“Bagaimana kabarmu, Budi?” tanya Elang saat tiba di rumah Budi. Pria itu duduk di bangku yang ada di teras.“Alhamdulillah baik. Untuk apa kau kemari setelah membuat Zahra kecewa. Kenapa kau tega menceraikan Zahra demi perempuan itu?!” Budi memberondong pertanyaan dengan dada yang bergemuruh. Dia sangat kecewa saat tahu dengan teganya Elang menceraikan Zahra.Elang menarik napas panjang. Pertanyaan dari Budi terkesan memojokkan dirinya.“Kau salah paham. Tentunya kau tahu jika yang menggugat adalah Zahra!” Elang mencoba membela diri.“Aku tahu. Tapi Zahra sudah mengatakan semuanya, bahwa kau sudah punya kekasih baru yang lebih segalanya dari Zahra! tega-teganya kamu berbuat hal itu setelah kau merebut Zahra dariku lalu kau mencampakkannya!” ucap Budi dengan nada tinggi. Dia terlihat begitu emosi saat mengingat Zahra bercerita dengan berurai air mata.Elang terdiam dan tak menampik apa yang dikatakan oleh Budi. Awalnya ingin mengungkap kebenaran, tapi urung melakukannya. Dia berpikir m
“Aku sudah menganggap Zahra seperti adikku sendiri. Tidak lebih! Jadi tak mungkin aku menikahinya. Lebih baik kau pergi dari sini dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumahku! Pergilah!” Budi mendorong tubuh Elang dengan kasar hingga membuat Elang terhuyung. Untung saja tak sampai membuat Elang terjatuh.“Kita sama-sama lelaki. Jangan membohongi dirimu sendiri jika kau sudah merasa nyaman karena Zahra selalu berada di sisimu, bukan? Itu artinya kau bukan hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Tapi lebih dari itu!”“Diamlah! Jangan pernah mengatakan apa-apa lagi! Dan jangan mencampuri urusanku. Kau mengerti?!”Elang terdiam dan menahan supaya tak terpancing emosi. Dia berusaha untuk mengendurkan urat syaraf yang mulai menegang. Dia akan mencoba meyakinkan budi sekali lagi. Hanya inilah yang bisa dilakukan untuk menebus dosa karena sudah merebut Zahra dari sisinya.“Percayalah. Aku akan membantu semua pengobatanmu sampai kau sehat seperti sedia kala! Dan aku juga bisa mewujudkan mi
“Untuk apa Elang datang ke sini, Mas?” tanya Zahra kepada Budi.Budi mengusap wajahnya dengan kasar. Kata demi kata yang Elang ucapkan masih sangat membekas pada pikirannya.Kenapa Elang bisa beranggapan seperti itu. Bisa-bisanya dia mengatakan kalau aku nyaman bersama Zahra. Bahkan dia berani mengatur hidupku untuk menikahi Zahra. Tapi benarkah aku memang membutuhkan Zahra selain sebagai sahabat? Benarkah cinta yang terpendam kini kembali berkembang? “Ya Tuhan. Mikir apa sih aku!” kembali Budi mengusap wajahnya dengan kasar. Dia terlihat sangat gelisah.Tentu saja hal itu memicu rasa penasaran pada diri Zahra. Tak biasanya Budi segelisah ini.“Apa yang terjadi? apa yang Elang katakan menggangu pikiranmu, Mas Budi?” Zahra mensejajarkan diri dengan Budi. Dia berjongkok di samping Budi dan meneliti wajah Budi dengan seksama. Wajah pria itu tampak pucat hingga membuat Zahra panik.“Sangat mengganggu. Dan ini ada hubungannya dengan dirimu!” jawab Budi tegas.“Dengan diriku?”“Iya!’ sahut
“Justru karena itu aku datang ke sini. Sebentar lagi aku juga akan hidup bahagia dan melupakanmu untuk selamanya. Jadi aku juga kasihan karena kau belum ada penggantiku. Makanya aku memberi saran kepada Budi untuk menikah denganmu. Dengan begitu, kalian bisa saling mengisi kekosongan hati. Bukankah kalian dulu saling menyayangi? Tak sulit untuk menumbuhkan rasa cinta yang dulu pernah hadir.”Zahra sangat kesal.Tangannya mengepal dan menahan amarah.Tiba-tiba muncul ide di kepala. Dia akan membuat satu keputusan yang akan membuat laki-laki itu tercengang .Aku tahu kau masih mencintaiku, Elang. Kalau memang kau tak mencintaiku, kau pasti tak peduli lagi padaku. Baiklah. Aku akan mengambil keputusan yang akan membuatmu hancur.“Baiklah, Elang. Aku akan memenuhi keinginanmu untuk menikah dengan Mas Budi, pria yang sangat kucintai tapi hubungan kami sempat terhalang karena kehadiranmu. Kau takkan pernah lupa akan hal itu, bukan? Dan aku akan buktikan kalau kami bisa bahagia walaupun deng
“Tidak!” Budi terlihat sangat gugup.“Aku mau istirahat di kamar.” Budi berusaha mengalihkan perhatian Zahra.“Mari aku bantu.”“Tidak usah! Aku bisa sendiri!”Budi menjalankan kursi roda menuju kamarnya. Dada pria itu bergemuruh. Ucapan Zahra menyinggung perasaannya. Dia tak mengerti kenapa dadanya terasa sepanas ini seolah ada bara api yang tengah bergejolak.Zahra hanya bisa menatap budi dengan berjuta tanya. Entah kenapa sikapnya berubah seolah menjadi tak bersahabat.Kenapa kelihatannya Mas Budi marah. Apa ada ucapanku yang menyinggung perasaannya. Atau ada ucapan Elang yang membuatnya kesal. Zahra menarik napas panjang untuk melegakan perasaannya. Kemudian memutuskan untuk pulang ke rumahnya.Pada saat hendak membuka pintu keluar, terdengar suara wanita yang memanggilnya.“Tunggu, Nak!” suara wanita yang melahirkan Budi terdengar lembut. Wanita dengan kerutan yang mulai terlihat pada wajahnya menyunggingkan senyum kepada wanita yang urung menjadi menantunya.“Ada apa, Bu?” Zahr
Wajah wanita paruh baya itu seketika berubah masam. Dari yang semula ceria kini terlihat kecemasan pada wajahnya. Bibirnya yang semula menyunggingkan senyum manis ditariknya kembali.“Maksudmu apa, Nak?” Melonggarkan pelukan sambil menatap wajah Zahra dengan penuh tanda tanya.“Aku ... masih dalam masa iddah, Bu. Jadi aku rasa masih terlalu dini untuk membicarakan tentang pernikahan.” Jawab Zahra sembari menundukkan kepala.“Kalau soal itu, Budi pasti mau menunggu sampai masa iddahmu selesai. Niat baik iti jangan ditunda dan harus disegerakan, Nak”“Tapi, Bu, aku belum bisa mengambil keputusan untuk saat ini. Ini terlalu cepat. Aku tak ingin salah langkah lagi dalam membina rumah tangga tanpa tujuan yang jelas. Untuk apa dipercepat kalau ujungnya bertemu di pengadilan agama. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi padaku. Lagi pula Mas Budi juga baru saja ditinggal oleh almarhumah istrinya. Pasti masih sulit untuk melupakan dia.”“Kalau masalah Budi gampang. Dia pasti bisa menerimamu dan j
SETAHUN KEMUDIANKini satu tahun telah berlalu. Semenjak peristiwa itu, Budi melarang Zahra untuk datang ke rumahnya. Alasannya cukup masuk akal karena Dia tak ingin lagi dikunjungi oleh mantan kekasihnya yang sudah membuatnya kecewa.Budi sempat menaruh harapan besar kepada Zahra. Namun dia harus menelan kekecewaan karena asa tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pria itupun harus berbesar hati karena mendapati sang mantan masih sangat mencintai mantan suaminya.Zahrapun menghargai keputusan Budi dan memutuskan untuk tak menemuinya kecuali jika diminta.Hingga saat ini tak ada kabar apapun dari Budi. Zahra hanya mendengar kabar jika Budi sedang berobat ke luar negeri bersama keluarganya.“Semoga saja kamu cepat sembuh, Mas Budi.” Zahra tersenyum sembari menatap foto Budi yang berada di ponselnya.Gadis bermanik coklat itu menarik napas panjang. Setahun sudah dirinya berstatus sebagai seorang janda. Mantan suami tak pernah sekalipun menghubungi. Ada rindu yang selalu tersimpan untukny
Zahra tengah menikmati hari libur. Seperti biasa dia gunakan untuk membantu sang ibu untuk membersihkan rumah. Pada saat sedang asik menyapu lantai, bel pintu berbunyi. Gadis itupun segera membuka pintu.Dan betapa terkejutnya saat melihat tamu yang mampu berdiri tegak dengan kaki yang sempurna di hadapannya. Bola matanya membulat dengan sempurna. Satu tangan menutup mulutnya yang terbuka lebar.Gadis itu menatap tamu seorang pria dari ujung rambut hingga ujung kaki. Benar-benar kaki pria itu menapak dengan sempurna. Sangat sulit untuk dipercaya.“Mas Budi?! Benarkah ini kamu?!” zahra masih tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dia mencoba mengucek matanya berkali-kali.Sementara pria dihadapannya tersenyum melihat sang mantan yang masih tak percaya dengan kedatangannya.“Iya. Ini aku. Budi! Kau tidak salah!” jawab Budi dengan tersenyum manis. Pria itu kini terlihat lebih percaya diri. Bahkan tubuhnyapun kini sudah mulai berisi. Senyum yang dulu tak pernah terlihat lagi, kini men
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d