Setelah obrolan gibah dengan Winda, Lea kembali ke kamarnya. Entah apa yang di lakukan Vin di luar kamar, Lea putuskan untuk bersihkan diri dalam guyuran air hangat dari shower di atas bathtub. "Lea," panggilan dari balik pintu kamar mandi. Pemilik kondominium sedang menuntut jadi bagian. "Bentar. Sudah mau selesai." Namun bagi Lea, kehadiran Vin adalah gangguan. Lea mematikan kran, lalu beranjak dari bathtub, menarik bathrobe lalu di selimutkan ke tubuhnya. Dengan enggan ia membuka pintu, dan mendapati Vin hanya memakai celana boxer warna abu-abu gelapnya. "Mau mandi?" tanya Lea datar. Sungguh sudah tak tertolong badmood sejak dari datang. "Iya," sahut Vin tidak kalah dinginnya. Lea buka pintu lebih lebar, di susupkan tubuhnya menyamping melewati badan tegap Vin tanpa menatap ke arahnya. Dalam keadaan Lea hanya memakai mantel mandi seperti ini, apakah Vin akan lewati begitu saja? Tentu tidak. Tangan kiri Vin terangkat dan memegang pinggiran pintu sebagai penghalan
Malam itu. Vin tak bisa lagi sembunyikan perasaan bahagianya. Semalaman, Lea di perlakukan bak ratu. Vin mendominasi dalam bercinta, sebagai luapan kebahagiaan dan juga keinginan untuk membuat Lea jadi merasa di istimewakan. Sampai di pagi haripun, Lea bagai Cinderella di bawa Sang Pangeran ke istananya. Dalam keadaan malas, Lea paksakan kedua matanya membuka setelah bau makanan menggoda indera penciumannya. "Cepat bangun. Kita sudah terlambat ke kantor. Jangan jadikan anakku sebagai alasan kemalasanmu ya." Lea memang sudah duduk bersandar di headboard tempat tidur bergaya elegan modern, tapi nyawanya masih belum sepenuhnya seratus persen di raganya. "Kamu yang buat aku jadi kelelahan, dan makanan itu ... memang layak buatku." Satu kecupan mendarat di dahi Lea, lalu berlanjut ke bibirnya namun serba kilat. "Selalu saja nggak dapat ucapan terima kasih. Dasar tak tahu di untung!" Lea jadi tertawa. Kesadarannyapun berangsur kembali karena nada tinggi dan isi ucapan Vin yan
"Kita mau nunggu dimana?" Pertanyaan Lea. Siapa yang tidak trenyuh, ketika melihat orang di cintai sedang dalam masalah. Kerutan di beberapa bagian wajah Vin sudah mengindikasikan kalau masalah kali ini telah membuatnya harus berpikir dengan keras. "Entahlah." Lea menoleh cepat, baru kali ini melihat Vin jadi tak tahu harus bagaimana. "Kok entahlah?" ungkap Lea sesuai isi pikirannya. "Aku sedang krisis kepercayaan. Nggak ada orang yang bisa ku percaya sekarang selain kamu." "Ada Morgan dan sekretaris Li. Apa kepercayaanmu luntur sama mereka?" "Yups. Untuk saat ini." "Berarti, kamu sebenarnya mengharap mereka bisa jadi kepercayaanmu lagi. Iya kan?" "Yes. Kamu benar lagi." "Apa ini karena Nyonya Helena? Apa dia punya andil di balik semua anggapanmu itu?" duga Lea. Untuk menunjukkan rasa empatinya, Lea arahkan tangannya untuk merapikan rambut Vin yang terlihat kering tanpa pomade, satu lagi yang berbeda dari Vin tidak seperti biasanya. "Pasti dia. Siapa lagi?" Lea hel
"Tentu saja dia bisa di percaya." Lea masih meragukan jawaban Winda, sampai ia mengulang lagi untuk kedua kalinya. "Beneran? Tapi katamu dia pernah di telpon Nyonya Helena. Lo pernah nanya lagi, nggak?" "Tunggu tunggu. Jadi lo kayak nggak percaya sama gue atau Pak Morgan, gitu?" Lea menurunkan nada bicaranya, secara cepat mencari kalimat-kalimat yang sekiranya nggak akan nyakiti perasaan Winda. Sahabatnya ini kadang suka ngegas kalau sudah di sentil soal kepercayaan atau kesetiaan, karena memang setahu Lea, Winda penganut paham dua hal itu secara ugal-ugalan. "Bukan begitu. Gue pengen tahu isi obrolan Pak Morgan sama Nyanya Helena aja. Info apapun, walaupun kesannya kecil dan nggak penting, di saat sekarang lagi kita butuhin banget," kejujuran Lea. "Maksud lo gimana?" "Maksud gue ... Kan ini Pak Vin seolah taruh gue di sisi belakang, apalagi setelah tahu lagi hamil, jadi makin-makin nggak di ajak diskusi atau bantu-bantu, padahal bilangnya cuma gue yang dia percaya. Gue
"Bisa minta tolong jadilah orangku. Bagi informasi yang ada di pusat keamanan Dharmawan tower." Pria muda yang sudah terlanjur berdiri untuk pergi itu tertegun sesaat. Kepolosan dari ekspresinya membuat Lea berharap akan bisa mempercayainya. "Saya ... tidak bisa." "Kenapa, Mas? Kan Masnya tahu posisiku apa." "Tetap harus atas ijin Pak Presdir. Itu prosedurnya." "Bagaimana kalau Pak Presdir Vin beri aku kewenangan lakukan apapun walau tanpa ijinnya? Hal kayak begitu, kan sudah lumrah." Pria muda itu tampak berpikir, tapi kemudian berusaha mencari jalan tengah aman. "Tugas apa yang Nyonya ingin saya lakukan?" tanyanya setengah ragu tapi perlu pastikan juga. "Pak Morgan lagi cuti, sedangkan di kantor Pak Vin lagi ada demo, dan aku nggak tahu posisi dia dimana." "Pak Presdir punya tim keamanan tersendiri, Nyonya. Begitu juga anda." "Iya, aku tahu itu. Tapi masalahnya mereka menjagaku tanpa sepengetahuanku. Pak Vin meminta seperti itu biar aku nyaman. Penjagaan dari jauh
Siapa yang tidak akan menyangka akan penampilan Lea kali ini. Dari ujung kepala sampai ujung kakinya tidak kalah dengan apa yang di kenakan oleh Helena. Semua mata tertuju pada Lea yang berjalan dengan percaya diri ke kursi tepat di depan Helena. Ada Raffi segera bergerak menarikkan lalu memajukan kursi untuk atasan diam-diamnya ini. "Mau apa kamu?!" tanya Helena tajam. "Main," jawan Lea enteng. Melepaskan kacamata hitamnya lalu di taruh di atas meja secara perlahan. Kacamata milik Vin yang di comotnya secara serampangan asal menambah mewah penampilan saja. "Huh. Dasar wanita nggak ada gunanya! Main katamu!" cibir Helena dengan decakan meremehkan. "Apa kamu nggak ada kerjaan lain, hah? Dasar pengangguran cuma andelin uang suami." "Main saham." Ternyata Lea sengaja memenggal jawabannya untuk menggoda Helena agar semakin jadi panas. "Itu akan jadi kerjaan baruku," ucap Lea sombong. Meskipun di luar berkesan percaya dirinya besar, tapi sebenarnya di dalam lumayan gemeteran.
"Jaga mulutmu!" Bentakan Helena di sertai tamparan. Lea memegangi pipi kirinya dengan tatapan nanar. Tiba-tiba saja Helena melakukannya tanpa Lea duga-duga. "Bagiku kamu ke sini sekarang itu sudah buat tantangan, jadi kalau mau nuduh itu cari buktinya terlebih dulu. Jangan asal mangap aja mulutmu!" Helena memberi tanda pada beberapa asisten dan penjaganya agar mengikuti. "Kita pergi. Sial hariku ketemu wanita nggak tahu malu ini!" umpatnya sempatkan melirik Lea dengan tajam, baru kemudian menjadi yang pertama keluar dari ruangan Morgan. Baru setelah pintu tertutup, Lea menatap satu-persaru anak buah Morgan dengan berikan senyuman. "Maaf ganggu kerja kalian. Aku lakuin juga agar Helena nggak bisa berbuat lebih jauh lihat-lihat database divisi keamanan." "Baik, Nyonya Muda. Saya sudah hubungi Pak Morgan soal kejadian barusan. Beliau sedang menuju ke sini." "Bukannya dia di beri Pak Presdir cuti?" rasa ingin tahu Lea. "Iya, benar. Tapi Komandan ingin melihat secara langsun
"Hanya kesalahanmu. Bukan ada sangkut pautnya dengan Nyonya Muda." "Berarti itukan juga salahmu!" Winda tidak mau begitu saja di salahkan sendirian saja. "Bukankah kamu semalam yang ijinin aku buka-buka ponselmu." Pada akhirnya Winda membuka sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar pengakuan jujur Winda ini, Morgan jadi terlihat kikuk. Di dalam ruangan interogasi tersebut, tidak hanya ada mereka bertiga, tapi ada beberapa anak buah Morgan yang akhirnya mendengar dan mengetahui, hanya saja tak bisa berkomentar karena kode etik. "Karena itu aku ke sini. Sebisa mungkin hal kecil seperti ini tidak sampai ke telinga Pak Presdir. Untung saja ada Nyonya Muda, jadi Nyonya Besar Helena tidak juga tahu." "Berarti, setelah ini bawa Winda keluar dari sini secepatnya," perintah Lea. "Baik, Nyonya. Anda cerdas sekali. Putuskan ke sini dengan kamuflase dandanan ke sini, sampai berhasil membuat Nyonya Besar pergi. Kalau tidak, kami bisa susah menolak perintahnya di saat posisi Pak Pre
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k