Pria yang tak lain bernama Henry Bastian Campbell secara tak sengaja bertemu dengan seorang anak laki-laki berusia empat tahun di koridor toilet restoran tempat ia menunggu seorang klien bisnisnya di Venesia, Itali. Seorang anak kecil laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Satu hal yang membuatnya semakin tertarik adalah wajah anak laki-laki itu yang terlihat mirip dengannya, bahkan sangat mirip dengan dirinya ketika kecil dahulu. Saat Henry mencoba mencari tahu dengan mengikuti sang anak, ternyata fakta yang didapat Henry justru sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Wanita yang sudah lama menghilang dan juga telah lama dicarinya ternyata adalah ibu dari sang anak laki-laki itu. Angelina Louis, kini tepat ada di depan matanya sekarang. Mantan istri kontrak yang telah lama dicarinya kini sudah kembali ditemukan. Fakta itu jelas membuat Henry merasa kecolongan. Ternyata mantan istrinya kini telah memiliki seorang anak laki-laki. Yang jadi pertanyaannya sekarang, siapakah ayah dari anak
“Axel?! Mungkinkah itu kau??” Aku mengerjapkan kedua mataku dalam kegelapan, seolah berusaha memperjelas penglihatan. “Kau pikir siapa? Apa kau berharap aku ini orang lain?” Suara itu menyahut memperjelas jika memang jika pria yang menindihku tubuhku adalah Axel Campbell, suamiku sendiri. “T-tapi bagaimana bisa? Bukankah kau mengatakan masih berada di London?” tanyaku masih tak percaya. “Aku memang sengaja membuat kejutan untukmu. Aku tak bisa jika harus menahan rindu ini walaupun itu hanya sehari,” ujarnya lirih di telingaku. Hembusan nafas hangatnya bisa aku rasakan di wajahku. Belum sempat aku menyahut ucapannya, bibirku dikunci olehnya. Kali ini ciumannya dalam dan begitu terburu-buru, seakan sentuhannya penuh nafsu di setiap inci di kulit tubuhku. Apakah ini caranya ia mengekspresikan rasa rindunya yang menggebu padaku? Tetapi selama empat tahun aku mengenalnya, memang seperti itulah Axel Campbell yang aku kenal. Awalnya aku menikah dengannya hanya karena sebuah alasan, namun
“Apakah ada sesuatu yang terjadi saat aku tak ada?” Axel bertanya posesif seraya mengelus rambutku setelah selesai kami bercinta malam itu. “Apa kau yakin?” selidiknya. “Ya, aku yakin. Kau tak perlu khawatir,” aku meyakinkan. “Baiklah aku percaya padamu. Syukurlah, jika memang tak ada masalah selama aku pergi,” ujar Axel mengecup lembut rambutku yang terbaring di salah satu lengannya yang kokoh. Axel memejamkan matanya, merasa lelah setelah percintaan panas kami. Melihatnya sekarang, entah kenapa membuatku merasa bersalah. Kenapa? Selama pernikahan aku belum bisa memberikan sepenuhnya hatiku untuknya. Meskipun selama ini Axel Campbell selalu memberikanku banyak cinta. Kenapa aku seperti ini? Aku sendiri tak tahu. Tak hanya tampan, Axel adalah pria penyayang meskipun sosoknya masih misterius untukku. Axel Campbell adalah sosok pria dan suami sempurna di mata semua wanita. Sebuah gambaran pria yang tanpa cela di mata orang. Tetapi tetap saja aku belum bisa memberikan seluruh hatiku
