Jordhy berjalan keluar meninggalkan kantor. Tentunya dengan tatapan dan bisik-bisik dari seisi kantor yang shock melihat foto-fotonya yang tanpa busana tersebar. Hari ini, Lisa, bahkan tak menampakkan batang hidungnya.Jordhy segera masuk ke mobilnya. Dia memutuskan untuk menyusul Arumi ke tempat kerjanya. Tanpa pikir panjang, dia menekan pedal gas dan mengarahkan mobilnya menuju tempat kerja Arumi. Setelah beberapa waktu berkendara, Jordhy tiba pada alamat yang tertera. Hatinya berdegub cepat ketika melihat apa yang terlihat di depannya. Tampak sebuah butik mewah dengan papan nama yang terpampang jelas, Sabia Collection. “J—jadi, Arumi kerja di sini?” Jordhy memijat pelipis. Lalu, terbayang ketika dulu dia datang dengan Lisa ke tempat itu untuk membuat gaun pengantin. Apakah pada saat itu, Arumi melihatnya? Apakah itu yang dia maksudkan jangan ada perempuan lain dalam pernikahan? Betapa Jordhy merasa semakin bodoh sekarang.Jordhy keluar dari mobil dengan langkah gontai. Dia berjal
Lisa berjalan mondar-mandir di apartemennya, kakinya menghentak-hentak di lantai. Amarah membakar dalam dadanya seperti api yang tak bisa dipadamkan. Sesak, itulah yang ia rasakan sekarang. Kalimat demi kalimat yang Jordhy ucapkan Kembali terngiang. Lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya sangat lama itu, begitu tega memutuskan ikatan mereka demi orang baru, yang dia sebut istri, Perempuan yang katanya hanya dijodohkan oleh keluraganya. Juga sebuah surat pemecatan yang baru saja diterimanya membuat Lisa semakin murka. Apalagi ancaman Rasya yang mengatakan akan mempolisikannya."Kenapa ini semua jadi begini!" teriak Lisa sambil menjambak rambutnya frustasi. Surat pemecatan yang dikirim bagian HRD dia sobek-sobek dan dilemparnya ke lantai penuh rasa sesal. Lisa membanting benda apa saja yang bisa dia gapai. Seprai dan bantal ditariknya, lalu dilempar, perlengkapan make up yang tertata rapi diatas meja rias disapunya hingga berserakan ke lantai. Emosi yang masih meletup membuatnya
Ah, kata-kata itu, bahkan Jordhy menyukai panggilannya untuk Arumi sekarang, Dek. “Semua sudah selesai, Mas. Oh iya, kartu yang dari kamu, aku selipkan pada berkas yang aku tinggalkan!” Arumi menarik pergelangan tangannya. Nada bicaranya datar dan dingin membuat Jordhy benar-benar merasa asing.“Tolong jangan pergi dari rumah, Dek. Hentikan gugatan itu. Aku ingin, kita melanjutkan pernikahan ini. Bukankah kita sudah melakukannya? Aku sudah membuatmu rugi, jadi biarkan aku bertanggung jawab.” Jordhy bicara dengan rasa bersalah yang menggunung. Arumi tampak menunduk dalam. Berbeda sekali dengan sikapnya yang selama ini selalu lembut dan sudah membuat Jordhy nyaman. Saat ini, Arumi terkesan sangat dingin. “Anggap saja itu kesialan buatku, Mas. Aku akan berusaha melupakannya. Permisi!” Arumi hendak melangkah, tetapi lagi-lagi Jordhy menahan lengannya. Satu sudut hatinya ingin sekali memeluk Arumi ke dalam dekapannya dan meminta maaf. Namun, sikap dingin yang Arumi tunjukkan cukup memb
Setibanya di Bandara Charles de Gaulle, Paris, udara sejuk musim semi langsung menyapa Arumi. Begitu keluar dari pintu kedatangan, matanya mencari-cari seseorang di kerumunan. Tak lama, suara yang familiar terdengar di tengah keramaian.“Arumi!” Milea, sahabat lamanya, melambai dengan semangat. Meski mengenakan kacamata hitam dan syal tipis yang melilit lehernya, Milea tampak santai dalam balutan blus musim semi. Senyum lebarnya memancarkan kehangatan. “Salut, ma chérie! Ça va? (Halo, sayang! Apa kabar?) ” Milea menghampirinya dan langsung memeluk erat. Arumi tersenyum, dan membalas pelukan Milea. Ada rindu menggerayangi dada pada suasana Paris yang sudah lama ditinggalkannya.“Ça va bien, et toi? (Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?)” jawab Arumi sambil tersenyum. “Bienvenue à Paris, Dear. (Selamat datang di Paris, sayang ) Kota ini sudah menunggumu,” ujar Milea dengan penuh arti. "Kamu pasti capek, aku sudah menyiapkan apartemen yang kita bicarakan sebelumnya."Mereka berdua b
“Bonjour, Madame!” sapa pelayan dengan senyuman sopan. “Bonjour,” balas Arumi dengan anggukan cepat. Lalu pelayan itu pun menanyakan pesanan Arumi. Semua pun memesan dengan cepat. Arumi ingin menggunakan waktunya dengan efektif. Mereka pun mulai berdiskusi sambil menunggu pesanan datang. “Jadwal runway sudah dicheck?” “Belum. Ada revisi lagi?” “Kemarin ada kabar dari panitia, kita dapat slot hari ketiga, sore. Pas banget sebelum desainer besar tampil.”Arumi mengangguk. “Perfect timing. Apa lagi yang perlu kita siapkan, ya? Khawatir ada yang terlewat.”“Saya sudah membuat ceklis, kok, Bu! Tenang saja! Satu copy-nya sudah saya email juga ke Ibu!” “Untuk pengiriman juga, semua sudah beres, kok, Bu! Batch terakhir kemarin malam, langsung ke atelir di sini. Kita juga harus konfirmasi final fitting dengan semua model besok.”Arumi tersenyum tipis. Ia bersyukur memiliki tim yang solid. Namun, di balik senyum tipisnya, terselip rasa lelah yang tidak bisa ia abaikan. “Aku akan cek atel
Pertemuan di tepi kanal berakhir dengan obrolan ringan. Sesekali tawa pecah ketika mereka membahas banyak hal. Pertemuan yang tak terduga itu membuat keduanya sadar, jika kebiasaan mereka yang sejak lama memang sering berada di salah satu tepi kanal itu, membuat mereka sering berada di dalam situasi yang sama meski tak pernah mereka sadari. Waktu beranjak, Kevandra melirik jam tangan yang melingkar lalu dia mengajak Arumi mampir ke salah satu café.“Mumpung di sini, biar aku traktir Mbak Arumi.” “Kamu bukannya lagi kuliah, ya? Biar Mbak saja yang traktir kamu.” “Ish, aku mahasiswa luar biasa, Mbak. Urusan uang, gak perlu cemas, mari!” Akhirnya sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan yang agak tersembunyi, tetapi menawarkan pemandangan indah ke arah Canal Saint Martin menjadi pilihan mereka. Bangunannya bergaya klasik dengan jendela besar yang menghadap langsung ke kanal. Meja-meja kayu kecil dengan kursi anyaman rotan berjajar rapi di teras, dihiasi pot-pot bunga lavender ya
Sambil terus memantau, Arumi mendekati para model yang sedang bersiap di backstage. Ia memeriksa setiap detail dari gaun yang dikenakan mereka, memastikan lipatan kain jatuh dengan sempurna dan aksesoris melekat pada tempatnya.“Kalian sudah siap, ya?” tanya Arumi kepada para model yang sedang bersiap di ruang ganti.Beberapa dari mereka mengangguk antusias, sementara yang lain hanya tersenyum gugup. “Kita sudah latihan berkali-kali, santai saja. Kalian pasti bisa,” kata Arumi memberikan semangat, senyum tipis di bibirnya, meskipun sebetulnya sama, hatinya penuh ketegangan.Di saat Arumi mengendalikan setiap detil dengan cekatan, tanpa dia sadari, Kevandra muncul di tepi backstage. Dia tidak banyak bicara, hanya berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Kevandra yang Mengenakan jaket kulit hitam dan syal abu-abu tadi melihat Arumi sekilas dan lekas mencarinya. Dia tentu saja tak dating sendirian. Ada Acha dan juga Bastian. Hanya saja, dia tadi memang memisahkan diri ketika kebetulan
