"Apa-apaan ini?! Disini bukan hotel, tapi perusahan saya!"Gertakan Vin ini, disambut tundukan kepala dari semua yang berada diarea lobby, termasuk itu Morgan, sempat melirik Lea dengan ekspresi bersimpati, atau lebih tepatnya merasa kasihan, karena akan mendapat semburan dari Vin."Maaf, Pak. Kami masuk," sahut Lea mendahului Dani, lalu menariknya agar menaiki tangga saja, setelah berpamitan sopan pada Vin."Ihh, Dani. Jangan diulang lagi deh. Iya kamu, bisa langsung belok ke ruanganmu. Lha aku? Gimana harus hadapi bos kita satu itu, hah?!" protes Lea ingin Dani membuka mata. "Sudah tahu bagaimana karakter Presdir Vin kayak gimana, pake drama begitu. Lain kali, kalau mau ngobrol, cari tempat sepi!" omel Lea, kesal setengah mati. Lea cepatkan langkah, lalu tinggalkan Dani yang bengong begitu saja. Dani masih tak percaya, Lea yang sekarang berbeda dengan Lea saat mereka bersama."Hmm. Entah apa yang merubahmu, Lea, tapi nggak tahu kenapa, gue jadi semakin terobsesi sama lo!" Senyum D
Vin pencet tombol interkom antar ruangan, keraguan dia singkirkan sementara waktu."Lea. Masuklah.""Baik, Pak." Lea arahkan bagian depan poninya ke belakang telinga, mengambil tali kuncir, lalu mengikat keseluruhan rambutnya menjadi ekor kuda. Tadi belum sempat dia lakukan, karena terburu-buru."Iya?" tanya Lea, setelah didepan meja Vin."Ehm, ada hal penting." Tidak biasanya Vin ragu untuk ungkapkan sesuatu."Apa itu, Pak?""Ehm..."Deringan panggilan terdengar dari meja Lea. Suasana hening, jadikan suara itu menggema di 2 ruangan dengan pintu tak tertutup."Iya, Pak?" tanya Lea lagi."Angkat dulu telponmu." "Oh, baiklah." Lea kembali ke meja dan meraih ponselnya. Usaha cepatnya, tak membuatnya terlalu senang, karena yang menelpon ternyata Dani, yang pasti bukan soal pekerjaan. "Dani? Ada apa?" balasnya malas."Pak Vin marahin kamu, tidak?" selidik Dani pelan, bermaksud tunjukkan perhatian."Nggak," jawab Lea singkat."Syukurlah. Aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja, gara-gara mi
"Demam? Nggak!"Vin masih belum sanggup bicarakan sesuatu yang sempat dibahas dengan Sekretaris Li tadi. Hanya bisa mengelak, tapi juga terbebani dalam pikiran."I'm fine. Sto bene!" ungkapnya lagi, kalau memang dirinya baik-baik saja, tak ada yang perlu Lea khawatirkan.Vin acuhkan Lea, kembali ke ruangannya, seolah barusan tak terjadi apapun pada mereka, dan Lea hanya bisa menatap keheranan dari kejauhan."Jelas-jelas badannya demam, kok. Tapi mesti nggak mau ngakuin," gumam Lea, semakin picingkan kedua mata, jadi setajam ucapannya. "Apa maksudnya, coba? Cemburu? Mau lagi, tapi nggak mau ngakuin? Nggak jelas! Huh, dasar mesum!" umpatan sesuai label untuk Vin yang dia ciptakan.Lea cuma bisa membanting kaki, kesel, tapi hanya bisa pasrah dengan kembali duduk di meja kerjanya, untuk selesaikan pendingan pekerjaan yang harus dia kerjakan.Baru saja ruangan itu damai, baik Lea maupun Vin, sama-sama tenggelam dalam kesibukan, mulai berdatangan orang lain."Pssttt...Lea!" panggilan setela
Setelah mengusir Helena secara halus, Vin turun lewat lift untuk pegawai, dan bukan lift khusus sang presdir."Presdir Vin?" ungkap salah satu pegawai dengan jabatan salah satu manager dibagian usaha property Vin yang ada di lantai 3. "Apa anda berencana lakukan sidak pegawai?" tanyanya, baru kali ini mendapati seorang presdir berdiri bersama pegawainya di dalam lift."Sidak?" sahut Vin, jadi tercetus suatu pemikiran. "Hmm iya, kamu benar. Aku mau sidak," lanjutnya dingin. Para pegawai yang menyapanya, hanya ditanggapi dengan anggukan samar saja.Vin dipersilahkan keluar terlebih dulu oleh para pegawainya, lalu menoleh ke arah lift yang biasa dia gunakan."Morgan," panggilnya pada kepala pengawalnya."Tuan? Anda lewat situ?" Morgan terkejut, Vin tidak biasanya."Kita makan disini saja," ujar Vin."Disini dimana, tuan?" Morgan terkesiap mengawal Vin, mengikuti ritme langkahnya yang cepat."Ya disini!"Jawaban singkat Vin tapi menghentak ini, membuat mulut Morgan terkatup. Tak ada gunan
Tatapan Vin, membuat Lea kembali merasakan tiap sentuhan dibeberapa bagian tubuhnya, beberapa menit lalu, sebelum kedatangan Helena."Anda tumben makan disini, Pak?" Pertanyaan dari Dani ini, memecah kebekuan Lea yang tak bisa berkata-kata, mulai canggung."Sidak.""Sidak?" Kebiasaan Lea mengulang bagian akhir ucapan lawan bicaranya, keluar."Kenapa?" sahut Vin. "Karena tidak ada di jadwalku hari ini? Kan namanya saja sidak, ya dilakukan secara dadakan!"Lea mengangguk-angguk dan turunkan tatapan. Kalau gas nada suaranya sudah mulai 60 km/jam bagini, Lea hanya bisa menyetujui saja. Percuma memulai berdebat lama-lama."Benar kata para pegawai, cara anda bekerja dan memimpin sangat berbeda dengan Pak Anthony." Dani justru yang memulai obrolan. Lea hanya penyimak saja.Diterima diperusahaan milik Vin ini belum ada satu tahun, Lea jadi tak terlalu mengenal soal Anthony. Hal ini dikarenakan, kesehatannya yang terus menurun, sehingga lebih sering digantikan oleh Sekretaris Li, sebelum keda
Vin berjalan bergegas ke arah kantor, tapi saat dilobby, sengaja diperlambat, untuk berbicara dengan Morgan."Yes, tuan muda?" respon cepat Morgan."Kamu tidak perlu melakukannya, Morg," ucap Vin kecewa.Morgan merunduk, meminta maaf."Saya lakukan itu, karena tidak tega dengan anda. Tidak sepatutnya anda diperlakukan seperti telah lakukan dosa besar, padahal an--""Tapi kamu lakukan itu kalau aku sedang bersama wanita, bukannya lagi berdebat sesama pria," sahut Vin lirih dan geregetan."Sekali lagi maaf, tuan muda." Vin dan Morgan, memiliki kebiasaan unik, dimana Morgan dituntut peka, bila Vin sedang dalam masalah argumentasi dengan seseorang, terutama wanita.Morgan akan ikut ambil skenario, dengan memberikan ponsel pada Vin, dengan alasan sekretaris Li sedang menelpon, dengan tujuan, membantu Vin keluar dari situasi tak mengenakkan, misalnya si wanita menuntut kejelasan hubungan dengan Vin, atau saat kencan buta yang membosankan."Tapi saya tidak menyukai pegawai pria anda tadi,
"Oh, rasanya lelah banget, tapi puas!"Lea dan Winda bersamaan menoleh ke asal suara. Terpenggal sudah pembicaraan yang masih menyisakan jawaban belum Lea berikan."Natalie," lirih Winda tak suka, bahkan sebelum gadis seumuran Lea tersebut belum sepenuhnya masuk ke dalam. "Yuk, Lea. Kita keluar," ajak Winda kemudian.Wangi harum semerbak tercium, ketika perfume branded yang dipakai Natalie sesuai dengan statusnya sebagai anak orang kaya."Eh, tunggu! Kebetulan, nih!" Natalie bukan saja memberi sapaan meremehkan, tapi juga sebuah perlakuan diluar dugaan, dimana bagian ujung rambut ekor kuda Lea ditarik, lalu didekatkan padanya, hingga Lea terpekik kesakitan."Awww!" keluh Lea."Hei! Apa-apaan, kamu?! Iri ya iri, tapi nggak usah main kasar begini, dong!" amarah Winda, tak terima sahabatnya diperlakukan seperti aksi perundungan ala gadis remaja belum dewasa.Natalie tak menggubris, tapi berbicara lirih didekat telinga Lea."Kalau kamu berontak, maka pernikahan kontrakmu dengan Vin, aka
Sore telah menjelang. Setelah pekerjaan selesai, Vin memanggil Lea dan Natalie ke dalam ruangannya.Cahaya temaram dari langit mendung diluar ruangan Vin yang hanya tertutupi vitrase setengah, jadi seperti cerminan kelamnya ketakutan dari dua gadis di hadapan Vin ini."Coba jelaskan, apa ini?" pertanyaan yang Vin lontarkan memanglah pelan, tapi Natalie tetap berjingkat kaget. Hal ini dikarenakan suara hentakan dari flash dish yang dilemparkan Vin ke arah tengah meja, dari genggamannya.Natalie ketakutan setengah mati. Kalau sudah dalam kondisi seperti ini, Vin bagaikan seekor singa lapar, yang siap melahap mangsa."Vin...please...aku lakuin semua ini cuma demi kamu." Natalie mulai terisak. "Kamu tahu aku sangat mencintaimu...aku merasa frustasi, karena kamu selalu acuhkan aku...kamu seperti anggapku tak ada," perih Natalie tercurah dalam sesenggukan tangisan.Lea menoleh, berikan simpati dengan menundukkan kepala. Lea bisa rasakan bilamana diposisi Natalie beserta keluhannya saat ini.
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k