Jam analog di nakas samping ranjang menunjukkan pukul dua dini hari. Seorang pria dalam keadaan polos beranjak dari ranjang, ia menoleh sekilas ke wanita yang tampak terbaring tidur dalam keadaan yang tak berbeda dengan dirinya. Dengan penuh perhatian sang pria menutup tubuh polos sang wanita dengan selimut hingga sebatas leher. Setelah menggunakan boxernya, sang pria dengan penuh percaya diri melangkah ke balkon kamar untuk menelepon seseorang. “Katakan apa saja yang kau dapatkan?” Ekspresi sang pria tampak serius. “Seperti yang sudah Anda perkiraan, Henry Campbell sedang berada di Venesia, Mr. Campbell. Dia sempat berada di restoran yang sama dengan Nyonya tadi malam. Henry sempat mengejar mobil Nyonya, namun mobil Nyonya berhasil lolos dari kejaran Henry Campbell,” lapor seseorang dari balik telepon. “Kau awasi terus pergerakan Henry! Buatlah semuanya berjalan semestinya. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya setelah tahu semua fakta yang akan dia dapat,” perintah pria yang tak lain
Venesia, Italy.“Bagaimana kau bisa pergi saat aku baru saja sampai di sini menyusulmu, Henry?!” protes Carla tak terima melihat suaminya hendak bersiap pergi siang itu.Seperti tak mendengarnya Henry tak memperdulikan sikap protes Carla padanya. Ia tetap bersikap cuek seolah tak menganggap keberadaan Carla.“Henry, aku sedang bicara denganmu! Ingat aku adalah istrimu! Kau tak bisa bersikap seperti ini padaku!” Carla mencoba menghalangi Henry untuk pergi.Detik itu juga Henry menatap tajam Carla yang mencoba menghalangi jalannya, “Siapa yang menyuruhmu menyusul ke sini? Bukankah kau sendiri? Maka lakukanlah sesuka hatimu, Carla. Aku akan pergi, jadi jangan berusaha menghalangiku!” Henry berkata tajam.“Apa kau marah padaku karena aku menyusulmu ke Italy? Hingga kau bersikap seperti ini padaku, Henry?” Carla bertanya dengan suara rendah.“Kau pikir apa? Kau tahu dengan jelas jika aku tak suka dengan istri pembangkang!” tegas Henry dengan kilat mata tajam menusuk. Melihat ekspresi Henr
“Empat puluh dua juta dolar!” Seseorang menawar untuk pertama kali.“Lima puluh tiga juta dolar!” Suara seorang wanita menyusul beberapa detik kemudian.“Lima puluh tiga juta dolar, untuk wanita bergaun hijau! Berikutnya, siapa yang akan menawar lebih tinggi lagi?!” Sang auctioneer atau pembawa acara pria itu menampilkan senyuman cerahnya.“Enam puluh juta dolar!” Aku terkejut ketika Axel bersuara ikut menawarkan berlian the pink star itu.Seketika itu semua mata tampak mengalihkan pandangannya pada kami. Dengan ekor mataku aku bisa melihat tatapan mereka seolah menyiratkan banyak hal. Astaga, kenapa hal ini justru membuatku tak nyaman? Bagaimana bisa Axel Campbell menawarkan berlian itu dengan harga yang tidak main-main?“Aku tahu kau menyukainya, Honey,” bisik Axel di telingaku dengan gayanya yang elegan. Detik itu juga aku pun memalingkan wajahku padanya penuh tanya.“Tidak, tidak! Aku tidak setuju jika kau membuang uangmu hanya untuk sebuah perhiasan, Axel!” protesku dengan suara s
Pria bertopeng hitam itu adalah Henry Bastian Campbell. Ya, tidak salah lagi. Aku yakin itu adalah dia! Pria itu melangkah ke panggung disambut oleh beberapa pendukung acara lelang. “Seperti pembeli sebelumnya, Anda bisa memperkenalkan diri Anda, Tuan.” Auctineer itu mempersilakan.“Aku adalah Henry Bastian Campbell.” Henry memperkenalkan diri dengan sikap penuh percaya dirinya.“Wah, sangat tidak disangka, ternyata Anda dari keluarga Campbell. Henry Bastian Campbell. Tentu semua orang yang hadir di sini mengenal siapa itu Henry Bastian Campbell. Saya sangat terhormat bisa mengenal dan bertemu secara langsung dengan Anda dalam momen acara ini. The pink star memang pantas untuk Anda, Mr. Campbell. Jika kami boleh tahu? Untuk siapa cincin berlian ini, Mr. Campbell?” Sang auctineer berbasa-basi.“Berlian ini pastinya untuk seseorang yang spesial,” Henry menjawab lugas dengan tanpa ekspresi.Suara riuh dari tamu terdengar kembali. Bahkan sebagian dari mereka mengalihkan pandangannya pada
“Ada apa? Kau masih memikirkan tentang Henry?” Axel yang baru keluar dari kamar mandi melangkah mendekatiku yang setengah terbaring di ranjang dengan pandangan kosong.Aku pun tersentak detik itu juga, “Tidak! Bukankah kau tahu aku sedang menonton televisi? aku beralasan dengan senyuman yang mungkin terlihat aneh bagi Axel.“Kau pikir aku bodoh, Honey? Pandanganmu itu kosong menatap televisi.” Axel mengangkat sudut bibirnya membuatku semakin terlihat bodoh di matanya sekarang.“Maaf, aku..., bukan maksudku-“ Ucapanku terhenti ketika tanpa disangka Axel justru mengunci bibirku dengan ciumannya hingga aku membelalakkan kedua mataku merasa kaget dengan reaksinya yang di luar dugaan itu.“Tak perlu mengucapkannya. Tanpa kau berkata apa pun, aku sudah tahu apa yang kau pikirkan.” Axel melepas ciumannya yang singkat padaku dan menatapku dalam. Jujur tatapannya itu membuatku semakin tak berdaya sekaligus merasa bersalah padanya.“Aku hanya takut Henry akan tahu tentang Andrew, itu saja.” Aku
Siang itu aku dalam perjalanan menuju ke sekolah Andrew, setelah wali kelasnya, Mrs. Nancy Brown menghubungiku beberapa jam yang lalu dan memberitahuku jika Andrew terlibat masalah dengan sesama teman di sekolahnya. Apa yang terjadi di sekolah, aku belum terlalu jelas mengetahuinya, Hanya saja sebagai ibu, hal itu tetap saja membuatku sedikit merasa panik. Andrew adalah anak yang tak pernah membuat masalah, dia cenderung penurut dan bukanlah anak yang hiperaktif, lalu masalah apa yang ditimbulkan Andrew hingga ia bisa terlibat masalah dengan teman di sekolahnya. Tak ada penjelasan secara rinci, Mrs. Nancy Brown hanya memintaku untuk datang ke sekolah untuk bertemu dengan wali murid dari teman yang bermasalah dengan Andrew. Setelah sampai di sekolah Andrew, aku langsung berjalan menuju ke ruangan guru di sekolah dasar favorit tempat Andrew menempuh pendidikan di sini. Namun, belum sampai di tempat yang dituju di koridor sekolah aku berpapasan dengan seseorang, tepatnya seorang guru lak
Empat hari telah berlalu sejak aku mendapatkan kiriman buket bunga tanpa nama. Selama itu pun aku selalu mendapatkan buket bunga yang sama dengan tanpa nama. Entah siapa yang sengaja mengirimkannya padaku aku belum menemukan petunjuk apa pun. Hingga hari ketiga aku pernah memerintahkan Bob untuk menolak tak menerima dan mengembalikannya pada sang pengirim, akan tetapi sang kurir menolak keras dengan alasan buket bunga itu memang dipesan seseorang lewat on line. Tentu saja mengembalikannya hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh sebab itulah mau tak mau aku harus menerima buket bunga tersebut, meskipun sebenarnya aku sudah mulai merasa semakin penasaran dengan siapa sebenarnya sang pengirim tanpa nama itu. Selama itu pun Axel tak terlihat lagi datang berkunjung. Dia seolah menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa tak heran karena sejak dulu itulah keahlian dari seorang Axel Campbell, yang selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba. Saat itu aku sempat berpikir apa mungkin sang pengirim misteri