Rumah Jordhy tampak tenang, tetapi pikirannya sangat berantakan. Di ruang kerja yang penuh dengan tumpukan berkas dan laptop menyala, Jordhy duduk di kursi sambil memijat pelipis. Matanya memerah karena kurang tidur dan kepalanya berdenyut seperti ada palu besar yang terus memukul. Masalah yang semakin menumpuk dengan Lisa benar-benar menguras tenaganya. Juga rasa tak berdaya atas penolakan Arumi terhadap dirinya. Di antara semua itu, pikirannya terus melayang pada Arumi. Sedang apa dia di sana? Apakah tak ada setitikpun hati Arumi mengingatnya? Di antara bayangan yang dipenuhi perempuan yang mulai dicintainya itu, tiba-tiba saja dia teringat kalimat yang diucapkan Lisa. “Aku hamil, Mas! Aku mengandung anak kamu! Kumohon … jangan biarkan anak tak berdosa ini jadi korban. Kita harus menikah secepatnya! Cek ini bukan tujuanku, ini hanya nominal! Aku butuh pengakuan! Aku hamil anakmu, Mas!” Kalimat yang Lisa ucapkan ketika dia memberikan cek padanya dan memintanya untuk meninggalkan, t
Arumi bicara sambil menyeka air mata. Terasa berat mengatakan itu semua pada seonggok manusia yang tak bisa melakukan apa-apa. Dadanya terasa sesak melihat sosok yang biasanya begitu menyebalkan kini berada di ambang kematian. Selama ini, dia selalu menolak untuk mengakui bahwa semua perhatian Jordhy perlahan menghangatkan hatinya. Rasa sakit akibat pengkhianatan begitu dalam, hingga ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Tapi kini, di saat yang paling genting, semua pertahanan itu runtuh.Baru kali ini Arumi merasa benar-benar tak siap kehilangan Jordhy.Tangannya yang masih menggenggam tangan Jordhy semakin erat. “Bangunlah, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar. “Bangunlah … jika kamu memang masih menginginkan kesempatan kedua.”Arumi menundukkan kepalanya, memejamkan mata, berharap keajaiban terjadi. Dia tahu, Jordhy memang dulu terlihat sangat menyebalkan. Namun dalam hati kecilnya, Arumi sadar bahwa Jordhy juga mencoba untuk berubah. Dia ingat setiap usaha kecil yang dila
Arumi berdiri di tepi ranjang rawat Jordhy sambil sesekali menyeka air mata yang merembes, napasnya seakan tertahan di tenggorokan oleh segumpal kesedihan. Dipandangnya dengan netra yang berkaca-kaca sesosok tubuh tinggi tegap tak berdaya yang kini terbaring dengan tubuh diselimuti selang-selang medis. Rasa bersalah kian menguar. Andai saja dia tak melarikan diri dari Jordhy, dia tak akan bertemu Pedrio tentunya, andai saja sedikit saja menahan diri dan memberikan ruang untuk berbicara baik-baik dengan Jordhy, tentu endingnya akan berbeda. Aandai saja, andai saja dan semua pengandaian itu berputar-putar semakin membuat semakin banyak tumpukkan sesal. Maafkan aku, Mas! Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini.Suaranya keluar pelan, meskipun terdengar seperti gumaman, di antara suara monoton dari alat monitor detak jantung terdengar berdetak. Arumi mematung menatap alat ventilator yang terhubung di hidung dan mulut Jordhy, berdesis pelan setiap kali mesin itu memompa udara ke paru-parunya
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d