"Wanita, selalu serba ingin tahu!" Sebelum Lea beri tanggapan, panggilan masuk dari ponsel Vin, sehingga tinggalah Lea sendirian didapur, setelah Vin memilih menerima panggilan diruang sebelah."Oh iya, kacamataku!" pekik Lea, baru menyadari. "Dari semalam, kayaknya masih dimeja," sadarnya.Lea mengikuti Vin, tapi memperlambat langkah, tatkala mendengar atasannya itu berbicara dengan tajam.Lea tempelkan telinga dibalik tembok, guna menguping, mendengarkan pembicaraan yang dibayangkan antara Vin dan salah satu wanita pemujanya."Dikira kawin terus punya anak keturunan itu bisa secepat itu?!" amarah Vin, dengan alis menikung tajam ala Angry Bird. "Kapan agenda kedatangannya?...What? Hari ini?...Dannzione. Molto tortuoso!" umpat Vin dalam bahasa Italia. "Iya iya...aku tahu. Taruh dimejaku saja...hmm, pagi."Lea julurkan kepala saja untuk melihat ekspresi Vin, tapi segera balik ke dapur dengan langkah berjingkat ala balerina."Kayaknya bukan Wilona atau cewek lain deh," gumam Lea sedik
"Apa-apaan ini?! Disini bukan hotel, tapi perusahan saya!"Gertakan Vin ini, disambut tundukan kepala dari semua yang berada diarea lobby, termasuk itu Morgan, sempat melirik Lea dengan ekspresi bersimpati, atau lebih tepatnya merasa kasihan, karena akan mendapat semburan dari Vin."Maaf, Pak. Kami masuk," sahut Lea mendahului Dani, lalu menariknya agar menaiki tangga saja, setelah berpamitan sopan pada Vin."Ihh, Dani. Jangan diulang lagi deh. Iya kamu, bisa langsung belok ke ruanganmu. Lha aku? Gimana harus hadapi bos kita satu itu, hah?!" protes Lea ingin Dani membuka mata. "Sudah tahu bagaimana karakter Presdir Vin kayak gimana, pake drama begitu. Lain kali, kalau mau ngobrol, cari tempat sepi!" omel Lea, kesal setengah mati. Lea cepatkan langkah, lalu tinggalkan Dani yang bengong begitu saja. Dani masih tak percaya, Lea yang sekarang berbeda dengan Lea saat mereka bersama."Hmm. Entah apa yang merubahmu, Lea, tapi nggak tahu kenapa, gue jadi semakin terobsesi sama lo!" Senyum D
Vin pencet tombol interkom antar ruangan, keraguan dia singkirkan sementara waktu."Lea. Masuklah.""Baik, Pak." Lea arahkan bagian depan poninya ke belakang telinga, mengambil tali kuncir, lalu mengikat keseluruhan rambutnya menjadi ekor kuda. Tadi belum sempat dia lakukan, karena terburu-buru."Iya?" tanya Lea, setelah didepan meja Vin."Ehm, ada hal penting." Tidak biasanya Vin ragu untuk ungkapkan sesuatu."Apa itu, Pak?""Ehm..."Deringan panggilan terdengar dari meja Lea. Suasana hening, jadikan suara itu menggema di 2 ruangan dengan pintu tak tertutup."Iya, Pak?" tanya Lea lagi."Angkat dulu telponmu." "Oh, baiklah." Lea kembali ke meja dan meraih ponselnya. Usaha cepatnya, tak membuatnya terlalu senang, karena yang menelpon ternyata Dani, yang pasti bukan soal pekerjaan. "Dani? Ada apa?" balasnya malas."Pak Vin marahin kamu, tidak?" selidik Dani pelan, bermaksud tunjukkan perhatian."Nggak," jawab Lea singkat."Syukurlah. Aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja, gara-gara mi
"Demam? Nggak!"Vin masih belum sanggup bicarakan sesuatu yang sempat dibahas dengan Sekretaris Li tadi. Hanya bisa mengelak, tapi juga terbebani dalam pikiran."I'm fine. Sto bene!" ungkapnya lagi, kalau memang dirinya baik-baik saja, tak ada yang perlu Lea khawatirkan.Vin acuhkan Lea, kembali ke ruangannya, seolah barusan tak terjadi apapun pada mereka, dan Lea hanya bisa menatap keheranan dari kejauhan."Jelas-jelas badannya demam, kok. Tapi mesti nggak mau ngakuin," gumam Lea, semakin picingkan kedua mata, jadi setajam ucapannya. "Apa maksudnya, coba? Cemburu? Mau lagi, tapi nggak mau ngakuin? Nggak jelas! Huh, dasar mesum!" umpatan sesuai label untuk Vin yang dia ciptakan.Lea cuma bisa membanting kaki, kesel, tapi hanya bisa pasrah dengan kembali duduk di meja kerjanya, untuk selesaikan pendingan pekerjaan yang harus dia kerjakan.Baru saja ruangan itu damai, baik Lea maupun Vin, sama-sama tenggelam dalam kesibukan, mulai berdatangan orang lain."Pssttt...Lea!" panggilan setela
Setelah mengusir Helena secara halus, Vin turun lewat lift untuk pegawai, dan bukan lift khusus sang presdir."Presdir Vin?" ungkap salah satu pegawai dengan jabatan salah satu manager dibagian usaha property Vin yang ada di lantai 3. "Apa anda berencana lakukan sidak pegawai?" tanyanya, baru kali ini mendapati seorang presdir berdiri bersama pegawainya di dalam lift."Sidak?" sahut Vin, jadi tercetus suatu pemikiran. "Hmm iya, kamu benar. Aku mau sidak," lanjutnya dingin. Para pegawai yang menyapanya, hanya ditanggapi dengan anggukan samar saja.Vin dipersilahkan keluar terlebih dulu oleh para pegawainya, lalu menoleh ke arah lift yang biasa dia gunakan."Morgan," panggilnya pada kepala pengawalnya."Tuan? Anda lewat situ?" Morgan terkejut, Vin tidak biasanya."Kita makan disini saja," ujar Vin."Disini dimana, tuan?" Morgan terkesiap mengawal Vin, mengikuti ritme langkahnya yang cepat."Ya disini!"Jawaban singkat Vin tapi menghentak ini, membuat mulut Morgan terkatup. Tak ada gunan
Tatapan Vin, membuat Lea kembali merasakan tiap sentuhan dibeberapa bagian tubuhnya, beberapa menit lalu, sebelum kedatangan Helena."Anda tumben makan disini, Pak?" Pertanyaan dari Dani ini, memecah kebekuan Lea yang tak bisa berkata-kata, mulai canggung."Sidak.""Sidak?" Kebiasaan Lea mengulang bagian akhir ucapan lawan bicaranya, keluar."Kenapa?" sahut Vin. "Karena tidak ada di jadwalku hari ini? Kan namanya saja sidak, ya dilakukan secara dadakan!"Lea mengangguk-angguk dan turunkan tatapan. Kalau gas nada suaranya sudah mulai 60 km/jam bagini, Lea hanya bisa menyetujui saja. Percuma memulai berdebat lama-lama."Benar kata para pegawai, cara anda bekerja dan memimpin sangat berbeda dengan Pak Anthony." Dani justru yang memulai obrolan. Lea hanya penyimak saja.Diterima diperusahaan milik Vin ini belum ada satu tahun, Lea jadi tak terlalu mengenal soal Anthony. Hal ini dikarenakan, kesehatannya yang terus menurun, sehingga lebih sering digantikan oleh Sekretaris Li, sebelum keda
Vin berjalan bergegas ke arah kantor, tapi saat dilobby, sengaja diperlambat, untuk berbicara dengan Morgan."Yes, tuan muda?" respon cepat Morgan."Kamu tidak perlu melakukannya, Morg," ucap Vin kecewa.Morgan merunduk, meminta maaf."Saya lakukan itu, karena tidak tega dengan anda. Tidak sepatutnya anda diperlakukan seperti telah lakukan dosa besar, padahal an--""Tapi kamu lakukan itu kalau aku sedang bersama wanita, bukannya lagi berdebat sesama pria," sahut Vin lirih dan geregetan."Sekali lagi maaf, tuan muda." Vin dan Morgan, memiliki kebiasaan unik, dimana Morgan dituntut peka, bila Vin sedang dalam masalah argumentasi dengan seseorang, terutama wanita.Morgan akan ikut ambil skenario, dengan memberikan ponsel pada Vin, dengan alasan sekretaris Li sedang menelpon, dengan tujuan, membantu Vin keluar dari situasi tak mengenakkan, misalnya si wanita menuntut kejelasan hubungan dengan Vin, atau saat kencan buta yang membosankan."Tapi saya tidak menyukai pegawai pria anda tadi,
"Oh, rasanya lelah banget, tapi puas!"Lea dan Winda bersamaan menoleh ke asal suara. Terpenggal sudah pembicaraan yang masih menyisakan jawaban belum Lea berikan."Natalie," lirih Winda tak suka, bahkan sebelum gadis seumuran Lea tersebut belum sepenuhnya masuk ke dalam. "Yuk, Lea. Kita keluar," ajak Winda kemudian.Wangi harum semerbak tercium, ketika perfume branded yang dipakai Natalie sesuai dengan statusnya sebagai anak orang kaya."Eh, tunggu! Kebetulan, nih!" Natalie bukan saja memberi sapaan meremehkan, tapi juga sebuah perlakuan diluar dugaan, dimana bagian ujung rambut ekor kuda Lea ditarik, lalu didekatkan padanya, hingga Lea terpekik kesakitan."Awww!" keluh Lea."Hei! Apa-apaan, kamu?! Iri ya iri, tapi nggak usah main kasar begini, dong!" amarah Winda, tak terima sahabatnya diperlakukan seperti aksi perundungan ala gadis remaja belum dewasa.Natalie tak menggubris, tapi berbicara lirih didekat telinga Lea."Kalau kamu berontak, maka pernikahan kontrakmu dengan Vin, aka