&
Aku dan Mas Hilman langsung menoleh ketika mendengar suara teguran dari sesosok pria yang kini telah berdiri di hadapan kami.“Mas Rahmat!” sapa Mas Hilman sembari bangkit dan mengulurkan tangan untuk menyambut kedatangan kakak pertamaku yang setelah seminggu kedatanganku di rumah ini baru muncul dan menampakkan hidungnya di depanku.Mas Rahmat hanya memberikan tanggapan seperlunya saja pada Mas Hilman yang selalu saja menampakkan keramahannya pada sosok kakak pertamaku itu.Nyatanya Mas Rahmat sekarang lebih memilih untuk memindaiku dengan tatapan yang terlalu lugas.“Sungguh sangat mengejutkan melihat kamu berada di rumah ini? Apa kamu sudah mendapat ijin dari suami kamu yang selalu tak pernah menginginkan kamu mengunjungi desa ini? Atau jangan-jangan kamu pergi tanpa sepengetahuan suami kamu?”Mas Rahmat masih sama seperti sebelumnya selalu menampakkan sikap sarkasnya padaku.Aku hanya bisa menanggapi dengan helaan nafas panjang menjadi terlalu malas untuk menjawab semua pertanyaan
Kami semua membeliak kaget ketika mendengar ketegasan suara ibu.Ketika melihat ibu semakin emosi seperti ini aku kian tak bisa mengabaikan kekhawatiran tentang keadaan ibu. Dengan riwayat penyakit jantung yang diderita ibu jelas aku semakin cemas karena bisa saja ibu akan jatuh sakit lagi jika amarahnya kian memuncak.Aku kian erat memeluknya terus berusaha menenangkan ibu.“Bu, jaga emosi Ibu,” ucapku melerai meski setelah itu aku menatap dengan sangat tajam ke arah Mas Rahmat yang aku anggap sikapnya sudah sangat keterlaluan.“Cukup Mas, jangan menyudutkan Ibu seperti ini.”Mas Rahmat malah menatapku dengan sinis.“Nyatanya kamu memang sudah hidup enak sekarang dengan pengorbanan yang sudah bapak lakukan, jadi apa aku salah kalau aku juga meminta bagianku, toh suami kamu itu juga sangat kaya raya.”&
Saat melihat Raka berlari menjauh, aku menjadi tak sanggup mengejar demikian juga Raya kemudian malah ikut pergi.Sementara aku hanya bisa menangis tergugu sekarang, benar-benar menjadi tak berdaya, sangat tertekan dengan keadaan yang begitu mengguncangkan jiwa.Sampai akhirnya aku sadari ibu memelukku dengan erat berusaha menenangkan aku dengan sentuhannya yang selalu lembut terasa.Di dalam pelukan ibu akhirnya aku meluapkan tangisku, demi bisa mengurai kesedihan yang sudah tak sanggup untuk aku tanggung sendiri.“Jangan terlalu banyak pikiran, Rin tenangkan saja dirimu dulu, jangan membuat keputusan apapun saat kamu masih terbawa emosi.”Aku termangu menelaah kata demi kata yang ibu ucapkan.Aku seperti menangkap jika ibu tak menghendaki perceraianku dengan Mas Bara. Walau ibu tak mengatakannya dengan sangat lugas.
“Dari mana kalian mendapatkan semua ini?”Aku mulai mencecar mereka dengan tegas.Raya tampak tergeragap langsung memandang resah ke arah saudara kembarnya.Raka malah membalas tatapanku dengan gurat ketenangannya.“Ma, berikan semua itu, kami mau memakannya,” ucap Raka meminta padaku.“Kamu belum menjawab pertanyaan mama, dari mana kalian mendapatkan semua ini? Siapa yang sudah memberikan ini pada kalian?”Hatiku mulai menjadi gelisah segala praduga mulai muncul bisa saja Mas Bara sudah mengetahui keberadaan kami dan dia mendekati anak-anak tanpa sepengetahuanku.“Itu semua pemberian Papa,” jawab Raka pada akhirnya yang membuat kedua mataku langsung membeliak tajam.“Apa kamu bilang?”Aku semakin tak bisa menyembunyikan kegelisahanku.
“Memangnya dari siapa kalian mendengar semua fitnah ini?”Aku mulai mencecar mereka dengan sengit walau saat ini aku dikeroyok banyak wanita berdaster yang menyimpan pandangan picik tentang diriku.“Kami mendengarnya dari Yuni, kakak ipar kamu sendiri. Kalau kamu cuma ingin membuat kemesuman di desa ini lebih baik kamu pergi saja, karena wanita genit seperti kamu, hanya akan membawa bencana di desa ini.” Atin, temanku yang bertubuh agak dempal dan bulat itu sungguh tak aku sangka menyerangku dengan sangat bengis seperti ini. Kata-katanya benar-benar sangat menyakitkan hati.“Semua ini bukan fitnah karena itu memang fakta buktinya sudah lebih dari dua minggu kamu dan anak-anak kamu tinggal di desa ini, dan suami kamu yang dari kota, yang dulu kami panggil Pak Mandor itu nggak juga datang menjemput.”Kali ini Mekar ikut angkat bicara semakin menyudutkan
Walau berteriak sekeras apapun nyatanya tak ada yang bisa mendengarku. Bahkan ketika mereka mulai menyeretku dan memisahkan aku dengan anak-anakku yang saling menjerit memanggilku.Aku mengkhawatirkan mereka yang sekarang tampak sangat ketakutan. Aku takut jika peristiwa ini membuat mereka trauma.Jika dulu aku merasa tak melawan terlalu keras maka sekarang aku harus berusaha lebih keras untuk melawan meski yang membawaku ada lebih dari empat orang.Aku terus menendang, memukul, tak peduli jika mereka akan memberikan balasan dengan tinju dan tempelengan yang rasanya sangat menyakitkan.Aku tak peduli jika nantinya aku terluka atau bahkan sampai meninggal karena tetap berusaha untuk mempertahankan kehormatan diriku.Namun usahaku menjadi sia-sia mereka tetap bisa membawaku di hadapan Juragan Mukti, yang sekarang terlihat semakin menakutkan dengan tubuhnya yang semakin dekil dan lu
“Apa kamu yakin?!” sergah Mas Bara dengan tatapannya yang kian tegas menelisikku.Aku menegarkan diri untuk menentang setiap tatapannya yang terlalu dalam memindaiku.“Tentu saja aku yakin,” jawabku seyakin mungkin meski aku masih berusaha untuk menyingkirkan segala keraguan saat menentang keputusan suamiku yang sebelumnya selalu tak mampu untuk aku bantah.“Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan, saat ini kamu masih terlalu emosi, sebaiknya kamu beristirahat saja.”Tak pernah aku sangka suamiku yang otoriter itu malah menghindari perdebatan dan sama sekali tak memaksakan kehendaknya meski aku juga tak yakin dia akan menuruti apa yang sudah aku ucapkan tadi.Setelah itu Mas Bara segera mengambil obat yang tadi sudah diserahkan Rahayu padanya sembari mengambil segelas air yang sudah disediakan di atas nakas.“Minumlah o
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira