"Apa itu perlu?" Pertanyaan itu mengemuka dari lisan Agra saat dia dan yang lain duduk mengitari sebuah meja di Spring X. Untungnya meeting bisa dihandle dengan baik oleh Yuda. Hingga Agra tidak masalah pontang panting mengejar sosok yang dia tengarai sebagai Nika. Walau zonk hasilnya. "Yang kita hadapi orang mati. Orang tidak akan percaya kalau kita tidak punya bukti valid." Zio menjawab sambil melipat tangan. Dua orang itu sebenarnya masih enggan duduk di satu meja yang sama. Namun nama Nika membuat keduanya mau tak mau melakukannya. Zio yang sudah tahu keseluruhan kelakuan busuk Agra dan Nika, ingin rasanya mencabik-cabik muka pria itu. Revo dan Han sadar resiko mempertemukan Agra dan Zio dalam satu tempat yang sama. Urusan antara dua lelaki itu jelas belum kelar. Lihat saja bagaimana paras Zio yang ingin sekali menghajar Agra. Padahal hari itu, Zio sudah melakukannya. Tapi itu kan karena kelakuan bejat Agra yang ingin melecehkan Lea. Soal Agra yang jadi partner selingkuh Ni
Nika mengulas senyum, mendengar Agra menyapanya. Perempuan itu berniat menghampiri, tapi langkahnya terhenti ketika Agra mengangkat tangan. Lelaki itu tak ingin didekati."Tetaplah di sana. Aku terkejut melihatmu masih hidup. Boleh aku tahu kenapa kamu melakukan hal itu." Jemari tangan Agra menyentuh icon rekam. Barangkali ada hal yang bisa dia korek dari Nika. Agra agaknya lumayan terbawa suasana. Revo menyarankan agar Zio dan Agra bersikap manis waktu bertemu Nika.Tapi Agra yang kadung mendengar keseluruhan cerita Nika, bisa menilai kalau perempuan di depannya sudah melakukan kesalahan. Belum lagi ketika Agra tahu Nika menelantarkan Arch sejak lahir. Ibu macam apa Nika ini."Jangan terkejut. Ini benar-benar diriku. Aku masih hidup. Aku terpaksa melakukan hal itu, Agra."Sudut bibir Agra tertarik, menampilkan seringai tipis di wajah lelaki yang masih memakai kaca mata.Terpaksa katanya? Paksaan dari mana coba. Sebagai partner in crime sekaligus partner in love, Agra lumayan tahu ka
Ada kesungguhan saat Lea mengutarakan isi hatinya. Entah kenapa, Lea merasa Zio sedang mengalami masalah. Dia tidak tahu persoalan apa, tapi yang jelas itu masalah besar.Lea akhir-akhir ini bisa melihat keresahan di hati sang suami. Tiap kali Lea menyusup tidur di dada Zio di malam hari, Lea bisa merasakannya. Lea tak bisa memaksa Zio bercerita, bisa saja itu masalah pekerjaan.Yang bisa Lea lakukan hanyalah mendukung apapun yang Zio lakukan. Juga jadi tempat paling nyaman untuk sang suami saat berada di rumah. Apapun masalahnya, dia yakin Zio bisa mengatasinya."Jangan berpikir aku akan berpindah ke lain hati. Aku cuma cinta sama kamu.""Sial! Kamu bikin aku pengen nerkam kamu sekarang juga," umpat Zio."Enggak sekarang, Zi. Malu, ini di tempat umum."Lea menghadiahkan sebuah ciuman, dengan Zio mendengus kesal. Pria tersebut melajukan mobil dari tempat Zio berhenti membeli bunga."Padahal dia tukang kembang, tapi tetap saja salting kalau di kasih bunga."Zio melirik Lea yang tak ber
"Nika? Nika siapa? Mbak Nika bukanya sudah meninggal. Tapi kenapa mereka pada ngomongin Nika."Lea bergumam sambil memainkan pulpen. Dia masih berada di kantor Dreamcatcher. Dia ada meeting dengan klien sebentar lagi tapi dia malah bersantai.Sejak semalam pikirannya hanya diisi oleh percakapan antara Zio dan Revo. Nika, Nika nama tersebut turut melambung naik ke permukaan. Seolah perempuan itu memang masih ada."Bu, waktunya pergi." Irene menyembulkan kepala dari balik pintu. Lea lekas bersiap, untung materi untuk meeting sudah disiapkan oleh Irene. Lagi pula bahan meeting hanya itu-itu saja. Jarang sekali mereka membicarakan hal di luar konteks pesta dan printilannya."Ini pesta nyonya Stella. Anaknya yang bungsu menikah?" Lea bertanya begitu membaca siapa klien yang akan mereka temui."Iya, kita tahu kan pesta anak pertama nyonya Stella sukses besar. Jadi mereka repeat order. Dia ngajakin besannya untuk pakai jasa WO kita."Jelas Irene sambil tersenyum. "Oh iya, calon besannya ny
Lea terus pandangi layar ponsel yang menampilkan gambar "dirinya" sedang berpose memakai sepatu juga memamerkan tas pemberian butik milik Imelda."Tanggal ini, jam ini. Aku ...."Lea membuka tablet yang berisi agenda juga jadwal pekerjaan, pertemuan dengan klien. Serta banyak hal lain termuat di dalamnya."Aku ada pertemuan dengan desainer Avantie. Tepat di jam itu." Lea kembali memastikan pukul berapa foto tersebut diambil.Tidak salah lagi, dia ada di butik Avantie untuk melihat proses penyelesaian gaun pengantin salah seorang kliennya yang masih berada di luar kota. "Kalau bukan aku, lalu siapa. Siapa lagi yang mirip denganku selain mbak Nika. Tapi dia sudah meninggal. Kalau begitu ini siapa?"Pertanyaan Lea sejalan dengan benaknya yang terus berpikir. Memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.Dalam kesempatan itu obrolan Zio dan Revo tempo hari mendadak muncul di kepalanya. "Dia bilang Munaroh atau Annika Renata tidak mungkin kembali ke sisinya. Maksudnya mbak Nika
Lea kembali dibuat tersengal. Setelah berhasil kabur dari Zico dan Abian, berdalih ada urusan dengan Irene. Di sinilah Lea berada, celingak celinguk, toleh kiri dan kanan, tapi dia tidak dapati apa yang dia cari."Cepat sekali dia menghilang," gerutunya. Lea yakin melihat sosok Nika barusan, atau seseorang yang mirip dirinya. Lea merengut kesal, dia kehilangan jejak. Suasana di tempat itu tidak terlalu ramai juga tidak sepi. Tapi Lea tahu kalau dia cari sudah tidak ada di sana.Agaknya selain Agra, Lea juga diberi kesempatan untuk melihat "penampakan" walau hanya sekilas. Makin besarlah rasa ingin tahu perempuan itu. Maka tak berapa lama Lea menghubungi seseorang."Di mana?"Yang ditanya melihat tiga kali ke layar ponselnya. Tidak percaya Lea mencarinya. "Di kantor, mau apa?""Mau bikin perhitungan sama kamu. Jangan pergi, tunggu aku datang."Panggilan ditutup meninggalkan Agra tercenung memandangi layar ponsel yang perlahan meredup lantas kehilangan daya."Dia mau ngapain nyari aku?
"Kasih tahu gak?!" "Astaga!"Agra berjingkat, sampai kursinya mundur ke belakang saat Lea menggebrak meja. Pria itu lekas disadarkan kalau Lea tak ingin main-main. Wanita itu minta kejelasan darinya."Agra! Kalau kamu tidak kasih tahu aku akan cari tahu sendiri."Lea berdiri, hampir berjalan ke luar ruangan ketika Agra berujar cepat. "Aku tidak bisa cerita sama kamu!"Jujur adalah jalan ninja yang Agra pilih, jemarinya baru mengirim pesan pada Zio pasal Lea yang ada di tempatnya. Dia tidak mau disalahkan lagi, dia tak ingin ikut campur masalah ini.Biar Zio yang memutuskan. Agra paham benar kalau pria itu mungkin tak akan bisa memaafkan atas semua yang telah terjadi. Zio masih memendam amarah bahkan mungkin dendam padanya. Tapi Agra tak ingin terlibat dalam salah apapun dengan Lea.Beruntungnya saat Agra sibuk menahan Lea, Zio segera datang. Hampir lima belas menit Agra berdebat dengan Lea. Perempuan itu terus mendesak untuk bercerita sedang Agra pilih menjawab tidak bisa atau tidak
"Mbak Nika masih hidup. Mbak Nika masih hidup. Mbak Nika masih hidup."Kalimat tadi bagai mantra yang terus terapal di kepala Lea. Wanita itu sejak tadi tidak bisa memejamkan mata. Penjelasan soal bagaimana Nika masih hidup. Ke mana wanita itu pergi dua tahun ini juga bagaimana Nika mampu melihat lagi. Semua dipaparkan Zio dengan sangat rinci. "Dia sembuh dari kanker yang dia derita. Dia bisa melihat kembali. Ini gila!" Fakta bahwa kornea yang dia gunakan untuk melihat dunia adalah milik Nika, membuat sudut hati terdalam Lea terusik. Akan sangat sulit ditangani ketika semua menyangkut hutang budi. Dan Lea merasakannya."Oh aku harus bagaimana?" Lea berguling ke kiri dan ke kanan tidak jelas. Dia sudah naik ke ranjang sejak tadi, tapi sama sekali tidak bisa tidur.Zio sendiri masuk ke ruang kerja, terus terang dia mengatakan akan berdiskusi dengan Revo dan Han."Ini bukan cuma soal Zio, tapi juga menyangkut Arch." Lea tersadar akan sesuatu yang lebih besar. Bagaimana reaksi Arch an
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut