ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (20A)PoV NABIL____Aku menatap wanita yang terlelap di sampingku dengan hati gamang. Wajah cantiknya menyiratkan kepuasan yang dalam, sementara aku terpuruk oleh rasa kecewa. Bagaimana tidak? Aku memilihnya menjadi pengganti Vivian karena penampilannya yang lembut, anggun dan shalihah. Dia juga sopan dan sangat menghargaiku. Meisya tidak pernah mempermasalahkan statusku yang hanya karyawan biasa dengan gaji tujuh juta. Dia punya cafe yang lumayan ramai. Sebuah cafe yang dikelolanya sendiri. Di usia dua puluh empat tahun, gadis ini telah hidup mandiri, siapa yang tak bangga bisa mempersuntingnya? Cantik, cerdas dan mandiri adalah perpaduan yang tak bisa kau dapatkan dari semua perempuan.Tapi kini, aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Teringat betapa liarnya dia di atas ranjang tadi, seperti seorang wanita berpengalaman, dan dia memang benar benar wanita berpengalaman. Aku hanya bisa menelan ludah mengetahui begitu
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (20B)"Apa? Lelaki yang datang bersama mantan istri Mas Nabil itu? Kenapa Papi tidak bilang padaku sejak dulu?"Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar ketika kudengar suara Meisya bicara di telepon. Kuhentikan langkah, menarik diriku dari ambang pintu yang sedikit terbuka.…"Ah, aku tak tahu kalau dia seganteng itu. Kalau tahu, tentu saja aku tak akan susah payah cari sendiri.Apa maksudnya? Cari apa? Dan apa hubungannya dengan lelaki yang datang bersama Vivian?"Yang penting aku sudah memenuhi permintaan Papi. Sekarang berikan perusahaan padaku. Aku capek jadi tukang kue."…"Itu bisa diatur Papi. Aku akan cari jalannya pelan pelan. Apa? Ah Papi, aku mencintai Mas Nabil. Tapi kalau dibutuhkan, aku akan mendekatinya, demi perusahaan kita."…"Entahlah. Sepertinya kami akan pergi bulan madu sore nanti. Aku bosan berada di rumah. Papi tahu sendiri aku tak s
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (21A)"Maafkan Nabil Ma." Ujarku sambil menunduk, sama sekali tak berani menatap Mama. Beliau kini sudah duduk di kursi ruang tamu bersama Bik Rum."Kamu laki laki Nak. Kamu yang seharusnya menjadi nahkoda. Jika dulu kamu bisa bersikap tegas pada Vivian, Mama menunggu kamu melakukan hal yang sama pada Meisya."Suara klakson mobil berhenti di depan pagar rumah memutuskan pembicaraan kami. Aku bergegas keluar, ternyata taksi online yang dipesan Meisya sudah datang."Nabil akan ke rumah nanti." Ujarku.Mama tersenyum getir."Tidak perlu Bil. Yang perlu kau lakukan saat ini adalah menasihati istrimu. Mama sedih melihat kenyataan yang bertolak belakang dengan yang selama ini dia tunjukkan, terutama bagaimana dia bersikap padamu sebagai suami."Mama bangkit dari kursinya, meraih tas di atas meja. Sebuah tas mahal pemberian Vivian. Bahkan semua yang melekat di tubuh Mama, gamis, sendal dan pe
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (21B)Aku mondar mandir di ruang tamu dengan gelisah. Berulang kali kutatap ponselku yang diam tanpa suara sementara jam analog di layarnya sudah menunjukkan pukul satu malam. Dia belum juga pulang dan ponselnya tak kunjung aktif. Dengan hati berat, aku terpaksa menghubungi Papi, Ayah Meisya. Meski menghubunginya di jam segini sungguh tidak sopan, tapi aku tak tahu lagi harus bertanya pada siapa. Dan mungkin saja Meisya ada di sana."Halo?"Tak kusangka teleponku langsung diangkatnya di deringan pertama."Papi, maaf aku telepon tengah malam.""Iya Bil. Ada apa?""Apa Meisya ada di sana?""Loh, gak ada Bil. Kamu ini gimana? Kalian baru menikah sehari dan sekarang kamu sudah kehilangan istrimu."Aku gugup seketika begitu mendengar suara Papi yang mencecarku."Tadi Meisya pamit ada urusan penting katanya. Tapi…""Bil, Papi sudah serahkan Meisya padamu. Kau yang
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (22A)PoV VIVIAN"Mama?"Aku terkejut ketika sepulang kerja mendapati Mama sedang tertidur di sofa ruang tengah. Sementara Bik Rum dan Bik Anik tengah sibuk memasak di dapur. Kutatap wajah itu, yang sepertinya tampak berubah sejak terakhir kali aku bertemu dengannya seminggu lalu, sehari menjelang pernikahan Mas Nabil. Wajah Mama tampak lelah, keningnya berkerut dan ada lingkaran hitam di bawah mata yang membuatku berpikir, apa yang membuat Mama tampak begitu menderita.Kubuka sepatu dan kujinjing masuk ke dalam supaya tak mengeluarkan suara. Setelah meletakkan sepatu di tempatnya, aku ke belakang menemui Bik Rum dan Mbak Anik yang tampak sedang ngobrol serius."Mama dan Bik Rum kapan datang? Kenapa gak minta jemput aku?" Tanyaku langsung."Tadi siang Non. Kata Ibu naik taksi online saja. Non Vivi pasti sedang kerja.""Terus, kenapa Mama seperti itu? Kok gak tidur di kamar tamu?""
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (22B)"Mama, tinggallah disini beberapa hari, atau sampai kapan saja terserah Mama. Vivi bahkan akan senang jika Mama tinggal di sini selamanya."Mama tersenyum. Beliau sedang menyisir rambut Tiara dan mengepangnya menjadi dua."Iya betul. Di sini enak kok Nek. Tiara sudah punya teman banyak. Ada pengajian ibu ibu juga setiap Jumat." Lapor Tiara."Sepertinya tidak bisa Vi. Mama hanya akan sesekali datang, kalau boleh." Suara Mama bergetar."Mama, kenapa sejak kemarin Mama selalu merasa perlu minta izin dulu sama Vivi?""Mama lupa kalau ini kamu."Aku mengerutkan kening, tak mengerti dengan maksud Mama."Nah, sudah." Mama menyematkan dua jepit rambut kecil di ujung kepang Tiara. Tiara berdiri, menatap wajahnya di cermin kecil yang dipegangnya."Wow! Keren." Serunya. Dia lalu menyambar tas sekolahnya di atas meja dan duduk di luar memakai sepatu sambil menunggu mobil je
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (23)"Meisya!"Kami semua menoleh serempak, Mama menghampiri kami dengan langkah tergesa. Dihempaskannya keranjang belanja di atas lantai. Sementara di belakangnya Tiara menatap kami dengan ekspresi bingung. Aku mengundurkan diri, memanggil Mbak Dian agar membawa Tiara. Anakku tak boleh melihat perseteruan orang tuanya. "Ara sama Mbak Dian dulu ke sebelah ya. Makan bakso atau mie ayam." Bujukku. Tiara mengangguk meski raut wajahnya tampak tak rela meninggalkanku. Aku melangkah mendekati mereka."Maaf Mas, ini tempat umum. Sebaiknya kita bicara di ruanganku.""Ruanganmu? Oh apa maksudmu kau boss di tempat ini? Ckckck, pantas saja kau begitu royal menghamburkan uang untuk mengambil hati mertuaku.""Meisya, Mama sama sekali tak menyangka wajahmu yang cantik dan lembut itu bermulut tajam." Ujar Mama pelan. Aku menarik tangan Mama menuju ruanganku di belakang. Tapi tangan Meisya
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (23B)"Kita berangkat dengan satu mobil saja Vi. Biar Pak Sarman yang nyopirin." Ujar Adrian ketika pagi itu kami bersiap berangkat ke Horison. Pertemuan ini penting bagi kelangsungan perusahaan. Acaranya memang hanya perkenalan dan ramah tamah, tapi tak menutup kemungkinan akan ada pembicaraan bisnis. "Siap Pak.""Berkas berkas sudah siap semua Ri?"Yuri mendongak, tangannya masih sibuk memeriksa laptop. Kami telah mempelajarinya bersama sama. Kalau diperlukan dan ada yang butuh presentasi perusahaan, aku dan Yuri telah siap seratus persen. Diacungkannya dua jempolnya padaku dan Adrian.Aula hotel yang dijadikan ruang pertemuan telah ramai oleh orang orang berpakaian eksekutif. Mereka rata rata adalah lelaki dan wanita usia muda yang sukses mendirikan perusahaan property. Membangun gedung gedung rumah sakit, hotel, supermarket, sekolah, dan sebagian besar bergerak di perumahan subsidi yang saat i
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,