Air mata Arumi luruh menatap kedua orang tuaku tak berdaya, ada begitu banyak bulir bening yang menetes dari sudut mata ibu yang usianya sudah tidak muda lagi. Sebagai anak perempuan kedua Arumi merasa hatinya begitu hancur melihat semua ini.
"A-ada apa ini, Bu?" Tanya gadis yang berusia 24 tahun panik, ibu hanya menggelengkan kepala pelan. Bahunya terguncang naik turun, Bapak mencoba menenangkan ibu dengan mengusap lembut bahunya."Tadi ada rentenir datang menagih hutang, kamu tau sendiri kan bapak hutang puluhan juta untuk pesta pernikahan Ambar kakakmu bulan lalu. Dan hari ini sudah jatuh tempo untuk membayar cicilan,"Arumi merasa sangat geram mendengar penuturan bapa, memang kak Ambar adalah wanita yang memiliki rasa gengsi begitu tinggi, sudah tau keadaan ekonomi orang tua susah malah tetap saja memaksa untuk melangsungkan pernikahan mewah. Sedangkan Arumi, aku baru saja lulus sekolah SMK tahun lalu dan baru kerja beberapa bulan di salah satu rumah makan dekat rumah. Uang hasil kerjaku aku pakai untuk kebutuhan rumah karna bapak sudah renta dan kadang tidak bekerja."Arum kan sudah bilang pak, jangan maksa kalo ga punya! Sekarang kita jadi susah gini emang ka Ambar sama suaminya mau bantu? Jelas tidak kan pak?"Ibu dan bapak hanya menggelengkan kepala sambil menunduk, mereka tak berani menatap sorot mata anak gadisnya. Mungkin ada rasa penyesalan dalam hati mereka karna tidak mendengarkan ucapanya dulu, dan benar saja apa yang aku takutkan kini sudah menjadi kenyataan. Kehancuran kini sudah ada di depan mata."Ayo Bu, bangun. Ibu istirahat yah di kamar" ajak Arum pada ibu, ibu menuruti perkataanya.Setelah memberi makan ibu dan meminumkan dia obat, Arumi pamitan kepada bapak untuk pergi ke rumah Kak Arum, rumahnya tidak terlalu jauh hanya beda RT saja. Rumah itu adalah peninggalan dari orang tua suami kak Arum yang sudah meninggal beberapa tahun silam."Enak saja mereka hidup enak, sedangkan disini orang tuanya menderita menanggung hutang" gerutu gadis itu dalam hati sambil terus melangkahkan kaki dengan mantap.Bahkan untuk membeli motor pun Arumi belum mampu, dulu sempat punya motor tapi malah di jual oleh kak Arum untuk biaya kuliah, yang sampai sekarang belum pernah mendapat gelar sarjana. Aku tau uang itu pasti dia pakai untuk berfoya-foya di luar sana.Baru saja berjalan beberapa meter dari rumah, banyak sekali tetangga yang sedang berkumpul di dekat warung, ibu-ibu itu menatapku dengan sinis."Duh, firasatku ga enak nih" Arumi menggerutu dalam hati, karna biasanya kalau ibu-ibu sedang ngumpul pasti ada aja hal buruk yang sedang diomongin."Eh Arumi, kerja yang bener dong biar bisa bantu orang tua lunasin hutang. Masa sampe didatengin rentenir segala sih," celetuk Bu Diyah si pemilik warung tempat beberapa wanita paruh bayi itu menongkrong.Mereka yang disana langsung menganggukkan kepala, seolah membenarkan perkataan dari Bu Diyah, kepala Arumi yang masih panas jelas ikut tersulut emosi mendengar semua itu."Eh Bu, dosa loh ngomongin orang terus. Gimana kalo ibu-ibu ada diposisi Arum apa yang bakalan ibu lakuin?" geram Arum dengan nada sinisnya."Mendingan ga usah ikut campur