"Mana mungkin Karmila mau sama anakku yang duda, keluh Ratih memancing Karmila.
"Yudha yang gak mau sama aku Tante," timpal Karmila dengan senyum malu-malu.
"Ya, karena dulu dia sedang dalam pengaruh sihir wanita bercadar itu! Sekarang wanita itu sudah mati, kau bisa leluasa mendekatinya!" Carla bersemangat.
Ia tahu, jika Surya Pertama grup menjadi bagian dari keluarganya, akan sangat mudah mendapatkan akses orang-orang penting. Itu artinya, bisnis berlian yang ia kelola akan makin melesat. Pemikiran yang sama juga berkeliaran di dalam otak Ratih hingga wanita itu juga semakin antusias.
"Kau tenang saja sayang. Dulu, Yudha mau menikah sama wanita bercadar itu karena perintah Mama. Bahkan dia tak mengenal wanita itu. Tapi buktinya, Yudha mau. Apalagi kamu yang sudah dekat dengan Yudha lebih-lebih kamu sudah sangat cantik begini! Tante akan jodohkan kalian dan segera menggelar pesta pernikahan yang mew
"Maafkan Ibuku dan Tanteku, ya. Mereka sebenarnya baik. Cuma gimana ya, aku juga heran," ujarku melirik sekilas Diana di kaca depan kepalaku. Wanita bercadar itu masih menunduk, duduk di belakang."Kamu pasti merasa sedih ya mendengar ucapan mereka. Mereka memang asal ceplas-ceplos saja kalau bicara. Itu tidak berlaku padamu saja, rata-rata sama pelayan di rumah juga begitu. Makanya banyak yang tak betah," kekehku mencoba menghiburnya. Aku tahu, wanita bercadar itu pasti melewati hal yang sulit saat bersama keluargaku. Ibu dan tanteku memang 11 12, tak punya saringan mulut."Bagaimana keadaanmu sekarang? Sakit?" lanjutku. Dari tadi, Diana diam saja. Aku jadi serba salah."Ini memang menyakitkan, tapi aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit," jawabnya datar.Aku yang mendengar kalimat art-ku ini tercenung. Seperti ada yang aneh dan beda."Diana, kita sudah sampai,
Setelah shalat subuh, aku sekarang jarang tidur kembali. Entah mengapa, aku jadi lebih semangat menjalani hari. Mungkin terpengaruh vibes Diana yang sering kudengar membaca kitab suci setelah sholat subuh. Terkadang dia mengingatkanku pada Luna yang rajin mengaji. Setelah selesai membaca beberapa pesan Karmila, aku langsung senyam-senyum membalasnya. [Kamu jangan sensitif gitu dong! Nanti dicium Babon! Ngegemesin! ] [Aah! Kamu memang menyebalkan! Hari libur ini kita kemana?] [Terserah tuan putri ajalah. Manut ;)] [Good. See. Nanti aku jemput soalnya jalurnya lewat sana. ] Kira-kira kemana Karmila kali ini akan membawaku? Dia banyak tahu tempat-tempat wisata. Baiklah. Aku siap-siap. Tak lama, aku keluar kamar dengan setelan santai dengan celana denim selutut warna putih lalu dipadukan dengan kaos oblong. Kacamata hitam dengan rambut yang sudah rapi. Aroma parfumku menyeruak memenuhi setiap sisi ruangan yang kulewati. Sambil menunggu, aku menghampiri Diana yang sedang duduk, sibuk
Ponsel Ayu kembali berdering dan Luna berlari sampai menabrak kursi yang dijatuhkan Ruminang. Tak peduli, Luna segera merogoh tas itu."Gavin!" serunya lalu segera memencet tanda hijau. Saking gemetarnya, ponsel itu sempat jatuh."Ha-haaallllo. Gavin. Miss Harram maksudku Ayu Ruminang sedang kesakitan! Baik. Ba-baiklah!"Luna melepas ponsel itu begitu saja dan membuka tas Ayu. Ia mencari plastik bening berisi tablet kuning yang disebut Gavin. Susah. Isi tas wanita itu bercampur dengan make up, kapas, charger, bahkan ada permen karet. Luna membalik tas itu dan mengeluarkan semua isinya. Tampak clip bening muncul dari tumpukan barang itu dan segera mengeluarkannya."Tiga biji kata Gavin tadi. Baiklah," gumam Luna dengan tangan gemetar mengeluarkan tablet itu.Dia langsung mendekati Ayu Ruminang yang masih berputar-putar, meringkuk mengerang kesakitan. Luna menegakkan tubuh Ruminang
"Te-terus bagaimana, Dok?""Ya, jalan satu-satunya, dia harus dikemoterapi agar tidak terus menjalar di seluruh organ tubuhnya. Tidak ada obat yang bisa kami berikan lagi. Sekarang setelah infus nutrisi ini habis, dia malah bisa pulang dan akan terlihat normal. Tapi suatu hari, dia pasti akan tumbang lagi. Saya sudah membujuknya tapi dia selalu keras kepala. Saya minta tolong, bantu saya."Yudha kembali hening. Rasanya kakinya sudah tak berpijak lagi. Dia melirik Diana yang berada di samping. Wanita itu masih menunduk dan meremas kain gamisnya di bagian lutut.Dokter itu mempersilakan mereka menemui Ayu Ruminang yang sudah sadar. Tampak ia sedang diinfus. Ayu membuang wajahnya."Sudah kukatakan kan tadi, kalau kau pergi, kau akan menyesal," ketus Ruminang dengan suaranya yang berat.Sayudha menyentuh betisnya. Ayu menyentaknya pelan. Yudha terus mendekat ke arah kepalanya. Perlah
"Tuan masih cinta dia?" tanya Luna menahan nafasnya."Hehehe. Entahlah. Dia janda dan aku duda. Terdengar serasi bukan? Kami pernah pacaran selama dua tahun dan hampir menikah. Tapi tak mungkin ibuku setuju. Sudahlah, jangan dibahas."Yudha menggosok-gosok hidungnya pelan, ia salah tingkah. Luna kembali menunduk, meresapi banyak pikirannya yang semrawut."Eeeih ... Karmila! Astaghfirullah. Aku lupa, tadi aku kan datang sama Karmila!" seru Yudha terkejut karena ingat, dia telah meninggalkan gadis itu di parkiran."Telpon saja, Tuan," ucap Luna mencucutkan mulutnya. Andai ia tak menggunakan cadar, Yudha pasti melihat ekspresi tak sukanya itu.Berkali-kali Yudha mencoba menghubungi Karmila namun panggilan dan pesannya tertolak. Yudha pias. Biar bagaimana pun, gadis itu sudah jadi korban."Sudah sampai. Kamu masuk duluan ya. Aku mau cari Karmila, mungkin dia masi
Carla menutup pintu sambil tersenyum."Jangan tanya dimana wanita itu ya, aku sudah hempas! Hempas jauh! Jijik tahu," ketus Carla menggosok tanggannya dengan tisu basah."Kalau Yudha datang menjemputnya gimana?" tanya Ratih."Bilang saja dia sudah pergi. Udah ah Mba. Aku beneran keki gitu lo. Mang Mba gak jijik apa, makan makanan dari dia?""Mau gimana ya, ini enak sih," timpal Ratih."Ngomong-ngomong, Nindi kapan ya bisa normal ya? Anak gadismu itu sadar, malah bikin onar. Segalanya dia hancurkan. Otaknya sudah miring. Apalagi besok kalau dia sudah buka perban. Kulitnya banyak bekas sayatan-sayatan. Gimanalah itu Mba? Ngeri aja bayanginnya. Mau jadi apa anak gadismu! Sudah pasti jauh jodohnya!"Ratih menghentikan mulutnya mengunyah. Raut wajahnya kembali muram. Hati ibu mana yang bisa tenang menghadapi ujian seperti dia."Dokter bilang butuh waktu biar berhenti linglung. Soalnya dia dicekokin racun apalah sama pacar psikopatnya itu, gak ngerti aku. Marahku sampai ke ubun-ubun! Siapa y
"Bukan siapa-siapa. Jalan sekarang!""Aku tak mau! Aku akan memastikan dua bodyguardku datang dulu baru aku mau jalan," ketus Carla terus mencoba menelpon Jono dan Jene.Tanpa basa basi, Ayu Ruminang menarik rambut Carla dan menyeretnya. Wanita tua itu meronta-ronta kesakitan. Semula ia masih mempertahankan koper uang namun ia lepaskan begitu saja karena tak tahan."Lepaaaaaas!!!"Ruminang seolah tuli. Ia terus saja menyeret Carla melewati medan yang tak mulus. Bahkan beberapa kali, kaki mulus Carla tertusuk ranting dan tulang hewan yang berceceran."Aaaaakkkh sakit!!! Lepas!!! Ampuuun!"Ruminang berhenti dan melepaskan tangannya dari rambut Carla. Ia menatap wanita tua itu tajam lalu mendekatinya perlahan."Apa seperti tadi, caramu menyeret wanita cacat yang bercadar itu?"Membelalak mata Carla. Bagaimana bisa kejadi
"Ba-bagaimana kau masih hidup? Jelas-jelas kau ....""Jatuh ke jurang dengan mobil yang terbakar," potong Luna berjalan, mendekati jerigen berisi bensin.Keringat dingin muncul bagai biji jagung di sekujur tubuh Carla. Bibir wanita itu membiru, pucat. Aroma bensin yang menyeruak dari jerigen yang dibuka membuat lutut Carla lemas."Maa-maafkan aku Luna. Maafkan aku!!!" teriaknya histeris.Luna seolah tak mendengar jeritan Carla. Perlahan ia menuangkan cairan itu, berputar mengelilingi wanita itu."Lu-luuna! Maafkan tante! Please. Jangan lakukan yang sedang kau pikirkan itu! Tante akan mengembalikan semua hartamu bahkan tante berjanji tak akan mengusik hidupmu! Percayalah Luna! Tolong! Jangan bunuh aku!"Wanita berhijab itu menggeleng."Tenang saja Tante Carla, kau takkan mati. Itu terlalu ringan untukmu. Kau akan mendapatkan penderitaan se
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege