20.05 wita. Have nice night ya semua. ❤ SUPORT GEM nya selalu othor nantikan
Aleksei melebarkan matanya memperhatikan lawan bicaranya yang nampak fokus. Farid memperbaiki posisi laptop itu agar Aleksei pun leluasa. Tak berkedip keduanya melihat layar bersamaan dengan debaran jantung mereka yang bertalu-talu. "Aku potong dulu, Paman," lirih Farid yang membuat hati Aleksei terenyuh. Sekarang Ia melihat ke arah keponakannya itu. Tak asing baginya sebab aroma dan aura Angel Gracelia merekat erat pada pemuda itu. "Done. Lihat paman. Vidio pertama, Victor berjalan terlihat terburu-buru. Dan yang kedua ini, terkesan santai. Meski pakaian mereka sama tapi semua terlihat berbeda dari bahasa tubuhnya."Aleksei mengangguk, mengusap mulutnya. "Perhatikan lagi tangan kiri Victor di sini terlihat sedang menggenggam sesuatu. Sebentar, aku zoom!""Nah! Tangannya benar-benar menggenggam sesuatu paman. Oke. See. Vidio yang ke-dua, tangan kirinya terlihat terbuka."Lagi-lagi Aleksei mengangguk. Sungguh ia tak sampai memikirkan bahwa hasil rekaman cctv itu sudah dimodifikasi. O
Setelah mendapatkan omelah sekaligus maaf dari Luna, Farid menyelinap mengetuk kamar Tukiyem. Jika ada tamu, Tukiyem selalu menginap untuk memastikan tamu di rumah itu mendapatkan pelayanan terbaik. "Astaghfirullah, Den Muda bikin kaget!" seru Tukiyem mengucek matanya dengan wajah cemberut. "Ssst ... Mbok jangan berisik. Aku mau tanya, itu tadi Mbok cerita gak sama Mama tentang cewek yang aku bawa? Sampai sekarang Mama gak ada singgung-singgung tuh." Tukiyem menggeleng. "Mbok gak berani cerita sampai Den Farid yang nyuruh atau cerita sendiri. Apalagi .... Mbok lihat Aden ngejar dia yang nekat terjun dari ketinggian rumah gitu. Iiiih serem. Jangan-jangan cewek itu orang kriminal!" "Husssh! Dia temen aku, Mbok. Syukurlah Mbok gak cerita. Mbok paling pinter!" Farid langsung memegang dua pinggang Tukiyem dan mengangkatnya tinggi-tingi sampai wanita tua itu membekap mulutnya agar tak ada suara teriakan yang terdengar. Farid selalu begitu. Tak pernah memperlakukannya seperti pemban
"Kenapa kalian mendadak jadi banci?! Ayo! Maju! Mau satu-satu atau keroyokan. Jangan diam! Tunjukan kehebatan kalian itu!" teriak Luna dengan nafas yang mendengus seperti banteng yang sedang marah. "Ma-maafkan, Ma. Aku ...." Farid berusaha mendekati ibunya. Luna langsung menaikkan telapak tangannya tegas. "Berhenti di situ!" Farid hanya menelan salivanya. Ia melipat mulut, merasa sangat sungkan pada ibunya. Ia sudah membuat wanita yang sangat dia cintai itu menjadi murka begitu. Tak pernah sekali pun ibunya menunjukkan amarah seperti itu. "Ayo! Mana nyali kalian?!" lanjut Luna sedikit membungkuk dengan dua kaki yang sudah melebar strategis. "Aku tidak ingin membuang waktu," lirih Eldor meraih bajunya abai. "Baik," timpal Luna seperti mengambil keputusan. Lalu dengan kecepatan tinggi, Luna berlari mendekati Farid. Hiyaaaa! Luna menendang putranya sendiri hingga Farid terpental jauh. Lalu, dalam hitungan detik, Luna melebarkan kakinya dan akan melayangkan tendangannya jug
"Mas?" Sofia menyapa Aleksei yang masih bergeming. Tiba-tiba saja perasaan Sofia menjadi dingin dan berdenyut-denyut. Tatapan Aleksei benar-benar berbeda. "Kamu mau keluar?" lanjut Sofia. "Dia menunggu kita," ucap Eldor datar. Ia melangkah mencoba melewati ayah tirinya. Aleksei seketika membentangkan tangannya memberi isyarat agar pemuda itu berhenti. "Lakukan apa pun di dalam sana. Aku tunggu," ucap Eldor seolah tahu apa yang membuat Aleksei menjadi berbeda. Sofia yang menyaksikan gerakan tubuh suami dan putranya menjadi semakin berdebar. Amarahnya pada Eldor karena peristiwa di rumah Luna berubah dengan cepat menjadi rasa was-was. Ketercanggungan macam apa yang sedang melingkupi keluarganya sekarang?! Tak memiliki pilihan, Sofia hanya terus mengikuti langkah kedua lelakinya. Eldor berjalan lebih depan, lalu disusul oleh Aleksei. Setiap langkah mereka terdengar mengema di telinga Sofia. Wanita itu memberanikan dirinya mendekati suaminya. "Bagaimana kau tahu, kami pulang
"Jangan berlebihan Sofia! Putramu itu pandai bersandiwara! Dia sedang menipumu!" ucap Aleksei mengusap keringat di dagunya. "Tutup mulutmu!" timpal Sofia memberang. Ia mengusap darah yang menutupi kepala Eldor. Aleksei melangkah cepat, mendekati istrinya. Ia meraih paksa lengan Eldor yang lemas. "Bangun! Aku tahu kau sedang berpura-pura! Bangun! Tak mungkin dengan mudahnya kau dikalahkan! Bangun, Eldor! Lawan aku secara kesatria!" teriak Aleksei marah. Eldor terseret seperti bangkai yang tak punya kemampuan apa pun. Sofia melotot hebat saat putranya dirampas paksa oleh Aleksei lalu pria itu menghempaskan Eldor dengan sangat keras. "Bangun! Lawan aku! Jangan pengecut! Omong besar!" Aleksei menedang tubuh Eldor. Namun sekasat mata, tubuh Eldor justru jatuh melewati tangga-tangga kecil sepanjang sepuluh meter melandai. Eldor tetap tak sadarkan diri dan pasrah saat tubuhnya tersentak di atas lantai setelah dibuat bergelinding. "Eldoooor!" teriaknya dengan mata merah. Beberapa peng
Aleksei membuka lembaran demi lembaran buku diari itu. Matanya menemukan fakta yang seperti dua batu berada di kanan kiri telinganya lalu batu itu bersamaan menghantam kepalanya. Pecah dan lebur perasaan Aleksei sampai-sampai ia tak mau membacanya lebih jauh lagi. Buku itu terhempas memantul di dinding batu meninggalkan suara yang cukup mengejutkan. "Bagaimana? Kaget? Shock?! Lalu bagaimana dengan aku yang sebagai korban, Mas?! Jadi, cabut kembali ucapanmu yang menuduhku dan Eldor kejam. Sahabatmu yang kurang ajar dan biadap!" Aleksei tak menjawab apa pun. Ia masih membatu. Ada keringat di dahinya yang menetes. Bayangan wajah Victor di depannya berkelebat-lebat seperti sedang mengejeknya. "Dia telah mencampurkan obat tidur pada minumanmu tiap kali akan mendatangiku, Mas. Aku sudah membuktikannya hari di mana aku menanyakan kepemilikan minuman yang tergeletak di samping kasurmu," lanjut Sofia. "Semula aku pun memarahi Eldor karena telah membunuhnya hanya karena menentang perintah
Aleksei semakin menjauh. Kelenjar otaknya menderas marah diselimuti rasa kecewa yang amat dahsyat. Sangat tidak adil untuknya ketika dia menjaga dirinya bahkan sekedar menatap langsung wanita yang dicintainya. Namun rupanya bertahun-tahun, istrinya dengan mudah digagahi tanpa dia sendiri pun sadari. Aleksei mungumpati kepayahannya tapi juga tak bisa mengabaikan begitu saja kecerobohan Sofia."Begitu mudahnya ...," desisnya sendirian.Sofia berlari mengejar Aleksei. Ia bahkan nekat untuk menendang paha belakang laki-laki itu hingga Aleksei hampir terjungkal."Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Mas!""Jangan coba-coba menghentikanku," timpal Aleksei dengan suara mendesis beriringan dengan langkahnya yang menggema."Kau sangat jahat!" balas Sofia kembali menyerang.Kali ini Aleksei berbalik dan menarik tangan Sofia lalu memelintirnya ke belakang. Aleksei mendorong tubuh Sofia dengan keras hingga kepala wanita itu terbentur dinding lorong. Bahkan Sofia seketika merasakan dahinya berdenyut-
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Eldor menengadah. "A-aaku, aku ... ingin terus menemanimu tapi ... ibuku sedang sakit di rumah," kilah Aletha berbohong. "Ibumu? Bagaimana kalau kita bawa dia ke rumah sakit? Aku tidak keberatan memperkenalkan diriku pada kedua orang tuamu." Aletha mencoba merenggangkan pelukan Eldor. Waktu seperti sedang mengejarnya. Ia ingin bertemu Farid. Matanya merindukan pria itu dan hatinya terus saja menyebut nama Farid. "Maafkan aku, Sayang. Mereka hanya petani biasa. Belum siap bertemu pria segagah dan sekaya dirimu. Mereka butuh waktu." Eldor kembali memeluk pinggang Aletha dan kali ini, pria itu tidur di atas pangkuan Aletha. Pandangan keduanya beradu dan Eldor mengelus pipi juga bibir Aletha dengan lembut. "Baiklah. Aku akan menunggu. Kau tahu, aku tidak pernah menunggu tapi untukmu, aku melakukannya dengan sepenuh hatiku," lirih Eldor terdengar sangat serius. "Sebuah kehormatan untukku, Tuan," timpal Aletha. Ia berharap Eldor tidak menaruh
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege