。・:*:・(✿◕3◕)❤ BANTU VOTE GEM YAAA
Tak berpikir panjang, Aletha langsung melepaskan remaja yang sudah dia tolong. Dengan cepat ia kembali menyelam, berenang secepat dan sekuat yang dia bisa. Jernih air laut itu bisa membantunya melihat dengan jelas tubuh Farid yang sedang diseret ke dasar dan semakin jauh. Terlihat Farid berusaha menyeimbangkan dirinya namun nampak usahanya sia-sia karena arus itu terus menekannya. Merah padam wajah Farid karena ia akan kehabisan pasokan udara di paru-parunya. Aletha terus berenang lebih cepat seperti seorang putri duyung. Tanpa ragu, ia mendekati pusaran itu dan menjulurkan tangannya. Matanya melebar memberi isyarat pada Farid. Pemuda itu pun berusaha mengangkat tangannya mencoba meraih tangan Aletha. Ia terus mengayuh agar tetap seimbang. Aletha berusaha terus mendekat. Tapi tidak, ia sudah kehabisan napas. Melotot lebar mata Farid lalu secara perlahan, kedua matanya terkulai dan tertutup. Seperti tak memikirkan keselamatan dirinya lagi, Aletha langsung masuk ke dalam pusaran yang t
Sejenak hening terasa dunia Farid. Ia merasakan dingin bibir Aletha menjalar sampai ke sum-sum otaknya. Seolah kemampuannya untuk berpikir hilang seketika hingga menjadi kosong. Sampai usianya dua puluh tiga tahun, ia tak pernah sekali pun merasakan bibir wanita. Meski ia ibarat gula yang dikerubungi semut, pemuda itu masih kokoh dengan prinsip yang diajarkan ibunya; No touch after marriage. Aletha memejamkan matanya, menikmati manis bibir pemuda itu. Terasa dingin namun hangat menjalar sampai hatinya. Ciuman bukan hal yang pertama untuknya namun ciuman kali ini, membuat sontak hatinya seperti bermekaran. Gadis itu nekat dan sebentar lagi akan menggila. Braaak! Setelah sekian detik bibir mereka menyatu, Farid mengambil alih kesadarannya kembali. Aletha gagal ketika lidahnya mulai berani untuk bermain. Rupanya, kecantikan dan kemolekannya yang terekspos gamblang tidak cukup membuat Farid lebih lama menikmati sentuhannya. Hayalan dan harapan Aletha terlalu tinggi. Pria itu membalas
Sofia sedang berdebar-debar hebat saat ia mendekati suaminya. Ia mencoba menggunakan lingerie merah maroon berharap Aleksei bisa mengalihkan pikirannya pada pencarian terhadap Victor. "Sayang, sudah hampir satu minggu kamu tak mendatangiku. Apa kamu tak ingin?" tanya Sofia setengah mendesah mendekati telinga suaminya. Jemarinya bermain di hidung, dagu lalu ke leher Aleksei. "Jangan menyindirku begitu, Sofia. Sudah lebih dari satu bulan. Maafkan aku. Pekerjaanku benar-benar menyita dan sekarang aku benar-benar tak tenang. Victor menghilang secara mendadak padahal kami ada proyek bersama," lirih Aleksei. Hacker itu benar-benar panik. Bahkan aroma parfum yang dipakai Sofia tak mampu menembus pikirannya. Biasanya dia selalu menjadi ingin jika sudah didekati dengan aroma menggairahkan itu apalagi Sofia saat ini sedang sengaja menguraikan rambutnya. Wanita itu masih sangat cantik di usianya yang dikatakan mulai menua. "Mungkin dia kalah berjudi lalu disandra rekan judinya, Sayang.
Kraaank! Tubuh Sofia terjatuh dari topangannya. Wanita itu memegangi dadanya karena merasakan napasnya tersendat-sendat. Ia benar-benar gila sekarang. Sofia memukul-mukul tubuhnya sendiri. Wanita itu menjambak rambutnya, membenturkan kepalanya juga menampar pipinya. *"Sayang, sudah hampir satu minggu kamu tak mendatangiku. Apa kamu tak ingin?" "Jangan menyindirku begitu, Sofia. Sudah lebih dari satu bulan. Maafkan aku."* Seolah-olah percakapannya bersama Aleksei yang baru saja terjadi kembali terngiang. Sofia membekap mulutnya sendiri. Tangisnya pecah namun sedikit pun tak berani dia mengeluarkan suara. Bagaimana selama ini ia tak peka?! "Brengsek kau, Victor! Jahannam kamu!" umpatnya dengan suara pelan tapi penuh dengan tekanan. Kembali Sofia mengingat, sering terjadi momen di mana sosok bertopeng ular yang ia kira suaminya sedang menggerayanginya. Jika ia sudah melihat kehadirannya, sosok itu selalu mematikan lampu. Tak pernah Sofia berpikir itu adalah Victor sebab ia ta
"Tunggu, Mas!" seru Sofia mengejar Aleksei yang sedang menuju markasnya. Pria itu menoleh istrinya. "Kamu rehat saja dulu. Masa baru bangun tidur langsung melihat layar," ujar Sofia dengan hati cenat cenut. "Memang itu pekerjaanku kan? Aku benar-benar harus menemukan di mana Victor berada. Mungkin aku juga akan menghubungi beberapa rekan," ucap Aleksei kembali melangkah. Setelah sejenak bergeming, Sofia langsung bergegas keluar. Aleksei hanya sekilas pandang melihat istrinya justru melewatinya. Di pikiran Sofia saat ini adalah Eldor. Anaknya harus tahu, Aleksei mulai mencari Victor. Sofia mengetuk kamar Eldor dan tak ada tanggapan. Ia mendobrak pintu kamar Eldor dan menemukan putranya sedang tidur bersama tiga pelayan muda. Ketiga pelayan itu sedang terburu-buru memakai pakaian mereka. Sofia membuang wajah karena merasa tak nyaman. Biar bagaimana pun melihat putranya setengah bugil dengan di kelilingi wanita dewasa cukup membuat hatinya miris sebagai ibu. Ketiga pelayan muda i
Aleksei langsung bangkit dari tempat tidur. Wajahnya menjadi sangat tegang. Pria itu merasa sedang salah mendengar. "Kamu bilang apa tadi, Sofia?" "Angel akan tahu, kau sudah menikah denganku selama dua puluh tahun ini, Mas!" Aleksei bergeming seperti masih tidak percaya. Dia hanya terus menelan air liurnya yang tiba-tiba terasa pahit. Apa Sofia sudah gila? Selama dua puluh tahun dia berusaha menjauhi sosok Angel Gracelia dan selama dua puluh tahun itu pula dia selalu mendapatkan tekanan dari istrinya. Dengan begitu mudah, Sofia sendiri yang akan membongkar semuanya seolah kehidupannya ada di tangan wanita itu. "Apa tujuanmu?" "Aku ingin semua kembali seperti semula, Mas. Kita bisa saling tahu satu sama lain tanpa rasa curiga lagi. Cincin berlian ini akan menjadi hadiah untuk Angel. Dia pasti senang." Aleksei mendekati Sofia lalu mendorong istrinya itu hingga menempel dengan tembok. Kotak cincin berlian itu jatuh hingga terpisah isinya. Suara benda mahal itu menggemerincing saa
Aletha langsung menunduk kencang hingga justru keningnya yang terbentur keras di lantai. Gadis itu meringis membekap mulutnya. Suara deruman mobil pun kembali terdengar. Perlahan Aletha kembali berdiri dan mengintip. Nampak sosok bercadar sedang keluar dari mobil bersama seorang laki-laki paruh baya yang dia sudah kenal."Mampus lah aku! Itu pasti Nyonya Angel! Bagaimana ini?! Bagaimana?!"Aletha kebingungan. Andaikan ia memiliki kekuatan menghilang seketika. Meskipun harus terdampar di tengah gurun, dia siap."Ooh sial!" umpatnya mondar-mandir menggigit bibir.Sedangkan di lantai bawah, Sofia sedang berpelukan dengan Luna. Bahkan Luna meneteskan air mata karena terharu Sofia mau mengunjunginya."Entah mimpi apa aku semalam, kalian sudi berkunjung ke gubukku," sindir Luna melepaskan pelukannya pada tubuh Sofia. Namun Sofia seperti enggan untuk melepaskan diri."Maafkan aku Angel. Maafkan aku," lirih Sofia berkali-kali."Aku tahu, menjadi pemimpin di bawah sana begitu menyita waktumu,
Aleksei melebarkan matanya memperhatikan lawan bicaranya yang nampak fokus. Farid memperbaiki posisi laptop itu agar Aleksei pun leluasa. Tak berkedip keduanya melihat layar bersamaan dengan debaran jantung mereka yang bertalu-talu. "Aku potong dulu, Paman," lirih Farid yang membuat hati Aleksei terenyuh. Sekarang Ia melihat ke arah keponakannya itu. Tak asing baginya sebab aroma dan aura Angel Gracelia merekat erat pada pemuda itu. "Done. Lihat paman. Vidio pertama, Victor berjalan terlihat terburu-buru. Dan yang kedua ini, terkesan santai. Meski pakaian mereka sama tapi semua terlihat berbeda dari bahasa tubuhnya."Aleksei mengangguk, mengusap mulutnya. "Perhatikan lagi tangan kiri Victor di sini terlihat sedang menggenggam sesuatu. Sebentar, aku zoom!""Nah! Tangannya benar-benar menggenggam sesuatu paman. Oke. See. Vidio yang ke-dua, tangan kirinya terlihat terbuka."Lagi-lagi Aleksei mengangguk. Sungguh ia tak sampai memikirkan bahwa hasil rekaman cctv itu sudah dimodifikasi. O
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege