"Hanya kesalahanmu. Bukan ada sangkut pautnya dengan Nyonya Muda." "Berarti itukan juga salahmu!" Winda tidak mau begitu saja di salahkan sendirian saja. "Bukankah kamu semalam yang ijinin aku buka-buka ponselmu." Pada akhirnya Winda membuka sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar pengakuan jujur Winda ini, Morgan jadi terlihat kikuk. Di dalam ruangan interogasi tersebut, tidak hanya ada mereka bertiga, tapi ada beberapa anak buah Morgan yang akhirnya mendengar dan mengetahui, hanya saja tak bisa berkomentar karena kode etik. "Karena itu aku ke sini. Sebisa mungkin hal kecil seperti ini tidak sampai ke telinga Pak Presdir. Untung saja ada Nyonya Muda, jadi Nyonya Besar Helena tidak juga tahu." "Berarti, setelah ini bawa Winda keluar dari sini secepatnya," perintah Lea. "Baik, Nyonya. Anda cerdas sekali. Putuskan ke sini dengan kamuflase dandanan ke sini, sampai berhasil membuat Nyonya Besar pergi. Kalau tidak, kami bisa susah menolak perintahnya di saat posisi Pak Pre
"Saya berharap Nyonyalah yang menjadikan saya dan Sekretaris Li bisa di percaya lagi sama Pak Presdir." "Gimana caranya?" pertanyaan spontan terpikir atas permintaan Morgan ini. "Kalau misalnya Nyonya kemungkinan besar tidak bisa yakinin Pak Presdir dengan kalimat, saya mohon bisa dengan tindakan." "Misalnya?" "Saya bisa jadi pengawal Nyonya kalau Pak Presdir sedang tidak membutuhkan saya, dan dengan Sekretaris Li ... anda bisa jadikan dia partner berkomplot melawan Nyonya Besar." Kedipan beberapa kali dari kedua mata Lea. Tak menyangka, setelah sebelumnya sempat ingin membuat komplotan tersendiri tanpa sepengetahuan Vin beranggotakan pegawai-pegawai tak di perhitungkan seperti Robbi, lalu berakhir dengan Raffi, sekarang justru orang yang di kenal paling dekat dengan Vin menyodorkan diri menjadi pengikutnya. "Ehm ... baiklah deh kalau begitu. Aku setuju kamu jadi orang kepercayaanku juga, asalkan benar-benar jujur dan tulus ya," pinta Lea setelah sempat mengingat peringata
"Lea." Berbeda dengan Lea, Sarah menanggapi panggilan putrinya ini dengan suara lirih, terlihat sekali seperti orang ketakutan akan sesuatu dan hal ini bisa di rasakan langsung oleh Lea. "Mama di mana? Di kamar atau di mananya? Aku sudah di kasih tahu Pak Morgan kok Mama sekarang ada di mana." "Iya, Mama ada di apartemen di luar kota Jakarta. Memang di kasih fasilitas lengkap, tapi ya gimana juga nggak enak Lea, kayak di penjara begini," kesedihan di curahkan Sarah pada putri semata wayangnya ini. "Mama sabar dulu, terus jangan kesel sama Pak Vin ya. Percaya aja sama beliau kayak biasanya. Mama yakin aja beliau lakuin ini pasti ada alasannya, terus demi bersama kok." Ujaran baik-baik Lea barusan justru di tanggapi Sarah dengan bersungut-sungut. "Kalau emang buat bersama, kenapa Mama di bawa ke sini kayak di isolasi begini? Terus nggak boleh ketemu kamu, jadi Mama tersinggung banget ini, Lea!" Lea menelan salivanya kasar. Sarah sudah terisi dengan ucapan-ucapan Dani wak
"Aku tahu di mana Dani, tapi dari Pak Morgan. Pak Vin nggak bolehin kasih tahu siapa-siapa sampai waktunya tepat, jadi aku nggak bisa bilang ke Mama." "Aduuh, kenapa sih Pak Vin meski main rahasia-rahasiaan? Kan pengen tahu, biar bisa nengokin." "Sudah Ma. Orang kan pikirannya beda-beda. Kita ya nggak bisa paksain Pak Vin buka suara kalau nggak tahu apa yang di rencanain. Sekarang Mama tetep di situ dulu, sampe aku di bolehin ketemu Mama." "Memang kenapa kamu nggak boleh ketemu Mama? Kamu anakku lho!" tandas Sarah masih tak habis pikir dengan keputusan Vin ini. "Ih, di bilang nggak usah emosi. Emang begitu Pak Vin Dia itu memang seperti yang Mama bilang, arogan, kepala batu, suka paksain diri, tapi percayalah. semua itu ada maksud baiknya. Buktinya, Pak Vin-lah yang buat Dani nggak jadi bunuh diri. Mungkin sekarang ini pertimbangan dia juga soal keamanan kita. Orangnya Nyonya Helena, kan juga banyak." Terdengr helaan napas dari Sarah. Lea benar, pikirnya. Sudah sekian bulan,
"Setahu saya itu tidak benar, Nyonya." Lea tidak lantas berpuas diri dengan jawaban Morgan, di geser kursi agar lebih menghadap pada Morgan agar bisa lebih jelas melihat bagaimana ekspresi wajahnya. "Kamu nggak bohong kan Morgan?" tanya Lea memastikan. "Saya pastikan benar. Saya tidak pernah bohong, Nyonya." "Siapa wanita itu, Morgan?" "Mak mak maksud Nyonya?" Morgan mendadak gagap. "Anak kecil aja pasti tahu kalau kamu lagi bingung. Pertanyaanku terlalu mendadak ya? Sampai kamu nggak siap jawaban?" cecar Lea sebagai wanita kebanyakan, kalau sudah di buat penasaran apalagi soal gosip adanya wanita lain dari pasangan, tentu akan langsung mengejar dan meradang sampai dapat jawaban dan kepastian. "Bukan begitu, Nyonya. Pak Presdir memang dekat dengan banyak wanita, termasuk di Italia, tapi tidak ada satupun yang di anggap serius sama beliau." "Mantan pacar? Bukannya pernah dekat sama saudarinya dokter itu?" Morgan terlihat tak nyaman. Posturnya tinggi tegap dan besar,
"Bagaimana dengan kecekaan Nyonya Letizia? Apa sudah di temukan bukti yang memberatkan Nyonya Helena?" Morgan bersikap lebih rileks, sudah hampir 10 menit dia bercerita sambil berdiri. Dari cara bicara Lea yang juga santai, membuat Morgan seperti bukan berhadapan dengan istri atasan, tapi seperti dengan teman yang sudah dekat. "Sudah. Awalnya, Pak Presdir tidak mau libatkan polisi seperti yang di amanatkan Tuan Besar dari surat wasiat yang bisa di keluarkan setelah Pak Presdir telah mendaftarkan pernikahannya kemarin di Italia. Tapi apa daya, cuma itu jalan agar bisa membongkar kasus itu secara hukum resmi." "Tapi kenapa Pak Presdir kita ini pernah mengatakan padaku kalau dialah penyebab kematian ibunya?" Sebenarnya Vin sudah pernah bercerita padanya, namun Lea mencoba menkonfrontir dengan jawaban Morgan juga. "Itu hanya rasa bersalah beliau. Tapi sebenarnya adalah perasaan dendam, jadi ingin balaskan tapi Pak Presdir selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sampai detik ini
"Kalau cerita itu dari kamu, aku nggak mau dengar!" pernyataan tegas Lea, sekarang sudah semakin berani membantah. Di lepaskan perlahan genggaman Natalie, lalu membuka pintu. Baru saja melewatinya, Lea di suguhkan dengan beberapa pegawai pria menunggunya di luar. Lea menoleh pada Natalie sebentar, tapi kemudian ke arah pria-pria di hadapannya. "Ada apa ya? Pak Presdir kan sedang nggak di kantor?" pertanyaan sekaligus sapaan Lea, jadi punya dugaan mereka sudah berada di tempat ini sebenarnya sudah beberapa menit yang lalu, bisa jadi juga sudah bekerjasama dengan Natalie agar menahannya, menunggu sampai Morgan menjauh terlebih dulu. "Karena itulah. Nggak bisa temui Pak Presdir, tapi kan bisa temui anda Nyonya." Nyonya. Panggilan itu terasa janggal terdengar di telinga Lea bila di sebutkan dari mulut orang dengan sorot kebencian atau apalah, Lea sendiri tak bisa sepenuhnya deskripsikan, tapi orang-orang yang mengelilinginya ini seperti para predator sedang mengerumuni mangsanya.
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k