"Saya berharap Nyonyalah yang menjadikan saya dan Sekretaris Li bisa di percaya lagi sama Pak Presdir." "Gimana caranya?" pertanyaan spontan terpikir atas permintaan Morgan ini. "Kalau misalnya Nyonya kemungkinan besar tidak bisa yakinin Pak Presdir dengan kalimat, saya mohon bisa dengan tindakan." "Misalnya?" "Saya bisa jadi pengawal Nyonya kalau Pak Presdir sedang tidak membutuhkan saya, dan dengan Sekretaris Li ... anda bisa jadikan dia partner berkomplot melawan Nyonya Besar." Kedipan beberapa kali dari kedua mata Lea. Tak menyangka, setelah sebelumnya sempat ingin membuat komplotan tersendiri tanpa sepengetahuan Vin beranggotakan pegawai-pegawai tak di perhitungkan seperti Robbi, lalu berakhir dengan Raffi, sekarang justru orang yang di kenal paling dekat dengan Vin menyodorkan diri menjadi pengikutnya. "Ehm ... baiklah deh kalau begitu. Aku setuju kamu jadi orang kepercayaanku juga, asalkan benar-benar jujur dan tulus ya," pinta Lea setelah sempat mengingat peringata
"Lea." Berbeda dengan Lea, Sarah menanggapi panggilan putrinya ini dengan suara lirih, terlihat sekali seperti orang ketakutan akan sesuatu dan hal ini bisa di rasakan langsung oleh Lea. "Mama di mana? Di kamar atau di mananya? Aku sudah di kasih tahu Pak Morgan kok Mama sekarang ada di mana." "Iya, Mama ada di apartemen di luar kota Jakarta. Memang di kasih fasilitas lengkap, tapi ya gimana juga nggak enak Lea, kayak di penjara begini," kesedihan di curahkan Sarah pada putri semata wayangnya ini. "Mama sabar dulu, terus jangan kesel sama Pak Vin ya. Percaya aja sama beliau kayak biasanya. Mama yakin aja beliau lakuin ini pasti ada alasannya, terus demi bersama kok." Ujaran baik-baik Lea barusan justru di tanggapi Sarah dengan bersungut-sungut. "Kalau emang buat bersama, kenapa Mama di bawa ke sini kayak di isolasi begini? Terus nggak boleh ketemu kamu, jadi Mama tersinggung banget ini, Lea!" Lea menelan salivanya kasar. Sarah sudah terisi dengan ucapan-ucapan Dani wak
"Aku tahu di mana Dani, tapi dari Pak Morgan. Pak Vin nggak bolehin kasih tahu siapa-siapa sampai waktunya tepat, jadi aku nggak bisa bilang ke Mama." "Aduuh, kenapa sih Pak Vin meski main rahasia-rahasiaan? Kan pengen tahu, biar bisa nengokin." "Sudah Ma. Orang kan pikirannya beda-beda. Kita ya nggak bisa paksain Pak Vin buka suara kalau nggak tahu apa yang di rencanain. Sekarang Mama tetep di situ dulu, sampe aku di bolehin ketemu Mama." "Memang kenapa kamu nggak boleh ketemu Mama? Kamu anakku lho!" tandas Sarah masih tak habis pikir dengan keputusan Vin ini. "Ih, di bilang nggak usah emosi. Emang begitu Pak Vin Dia itu memang seperti yang Mama bilang, arogan, kepala batu, suka paksain diri, tapi percayalah. semua itu ada maksud baiknya. Buktinya, Pak Vin-lah yang buat Dani nggak jadi bunuh diri. Mungkin sekarang ini pertimbangan dia juga soal keamanan kita. Orangnya Nyonya Helena, kan juga banyak." Terdengr helaan napas dari Sarah. Lea benar, pikirnya. Sudah sekian bulan,
"Setahu saya itu tidak benar, Nyonya." Lea tidak lantas berpuas diri dengan jawaban Morgan, di geser kursi agar lebih menghadap pada Morgan agar bisa lebih jelas melihat bagaimana ekspresi wajahnya. "Kamu nggak bohong kan Morgan?" tanya Lea memastikan. "Saya pastikan benar. Saya tidak pernah bohong, Nyonya." "Siapa wanita itu, Morgan?" "Mak mak maksud Nyonya?" Morgan mendadak gagap. "Anak kecil aja pasti tahu kalau kamu lagi bingung. Pertanyaanku terlalu mendadak ya? Sampai kamu nggak siap jawaban?" cecar Lea sebagai wanita kebanyakan, kalau sudah di buat penasaran apalagi soal gosip adanya wanita lain dari pasangan, tentu akan langsung mengejar dan meradang sampai dapat jawaban dan kepastian. "Bukan begitu, Nyonya. Pak Presdir memang dekat dengan banyak wanita, termasuk di Italia, tapi tidak ada satupun yang di anggap serius sama beliau." "Mantan pacar? Bukannya pernah dekat sama saudarinya dokter itu?" Morgan terlihat tak nyaman. Posturnya tinggi tegap dan besar,
"Bagaimana dengan kecekaan Nyonya Letizia? Apa sudah di temukan bukti yang memberatkan Nyonya Helena?" Morgan bersikap lebih rileks, sudah hampir 10 menit dia bercerita sambil berdiri. Dari cara bicara Lea yang juga santai, membuat Morgan seperti bukan berhadapan dengan istri atasan, tapi seperti dengan teman yang sudah dekat. "Sudah. Awalnya, Pak Presdir tidak mau libatkan polisi seperti yang di amanatkan Tuan Besar dari surat wasiat yang bisa di keluarkan setelah Pak Presdir telah mendaftarkan pernikahannya kemarin di Italia. Tapi apa daya, cuma itu jalan agar bisa membongkar kasus itu secara hukum resmi." "Tapi kenapa Pak Presdir kita ini pernah mengatakan padaku kalau dialah penyebab kematian ibunya?" Sebenarnya Vin sudah pernah bercerita padanya, namun Lea mencoba menkonfrontir dengan jawaban Morgan juga. "Itu hanya rasa bersalah beliau. Tapi sebenarnya adalah perasaan dendam, jadi ingin balaskan tapi Pak Presdir selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sampai detik ini
"Kalau cerita itu dari kamu, aku nggak mau dengar!" pernyataan tegas Lea, sekarang sudah semakin berani membantah. Di lepaskan perlahan genggaman Natalie, lalu membuka pintu. Baru saja melewatinya, Lea di suguhkan dengan beberapa pegawai pria menunggunya di luar. Lea menoleh pada Natalie sebentar, tapi kemudian ke arah pria-pria di hadapannya. "Ada apa ya? Pak Presdir kan sedang nggak di kantor?" pertanyaan sekaligus sapaan Lea, jadi punya dugaan mereka sudah berada di tempat ini sebenarnya sudah beberapa menit yang lalu, bisa jadi juga sudah bekerjasama dengan Natalie agar menahannya, menunggu sampai Morgan menjauh terlebih dulu. "Karena itulah. Nggak bisa temui Pak Presdir, tapi kan bisa temui anda Nyonya." Nyonya. Panggilan itu terasa janggal terdengar di telinga Lea bila di sebutkan dari mulut orang dengan sorot kebencian atau apalah, Lea sendiri tak bisa sepenuhnya deskripsikan, tapi orang-orang yang mengelilinginya ini seperti para predator sedang mengerumuni mangsanya.
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa