"James Liu, dia sengaja ingin mengadu domba kau dengan istrimu. Itu sudah pasti," Zico mulai mengompori sang kakak."Dia lumayan nekat rupanya," imbuh Revo.Sementara Zio terdiam di seberang sana. Tampak mempertimbangkan sesuatu. "Tapi urusanku belum selesai. Tanah Mama masih dipegang dia. Mana dijadikan klub malam lagi. Aku tidak terima. Tempat kita liburan waktu di sini jadi sarang bikin dosa. Masih mending kalau dijadikan sekolah. Lah ini jadi diskotik, ceweknya seksi-seksi lagi."Revo yang masih terhubung lewat video call saling pandang dengan Zico."Kau yakin gak kepincut salah satu dari mereka. Atau jangan-jangan foto itu betul," tuding Revo. "Sudah kubilang aku cuma nolongin dia. Dan satu lagi ya aku ini setia. Tanya Zhang, apa pernah aku keluar sendirian. Aku selalu pergi dengan Zhang," kilah Zio memberi alibi."Itu karena kau tak tahu jalan!" Suara Revo dan Zico bak koor yang menggema di kamar Zio, kompak menyudutkan suami Lea.Zio seketika menggaruk kepalanya yang tidak ga
Itu bukan suara Lea, tapi Irene. Bagaimana gadisnya Agra ada di sini. Pukulan datang bertubi-tubi, membuat Zio geram. Ke mana Lea, kenapa justru Irene yang menghuni kamarnya. "Pencuri! Rasakan kau!" Irene masih memukuli Zio. Gadis itu tak sadar siapa yang sudah dia aniaya. "Siapa yang kau sebut pencuri?!" Bunyi stik golf beradu dengan lantai marmer jadi melodi yang terdengar kemudian. Irene syok mendapati Zio berdiri di hadapannya. Dia yakin pria itu marah padanya. Walaupun Irene tak melihat jelas paras Zio. "Pak Bos, ma-maaf ...." "Ada apa Ren? Zio! Kapan kamu pulang?" Lea kaget mendapati sang suami ada di kamar mereka setelah dia menyalakan lampu. Lea baru kembali dari ruang kerja Zio. "Kenapa dia ada di sini? Usir dia! Tidak ada yang boleh masuk ke kamar ini selain kita dan Arch." Demi apapun Irene langsung gemetaran. Baru kali dia melihat langsung kemarahan seorang Zio. Hanya karena wilayah privasinya diterobos masuk. "Sayang ...." Zio mendelik melihat tampilan Le
"Dia ...."Zio mendudukkan tubuhnya dengan segera, saat Lea menyerahkan selembar kertas hitam putih. Satu benda yang membuat Zio mengerutkan dahinya. Tampak berpikir sebelum akhirnya dia menjatuhkan pandangannya pada perut sang istri."Dia? Kamu hamil?" Tanya Zio macam orang membentak.Tapi Lea tak sakit hati meski Zio meninggikan suaranya. "Iya, aku hamil. Jalan lima ehh ...."Lea terkejut sekaligus takut waktu Zio mendorongnya hingga dia kembali terbaring di kasur. Pria itu lekas menyibak selimut yang membelit tubuh keduanya. Raga mereka masih polos tanpa sehelai benangpun. Tapi fokus Zio bukan pada betapa menggodanya tubuh molek sang istri yang baru dia sadari, makin berisi di beberapa tempat.Pria tersebut menatap penuh arti perut Lea yang mulai menonjol. "Anak papa," gumamnya dengan netra berkabut penuh haru.Diusapnya lembut tempat itu lantas dia kecup penuh kasih. Bahagia Zio sungguh tak terkira. Penantian lama akan buah hati yang berasal dari benihnya sendiri usai sudah.Di r
The Mirror keesokan harinya."Mama mana? Arch gak mau sarapan kalau Mama belum turun. Papa juga! Lama banget perginya!"Gerutuan Arch jadi sambutan yang harus semua orang dengar ketika mereka sampai di meja makan."He biji melinjo! Lu sensi amat, lagi PMS ya. Jangan kek mamamu. Bentar begini, bentar begitu, bikin pusing tahu," Zico memperparah keadaan. Dia ikut mengomel. Teringat bokongnya yang sakit karena terjatuh saat memanjat pohon mangga di rumah Abian. Untungnya anak itu mudah sekali Zico kibuli. Dia bilang Inez pengen rujakan pakai mangga muda."Idih, Om ngapain ikut ngomel! Arch lagi sebel tahu. Mama bilang mau nemenin Arch tidur eh gak tahunya malah lembur sama Tante Irene.""Irene? Memang dia ke sini? Kok Mama gak tahu," timpal Inez heran."Ada yang tahu Irene ke sini?" Zico bertanya pada staf yang lain."Setelah makan malam memang Mbak Irene ke sini, tapi pulangnya kami gak tahu. Di kamar tamu juga tidak ada, berarti balik kan dia," jelas Sari.Zico dan Inez saling pandang
Begitu nama Wen Yifan disebut, Zio makin mengerutkan dahi. "James Liu, jangan membuat keributan di sini. Kalau mau hajar orang pulang sana. Yang mau ngelecehin adikmu ....""Dia ada di sini! Si brengsek itu ada di sini! Kaulah orangnya!"James bak orang kalap ketika dini hari tadi dihubungi Dylan yang memberitahu jika Yifan dilecehkan orang semalam. Sang adik kini dalam pengawasan dokter, sebab Yifan sangat terpukul dengan apa yang dia alami. Gadis itu mencoba melukai diri bahkan bunuh diri."Kau jangan sembarangan bicara! Aku baru balik dari Guangzhao semalam ...."Han terkejut ketika James menerjang Zio untuk kemudian menghimpit tubuh suami Lea ke dinding. Tangan lelaki itu siap mencekik leher Zio."Setelah kau melakukannya, kau kabur kemari! Aku tidak akan membiarkanmu lolos. Kau harus mati di tanganku!""Aku yang sudah menyelamatkannya hari itu. Kau bisa tanya asistenmu," Zio jelas menyangkal kejadian tersebut.Melecehkan Yifan, yang benar saja. Pegang saja tidak pernah, apalagi
Tubuh James membeku. Apa tadi Dylan bilang? Overdosis? Siapa yang overdosis?James lekas mencengkram kerah leher Dylan, memaksa pria itu mengalihkan pandangannya dari kehebohan di depan mereka."Siapa?" Bentak James tak sabaran."Sorry, James. Aku lalai. Yifan, dia lecehkan dan dokter baru tahu kalau Yifan dicekoki k*kain dalam jumlah besar. Dia hampir henti napas, dari situ dokter curiga kalau Yifan overdosis."Dari tegang, tubuh James melemas. Dia jatuh terduduk dengan ekspresi tak percaya. "Bagaimana kau menjaganya, Lan? Aku cuma pergi beberapa hari. Kenapa dia sampai begini," sesal James tak terkira.Untuk kesekian kali dia menangis. Menangis karena merasa tak becus menjaga orang yang dia kasihi. Yifan, satu-satunya saudara yang dia miliki saat ini. Yifan satu-satunya orang yang peduli padanya."Maaf, James. Aku sungguh minta maaf. Dia menolak waktu aku menyuruh San mengawalnya. Dia bilang cuma pergi ke tempat Mr Chen mengecek stok produknya. Tapi dia tak kembali ke MB, aku pikir
"Sudah?" Zio bertanya setelah memberikan tisu juga air putih pada sang istri. Lea mengangguk, menyerah pada keadaan tubuhnya yang lemas. Dia meringkuk di sofa dengan selimut menutupi tubuh bagian bawah.Perempuan itu enggan rebahan di kamar Zio yang ada di ruangan sang suami.Dia muntah banyak, semua makanan yang dia lahap pagi ini, keluar seluruhnya. Meninggalkan pahit, juga pengar tak nyaman di mulut juga perut.Zio sendiri senyum-senyum kasihan melihat Lea. Mau senang tapi kok mesakke, mau iba tapi kok salah Lea sendiri. Berani mengancam mau pergi, padahal dia tahu pasti kalau anaknya sangat membela bapaknya."Perlu ke dokter Niken gak?" Zico bertanya.Lagi-lagi Zico menunjukkan kalau dia satu langkah di depan Zio soal kehamilan sang istri. Satu hal yang membuat Zio diserang cemburu buta."Gak mau! Nanti pol-pol e dikasih infus. Capek.""Ya makanya anteng, sudah tahu anaknya cinta bener sama bapaknya, masih kamu godain, kena kan."Lea mendengus sambil melirik tajam ke arah Zico. K
"Zafran Mattias ... Alkanders, sudah waktunya kita bertemu."Inez bergumam sebelum mengambil ponsel, kembali menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas obrolan tersebut terhenti kala Zico masuk ke kamar sang mama."Sudah waktunya berangkat, Ma. Mana koper Mama. Kita terpaksa bawa baju, orang itu pasti sudah mengeluarkan barang-barang kita. Pengen nembak kepalanya aku kalau ketemu lagi.""Hush, gak boleh gitu. Kita kan belum tahu masalah dia apa. Siapa tahu dia cuma salah paham.""Salah paham kok sampai ngambil tanah Mama, buat dijadikan diskotik. Mana dia niat rebut kak Lea lagi," gerutu Zico sepanjang jalan sambil menyeret koper sang mama."Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik bukan. Soal baju, bagaimana kalau kita nanti sekalian shopping?"Dari cemberut, muka Zico berubah sumringah. "Ide bagus," sahut lelaki itu ceria.Shopping, siapa yang tidak suka. Dua orang itu langsung masuk ke dalam mobil setelah berpamitan pada Arch dan juga pada staf yang lain. Zio
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut