"Tapi kenapa saya dipecat? Rekaman itu bisa saja editan. Saya tidak melakukannya. Saya ...."Rina berhenti bicara ketika Zio mengangkat tangan. Sorot mata pria itu makin tak ramah dalam pandangan Rina. Zio memang tak pernah welcome padanya. Namun kali ini binar benci dan tidak suka turut terlihat di sana. "Kamu pikir saya tidak menyelidikinya lebih dulu. Rekaman itu asli. Bukan editan. Keputusan saya final. Kamu diberhentikan, saya tidak mau mempertaruhkan reputasi perusahaan, karena ulahmu. Sekarang pergi, saya tidak mau melihatmu lagi." Zio secara nyata mengusir Rina. Sudah cukup baginya memberi Rina toleransi, bukannya sadar, Rina malah makin menjadi. Cidera Lea dan Zico jadi warning keras untuk Zio kalau dia harus lebih waspada pada orang yang jelas menjadi ancaman bagi keluarganya. Menyingkirkan mereka adalah solusi terbaik."Tapi kinerja saya baik selama ini," Rina coba bertahan."Sayangnya kinerja bagus saja tidak cukup jika tak dibarengi dengan attitude yang baik. Tak akan
"Pengacara Lawrence."Sebut Rina dalam hati. Di depannya berdiri pria dengan kemeja hitam juga celana senada. Lelaki itu tampaknya sudah berada di luar situasi formal melihat bagaimana Lawrence menggulung kemeja sampai siku, terlihat lebih santai."Malah bengong! Jawab, ngapain kamu di sini? Arah sana kan tempat penjara wanita," berondong Lawrence.Sejak melihat sendiri bagaimana brutalnya Rina waktu menyerang Lea. Pria itu telah menempatkan Rina dalam daftar figur yang harus diwaspadai. Apalagi jika ada Lea di sekitarnya."Bukan urusan situ!" Balas Rina tak kalah lantang.Lawrence memindai ekspresi Rina. Sebagai pengacara, dia tentu pandai membaca mimik wajah lawan bicaranya. Banyak orang bisa bersandiwara di depannya, tanpa tahu Lawrence bisa menebak isi kepala mereka."Tentu saja akan jadi urusan saya, kalau kamu punya niat buruk. Ingat, saya adalah saksi hidup yang melihat langsung kamu menyerang Lea Alkanders. Jangan-jangan kamu juga yang menabrak Lea Alkanders semalam?"Tudingan
Begitu nama Raisa disebut, kepala Zico berdenyut nyeri. Rasanya sakit seakan mau pecah. Pria itu bahkan nyaris menangis menahan serbuan nyut-nyutan yang mendadak menyerangnya.Hal itu membuat Kelvin dan Abian panik. Pun dengan Lea yang keheranan melihat kesakitan yang Zico tanggung."Kelvin panggil dokter, itu tombol merah. Tekan aja."Kelvin lekas melakukan perintah Lea. Tak sampai lima menit, seorang dokter datang. Dengan sigap dia langsung memeriksa Zico yang perlahan tenang setelah pain killer diberikan.Napas pria itu masih tersengal, bahkan setelah sepuluh menit obat bereaksi. Peluh membasahi sekujur tubuh Zico, cukup untuk menggambarkan seberapa besar sakit yang menderanya."Boleh tahu penyebabnya?" Sang dokter mulai bertanya."Kami menyebut nama Raisa, Dok. Dia bilang tidak ingat nama itu. Lalu ya gitu deh. Dia terus kesakitan," jelas Abian singkat. Dari tempatnya, Lea hanya diam menyimak interaksi Zico dan dokter. Zico terus mengatakan kalau dia tidak ingat apapun soal nama
"Eh pengacara Lawrence, ada perlu apa?" "Zico, kamu mau ke mana? Masih pakai baju pasien malah keluyuran." Lawrence bukannya menjawab pertanyaan Zico, tapi malam menegur kelakuan sang remaja setengah matang bersama gengnya. "Bosen Om, di kamar. Pengen ngupi sama cari udara segar. Pengap di kamar terus," kilah Zico memberi alasan. "Berarti kamu sudah oke ya. Kakakmu bagaimana?" Lawrence beralih bertanya pasal Lea. "Mau jenguk kak Lea, ayuk tak anter," sambar Abian. Kini dia punya alasan untuk balik ke kamar Lea. Tak masalah jika Lawrence ikut serta. Toh Abian sudah puas bisa memandangi paras ayu kakak ipar Zio. Abian benar-benar setengah tidak waras. Dia sungguh menyukai Lea. Tak peduli kalau perempuan itu sudah bersuami. Kelvin langsung menyenggol lengan Zico. Dia menggelengkan kepala melihat kegilaan Abian. "Iya, mau jenguk Nyonya Alkanders, mumpung ada urusan di sekitar sini. Jadi sekalian." Lawrence mengiyakan pertanyaan Abian. "Ayo, aku antar." Abian menggulung senyum sa
"Aku tidak mau dipenjara!" Teriak Rina seketika. Dia sudah dengar cerita Vika mengenai horornya hidup di penjara. Lihat saja Vika yang biasa tampil cetar membahana, kini tampilannya berubah total, belum ada setengah tahun menghuni tempat itu."Oh, kalian salah sasaran rupanya. Dia sangat takut masuk penjara, dari pada dighibahin seantero negeri," cibir Lawrence pada Abian.Sahabat Zico merengut mendengar ledekan sang pengacara. Rina sendiri sudah kembali berada dalam cekalan Lawrence. Pria itu mengikat tangan Rina dengan dasi. Mencegah putri Dani Mahendra macam-macam.Bersamaan dengan itu pintu ruangan Lea terbuka, Zico dan Kelvin masuk dengan raut wajah penuh emosi."Dia berulah lagi?" Rina melotot melihat Kelvin, berondong yang dia ingat jelas datang bersama Abian. "Kalian menjebakku! Kurang ajar! Brengsek! Argghh!"Dari teriakan suara Rina berubah jadi jerit kesakitan ketika Zico menginjak pergelangan kaki Rina tanpa ampun."Zico! Hentikan!" Lea memperingatkan dengan tangan menek
"Tidak ada masalah dengan otak adik Anda. Maksud kami tidak ada memar, gumpalan darah, penyumbatan aliran darah. Ataupun gangguan lain semacam tumor atau infeksi, peradangan, pembengkakan, dan sejenisnya.""Dengan kata lain, organ tersebut baik-baik saja.""Lalu kenapa dia sampai menghilangkan memori pasal gadis bernama Raisa," Zio bertanya ketika dia secara pribadi dipanggil dokter.Mereka sedang membahas keadaan Zico."Begini, ada beberapa pendapat dari kami. Tentu setelah kami berdiskusi dengan dokter dari bagian saraf. Kami berpendapat kalau nama itu berkaitan dengan emosi, perasaan bahkan mungkin hubungan yang bisa dikatakan cukup dalam.""Bisa jadi nama ini punya arti yang besar dalam kehidupan adik Anda. Kemungkinan dia adalah sumber kebahagiaan adik Anda, atau sebaliknya dia adalah pangkal kesakitan adik Anda."Zio termenung ketika itu. Sejauh apa hubungan Zico dan Raisa. Dia tidak tahu pasti. Kata Lea mereka dekat, tapi sedekat apa? Sebatas teman, teman curhat, kekasih atau
Helaan napas terdengar dari arah Lea. Hari ini dia pulang ke rumah. Arm sling masih dia pakai, tapi tak full dua puluh empat jam. Dalam beberapa kesempatan dia boleh melepasnya.Perempuan itu duduk di sofa bed favoritnya. Dipandanginya view kebun Inez yang sudah beberapa hari ini tidak ia rawat.Arch secara khusus memberi Lea cuti sebanyak yang dia perlukan. Sebab Lea bisa memantau pekerjaan dari rumah. Namun lelaki itu sekali lagi tidak memaksa Lea untuk segera kembali bekerja.Tapi Zio dengan enteng menjawab, "Dia mana betah diam lama-lama. Lihat saja, besok dia pasti sudah minta kerjaan ke siapa itu asistennya."Yang disebut namanya sampai salah tingkah. Irene sejatinya masih begitu sungkan pada suami atasannya. Siapa juga yang tidak keder jika berhadapan dengan Zio.Lea mendorong napasnya kasar. Benar sekali kata Zio. Badannya kaku semua, seminggu hanya berbaring di rumah sakit. Ingin olahraga pastinya belum diizinkan. Istri Zio melirik tangannya, tiga bulan sampai sembuh total.
"Ayolah, Zi. Ini Rian cuma bilang minta maaf sama terima kasih."Lea menerobos masuk ruang kerja Zio setelah membaca surat pemberian Zio.Sang suami melengos, cemburu betulan agaknya. Zio tampak sibuk di depan laptopnya. Sungguh acuh pada Lea yang datang mendekat."Zi, ayolah. Jangan begitu, dia hanya mengatakan hal itu, tidak lebih. Jangan cemburu.Zio lagi-lagi acuh. Hingga Lea kesal dibuatnya. Detik setelahnya lelaki itu tercengang ketika Lea memaksa duduk di pangkuannya. "Ngapain?" Bisik lelaki itu tampak sekali salah tingkah."Jangan cemburu, jangan cuekin aku kalau aku lagi ngomong.""Yang nyuekin kamu siapa?"Lea belum sempat menjawab ketika satu suara terdengar dari arah depan. Lebih tepatnya dari benda persegi yang masih menyala, menampilkan wajah tiga pria di sana.Mereka sontak memunculkan tiga ekspresi berbeda melihat apa yang terjadi di depan mata."Maaf, Tuan Hadiyanto. Ada kesalahan teknis."Lea menoleh cepat lantas secepat kilat berdiri mendengar suara Han bicara. Al
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut
Venue pernikahan sudah ramai orang. Agaknya prosesi pernikahan akan segera dimulai. Zico panik, dia tidak menemukan Raisa di mana pun. Mungkin perempuan itu sedang di touch up make up-nya. Tapi ruangannya di sebelah mana.Saat kecemasan Zico memuncak, dia mendengar musik pengiring pernikahan mengalun. Dia menerobos barisan tamu undangan untuk melihat lebih dekat. Raisa dan Livi muncul di pintu. Zico reflek berteriak, "Sa! Sa! Kamu gak boleh nikah sama dia!"Detik setelahnya Zico menarik Raisa pergi dari sana. Membawanya berlari setelah sempat menggendong Livi. Semua tamu melongo, melihat kejadian yang baru saja berlaku.Pun dengan Agra dan Irene. Dua orang itu jelas bingung ketika Zico mendadak muncul di Tokyo, lantas membawa pergi Raisa juga Livi.Namun hal itu tidak berlaku bagi Ryu dan Hana, sepasang pengantin itu justru saling melempar senyum."Itu tadi papanya Livi?" Tanya Hana seraya berjalan ke altar pernikahan dengan tangan melingkari lengan Ryu.Gaun putih sederhana senada d
Setelah menempuh perjalanan hampir tujuh jam, Zico sampai di Tokyo hampir pagi. Tubuhnya lelah luar biasa, hingga ketika dia sampai hotel tempat dia menginap, lelaki itu langsung ambruk untuk kemudian terlelap.Dia perlu memejamkan mata sejenak, atau dia bakal oleng. Lebih parah sakit kepala bisa membuat Zico tak berdaya. Satu yang Zico ingat, dia harus menemukan Raisa sebelum jam dua siang nanti. Sebab pernikahan Ryu digelar di jam itu. Dan Zico yang buta soal Tokyo sudah dipastikan harus berjibaku menemukan venue tempat pernikahan Ryu Watanabe."Tunggu aku, Sa," gumam Zico sebelum terlelap.Padahal yang disebut namanya sedang mengulas senyum. Pertikaianya dengan Agra berakhir lebih cepat dari yang dia duga. Raisa pikir Agra akan mendiamkannya lama. Bahkan mungkin memutuskan hubungan dengannya.Punya anak di luar nikah adalah aib besar di negara mereka. Namun di sini, Tokyo. Kota dan negara yang sedang mengalami masalah penurunan angka kelahiran yang signifikan.Kelahiran adalah hal
Agra langsung menuju apartemen Raisa begitu dia sampai di Tokyo. Lelaki itu heran melihat Ryu berkunjung ke unit sang adik, padahal hari sudah cukup malam. Ditambah besok adalah hari pernikahan sang asisten. Curiga membuat Agra bergerak cepat menahan pintu, hingga dia bisa ikut masuk ke apart sang adik tanpa penghuninya tahu. Agra pikir Ryu dan Raisa punya hubungan lebih di luar atasan dan asisten.Agra dan Irene terpaksa menguping pembicaraan Ryu dan Raisa. Betapa terkejutnya dua orang itu mendengar topik yang dibicarakan oleh Ryu dan Raisa."Livi siapa, Sa?" Pertanyaan Agra membuat Raisa terperanjat. Dia tidak pernah menyangka kalau Agra sudah berdiri di hadapannya."Kakak kapan sampai?" "Jawab dulu, Livi siapa?" Agra coba menahan diri. Meski pikirannya sudah mengembara ke mana-mana. Mungkinkah yang Agra takutkan benar terjadi. "Livi dia ....""Amama, Papa." Suara menggemaskan terdengar dari arah kamar.Agra dan Irene sontak menoleh, melihat seorang balita berjalan limbung ke ar
"Om, tahu tempat tinggal Livi gak?"Zico melirik sadis ke arah Arch, yang tampak tak masalah mendapat teror semacam itu dari om-nya."Lu ngapain sih nanya Livi mulu, kan elu sudah punya Celio," kesal Zico tiap ketemu Arch. Pasti bocah itu selalu menanyakan pasal Livi.Padahal Zico sendiri sedang H2C, harap-harap cemas menanti kabar dari dari Miguel soal tes DNA Livi dengannya. Miguel mengabarkan, sample sudah masuk lab dua hari lalu, pria itu bilang akan mengusahakan secepat mungkin. Dari mana Miguel dapat sample Livi, jangan ditanya. Mungkin saja Miguel punya join venture alias kerjasama dengan kelompok Yakuza di Tokyo sana. Aih serem, triad ketemu yakuza, kalau tawuran pasti mengerikan."Celio kan cowok. Livi cewek, beda," balas Arch cepat."Memangnya kenapa kalau cewek?" Zico mulai curiga kenapa keponakannya ngebet banget sama Livi.Arch diam, tapi rona merah bisa Zico lihat menyebar di pipi putra kandung Miguel."Dia cantik, Om.""Ha? Jangan bilang lu suka sama tu bayik. Eh biji
Berbeda dengan dua pasangan lain yang tengah melakoni malam panas membara. Kamar Zico yang selalu sunyi, kini kian dingin. Hatinya hampa sejak dia kehilangan memori soal Raisa.Namun hari ini semua terasa berbeda. Kehadiran seorang Nakaia Livi mengubah segalanya. Hati Zico menghangat. Tiap sentuhan Livi menyalurkan cinta yang telah lama hilang dari kalbunya.Panggilan "apapa" khas Livi membangkitkan sesuatu dalam jiwanya. Dia seperti diseret, dipaksa untuk memperjuangkan Livi.Zico berdecih lirih. Dia habiskan cairan merah yang ada dalam gelasnya. Matanya memandang siluet pesawat yang mengangkasa di depan sana."Dia pergi," gumam Zico. Padahal belum tentu itu pesawat Livi.Detik setelahnya bunyi benda pecah terdengar. Zico baru saja membanting gelas yang beberapa saat lalu masih dia genggam. Dia remas kepalanya, frustrasi dengan dirinya sendiri."Apa yang sebenarnya hilang? Apa yang sebenarnya kuinginkan? Apa yang sejatinya aku cari?!" Teriak Zico sambil memukuli kepalanya sendiri.Su