deh Bu, urusin aja kehidupan kalian ga perlu urusin kehidupan Arumi sama orang tua Arumi!" sentak Arum, membuat mereka terdiam seketika dan balik menatap Arum dengan tatapan sengit.Arumi yang sudah muak memilik melanjutkan perjalanannya untuk menuju rumah sang Kakak."Kalo punya motor kan enak, ga perlu jalan gini dan ga perlu dengerin gosip tetangga yang sama sekali ga berguna itu," Arumi membantin dalam hati, sudut matanya sudah mulai berembun, tapi dengan gegas Arumi menghapusnya. Dia harus kuat, dia bukan wanita lemah.Sampai dirumah kakak kandungnya, Arumi langsung mengetuk pintu rumah yang lumayan besar itu."Kak, kak Ambar! ini Arumi!" teriak Arumi dari luar, selang beberapa detik ada seorang wanita keluar dari dalam rumah."Aduh Rum, apaan sih? udah sore Dateng kesini" ketus Ambar.Ambar memang tipe wanita yang jutek dan sinis, bukan hanya kepada Arumi saja tapi kepada orang tua mereka juga seperti itu."Kalo ga ada perlu sih males mau kesini". jawab Arumi tak kalah sinis."Jangan bilang kamu mau ngutang?""Bukan ngutang, tapi tolong lah kak. Bantu Bapak sama ibu buat ngelunasin hutang ke rentenir itu, apa kamu ga kasian kak sama mereka! mereka udah tua" terang Arumi panjang lebar."Lahh? itukan urusan mereka, ga ada sangkut pautnya sama aku, Rum!"Arumi Menarij nafas pelan, mencoba menetralkan rasa emosinya."Ya jelas ada lah kak! Bapak pinjam uang kan di paksa sama Kamu, kalo kamu ga minta menikah dengan mewah, semua ini ga bakalan terjadi kak!""Ya memang tugas orang tua, menikahkan anaknya!" Ambar tak terima disalahkan oleh Arumi."Harusnya anaknya juga sadar diri!" bentak Arumi."Apaan sih Rum! udah deh pulang aja sana kamu! ga usah minta-minta uang lagi ke aku!" Usir Ambar"Ga tau diri banget si kamu kak!" teriak Arumi"Brisik kamu Rum! pergi sana!" Sentak Ambar, Arumi menatap mata Ambar dengan nyalang."Dasar anak ga tau terima kasih!" Gerutu Arumi, gadis itu langsung pergi meninggalkan rumah Ambar, bertambah rasa marah di dalam lubuk hatinya.Arumi pulang ke rumah dengan perasaan marah, dia menghentakkan kaki sedikit berlari karna panas dan pusing menjadi satu di kepalanya memikirkan hutang.Saat hendak menyebrang jalan, ada sebuah mobil berhenti disamping Arum. Gadis itu terperangah heran melihat mobil mewah itu berhenti tepat di sampingnya.Pemilik mobil itu langsung membuka kaca jendela, nampak pria berusia sekitar 35 tahun menyembul dari balik jendela."Ganteng" celetuk Arum, dan beberapa detik kemudian dia langsung menutup mulut menggunakan tangan kanannya.Pria yang mendengar itu hanya tertawa pelan."Ganteng? pasti lah." Sombong pria itu sambil membenarkan jas hitam mahalnya."Dih siapa sih kamu? kenal juga nggak!""Tuh dompetmu jatuh, terus tadi ga sengaja kelindes mobil mewahku. Mungkin sekarang rusak hahhaa" Seloroh pria itu sambil tertawa keras, Arum yang baru saja sadar kalau dompetnya jatuh langsung memutar tubuhnya menatap ke arah belakang. Dan benar saja, dompet kecil warna hitam miliknya sudah gepeng terlindas mobil."Kurang ajar kamu yah! tanggung jawab kamu dompetku rusak!" Sentak Arum"Tanggung jawab? dompet isinya uang recehan aja marah!" Pria itu kembali menyombongkan diri lalu pergi menancap gas tanpa peduli teriakan Arum."Woy!! Tanggung jawab!" teriak Arum, tapi tak ada gunanya karna pria pengendara mobil mewah itu sudah melesat cepat meninggalkan Arum.Gadis itu hanya bisa mengepalkan tangannya kuat, lalu menghentakkan kaki ke tanah."Ya ampun, untung ga ada ponselnya. Coba kalo ada pasti udah rusak" gumam Arum sambil membersihkan dompet miliknya yang dipenuhi dengan debu dan tapak ban mobil mewah itu."Siapa bilang uang di dompetku recehan, ada juga yang seratus ribuan. Dasar so tau!" Arum berdecak kesal berbicara pada angin.Kalo ini rasa marahnya bertambah berkali lipat, apalagi setelah kejadian ini.Malam harinya Arum berkutat didapur untuk membuat makan malam, sedangkan kedua orang tuanya sedang duduk diruang tamu yang hanya beralaskan tikar, tanpa ada sofa bahkan tidak ada tv. Itu karna siang tadi para rentenir tidak berperikemanusiaan itu sudah menyita tv dan sofa yang ada dirumah ini, katanya untuk jaminan hutang mereka yang menumpuk.Arum menatap miris, tidak ada bahan makanan yang bisa dia masak malam ini. Dia pun tidak sempat membeli sore tadi, hanya ada sisa nasi tadi siang yang sepertinya cukup untuk dimakan mereka bertiga. Akhirnya Arum berinisiatif memasak nasi goreng untuk makan malam mereka bertiga."Apa kita jual rumah saja ya Bu?" tanya bapa pada ibu, perbincangan mereka terdengar oleh Arum."Ga usah pak! nanti Arum usahain bakal bantu lunasin hutang ini!" jawab Arum sedikit berteriak.Gadis itu keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga porsi nasi goreng yang sudah tertata dipiring."Pak, Bu. Makan dulu yah, Arum sudah masak nasi goreng" ucap Arum, sambil
Beruntung Arum sudah berangkat. Kalau tidak, mungkin dia akan memaki Bi Asti dan langsung membayar hutang ibunya yang dua puluh ribu itu. Setelah Bi Asti pergi, ibu langsung masuk kedalam rumah, tampak bapak sedang menyeruput kopi hitam pahit tanpa gula, karena persediaan gula dirumah sudah habis."Pak, nanti jangan berangkat kerja dulu" ucap ibu, bapak menghentikan aktivitasnya meminum kopi lalu mneyerit heran menatap isterinya."Loh kenapa Bu?" tanya bapak"Itu tadi Bi Asti, minta tolong buat benerin kran airnya dirumah. Tapi tanpa bayaran pak, karna ibu punya hutang sama dia" ucapan ibu terhenti saat pria paruh baya itu menganggukan kepalanya sambil menghembuskan nafas pelan dari mulutnya."Iya Bu ga papa, yang sabar aja ya bu" Jawab Bapak. Ibu hanya menganggukan kepala lalu segera pergi menuju dapur, dia sudah tidak kuat karna dari sudut kedua matanya ada air asin yang sudah menggenang dan siap jatuh. Dia tidak ingin membuat suaminya menjadi tambah bersedih dan berputus asa.Seda
Setelah berhasil membubarkan para tetangganya, Arum langsung melesak masuk kedalam rumah. "Sudah, saya mohon hentikan! Saya janji akan membayar semua hutang orang tua saya" Ujar Arum, Para rentenir yang berjumlah lebih dari lima orang itu menatap Arum tajam."Omong kosong kamu! Ini sudah melebihi batas tempo, bahkan bunganya sudah banyak!" Sentak salah satu rentenir itu sambil melepaskan cengkraman tangan besarnya yang tadi menggenggam kasar kerah baju bapak, Sontak karena hal itu bapak langsung tersungkur lemas, Arum dan Ibu berusaha menolong Bapa."Stop! Hentikan, tunggu dulu" Tiba-tiba ada suara wanita dari ambang pintu rumah, suara wanita itu berhasil memecah kegaduhan dirumah ini.Semua orang yang ada didalamnya melihat ke arah pintu, Arum dapat melihat dengan jelas wanita yang seusia dengan ibunya memasuki rumah. Dengan menggunakan pakaian mewah, dan sepatu mahal yang menempel di kaki jenjang mulus miliknya. Jelas semua itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan ibu Arum, y
Arum membawa Oma jalan-jalan ditaman depan rumah nyonya Lidia. "Rumahnya besar yah Oma?" Arum mencoba memecah keheningan diantara dirinya dan Oma."Besar dan indah, tapi tidak dengan kehidupan didalamnya," ujar Oma lirih, tapi Arum masih bisa mendengar ucapan Oma.Gadis itu terpaku menatap Oma, ada gurat sedih tampak jelas disudut wajah tuanya."Oma mau makan buah?" Tanya Arum, Oma menggelengkan kepala."Sepertinya kamu orang baik," Oma memuji Arum, padahal baru pertama kali dirinya mengenal gadis ini. Tapi dilihat dari sifat dan tingkah laku sudah bisa ditebak kalau Arum adalah gadis baik-baik.Arum hanya tersenyum mendengar ucapan Oma."Aku ingi masuk ke dalam," titah Oma, Arum menurutinya.Saat sudah berada didepan pintu, Arum melihat ada wanita seusianya sedang duduk memainkan ponsel mahal di sofa ruang tamu."Mau apa lagi dia kesini," ketus Oma, Arum ingin sekali bertanya pada Oma tapi urung karena mungkin akan tidak sopan jika dirinya yang bukan siapa-siapa ingin tau dengan keh
"Udah-udah, biarin aja dia pergi ngerusak moments saja. Lebih baik sekarang kita makan diluar," ajak Alkana, Mona hanya menganggukan kepala sambil tersenyum dengan tangannya bergelayut manja dilengan Alka."Ayo kita berangkat sekarang," "Mau kemana kalian?" Tanya Oma yang baru saja keluar dari kamar bersama Arum.Mona berdecih kesal mendengar pertanyaan Oma."Mau pergi keluar sebentar Oma" jawab Alkana sambil tersenyum ramah."Semenjak kamu kenal sama wanita ini, waktumu habis hanya untuk mengurusi dia." Sindir Oma pada cucu semata wayangnya."Apa maksud Oma?" Tanya Mona dengan suara memelas, Arum yang melihatnya menaikan bahu tak suka."Oma, Alkana cinta sama Mona," Alkana berusaha membela diri."Kamu memang cinta sama dia, tapi wanita itu cuma cinta sama hartamu!" Sentak Oma.Arum hanya terdiam mendengar perselisihan yang terjadi di antara mereka."Oma!" Sentak Alkana. Oma hanya memalingkan wajahnya."Ayo Arum, antar aku ke dapur," pinta Oma. Arum hanya mampu menurutinya.*Lampu ru
Pagi hari keluarga ini melakukan aktivitas makan pagi bersama, walau tidak diiringi canda tawa. Sangat berbeda dengan apa yang Arum rasakan di rumahnya, kehangatan dalam keluarga disini sama sekali tidak dia dapatkan.Arum pun tersadar, kalau nyonya Lidia ini sepertinya janda. Buktinya sejak awal dia kesini dia tidak melihat ada suami dari nyonya Lidia, bahkan dia tidak mendapati foto nyonya Lidia bersama suaminya dirumah ini. Hanya ada foto majikanya, Oma dan Alkana si pria menyebalkan itu."Kalau jadi janda kaya Raya gini sih aku juga mau," gumam Arum."Ternyata seperti ini sisi buruk keluarga ini, pantas saja Oma merasa kesepian." Sambung Arum dalam hati.Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu, Arum ikut duduk disamping oma karena nyonya Lidia yang menyuruhnya, Arum ditugaskan untuk membantu Oma saat makan. Karena tangan Oma masih lemas jika digerakan.Oma menderita lumpuh sebagian, di bagian tubuh kirinya dari atas kepala hingga kaki. Tapi karena sering berobat diru
"Sadar diri Lo?" Sindir Alka."Apaan sih," ketus Arum"Beliin aja Alka, pakai uang oma aja" pungkas Oma.Ntah mengapa ada perasaan haru dalam benak Arum, padahal baru hitungan hari Oma dan dirinya saling kenal. Tapi Oma sudah perhatian seperti ini pada dirinya."Ga usah Oma, ngrepotin. Arum kan baru dua hari kerja," tolak Arum perlahan."Memangnya kenapa? Ga harus nunggu kerja lama." Paksa Oma, Arum hanya bisa pasrah."Udah deh nurut aja, bersyukur aja Lo dibeliin sama Oma," sinis Alkana."Makasih Oma," ujar Arum sambil tersenyum manis kepada Oma, Oma hanya menganggukan kepalanya.Alkana langsung membayar kalung dan gelang itu untuk Oma dan Arum. Setelah itu Alka langsung memakaikan kalung liontin indah itu di leher Oma."Cantik," puji Alka pada Oma."Alka!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tidak asing ditelinga mereka bertiga.Kompak mereka menoleh, dan melihat Mona sedang berlari kecil kearah mereka."Mona? Kamu ngapain disini?" Tanya Alkana terkejut."Harusnya aku yang tanya
"Arum, kamu kamana saja. Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu," ucap Oma saat Arum baru saja mendudukan tubuhnya di jok mobil samping Oma."Maaf Oma, tadi Arum terserat. Untung bisa ketemu tuan Alkana," jawab Arum.Alkana mendesis kesal, "Makanya jadi orang jangan terlalu polos, di mall aja sampe nyasar gitu." Sentak Alkana, Arum hanya terdiam."Udah-udah lebih baik kita pulang saja sekarang, Oma sudah cape," pungkas Oma melerai perdebatan antara dua manusia ini. Tubuh rentanya sudah mulai kelah karena jalan-jalan hari ini, apalagi kalau ditambah perdebatan antara Arum dan Alkana yang tidak ada habisnya pasti akan tambah pusing dibuatnya.Alkana langsung menancap gas membelah jalanan ibukota disore hari, sengaja memang pulang sebelum jam empat sore. Karena jam itu adalah jam rawan macet di ibukota.Tak butuh waktu lama, mobil mewah Alkana sudah masuk ke area halaman rumah yang luas. Halaman yang dijaga oleh beberapa satpam, dengan baju rapih di depan gerbang."Ngapain lagi dia kesin
Lidia tidak sabar menunggu para bodyguard yang berjaga itu membuka pintu, dengan cekatan wanita itu langsung mendorong para bodyguard dan langsung membuka pintu dengan keras.Lidia dan Alkana dapat melihat pemandangan didalam kamar, dimana semua orang termasuk Mona dan ibunya tengah bersiap."Hentikan semua persiapan ini!" Sentak Lidia. Alkana yang berada tepat disamping ibu kandungnya langsung terperangah kaget."Apa-apaan ini mamih? Bagaimana semua harus dihentikan! Mona dan keluarganya sedang bersiap untuk acara nanti!" Sentak Alkana.Mona dan sang ibu langsung menghampiri Lidia. Mereka berdua dan semua keluarga yang ada dikamar ini dapat melihat dengan jelas kemarahan yang ada di raut wajah cantik Lidia.Lidia tak menghiraukan ucapan anaknya, dia berjalan cepat kemudian langsung menutup pintu dengan keras. Karena tidak ingin permasalahan ini diliput oleh media.Tapi saat akan menutup pintu, Lidia langsung terhenti karena melihat Lita datang bersama Danial."Munafik!" Sungut Lidia
