifan. Dia ingin Yifan jadi miliknya. Jadi hari itu San memang menculik Yifan, tapi perbuatannya diketahui
Perjalanan menuju Midnight Blue diwarnai emosi James yang memuncak. Dia hampir balik untuk menghajar Tiger. Pria itu rupanya yang sudah melecehkan Yifan."Tenang, James. Tiger sudah memberitahu kalau dia dijebak. Semua ulah orang ini.""Tetap saja, Yah. Dia yang menghancurkan Yifan. Susah payah kami jaga dia, sebab prinsip Yifan begitu."James meraup wajahnya kasar, memukul tempat duduknya berkali-kali. Tidak peduli pada Zico yang sibuk main game. Dan Mike yang mengemudikan mobil.Dua mobil mengiringi mereka. Semua anak buah Triad Li yang diutus Miguel untuk menjaga keselamatan Mattias dan yang lainnya.Zico jelas syok begitu nama Miguel disebut sebagai pemimpin Triad Li. Dia tak pernah menyangka jika papa kandung Arch adalah mafia."Pantas dia kekeuh membiarkan Arch jadi anaknya Zio," komen Zico saat itu."Sangat beresiko andai musuh tahu soal kehidupan pribadi kami. Karena itu aku mendukung apa yang tuan De Leon lakukan. Putranya lebih aman bersama kalian. Meski ya, aku yakin dia sa
"Pelan-pelan, Lea." Puspa membantu Lea yang ingin duduk. Istri Han ikut stand by di rumah sakit ketika sang suami dipanggil Zio."Operasinya lama bener," keluh Lea yang sampai setengah jam dipindahkan ke ruang perawatan, belum juga melihat Zio.Dua orang itu rencananya akan ditempatkan di satu ruangan yang sama. Supaya lebih mudah bertemu satu sama lain."Sebentar lagi. Namanya juga operasi kadang cepat, kadang molor. Tenang saja, jangan stres nanti ASI-nya susah keluar. Kayak Agni."Lea menghembuskan napasnya pelan. Coba menenangkan diri. Mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang sempat mampir di kepalanya."Lapar, Pa," kata Lea. Baru kali ini terasa perutnya keroncongan.Puspa sigap mencari paper bag yang tadi ditinggalkan Han. "Jangan protes ya. Full sayur, demi anak." Puspa mengulurkan wadah makanan dengan logo restoran ternama.Isinya nasi, daging, dengan sayur capcay banyak. Tanpa banyak protes Lea makan sayurnya lebih dulu. Lea menggulung senyum melihat Puspa ikut makan bersam
"Ming! Ming! Dia bapakmu tahu!" Ceplos Zico. Dan pria itu kembali dapat warning dari mamanya. Bukan getokan di kepala, tapi cubitan ekstra keras di pinggang.Bisa dibayangkan bagaimana reaksi Zico. Ingin mengumpat tapi mama sendiri yang menganiaya. Pada akhirnya Zico hanya berdesis-desis macam orang kepedesan."Bapak apanya? Kata Mama dia sudah meninggal," sergah James tak percaya begitu saja."Ciee, dia anak mama juga to." Kali ini Zico kabur lebih dulu sebelum digetok, dicubit atau apalah itu oleh Inez. Zico pilih sembunyi di balik punggung Tiger yang duduk bersandar di kursi tinggi.Kehadiran Tiger di sana lekas menarik perhatian James. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dibawa kemari. Dan mereka, mereka siapa?" Jari James menunjuk lima pria berpakaian hitam yang mengawalnya sejak turun pesawat. Adapun Mike cuma diam di pojokan. Tanpa berani ikut campur."Biar Mama jelaskan," Anita mengambil alih. Dia tahu putranya bingung. Biasanya hanya dia yang akan James dengarkan jika
Zio dan Lea tak mampu menahan tangis haru, kala bayi laki-laki mereka diletakkan di atas dada sang ibu. Dari menangis, bayi itu langsung berhenti dengan mulut bergerak-gerak lucu mencari sesuatu."Saingan Papa ini mah," canda Zio di tengah tangannya yang sibuk mengusap kepala sang anak, juga air mata di pipi.Rasanya makin tak terlukiskan kala si bayi kini beralih ke gendongan Zio. Buah hati yang dia tunggu sekian lama akhirnya berada dalam pelukannya."Sudah, Tuan?" Dokter Niken bertanya.Zio mengangguk setelah ritual adzan dan iqamat dia lantunkan. "Boleh gak babynya sama saya aja," pinta Zio masih dengan mata penuh air mata."Boleh, tapi nanti ya. Kami perlu periksa debay-nya lebih detail. Ingat, dia nongol lebih awal dari jadwal, jadi kami perlu pastikan dia baik-baik saja."Awalnya Zio ingin mendebat tapi ketika nyeri di lengannya kembali menyengat, dia tahu untuk sementara harus berpisah dulu dengan putranya."Arcelio Ethan Alkanders, sampai jumpa sebentar lagi."Lea sangat terh
"Ma, Kak Lea bener mau lahiran. Ini Zico tanya Sari. Zio baru datang, tapi kata Sari lengannya berdarah."Info Zico mengalihkan perhatian Anita dan Inez yang baru saja mendudukkan Tiger, pria itu kini lebih suka dipanggil Yuze.Luka fisik Yuze lumayan parah, untungnya organ dalam pemuda itu mampu bertahan. Walau setelah keadaan membaik, Anita yang mantan perawat tetap menyarankan pemeriksaan menyeluruh untuk Yuze di rumah sakit."Berdarah bagaimana, terus kakak iparmu bagaimana?" Inez jelas cemas mendengar kabar Zio dan Lea."Dia tertembak," kata Mattias menyela obrolan ibu dan anak di depannya."Siapa yang berani nembak dia? Anakmu ya, beuhh minta digetok palanya kalau ketemu."Zico mengomel, dan pada akhirnya berhadiah dirinya yang kena getok kepalanya oleh Inez, mamanya sendiri."Mama apa-apaan sih? Anak orang dibelain, giliran anak sendiri dianiaya!" Protes sang bungsu dengan bibir manyun lima senti.Satu pemandangan langka untuk Yuze, Anita dan Mattias. Yuze yang bahkan orang tua
"Tunggu dulu, apa hubunganmu dengan Triad Li."James menahan Miguel yang sudah bersiap melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Ya, yang datang menyelamatkan James dan Zio adalah Miguel yang membawa belasan orang untuk memukul mundur penyerang dua pria tadi."Kau pulang saja dulu, lalu tanya pada ayahmu. Aku datang karena ayahmu minta tolong padaku. Mike sudah menunggu di bandara.""Ayah?" Kutip James nyaris tanpa suara.Ayah? Siapa ayahnya? Bukankah ayahnya sudah meninggal. Pertanyaan tadi berputar di kepala James, seiring mobil Miguel berlalu dari hadapannya."Mari Tuan, saya antar ke bandara. Pesawat berangkat empat puluh lima menit lagi."James masuk ke dalam mobil saat kendaraan Zio menghilang di tikungan. Tempat itu sudah bersih, mayat dan mereka yang terluka tak lagi terlihat. Triad Li memang terkenal dengan kinerjanya yang cepat dan bersih juga rapi, sama dengan Triad Ming."Siapa nama tuanmu tadi?" James bertanya pada sang supir."Tuan Miguel Amadeo De Leon."James terdiam ket
Lea mendesis ketika rasa melilit menyerang perut, merambat ke pinggang. Menimbulkan sakit yang dia sendiri tak bisa gambarkan seperti apa rasanya."Bukaan empat, Nyonya."Lea seketika ingin menangis, baru bukaan empat dan rasanya sesakit ini. Dia ingin Zio ada di sini, menemaninya berjuang melahirkan putra mereka.Tapi faktanya, sejak dua jam yang lalu pria yang dia harapkan akan menenangkan dirinya tidak muncul jua."Cakar aja, Bu. Saya gak apa-apa." Suara Irene membuat Lea menolah.Bulir bening sungguh menderas kali ini. Justru Irene yang setia berada di sisinya kala dia kesakitan menghadapi kontraksi."Maaf ya, Ren," lirih Lea di sela desis juga tarik hembus napas yang istri Zio lakukan sesuai aba-aba dokter Niken."Gak apa-apa, Bu. Saya senang dapat live pengalaman ibu mau melahirkan. Serem sih." Irene bergidik ngeri waktu tahu cara mengecek pembukaan.Dari ekspresi Lea saja itu sudah jadi kesakitan tersendiri, belum proses kontraksi itu sendiri."Kamu bisa pergi kalau takut," pin
Suara ketukan di pintu membuat semua waspada. Zico sudah mengokang senjatanya. Sangat mengejutkan bagi Inez yang baru kali ini melihat aksi sang putra. Pun dengan Mattias yang melakukan hal sama. "Harusnya tidak ada yang tahu tempat ini," kata lelaki itu. Dia dan Zico mendekat ke arah pintu. Meminta Inez dan Anita masuk ke dalam kamar. "Itu kalau semua orang di sekitar Om bisa dipercaya," ledek Zico. Mattias menghela napas kasar. "Sayangnya kau benar. Ada beberapa orang yang mengkhianatiku." "Boleh nebak profesi Om?" Dua pria lintas usia tersebut menempelkan telinga ke daun pintu. Coba mendengar suara dari arah luar. Plus Mattias menempelkan telapak tangan di lantai. Dia sedang menerka berapa jumlah orang yang berdiri di luar pintu rumahnya. Melihat hal itu Zico terkekeh. "Cara Om kuno," ejek sang ponakan. "Memangnya kau bisa tahu siapa yang ada di luar. Kalau tebakanmu benar akan kukasih tahu apa pekerjaanku." Mattias menatap remeh pria yang masih tampak muda di depannya. Zic