Walau berteriak sekeras apapun nyatanya tak ada yang bisa mendengarku. Bahkan ketika mereka mulai menyeretku dan memisahkan aku dengan anak-anakku yang saling menjerit memanggilku.
Aku mengkhawatirkan mereka yang sekarang tampak sangat ketakutan. Aku takut jika peristiwa ini membuat mereka trauma.
Jika dulu aku merasa tak melawan terlalu keras maka sekarang aku harus berusaha lebih keras untuk melawan meski yang membawaku ada lebih dari empat orang.
Aku terus menendang, memukul, tak peduli jika mereka akan memberikan balasan dengan tinju dan tempelengan yang rasanya sangat menyakitkan.
Aku tak peduli jika nantinya aku terluka atau bahkan sampai meninggal karena tetap berusaha untuk mempertahankan kehormatan diriku.
Namun usahaku menjadi sia-sia mereka tetap bisa membawaku di hadapan Juragan Mukti, yang sekarang terlihat semakin menakutkan dengan tubuhnya yang semakin dekil dan lu
“Apa kamu yakin?!” sergah Mas Bara dengan tatapannya yang kian tegas menelisikku.Aku menegarkan diri untuk menentang setiap tatapannya yang terlalu dalam memindaiku.“Tentu saja aku yakin,” jawabku seyakin mungkin meski aku masih berusaha untuk menyingkirkan segala keraguan saat menentang keputusan suamiku yang sebelumnya selalu tak mampu untuk aku bantah.“Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan, saat ini kamu masih terlalu emosi, sebaiknya kamu beristirahat saja.”Tak pernah aku sangka suamiku yang otoriter itu malah menghindari perdebatan dan sama sekali tak memaksakan kehendaknya meski aku juga tak yakin dia akan menuruti apa yang sudah aku ucapkan tadi.Setelah itu Mas Bara segera mengambil obat yang tadi sudah diserahkan Rahayu padanya sembari mengambil segelas air yang sudah disediakan di atas nakas.“Minumlah o
Saat mendengar pertanyaannya aku langsung membeku meski darahku kemudian turut berdesir hangat, ketika aku bisa merasakan nada bicaranya yang menyiratkan tentang rasa rindunya yang tak terbantahkan.Aku semakin sulit untuk mengabaikan karena rasa yang sama juga turut hadir mengganggu.Aku memilih diam tak menjawab apapun hingga aku kembali mendengarnya berucap dengan suaranya yang terbata.“Aku merindukan kamu Rin,” ucapnya singkat namun terasa sangat meresahkan aku yang selalu terbiasa untuk memberikan seluruh diriku kepadanya dengan mudah.Kegelisahan ini mengukungku terlalu pelik hingga menghadirkan kesedihan yang sebenarnya sangat ingin aku tepis. Kecewa ini masih saja bertarung dengan cinta di dalam dada yang kini aku sadari masih saja terlalu kuat mengikatku.“Tidurlah Rin, aku tak akan mengganggumu lagi, selamat malam,” tutur Mas Bara kemudian setelah aku tak membuka suara sama sekali ketika dia mengungkapkan apa yang sed
“Siapa yang bilang kalau aku sudah menceraikan istriku?”Sontak aku dan Mbak Yuni menoleh ke arah ambang pintu di mana kami melihat lelaki gagah nan rupawan itu sedang berjalan mendekat padaku.Aku termangu sesaat meski kemudian segera memalingkan muka ketika Mas Bara justru mulai menyuguhkan senyumannya padaku.Hati ini masih saja resah dengan apa yang baru saja terjadi tadi. Aku masih merutuki diriku sendiri yang bisa dengan mudah terbuai dengan apa yang Mas Bara lakukan padaku hingga aku malah membiarkan dia menciumku dengan leluasa.Padahal seharusnya itu semua tak perlu terjadi bila mengingat hati ini masih meradang atas kesalahan besar yang sudah dia lakukan.Namun nyatanya sekarang Mas Bara malah merangkul pundakku, sembari membelai lembut wajahku seakan ingin memperlihatkan dengan tegas pada kakak iparku yang selalu julid itu, segala kemesraan kami.“Aku tidak akan pernah bertindak bodoh dengan melepaskan istriku yang cantik ini, sampai kapanpun dia tetap akan menjadi milikku,
“Ayo Mas, cepetan bilang!”Aku mulai mendesak dengan tak sabar dan aku malah merutuki karena kalimatku seperti terdengar manja nan mendayu.Selalu saja aku tak mampu mempertahankan ketegasanku di hadapan pria yang seharusnya aku hukum dengan sangat keras dengan segala pengabaian yang terlalu layak untuk dia dapatkan setelah apa yang sudah dia lakukan dengan menyembunyikan fakta tentang apa yang sudah dilakukannya pada bapakku.Mendengarku berbicara dengan nada yang terkesan manja itu, Mas Bara malah mendekatiku.Tapi aku kembali menjauh enggan untuk menerima sentuhannya lagi. Aku harus mempertahankan ketegasanku agar dia tak lagi bisa mempermainkan aku seperti sebelumnya di mana aku selalu berada di dalam kuasanya.“Desa ini hanya desa kecil berita sekecil apapun akan selalu mudah didengar, hanya orang-orang yang menutup telinga dan tak mau tahu saja yang tidak
Mas Bara kini malah mengulas senyumnya saat mendengarku mencecarnya.“Bukankah tadi aku sempat mengatakannya padamu?”Aku memilih termangu sembari menarik nafas panjang.Tapi Mas Bara kemudian malah menatapku dengan sorot matanya yang lebih lembut.“Rin, Yuni adalah salah alasan terbesarku untuk mencegahmu datang ke desa ini.”Ketika mendengar kata-kata Mas Bara yang menjadi sangat serius, aku segera memberikan perhatian padanya.“Dia terlalu licik untuk kamu hadapi dengan segala kepolosan kamu ini.”Aku mengernyit jengah meski hatiku juga dihinggapi rasa ingin tahu tentang kakak iparku yang selama ini sudah mengubah Mas Rahmat menjadi pribadi yang sangat egois dan tak pernah lagi peduli dengan keluarganya.“Asal kamu tahu, dia dulu bahkan pernah berusaha merayuku dengan sanga
“Katakan padaku Rin, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bisa memaafkan aku?”Tatapan Mas Bara menjadi kian luruh ketika aku mulai menentangnya.Untuk sesaat aku bahkan tak bisa berkata apapun. Selama ini aku tak pernah melihat Mas Bara memohon seperti ini. Hatiku nyaris luruh tapi sebagian diri ini masih tak bisa menerima semua ini dengan mudah.Pada akhirnya aku memilih menghempaskan tangannya tanpa berkata apapun sembari mulai melanjutkan langkahku yang tertunda.Aku benar-benar tak ingin melibatkan diri dengan percakapan apapun, terutama saat Mas Bara berusaha untuk meluluhkan hatiku demi bisa membawaku kembali ke Jakarta.Ketika kami sampai di ruang tunggu dan aku melihat keberadaan Mbak Rina bersama anak-anakku, aku berusaha untuk menetralkan hati dengan tidak menampakkan segala keresahanku saat ini.Aku menyunggingkan senyuman pada w
Saat berada di dalam swalayan, Mas Bara meminta kepada Rina untuk mendorong troli yang akan menjadi tempat menampung belanjaan kami.Bahkan Mas Bara meminta sopir yang disewanya untuk ikut membantu acara belanja kami ini.Seperti biasa dia akan selalu memanjakan anak-anak dengan membiarkan mereka mengambil barang apapun yang mereka mau.Dengan cepat satu troli sudah terisi penuh dengan aneka snack dan kebutuhan anakku.Aku hanya memilih secukupnya karena aku merasa sebagian besar keperluanku sudah tersedia di toko milik Mbak Murni meski toko yang dikelola Mbak Murni yang bekerja sama dengan Mas Hilman adalah sebuah toko yang berafiliasi dengan sebuah aplikasi online yang lebih fokus menyediakan sayuran sebagai pemasok utama.“Kamu nggak mengambil apapun sayang?” tanya Mas Bara kemudian ketika aku hanya melihat anak-anak memasukkan beberapa batang coklat ke dalam troli.Aku hanya melirik tipis ke arah suamiku yang memang selalu memperhatikan apapun kebutuhanku.“Apa kamu nggak membutuh
Rumah ini masih sama seperti bertahun-tahun silam. Bahkan terlihat bersih dan terawat dengan tanaman yang juga tidak banyak berubah di halaman depan. Hanya saja Pohon Mahoni di ujung halaman kini terlihat semakin menjulang dan tampak tua.Waktu berjalan dengan sangat cepat. Ketika pertama kali aku memasuki rumah ini aku masih seorang gadis belasan tahun dengan segala kepolosan yang mengikuti.Tapi kini saat aku kembali lagi aku telah menjadi seorang ibu dari sepasang anak kembar berusia tujuh tahun, dan aku juga tak sebahagia dulu setelah apa yang aku lewati dan ketahui.Aku masih termangu ketika telah memasuki kamar yang dulu pernah menjadi saksi kemesraanku bersama dengan Mas Bara. Banyak kenangan manis yang kami lewati bersama di ruangan yang dulu kuanggap begitu luas, sebelum Mas Bara memberikan rumah-rumah lain dengan kamar-kamarnya yang jauh lebih luas daripada ini.Perlahan aku m
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira