Foto-foto yang disebar di grup kantor membuat Jordhy merasa kehilangan seluruh harga dirinya. Jantungnya berdebar kencang dan tangannya bergetar memegang ponsel. Beberapa foto memperlihatkan dirinya dan Lisa di apartemen, dalam pose-pose yang tentunya mengundang penilaian negatif.Hancur sudah reputasi di kantor. Mana mungkin para karyawan itu percaya kalau dia adalah korban. Di mana-mana, biasanya justru korban itu Perempuan bukan? Jordhy lengah, Lisa ternyata lebih nekat dari pada yang ia pikirkan. "Lisa...," gumam Jordhy dengan geram, tangannya mengepal kuat.Dia segera menutup gawai. tetapi notifikasi pesan masuk tak berhenti. Tampak chat dari Rasya, Shelma dan panggilan masuk dari Reska. “Ck!” Kepala Jordhy berdenyut hebat. Dalam sekejap, masalah pribadinya tumpah ruah di hadapan orang-orang yang seharusnya tak pernah tahu. Dia tahu ini bukan hanya sekadar masalah skandal, tapi lebih dari itu—kepercayaan. Bagaimana dia bisa menghadapi mereka semua di kantor setelah ini?Dengan
Jordhy berjalan keluar meninggalkan kantor. Tentunya dengan tatapan dan bisik-bisik dari seisi kantor yang shock melihat foto-fotonya yang tanpa busana tersebar. Hari ini, Lisa, bahkan tak menampakkan batang hidungnya.Jordhy segera masuk ke mobilnya. Dia memutuskan untuk menyusul Arumi ke tempat kerjanya. Tanpa pikir panjang, dia menekan pedal gas dan mengarahkan mobilnya menuju tempat kerja Arumi. Setelah beberapa waktu berkendara, Jordhy tiba pada alamat yang tertera. Hatinya berdegub cepat ketika melihat apa yang terlihat di depannya. Tampak sebuah butik mewah dengan papan nama yang terpampang jelas, Sabia Collection. “J—jadi, Arumi kerja di sini?” Jordhy memijat pelipis. Lalu, terbayang ketika dulu dia datang dengan Lisa ke tempat itu untuk membuat gaun pengantin. Apakah pada saat itu, Arumi melihatnya? Apakah itu yang dia maksudkan jangan ada perempuan lain dalam pernikahan? Betapa Jordhy merasa semakin bodoh sekarang.Jordhy keluar dari mobil dengan langkah gontai. Dia berjal
Lisa berjalan mondar-mandir di apartemennya, kakinya menghentak-hentak di lantai. Amarah membakar dalam dadanya seperti api yang tak bisa dipadamkan. Sesak, itulah yang ia rasakan sekarang. Kalimat demi kalimat yang Jordhy ucapkan Kembali terngiang. Lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya sangat lama itu, begitu tega memutuskan ikatan mereka demi orang baru, yang dia sebut istri, Perempuan yang katanya hanya dijodohkan oleh keluraganya. Juga sebuah surat pemecatan yang baru saja diterimanya membuat Lisa semakin murka. Apalagi ancaman Rasya yang mengatakan akan mempolisikannya."Kenapa ini semua jadi begini!" teriak Lisa sambil menjambak rambutnya frustasi. Surat pemecatan yang dikirim bagian HRD dia sobek-sobek dan dilemparnya ke lantai penuh rasa sesal. Lisa membanting benda apa saja yang bisa dia gapai. Seprai dan bantal ditariknya, lalu dilempar, perlengkapan make up yang tertata rapi diatas meja rias disapunya hingga berserakan ke lantai. Emosi yang masih meletup membuatnya
Ah, kata-kata itu, bahkan Jordhy menyukai panggilannya untuk Arumi sekarang, Dek. “Semua sudah selesai, Mas. Oh iya, kartu yang dari kamu, aku selipkan pada berkas yang aku tinggalkan!” Arumi menarik pergelangan tangannya. Nada bicaranya datar dan dingin membuat Jordhy benar-benar merasa asing.“Tolong jangan pergi dari rumah, Dek. Hentikan gugatan itu. Aku ingin, kita melanjutkan pernikahan ini. Bukankah kita sudah melakukannya? Aku sudah membuatmu rugi, jadi biarkan aku bertanggung jawab.” Jordhy bicara dengan rasa bersalah yang menggunung. Arumi tampak menunduk dalam. Berbeda sekali dengan sikapnya yang selama ini selalu lembut dan sudah membuat Jordhy nyaman. Saat ini, Arumi terkesan sangat dingin. “Anggap saja itu kesialan buatku, Mas. Aku akan berusaha melupakannya. Permisi!” Arumi hendak melangkah, tetapi lagi-lagi Jordhy menahan lengannya. Satu sudut hatinya ingin sekali memeluk Arumi ke dalam dekapannya dan meminta maaf. Namun, sikap dingin yang Arumi tunjukkan cukup memb
Setibanya di Bandara Charles de Gaulle, Paris, udara sejuk musim semi langsung menyapa Arumi. Begitu keluar dari pintu kedatangan, matanya mencari-cari seseorang di kerumunan. Tak lama, suara yang familiar terdengar di tengah keramaian.“Arumi!” Milea, sahabat lamanya, melambai dengan semangat. Meski mengenakan kacamata hitam dan syal tipis yang melilit lehernya, Milea tampak santai dalam balutan blus musim semi. Senyum lebarnya memancarkan kehangatan. “Salut, ma chérie! Ça va? (Halo, sayang! Apa kabar?) ” Milea menghampirinya dan langsung memeluk erat. Arumi tersenyum, dan membalas pelukan Milea. Ada rindu menggerayangi dada pada suasana Paris yang sudah lama ditinggalkannya.“Ça va bien, et toi? (Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?)” jawab Arumi sambil tersenyum. “Bienvenue à Paris, Dear. (Selamat datang di Paris, sayang ) Kota ini sudah menunggumu,” ujar Milea dengan penuh arti. "Kamu pasti capek, aku sudah menyiapkan apartemen yang kita bicarakan sebelumnya."Mereka berdua b
“Bonjour, Madame!” sapa pelayan dengan senyuman sopan. “Bonjour,” balas Arumi dengan anggukan cepat. Lalu pelayan itu pun menanyakan pesanan Arumi. Semua pun memesan dengan cepat. Arumi ingin menggunakan waktunya dengan efektif. Mereka pun mulai berdiskusi sambil menunggu pesanan datang. “Jadwal runway sudah dicheck?” “Belum. Ada revisi lagi?” “Kemarin ada kabar dari panitia, kita dapat slot hari ketiga, sore. Pas banget sebelum desainer besar tampil.”Arumi mengangguk. “Perfect timing. Apa lagi yang perlu kita siapkan, ya? Khawatir ada yang terlewat.”“Saya sudah membuat ceklis, kok, Bu! Tenang saja! Satu copy-nya sudah saya email juga ke Ibu!” “Untuk pengiriman juga, semua sudah beres, kok, Bu! Batch terakhir kemarin malam, langsung ke atelir di sini. Kita juga harus konfirmasi final fitting dengan semua model besok.”Arumi tersenyum tipis. Ia bersyukur memiliki tim yang solid. Namun, di balik senyum tipisnya, terselip rasa lelah yang tidak bisa ia abaikan. “Aku akan cek atel
Pertemuan di tepi kanal berakhir dengan obrolan ringan. Sesekali tawa pecah ketika mereka membahas banyak hal. Pertemuan yang tak terduga itu membuat keduanya sadar, jika kebiasaan mereka yang sejak lama memang sering berada di salah satu tepi kanal itu, membuat mereka sering berada di dalam situasi yang sama meski tak pernah mereka sadari. Waktu beranjak, Kevandra melirik jam tangan yang melingkar lalu dia mengajak Arumi mampir ke salah satu café.“Mumpung di sini, biar aku traktir Mbak Arumi.” “Kamu bukannya lagi kuliah, ya? Biar Mbak saja yang traktir kamu.” “Ish, aku mahasiswa luar biasa, Mbak. Urusan uang, gak perlu cemas, mari!” Akhirnya sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan yang agak tersembunyi, tetapi menawarkan pemandangan indah ke arah Canal Saint Martin menjadi pilihan mereka. Bangunannya bergaya klasik dengan jendela besar yang menghadap langsung ke kanal. Meja-meja kayu kecil dengan kursi anyaman rotan berjajar rapi di teras, dihiasi pot-pot bunga lavender ya
Sambil terus memantau, Arumi mendekati para model yang sedang bersiap di backstage. Ia memeriksa setiap detail dari gaun yang dikenakan mereka, memastikan lipatan kain jatuh dengan sempurna dan aksesoris melekat pada tempatnya.“Kalian sudah siap, ya?” tanya Arumi kepada para model yang sedang bersiap di ruang ganti.Beberapa dari mereka mengangguk antusias, sementara yang lain hanya tersenyum gugup. “Kita sudah latihan berkali-kali, santai saja. Kalian pasti bisa,” kata Arumi memberikan semangat, senyum tipis di bibirnya, meskipun sebetulnya sama, hatinya penuh ketegangan.Di saat Arumi mengendalikan setiap detil dengan cekatan, tanpa dia sadari, Kevandra muncul di tepi backstage. Dia tidak banyak bicara, hanya berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Kevandra yang Mengenakan jaket kulit hitam dan syal abu-abu tadi melihat Arumi sekilas dan lekas mencarinya. Dia tentu saja tak dating sendirian. Ada Acha dan juga Bastian. Hanya saja, dia tadi memang memisahkan diri ketika kebetulan
“Ya Allah, Mas! Kenapa jadi kamu yang ribet kayak gini, sih? Lahirannya juga masih lama!” kekeh Arumi.Jordhy menoleh dan mendekat ke arah sang istri. Sebelum berbicara, satu kecupan dia daratkan pada kening Arumi. Tak peduli Bi Muti memalingkan muka karena malu.“Apapun akan kulakukan demi kebaikan anak kita. Anggap saja ini adalah penebusan kesalahan!” kekehnya sambil membelai rambut Arumi. Jika di dalam rumah, Arumi kerap mengenakan pakaian santai. Toh, Pak Kamin memang di larang berkeliaran di dalam.“Baiklah, terserah kamu, Mas! Ini buat kamu!” tutur Arumi sambil menyerahkan segelas cappuccino hangat untuk sang suami. “Ayo! Temani Mas minum!” bisik Jordhy sambil menarik lengan Arumi dan mengajaknya meninggalkan kamar bayi mereka.Sebelum menginjak bulan ke Sembilan, mereka berdua melaksanakan agenda baby moon yang sudah dirancang. Puncak Bogor yang Jordhy pilih dari sekian banyak destinasi wisata yang Rasya sodorkan. Udara sejuk dan pemandangan pegunungan yang indah menjadi daya
“Lisa,” jawab Jordhy singkat.Wajah Arumi menunjukkan sedikit keterkejutan, tetapi ia segera tersenyum tenang. “Bagaimana keadaannya sekarang?”Jordhy menceritakan secara singkat keadaan Lisa yang kini telah jatuh dalam keterpurukan. Arumi mendengarkan dengan seksama, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa cemburu atau marah. Sebaliknya, ia justru menepuk bahu suaminya dengan lembut.“Mas, kalau kamu merasa perlu membantunya, lakukan saja. Kadang, Tuhan memberi kita kesempatan untuk membantu orang lain agar kita bisa belajar dari masa lalu,” kata Arumi bijaksana.Jordhy menoleh dan menatap tak percaya pada apa yang Arumi katakana padanya, “Kamu serius berpikiran demikian, Dek?” Arumi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy. “Semua orang pernah berbuat kesalahan, jika kesempatan kedua itu tak pernah ada, maka hari ini kita pun tak akan pernah bersama, Mas.”Jordhy termenung. Benar yang dikatakan Arumi. Namun, sisi logikanya masih bertahan. Tak semudah itu juga memberikan penga
Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah pasar kecil. Di sana, matanya langsung tertuju pada gerobak kecil dengan tulisan “Rujak Serut Spesial” yang ditempatkan di samping sebuah pohon besar. Tanpa ragu, Jordhy berjalan cepat menuju gerobak tersebut dan menanyakan pesanan rujak serutnya. Saat menunggu penjual menyelesaikan pesanan, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu pun tampak memandangi Jordhy dengan mata yang tampak kosong dan lelah, namun di balik itu, ada sorot yang berkaca-kaca, seolah menyimpan begitu banyak perasaan yang tak terucapkan.Jordhy memandang perempuan itu dengan kening berkerut. Butuh beberapa detik untuk mengenali siapa sosok tersebut. Wajah yang dulu selalu ia lihat dalam kesibukan kantor dan momen-momen pribadi mereka kini tampak berbeda—lelah, penuh bekas luka kehidupan. Lisa, mantan sekretaris sekaligus mantan kekasihnya, berdiri di sana dengan tubuh yang tampak kurus dan kusut dan perut yang te
Arumi tersipu, tapi dengan lembut ia menerima uluran tangan suaminya. “Baiklah karena dipaksa.”Mereka berdansa pelan diiringi musik lembut yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Jordhy memeluk Arumi dengan lembut, mendekapnya penuh cinta sambil berbisik, “Terima kasih sudah ada di hidupku. Kamu tahu, aku mungkin bukan suami yang sempurna, tapi aku berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik buat kamu dan anak kita nanti.”Arumi menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy, merasakan kedamaian dan cinta yang tak terbendung. “Aku nggak butuh yang sempurna, Mas. Kamu, dengan segala kekurangan dan kelebihan, sudah lebih dari cukup.”Mereka terus berdansa dalam keheningan penuh makna, saling menguatkan tanpa banyak kata.Setelah makan malam, mereka memutuskan mampir ke sebuah mal yang masih buka untuk membeli beberapa keperluan bayi. Meski sudah larut, Jordhy masih tampak bersemangat memeriksa satu per satu barang yang ada di toko bayi. Arumi, yang sesekali duduk di kursi yang terse
“Malam ini bersiap, ya! Mas mau ajak kamu pergi! Cuma siang ini, Mas harus udah kerja, Rasya takut keburu botak kepalanya!” tutur Jordhy sambil meneguk susu hangat miliknya. Tentunya bukan susu untuk ibu hamil seperti yang Arumi sangka. “Mau ajak ke mana? Aku masih capek, tau!” keluh Arumi. “Ada, deh … rahasia!” balas Jordhy sambil mengambil potongan roti bakar miliknya lalu disuap dengan lahap. Pagi itu mereka berpisah dengan senyum yang tersemat pada bibir masing-masing. Ada rasa hangat yang menjalar dari dekapan singkat dan kecupan Jordhy pada kening Arumi sebelum pergi ke kantor. “Jangan lupa, malam nanti dandan yang cantik!” bisik Jordhy sambil melepaskan rangkulan dari pinggang Arumi. “Kan aku pake cadar, cantik juga gak kelihatan!” elak Arumi.Jordhy terkekeh sambil menggaruk tengkuk, “Hmmm … kalau mau dibuka, boleh, sih!” “Dih, enggak, ah! Dulu ‘kan kamu yang minta,” tutur Arumi menyangkal. “Iya deh, iya, Nyonya! Pamit, ya!” Jordhy mengecup sekali lagi kening Arumi, lal
Sepasang netra Arumi membeliak ketika melihat hiasan kamar bak kamar pengantin baru. Semerbak dengan taburan mawar dan ronce melati segar.“Mas?” Arumi menoleh ke arah Jordhy dan menatapnya. Namun bukan jawaban, melainkan tiba-tiba saja Jordhy membopong tubuhnya dan membaringkannya di atas king size bed bertabur mawar.“Malam ini, milik kita,” bisiknya sekali lagi. Lalu pinti dikuncinya dan lampu yang terang berubah temaram. Arumi hanya bisa pasrah ketika Jordhy mengajaknya berpetualang. ***Pagi menyambut dengan sapuan sinar surya yang lembut. Arumi baru saja bangun dan mengerjap ketika sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai. Setelah shalat shubuh tadi, Arumi merasakan lelah yang luar biasa dan memilih untuk tidur lagi. Ditatapnya tempat tidur yang kosong di sampingnya, Jordhy sudah tak ada di tempat.Arumi mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Baru saja kemarin dia landing di bandara dan menginjakkan kembali kakinya di Indonesia. Lalu bayangan manis malam tadi dan kalimat cinta y
Begitu roda pesawat menyentuh landasan di Bandara Soekarno-Hatta, Arumi menarik napas panjang. Dia memandang lekat ke luar jendela, memperhatikan deretan pesawat lain berjejer di apron, juga petugas bandara yang tampak sibuk. Di sebelahnya, Jordhy tersenyum lalu menggenggam tangan Arumi. "Kita pulang," ucapnya lembut, membuat Arumi tersenyum kecil dan mengangguk. Mereka berdua melangkah keluar, diiringi hiruk pikuk suara bandara yang ramai. Begitu keluar dari pintu kedatangan, nuansa tropis yang lembap segera menyambut mereka. Jordhy dan Arumi berjalan bersisian mengikuti arus orang-orang yang berlalu lalang menuju pintu keluar. Mereka terhenti sejenak menunggu koper mereka di garasi, lalu berjalan lagi dan menuju pintu kedatangan.Di pintu kedatangan, dua keluarga besar sudah menanti dengan wajah berseri-seri. Reska melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, sementara Khaidir, ayah Arumi, tampak berdiri sedikit lebih jauh dan tengah mengobrol akrab dengan sang besan, Atmaja. Maziah,
“Ya, Mas, benar,” jawabnya, matanya melirik ke arah cakrawala Paris yang membentang di depan mereka. Dari puncak Montmartre, seluruh kota terlihat seperti kanvas besar dengan atap-atap rumah yang khas, Menara Eiffel menjulang di kejauhan, dan sungai Seine yang mengalir tenang di bawah sinar matahari.Mereka duduk berdua di tangga Sacré-Cœur, menikmati pemandangan indah itu. Jordhy menggenggam tangan Arumi lebih erat, dan tanpa kata-kata, mereka berbagi momen keheningan yang damai. Di antara keramaian turis yang berfoto dan bersantai, rasanya seolah dunia hanya milik mereka berdua. Di depan mereka, Paris terbentang luas, menyajikan panorama kota yang menakjubkan. Cahaya matahari senja mulai memudar, menciptakan gradasi warna langit yang perlahan berubah dari biru terang menjadi jingga dan keemasan. Gemerlap kota mulai bermunculan satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi permukaan bumi. Atap-atap rumah bergaya Haussmann berbaris rapi, menambah kesan klasik dan elega
Titah Jordhy adalah hal yang harus Rasya kerjakan. Permintaan Jordhy yang banyak dan mendesak membuat Rasya cukup kelimpungan. Dia sibuk menghubungi kuasa hukum Jordhy dan juga Arumi. Hal ini mengingat permintaan Arumi untuk membuat surat pengajuan rujuk lagi ke pengadilan setempat di mana akta cerai kemarin sudah dikeluarkan. Meskipun dalam syariat islam tak disebutkan demikian, tetapi mengingat tata tertib dan administrasi yang memang Arumi syaratkan, Jordhy meminta Rasya segera menyelesaikannya. Rasya pun mengaturkan pertemuan virtual yang dihadiri tokoh agama setempat di kediaman Khaidir, selaku orang tua dari Arumi, di kediaman Atmaja selaku orang tua Jordhy dan juga di Paris sendiri dihadiri Arumi dan Jordhy. Dalam hal ini, Jordhy ingin benar-benar menyingkirkan keraguan dalam benak Arumi yang meragukan kata-kata rujuknya kemarin. “Jika ini masih membuatmu ragu, Mas bisa minta Rasya buatkan siaran langsung dan menyewa satu chanel televisi untuk kita agar disaksikan semua orang