Bab 39“Mom!! Apa Mom sakit?” Sebuah suara yang sangat kukenal membangunkanku dari tidur. Aku mulai membuka mata dan bisa aku rasakan sebuah tangan mungil menyentuh wajahku lembut. “Andrew??” Aku tersenyum melihat wajah tampannya yang menggemaskan.“Mom baik-baik saja, Sayang? Siapa yang bilang Mom sedang sakit?” Aku berkata serak masih terbaring di balik selimut yang menutupi polos tubuhku.“Dad yang mengatakannya, dia berkata aku tak boleh mengganggu Mom karena Mom sedang tak enak badan,” Andrew menjawab polos.“Dad?” Detik itu juga aku pun menoleh ke samping ranjang di sebelahku, ternyata Axel memang sudah tak di sana. Aku tak tahu sejak kapan ia pergi hingga aku tak menyadarinya.Andrew mengangguk menatapku dengan tatapan cemas, “Dad sendiri yang mengatakannya karena itu aku datang sendiri ke kamar untuk memeriksa keadaan Mom,” ujarnya membuatmu merasa sedikit bersalah.Aku pun berpikir, apakah karena kejadian semalam, membuat Axel mengatakan hal itu pada Andrew? Mungkinkah itu
Aku merasakan delima, bingung dan gelisah. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Cukup lama aku berpikir dalam kebimbangan juga menimbang banyak hal, akhirnya aku pun terpaksa mengikuti apa yang dikatakan Henry. Lagi pula akan sampai kapan aku menghindar darinya? Walaupun hubungan kami sudah berakhir, namun masih ada sesuatu yang belum selesai di antara kami berdua. “Lana, kau tolong jaga baik-baik Andrew selama aku tak ada. Segera hubungi aku jika suamiku pulang, namun aku akan usahakan urusanku selesai sebelum suami pulang,” perintahku pada Lana yang tengah menemai Andrew bermain. “Mom, akan pergi? Tidak mengajakku?” Andrew menatap dengan raut wajah memelas membuatku merasa sedikit berat harus meninggalkannya. “Mom hanya sebentar, Sayang. Ada urusan penting yang harus Mom lakukan. Tetapi Mom berjanji akan pulang cepat.” Aku mengusap lembut rambut hitam Andrew, “Tetaplah bersama Lana, jadilah anak yang baik, okay?” Sentuhanku turun ke pipi montok Andrew seraya tersenyum padany
Ya, Tuhan. Ternyata benar, apa yang aku takutkan itu terjadi. Henry sudah tahu keberadaan Andrew, bahkan dia sampai berpikir jika Andrew adalah anaknya.“Tidak ada anak! Kau jangan terlalu percaya diri jika putraku itu adalah anakmu, Henry!” aku menyangkal keras dengan keberanian yang besar.Henry tersenyum miring, “Oya? Benarkah itu? Jika anak itu tidak ada hubungannya denganku kenapa kau terlihat ketakutan sekarang?” tebak Henry membuatku semakin gugup.“A-apa?!” Aku mendelik seketika. Tapi mungkinkah Henry memang bisa melihat kegugupanku? Atau dia hanya sengaja memancingku saja.“Andrew Campbell itu adalah nama bocah laki-laki itu ‘kan?” Henry memancing dengan senyum penuh percaya dirinya. “Dan jangan berusaha membodohiku jika Andrew Campbell adalah anakmu dengan Axel,” tukas Henry.“Andrew memang adalah anakku bersama dengan Axel Campbell! Apa itu menjadi masalah bagimu?!” tukasku berani.“Oya? Kau pikir aku bodoh, Angelina?” Henry menyudutkanku, “Apa kau pikir, aku tidak tahu ji
“Satu gelas lagi!” pinta seorang wanita cantik berpenampilan menarik pada seorang bartender di sebuah bar terbaik di Milan malam itu.Wanita yang tak lain adalah Carla itu tampak memesan minuman beralkohol tinggi pada seorang bartender untuk ke sekian kalinya. Raut wajah cantiknya terlihat frustasi dan marah. Bagaimana tidak? Suaminya sendiri baru saja mengatakan jika ada wanita lain dalam pernikahan mereka, hati istri mana yang tidak sakit hati mendengarnya? Apalagi seorang wanita sempurna berego tinggi seperti Carla Queen Baker, tentu ia tak akan terima hal itu! Carla tak terima penghinaan ini!Apa yang selama ini Carla pikir itu ternyata benar. Jika Henry memiliki wanita lain di hatinya. Itu adalah jawaban dari perbedaan sikap Henry padanya. Henry yang memujanya, Henry yang mencintainya, selama menjalani hampir empat tahun pernikahan tak pernah sekali pun bersikap acuh padanya kini tiba-tiba justru bersikap dingin padanya. Carla mengakui jika Henry adalah sosok suami yang selalu me
Pagi itu Henry terbangun saat ponselnya yang diletakan di meja nakas samping ranjangnya terus bergetar. Terganggu dengan suara getaran ponsel, Henry membuka matanya dengan berat. Masih enggan tubuhnya untuk beranjak, namun suara getaran ponsel itu terus mengganggu. Dengan enggan Henry menggapai benda pipih itu tanpa beranjak dari atas ranjang. Netra birunya menyempit saat melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya. Walaupun ia tak mengenal nomor ponsel yang menghubungi, tetapi Henry bisa menebak jika ia tahu siapa orang yang menghubunginya. Akhirnya Henry pun mengangkatnya tanpa berbicara terlebih dahulu. “Sudah waktunya kita bertemu, Henry Bastian Campbell. Bukan antar saudara, tapi ini adalah antar sesama pria!” Tebakan Henry tidak meleset. Sebuah suara mendominasi terdengar, dan Henry mengenal betul siapa pemilik suara tersebut. “Katakan dan aku akan datang dengan senang hati,” ucap Henry serius penuh keyakinan. “Aku tunggu kau di tempat yang akan aku tunjukkan padamu, satu ja
"Berita apa ini?! Jelaskan padaku!” Henry melemparkan sebuah surat kabar dengan kasar tepat di muka Carla yang masih terbaring di atas ranjang pagi itu. Carla yang belum sepenuhnya sadar terkejut dengan sikap Henry yang tiba-tiba melemparkan sebuah surat kabar di wajahnya. “Apa-apaan kau, Henry?!” serunya marah tak terima. “Seharusnya aku yang pantas bertanya padamu! Apa kau sengaja melakukannya agar aku merasa cemburu, begitu?! Kalau kau berpikir seperti itu, kau salah besar Carla!!” sergah Henry dengan suara lantang. “Apa?? Cemburu? Apa maksudnya?” Carla semakin merasa bingung. Merasa penasaran Carla pun membuka surat kabar itu dan seketika juga ia membelalakkan kedua matanya lebar-lebar. Bagaimana tidak? Ia melihat dengan jelas foto seorang wanita bersama dengan seorang pria tampak mesra di sebuah klub malam. Bahkan dari foto tersebut jelas terlihat jika pasangan itu tampak seperti hendak berciuman, dan Carla mengingat dengan jelas siapa wanita yang ada dalam foto itu. Ya, sang
“Ayo sini Mom! Berenang bersamaku!” Andrew berteriak memanggil dengan antusias seraya berlari ke pinggir pantai. “Jangan berlari terlalu cepat Andrew! Tunggulah Mom!” aku melangkah cepat menyusul Andrew yang berlari terlebih dahulu. Setelah mendapatkan izin dari Axel, aku dan Andrew pun pergi berlibur ke pantai di mana kali ini menjadi tempat tujuan kami. Tentunya bersama Rex dan Billy, seperti yang Axel perintahkan. Kedua pengawal kepercayaan kami ikut serta untuk mengawal kami. Aku pikir tak masalah, tanpa Axel ataupun tidak, yang jelas saat ini aku hanya ingin menikmati liburanku bersama dengan putraku, Andrew Aidan Campbell. Bisa kulihat Andrew begitu semangat dan senang dengan liburan kali ini, walaupun liburan ini hanya ada kami berdua. Setelah cukup lama menemani Andrew bermain di pantai, kini aku memilih duduk berjemur di pinggir pantai sembari mengawasi Andrew yang tengah asyik bermain membuat istana pasir. Cuaca cerah hari ini seakan mendukung liburan kami, begitu juga su
“Paman ini teman Mom, Sayang," aku menjawab sedikit gugup. Saat itu juga, bisa kulihat ekspresi Henry tampak berubah ketika melihat Andrew secara dekat. “Hallo, jagoan. Apakah namamu Andrew Campbell? Aku ini adalah-“ “Henry, please!” potongku cepat sebelum Henry melanjutkan ucapannya pada Andrew. Henry tersenyum penuh arti padaku lalu mengalihkan pandangannya pada Andrew kembali, “Aku ini adalah saudara dari orang tuamu. Jadi kau bisa memanggilku dengan panggilan Paman Henry," sambungnya seraya tersenyum cerah pada Andrew. Aku akui jika ucapan Henry sempat membuatku takut dan seolah jantungku seperti berhenti berdetak seketika. Bagaimana tidak? Aku sempat berpikir jika Henry akan mengatakan kalau dia adalah ayah kandung Andrew. “Wah, benarkah itu? Tapi bukankah kau adalah Paman yang pernah aku lihat di restoran waktu itu. Paman tampan?” Kedua mata Andrew berbinar senang mengingatnya. “Benar sekali, kau ternyata masih ingat. Paman pikir kau sudah lupa,” Henry menyahut dengan seny
Siang itu aku dalam perjalanan menuju ke sekolah Andrew, setelah wali kelasnya, Mrs. Nancy Brown menghubungiku beberapa jam yang lalu dan memberitahuku jika Andrew terlibat masalah dengan sesama teman di sekolahnya. Apa yang terjadi di sekolah, aku belum terlalu jelas mengetahuinya, Hanya saja sebagai ibu, hal itu tetap saja membuatku sedikit merasa panik. Andrew adalah anak yang tak pernah membuat masalah, dia cenderung penurut dan bukanlah anak yang hiperaktif, lalu masalah apa yang ditimbulkan Andrew hingga ia bisa terlibat masalah dengan teman di sekolahnya. Tak ada penjelasan secara rinci, Mrs. Nancy Brown hanya memintaku untuk datang ke sekolah untuk bertemu dengan wali murid dari teman yang bermasalah dengan Andrew. Setelah sampai di sekolah Andrew, aku langsung berjalan menuju ke ruangan guru di sekolah dasar favorit tempat Andrew menempuh pendidikan di sini. Namun, belum sampai di tempat yang dituju di koridor sekolah aku berpapasan dengan seseorang, tepatnya seorang guru lak
Empat hari telah berlalu sejak aku mendapatkan kiriman buket bunga tanpa nama. Selama itu pun aku selalu mendapatkan buket bunga yang sama dengan tanpa nama. Entah siapa yang sengaja mengirimkannya padaku aku belum menemukan petunjuk apa pun. Hingga hari ketiga aku pernah memerintahkan Bob untuk menolak tak menerima dan mengembalikannya pada sang pengirim, akan tetapi sang kurir menolak keras dengan alasan buket bunga itu memang dipesan seseorang lewat on line. Tentu saja mengembalikannya hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh sebab itulah mau tak mau aku harus menerima buket bunga tersebut, meskipun sebenarnya aku sudah mulai merasa semakin penasaran dengan siapa sebenarnya sang pengirim tanpa nama itu. Selama itu pun Axel tak terlihat lagi datang berkunjung. Dia seolah menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa tak heran karena sejak dulu itulah keahlian dari seorang Axel Campbell, yang selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba. Saat itu aku sempat berpikir apa mungkin sang pengirim misteri
Mansion utama Campbell“Nyonya ada kiriman buket bunga dari seseorang.” Pelayan setia bernama Bob memberitahu ketika aku tengah mengawasi Damian dan Andrew berenang bersama di mansion. Aku mengerutkan alis menatap lekat buket bunga mawar merah cantik yang ada di tangan Bob. “Buket bunga? Dari siapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada nama pengirim, Nyonya tetapi ada pesan di buket bunga ini. Mungkin Anda bisa mengetahui jika sudah membacanya.” Bob menyerahkan buket berukuran cukup besar itu padaku, "Jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya permisi, Nyonya.” Bob menunduk kemudian berlalu pergi sedangkan aku masih menatap penuh tanya buket bunga cantik yang kini berada di tanganku. Harus aku akui buket bunga ini begitu cantik. Entah kebetulan atau tidak sepertinya sang pengirim mengetahui jika memang aku sangat menyukai bunga mawar merah seperti ini. Tapi siapa yang mengirimnya? Apakah Axel, mungkinkah dia? Tetapi selama kami menikah dia jarang sekali bersikap romantis apalagi sampai men
“Mom!!!” Suara dari panggilan yang sangat aku kenal itu membuatku membuka mata. Benar saja, aku yang masih terbungkus selimut tebal dan baru saja terbangun sontak dibuat terkejut ketika dua putraku berhamburan masuk ke kamar lalu memelukku erat seolah sudah lama tak berjumpa. “Andrew! Damian!” Aku menyahut membalas pelukan mereka padaku masih dalam satu ranjang. “Kenapa Mom pulang lama sekali semalam? Aku semalam tidur bersama dengan Kak Andrew karena Mom tak ada. Mom tidak takut ‘kan tidur sendirian?” Damian kecil bertanya polos padaku. Deg! Saat itu juga aku baru mengingat jika semalam untuk pertama kalinya setelah ‘kematian’ Axel, kami berdua tidur bersama dalam satu ranjang dan menghabiskan malam bersama. Tubuhku terasa memanas jika mengingatnya. Bagaimana Axel menyentuhku semalam masih aku ingat dengan jelas, setiap sentuhannya padaku seakan adalah pengobat rindu setelah perpisahan kami yang cukup lama. Jujur aku masih belum siap sepenuhnya semalam tetapi aku tak bisa menol
“Bermimpilah terus Jeremy! Yang pasti ucapanmu tak akan mengubah apa pun di antara kita berdua!” tegasku cukup lantang. Pria berpomade itu tetap tersenyum penuh percaya diri. “Oya? Kita lihat saja nanti, sweety heart.” Kedua tangan Jeremy saling bertumpu pada meja, mengukir senyuman samar lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kau boleh menolakku sekarang, Angelina. Tapi aku pastikan kau akan kembali padaku. Karena sejak dulu di antara kita memang tak pernah ada kata perpisahan, itu yang pasti.” Kali ini aku terdiam, tak bereaksi menatap sosok pria di hadapanku yang begitu berbeda dari yang pernah aku kenal dulu, Jeremy Ollands. Aku memang sudah mengenal sosok Jeremy yang tak pantang menyerah, namun sekarang entah bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini sosok Jeremy kini berubah menjadi semakin berbeda. Seolah dia adalah pria yang begitu terobsesi denganku. Selama delapan tahun ini bukannya melupakanku seperti aku yang telah melupakannya, tetapi dia justru mengejarku hingga s
Malam berikutnya sesuai dengan apa yang Jeremy Ollands minta, aku pun akhirnya memutuskan untuk menemuinya di salah satu restoran besar yang ada di New York City, dengan hanya membawa serta supir pribadiku. Sedangkan Andrew dan Damian aman bersama dengan pelayan pribadi yang ada di mansion utama Campbell. Pria itu, Jeremy Ollands aku tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, untuk itu aku harus tahu dengan terpaksa menemuinya seperti ini. Aku mengedarkan pandanganku ke deretan kursi restoran yang cukup banyak pengunjung, hingga akhirnya aku melihat sosok pria berjas navy duduk seorang diri menatapku dengan senyuman lebarnya. Pria itu tak banyak berubah setelah delapan tahun lamanya. Hanya saja kini aku lihat tubuhnya lebih berisi, tidak jangkung seperti dulu. Memasang ekspresi datar aku melangkah mendekatinya dengan menggunakan setelan celana berwarna putih berpotongan elegan. “Hallo, Angelina Louis. Oh, maaf maksudku Mrs. Campbell. Yeah, sepertinya aku belum terbiasa memanggil kek
Mansion utama CampbellAku tak bisa tidur malam ini, pikiranku melayang membayangkan pertemuanku dengan Axel siang tadi. Setelah menidurkan Andrew dan Damian beberapa jam yang lalu, kini aku masih duduk di balkon kamarku sendiri tanpa beranjak sedikit pun. Pikiranku gelisah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Harusnya aku senang Axel kembali ke padaku dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi kenapa aku justru merasakan gelisah? Apakah ini hanya karena perasaan kecewa saja atau karena ada hal lain yang membuatku ragu aku bisa menerimanya sebagai suami seperti dulu? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Axel selama dalam kematiannya karena hanya ingin bertujuan melindungiku dan anak-anak, serta untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya Sean Louis juga ibunya selama ini, yaitu yang tak lain adalah istri pertama dari Arthur Campbell. Namun, semuanya itu masih membuatku belum bisa menerima sepenuh hati Axel kembali seperti dulu.Ya, siang tadi Axel telah memberitahuku segalanya apa yang
“Axel?! Bagaimana bisa kau ada di sini?!” Aku terkejut bukan main saat mendapati pria yang masih menjadi suamiku itu kini sudah ada bersama satu mobil bersamaku. “Tidak penting bagaimana aku bisa ada di sini, karena sekarang yang terpenting kita harus bicara Angelina.” Axel menyahut datar dengan pandangan tetap ke depan kemudian mulai menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam di tempat, cukup terkejut dengan situasi yang terjadi saat ini. Seperti orang bodoh aku hanya terdiam di kursi belakang mobil selama dalam perjalanan, dengan pandangan menerawang tanpa fokus yang jelas. Entah berapa lama kami berdua, yaitu aku dan Axel berada dalam satu mobil bersama dalam suasana yang diliputi keheningan. Sungguh situasi yang terlihat kaku. Hingga akhirnya Axel menghentikan mobil di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota. Lebih tepatnya Axel menghentikan mobilnya di sebuah jalanan setapak yang seperti menuju ke arah jalanan perbukitan. “Kau membawaku ke mana, Axel? Ini
Netraku berkaca-kaca menatap Henry. Sorot mata biru tajamnya kini terlihat teduh menatapku. Lidahku terasa kelu, aku merasa ucapan Henry seakan seperti kalimat perpisahan yang membuat hatiku bergetar.“Kenapa kau bicara seperti itu, Henry? Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu?” tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar sedikit gemetar karena perasaan emosional.“Seperti yang kau tahu Axel sudah kembali, dia telah kembali untukmu, Angelina. Sekarang tugasku sudah selesai. Saat ini aku hanya mempersiapkan hatiku untuk itu, hal itulah yang sedang aku lakukan sekarang,” ujar Henry.Aku menatap dalam Henry, berharap menemukan jawaban di dalam sorot matanya tetapi yang aku lihat justru kehampaan. Hingga membuatku berpikir, sedalam itukah perasaan Henry padaku? Tetapi aku harus bagaimana, aku benar-benar merasakan delima. Bagaimanapun Axel masih menjadi suamiku, namun meskipun begitu aku tak bisa mengabaikan perasaan Henry begitu saja. Selama Axel tak ada, Henry lah yang selama ini menjaga