Mansion utama Campbell“Nyonya ada kiriman buket bunga dari seseorang.” Pelayan setia bernama Bob memberitahu ketika aku tengah mengawasi Damian dan Andrew berenang bersama di mansion. Aku mengerutkan alis menatap lekat buket bunga mawar merah cantik yang ada di tangan Bob. “Buket bunga? Dari siapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada nama pengirim, Nyonya tetapi ada pesan di buket bunga ini. Mungkin Anda bisa mengetahui jika sudah membacanya.” Bob menyerahkan buket berukuran cukup besar itu padaku, "Jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya permisi, Nyonya.” Bob menunduk kemudian berlalu pergi sedangkan aku masih menatap penuh tanya buket bunga cantik yang kini berada di tanganku. Harus aku akui buket bunga ini begitu cantik. Entah kebetulan atau tidak sepertinya sang pengirim mengetahui jika memang aku sangat menyukai bunga mawar merah seperti ini. Tapi siapa yang mengirimnya? Apakah Axel, mungkinkah dia? Tetapi selama kami menikah dia jarang sekali bersikap romantis apalagi sampai men
“Mom!!!” Suara dari panggilan yang sangat aku kenal itu membuatku membuka mata. Benar saja, aku yang masih terbungkus selimut tebal dan baru saja terbangun sontak dibuat terkejut ketika dua putraku berhamburan masuk ke kamar lalu memelukku erat seolah sudah lama tak berjumpa. “Andrew! Damian!” Aku menyahut membalas pelukan mereka padaku masih dalam satu ranjang. “Kenapa Mom pulang lama sekali semalam? Aku semalam tidur bersama dengan Kak Andrew karena Mom tak ada. Mom tidak takut ‘kan tidur sendirian?” Damian kecil bertanya polos padaku. Deg! Saat itu juga aku baru mengingat jika semalam untuk pertama kalinya setelah ‘kematian’ Axel, kami berdua tidur bersama dalam satu ranjang dan menghabiskan malam bersama. Tubuhku terasa memanas jika mengingatnya. Bagaimana Axel menyentuhku semalam masih aku ingat dengan jelas, setiap sentuhannya padaku seakan adalah pengobat rindu setelah perpisahan kami yang cukup lama. Jujur aku masih belum siap sepenuhnya semalam tetapi aku tak bisa menol
“Bermimpilah terus Jeremy! Yang pasti ucapanmu tak akan mengubah apa pun di antara kita berdua!” tegasku cukup lantang. Pria berpomade itu tetap tersenyum penuh percaya diri. “Oya? Kita lihat saja nanti, sweety heart.” Kedua tangan Jeremy saling bertumpu pada meja, mengukir senyuman samar lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kau boleh menolakku sekarang, Angelina. Tapi aku pastikan kau akan kembali padaku. Karena sejak dulu di antara kita memang tak pernah ada kata perpisahan, itu yang pasti.” Kali ini aku terdiam, tak bereaksi menatap sosok pria di hadapanku yang begitu berbeda dari yang pernah aku kenal dulu, Jeremy Ollands. Aku memang sudah mengenal sosok Jeremy yang tak pantang menyerah, namun sekarang entah bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini sosok Jeremy kini berubah menjadi semakin berbeda. Seolah dia adalah pria yang begitu terobsesi denganku. Selama delapan tahun ini bukannya melupakanku seperti aku yang telah melupakannya, tetapi dia justru mengejarku hingga s
Malam berikutnya sesuai dengan apa yang Jeremy Ollands minta, aku pun akhirnya memutuskan untuk menemuinya di salah satu restoran besar yang ada di New York City, dengan hanya membawa serta supir pribadiku. Sedangkan Andrew dan Damian aman bersama dengan pelayan pribadi yang ada di mansion utama Campbell. Pria itu, Jeremy Ollands aku tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, untuk itu aku harus tahu dengan terpaksa menemuinya seperti ini. Aku mengedarkan pandanganku ke deretan kursi restoran yang cukup banyak pengunjung, hingga akhirnya aku melihat sosok pria berjas navy duduk seorang diri menatapku dengan senyuman lebarnya. Pria itu tak banyak berubah setelah delapan tahun lamanya. Hanya saja kini aku lihat tubuhnya lebih berisi, tidak jangkung seperti dulu. Memasang ekspresi datar aku melangkah mendekatinya dengan menggunakan setelan celana berwarna putih berpotongan elegan. “Hallo, Angelina Louis. Oh, maaf maksudku Mrs. Campbell. Yeah, sepertinya aku belum terbiasa memanggil kek
Mansion utama CampbellAku tak bisa tidur malam ini, pikiranku melayang membayangkan pertemuanku dengan Axel siang tadi. Setelah menidurkan Andrew dan Damian beberapa jam yang lalu, kini aku masih duduk di balkon kamarku sendiri tanpa beranjak sedikit pun. Pikiranku gelisah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Harusnya aku senang Axel kembali ke padaku dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi kenapa aku justru merasakan gelisah? Apakah ini hanya karena perasaan kecewa saja atau karena ada hal lain yang membuatku ragu aku bisa menerimanya sebagai suami seperti dulu? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Axel selama dalam kematiannya karena hanya ingin bertujuan melindungiku dan anak-anak, serta untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya Sean Louis juga ibunya selama ini, yaitu yang tak lain adalah istri pertama dari Arthur Campbell. Namun, semuanya itu masih membuatku belum bisa menerima sepenuh hati Axel kembali seperti dulu.Ya, siang tadi Axel telah memberitahuku segalanya apa yang
“Axel?! Bagaimana bisa kau ada di sini?!” Aku terkejut bukan main saat mendapati pria yang masih menjadi suamiku itu kini sudah ada bersama satu mobil bersamaku. “Tidak penting bagaimana aku bisa ada di sini, karena sekarang yang terpenting kita harus bicara Angelina.” Axel menyahut datar dengan pandangan tetap ke depan kemudian mulai menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam di tempat, cukup terkejut dengan situasi yang terjadi saat ini. Seperti orang bodoh aku hanya terdiam di kursi belakang mobil selama dalam perjalanan, dengan pandangan menerawang tanpa fokus yang jelas. Entah berapa lama kami berdua, yaitu aku dan Axel berada dalam satu mobil bersama dalam suasana yang diliputi keheningan. Sungguh situasi yang terlihat kaku. Hingga akhirnya Axel menghentikan mobil di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota. Lebih tepatnya Axel menghentikan mobilnya di sebuah jalanan setapak yang seperti menuju ke arah jalanan perbukitan. “Kau membawaku ke mana, Axel? Ini
Netraku berkaca-kaca menatap Henry. Sorot mata biru tajamnya kini terlihat teduh menatapku. Lidahku terasa kelu, aku merasa ucapan Henry seakan seperti kalimat perpisahan yang membuat hatiku bergetar.“Kenapa kau bicara seperti itu, Henry? Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu?” tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar sedikit gemetar karena perasaan emosional.“Seperti yang kau tahu Axel sudah kembali, dia telah kembali untukmu, Angelina. Sekarang tugasku sudah selesai. Saat ini aku hanya mempersiapkan hatiku untuk itu, hal itulah yang sedang aku lakukan sekarang,” ujar Henry.Aku menatap dalam Henry, berharap menemukan jawaban di dalam sorot matanya tetapi yang aku lihat justru kehampaan. Hingga membuatku berpikir, sedalam itukah perasaan Henry padaku? Tetapi aku harus bagaimana, aku benar-benar merasakan delima. Bagaimanapun Axel masih menjadi suamiku, namun meskipun begitu aku tak bisa mengabaikan perasaan Henry begitu saja. Selama Axel tak ada, Henry lah yang selama ini menjaga