"Kan sudah ada aku?" jawaban spontan yang langsung terpikir oleh Vin. "Nggak akan sama." "Tentu nggak sama. Ibumu wanita, dan aku pria." Vin coba lemparkan candaan, tapi ternyata garing bagi Lea. "Pokoknya aku mau Mama selalu di dekatku. Titik!" Vin putar setir memasuki halaman gedung dimana letak kondominiumnya berada. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus, Vin tak lantas keluar dari dalam mobil meskipun sudah mematikan mesinnya. "Ada apa ini? Bukan karena soal Dani, bukan? Hei, kamu habis alami kejadian berat, jadi nggak perlu nambahin beban pikiran kalau misal butuh teman. Tujuanku bukan karena ingin pisahin ibu dan anak, jauhin kamu sama ibumu. No. Tapi pengen cooling down-in keadaan, sampai semua pikiran jernih, baru kamu bisa temui ibumu. Kapan saja, dimana saja." "Bukan. Pokoknya aku harus dekat dengan Mama. Titik!" balasan ketus Lea, kemudian membuka pintu mobil lalu menutupnya lumayan kencang. Vin hanya bisa tertegun keheranan. "Tumben dia jadi s
Vin berjalan cepat ke arah pintu, membukakannya untuk Morgan. Sebagai satu-satunya orang yang dapat di percaya, Vin benar-benar menggantungkan urusan di luar kantor pada pria tegap dan berwajah dingin, tak jauh berbeda dengan dirinya ini. "Pak Presdir," sapa Morgan setelah pintu terbuka. Kali ini Morgan tidak sendiri, tapi bersama gadis dimana beberapa hari ini selalu jadi pendamping dalam mengemban misi dari Vin. "Selamat malam, Pak." Winda bersikap sopan, tapi pandangannya segera teralih pada interior kondominium Vin yang baru pertama kali ini ia masuki. "Temui Lea di kamar," perintah Vin. Ternyata Winda tak menyimak. Kepalanya masih mendongak menelusuri tiap sudut ruang tamu bersambung ruang makan dengan model penataan klasik modern tapi maskulin dominan warna biru ke abu-abuan dan putih. "Winda," panggilan dari Morgan lebih keras daripada Vin, sehingga membuat Winda baru menyadari. "Eh, iya Pak? Ngomong sama saya?" terkejutnya Winda. "Kamu di suruh Pak Vin temui Nyonya
Beberapa menit sebelumnya. Lea dan Winda telah berada di ruangan sebelah. Keduanya duduk bersama di satu sofa panjang tepat di depan TV berlayar besar, tempat dimana Vin dan Lea pernah berduaan dan nyatakan perasaan secara tidak langsung. "Ya ampun Lea, gimana perasaan lo tinggal di sini? kayaknya jauh dari peradapan, cuma berduaan aja sama Pak Vin." "Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja," jawab Lea cemberut. Mood baiknya belum balik. "Pantesan lo langsung klepek-klepek, lha kayak masuk penjara cinta hidup di sini. Ih, aku jadi merinding sendiri bayangin kamu sama Vin mesra-mesraan. Pantesan lo sampe hamil!" celoteh Winda sambil mencubit lengan Lea dan cekikikan geli sendiri. "Aduh. Sakit, tahu!" protes Lea seraya mengusap-usap bagian lengan yang tercubit Winda. "Ih, sakit mana sama di apa-apain Pak Vin?" goda Winda lagi di sertai tawa. "Sakit tapi enak ya?" lanjutnya dengan tawa semakin kencang. "Apa, sih? Lo ke sini bukan cuma ngeledek gue, kan?" "Sakit kan berbuah manis
Setelah obrolan gibah dengan Winda, Lea kembali ke kamarnya. Entah apa yang di lakukan Vin di luar kamar, Lea putuskan untuk bersihkan diri dalam guyuran air hangat dari shower di atas bathtub. "Lea," panggilan dari balik pintu kamar mandi. Pemilik kondominium sedang menuntut jadi bagian. "Bentar. Sudah mau selesai." Namun bagi Lea, kehadiran Vin adalah gangguan. Lea mematikan kran, lalu beranjak dari bathtub, menarik bathrobe lalu di selimutkan ke tubuhnya. Dengan enggan ia membuka pintu, dan mendapati Vin hanya memakai celana boxer warna abu-abu gelapnya. "Mau mandi?" tanya Lea datar. Sungguh sudah tak tertolong badmood sejak dari datang. "Iya," sahut Vin tidak kalah dinginnya. Lea buka pintu lebih lebar, di susupkan tubuhnya menyamping melewati badan tegap Vin tanpa menatap ke arahnya. Dalam keadaan Lea hanya memakai mantel mandi seperti ini, apakah Vin akan lewati begitu saja? Tentu tidak. Tangan kiri Vin terangkat dan memegang pinggiran pintu sebagai penghalan
Malam itu. Vin tak bisa lagi sembunyikan perasaan bahagianya. Semalaman, Lea di perlakukan bak ratu. Vin mendominasi dalam bercinta, sebagai luapan kebahagiaan dan juga keinginan untuk membuat Lea jadi merasa di istimewakan. Sampai di pagi haripun, Lea bagai Cinderella di bawa Sang Pangeran ke istananya. Dalam keadaan malas, Lea paksakan kedua matanya membuka setelah bau makanan menggoda indera penciumannya. "Cepat bangun. Kita sudah terlambat ke kantor. Jangan jadikan anakku sebagai alasan kemalasanmu ya." Lea memang sudah duduk bersandar di headboard tempat tidur bergaya elegan modern, tapi nyawanya masih belum sepenuhnya seratus persen di raganya. "Kamu yang buat aku jadi kelelahan, dan makanan itu ... memang layak buatku." Satu kecupan mendarat di dahi Lea, lalu berlanjut ke bibirnya namun serba kilat. "Selalu saja nggak dapat ucapan terima kasih. Dasar tak tahu di untung!" Lea jadi tertawa. Kesadarannyapun berangsur kembali karena nada tinggi dan isi ucapan Vin yan
"Kita mau nunggu dimana?" Pertanyaan Lea. Siapa yang tidak trenyuh, ketika melihat orang di cintai sedang dalam masalah. Kerutan di beberapa bagian wajah Vin sudah mengindikasikan kalau masalah kali ini telah membuatnya harus berpikir dengan keras. "Entahlah." Lea menoleh cepat, baru kali ini melihat Vin jadi tak tahu harus bagaimana. "Kok entahlah?" ungkap Lea sesuai isi pikirannya. "Aku sedang krisis kepercayaan. Nggak ada orang yang bisa ku percaya sekarang selain kamu." "Ada Morgan dan sekretaris Li. Apa kepercayaanmu luntur sama mereka?" "Yups. Untuk saat ini." "Berarti, kamu sebenarnya mengharap mereka bisa jadi kepercayaanmu lagi. Iya kan?" "Yes. Kamu benar lagi." "Apa ini karena Nyonya Helena? Apa dia punya andil di balik semua anggapanmu itu?" duga Lea. Untuk menunjukkan rasa empatinya, Lea arahkan tangannya untuk merapikan rambut Vin yang terlihat kering tanpa pomade, satu lagi yang berbeda dari Vin tidak seperti biasanya. "Pasti dia. Siapa lagi?" Lea hel
"Tentu saja dia bisa di percaya." Lea masih meragukan jawaban Winda, sampai ia mengulang lagi untuk kedua kalinya. "Beneran? Tapi katamu dia pernah di telpon Nyonya Helena. Lo pernah nanya lagi, nggak?" "Tunggu tunggu. Jadi lo kayak nggak percaya sama gue atau Pak Morgan, gitu?" Lea menurunkan nada bicaranya, secara cepat mencari kalimat-kalimat yang sekiranya nggak akan nyakiti perasaan Winda. Sahabatnya ini kadang suka ngegas kalau sudah di sentil soal kepercayaan atau kesetiaan, karena memang setahu Lea, Winda penganut paham dua hal itu secara ugal-ugalan. "Bukan begitu. Gue pengen tahu isi obrolan Pak Morgan sama Nyanya Helena aja. Info apapun, walaupun kesannya kecil dan nggak penting, di saat sekarang lagi kita butuhin banget," kejujuran Lea. "Maksud lo gimana?" "Maksud gue ... Kan ini Pak Vin seolah taruh gue di sisi belakang, apalagi setelah tahu lagi hamil, jadi makin-makin nggak di ajak diskusi atau bantu-bantu, padahal bilangnya cuma gue yang dia percaya. Gue
"Bisa minta tolong jadilah orangku. Bagi informasi yang ada di pusat keamanan Dharmawan tower." Pria muda yang sudah terlanjur berdiri untuk pergi itu tertegun sesaat. Kepolosan dari ekspresinya membuat Lea berharap akan bisa mempercayainya. "Saya ... tidak bisa." "Kenapa, Mas? Kan Masnya tahu posisiku apa." "Tetap harus atas ijin Pak Presdir. Itu prosedurnya." "Bagaimana kalau Pak Presdir Vin beri aku kewenangan lakukan apapun walau tanpa ijinnya? Hal kayak begitu, kan sudah lumrah." Pria muda itu tampak berpikir, tapi kemudian berusaha mencari jalan tengah aman. "Tugas apa yang Nyonya ingin saya lakukan?" tanyanya setengah ragu tapi perlu pastikan juga. "Pak Morgan lagi cuti, sedangkan di kantor Pak Vin lagi ada demo, dan aku nggak tahu posisi dia dimana." "Pak Presdir punya tim keamanan tersendiri, Nyonya. Begitu juga anda." "Iya, aku tahu itu. Tapi masalahnya mereka menjagaku tanpa sepengetahuanku. Pak Vin meminta seperti itu biar aku nyaman. Penjagaan dari jauh