Danial masih terdiam ditempat, sebelum sedetik kemudian keringat dingin keluar dari kening membasahi seluruh wajah tampan dan tegasnya.Danial melihat seorang wanita, wanita yang beberapa tahun silam sudah membuat hatinya luluh. Dan membuat rumah tangganya hancur.Danial dengan tergesa langsung menghampiri wanita itu, wanita yang memakai gaun panjang berwarna toska dengan riasan rambut dan dandanan yang tampak indah memoles wajahnya."Tunggu? Ada perlu apa kamu disini?" Tanya Danial, batunya kembali dipenuhi rasa penyesalan. Rasa ketertarikan ya pada wanita ini, hari ini bahkan dari beberapa tahun yang lalu sejak rumah tangganya hancur sudah berhasil membuat perasaan Danial berubah menjadi benci."Da-danial? Kamu?" Wanita itu juga tampak terkejut melihat Danial hadir diacara ini."Apa yang kamu lakukan disini, Lita?" Tanya Danial pada wanita. "A-aku? Anak dari kakaku bertunangan malam ini Danial!" Jawab Lita gugup.Lita memang masih muda untuk menjadi Pelakor rumah tangga Danial dan
"Sudah siap semua?" Tanya Alkana pada semua orang yang sedang berkumpul diruang tamu. Termasuk para pelayan, sedangkan para bodyguard sudah lebih dulu berada di gedung untuk mengamankan kondisi disana. Dan untuk memastikan jika Danial tidak membuat keributan."Sudah tuan, tinggal menunggu nyonya Lidia." Jawab Bi Tuti. Wanita itu jelas ikut dan ditugaskan untuk memantau perjamuan makanan yang ada disana nanti.Tak selang lama, Lidia turun dari tangga dibantu asistenya dibelakang. Asistenya tampak membawakan tas mewah milik Lidia.Arum berdecak kagum melihat Lidia, kecantikannya sungguh terpancar malam ini, gaun warna merah maroon dengan motif bunga sangat indah melekat dibadan ramping milik Lidia.Bahkan kalau dilihat-lihat, Lidia lebih cocok menjadi kakak Alkana dibandingkan ibu kandungnya.Walaupun usianya sudah menginjak kepala empat, tapi Lidia masih tetap terlihat cantik dan menawan. Tapi ntah kenapa, wanita itu tidak menikah lagi setelah pernikahannya gagal dengan Danial."Ayo Al
"Baik Oma, terima kasih" ujar Lidia sambil tersenyum menatap ibunya."Bagaimana, betah disini?" Tanya Bi Tuti pada Arum yang tengah asik menikmati sarapan paginya.Arum langsung terkejut dan menelan makanan yang ada didalam mulutnya, dia tersenyum setengah dipaksakan."Em, ya betah sih Bi. Kan ada tujuanya juga," jawab Arum.Bi Tuti yang belum tau asal usul Arum kesini langsung terlihat bertanya-tanya."Tujuan apa? Mau jadi mantu nyonya Lidia?" Tebak bi Tuti sedikit becanda. Tapi berhasil membuat Arum tersedak minumanya."Uhuk-uhuk, aduh bi! Bukan itu maksud Arum," sergah Arum tak terima.Mana mungkin juga tuan Alkana mau menjadi pendamping hidupnya, dan kalaupun itu terjadi. Mungkin hanya akan terjadi didalam mimpi Arum saja, tidak akan pernah terwujud didunia nyata."Ya terus apa dong? Hahaha," Bi Tuti memang memiliki selera humor yang lumayan tinggi, selama ini Arum belum pernah diajak bicara serius oleh wanita itu."Arum kesini buat ngelunasin hutang orang tua Arum, orang tua Aru
Arum memilih tidur lebih cepat, untuk mengumpulkan stamina yang akan dia gunakan besok hari.••Dan benar saja, saat masih pagi semua orang sudah tampak sibuk menyiapkan perlengkapan. Bahkan beberapa bodyguard nyonya Lidia diperintahkan untuk berjaga di gedung yang akan dipakai nanti malam."Bagaimana dengan Danial?" Tanya Lidia pada Alkana.Alkana langsung mendekat ke ibunya, dan ikut duduk dimeja makan."Aku sudah menemuinya, dan mengizinkannya untuk datang. Dengan syarat dia tidak akan menganggu kehidupan keluarga kita lagi setelah ini," jawab Alkana.Lidia tampak menganggukan kepala setuju, sambil mengoleskan selai kacang ke roti tawar yang sedang dia pegang, untuk sarapan pagi."Tapi Alka belum bicara sama oma, rasanya berat. Dan takut, Alka takut jika Oma sampai drop kembali," ujar Alkana pada ibunya. Ada gurat khawatir yang terselubung dibalik wajah tampan milik Alkana."Biar nanti mamih yang bicara sama Oma, apapun yang terjadi lebih baik bicara sekarang. Jangan sampai Oma mel
"Aku harap, Alkana dan Mona akan hidup bahagia. Jangan seperti diriku," ujar Lidia pada Oma.'kita doakan saja, Alkana" sambung Oma.Lidia menatap Arum sejenak, "Arum, kamu punya bagu bagus apa tidak? Ya setidaknya bisa dipakai untuk acara besok." Tanya Lidia pada Arum.Arum menundukan kepalanya, jelas saja gadis itu sama sekali tidak punya baju bagus. Baju bagus menurut Arum hanya sekedar kemeja dan dipadukan dengan jelana jeans, itupun murah."Ti-tidak nyonya, saya tidak punya." Jawab Arum."Baiklah, biar nanti aku cari baju lamaku yang masih bagus dan belum pernah aku pakai," jawab Lidia datar.Arum sudah paham, yang namanya orang kaya apalagi seperti Lidia. Pasti sangat hobi membeli baju-baju baru, dan tak jarang hanya hobi membeli saja padahal tidak pernah dipakai."Terima kasih nyonya," ujar Arum.Lidia langsung menyuruh asistenya untuk memilihkan beberapa baju yang sudah tidak dia pakai tapi masih baru. Arum juga ikut diminta memilih bersama asisten nyonya Lidia itu."Yang ini
"Apakah ada tamu?" Tanya Oma saat Arum baru saja masuk kedalam kamar Oma."Tidak Oma," jawab Arum menutupi kedatang Tuan Danial tadi."Terus kenapa tadi Lidia menyuruhmu pergi?" Oma kembali bertanya, rasa penasaran kini menyelimuti pikiran Oma.Mungkin Lidia tidak memberikan sebuah alasan kepada Oma, saat dirinya meminta Arum untuk keluar dari kamar ini.Arum terdiam sejenak, mencoba berfikir alasan apa yang akan dia berikan kepada Oma."Ah itu Oma, tadi tuan Alkana minta dibuatkan jus jeruk." Pungkas Arum, ntah sejak kapan wanita ini menjadi pandai sedikit dalam hal berbohong.Oma hanya menganggukan kepalanya.Di tempat lain, tepatnya didalam kamar. Lidia sedang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Alkana."Apa yang manusia licik itu katakan padamu tadi?" Tanya Lidia."Dia memintaku, untuk mengizinkan dia hadis diacara pertunangan besok malam," jawab Alkana sambil mendudukan tubuhnya diatas ranjang kamarnya."Berani sekali dia berbicara seperti itu, pokonya mamih ga mau kalau Dania
Sebelum bisa benar-benar tertidur Arum memikirkan kedua orang tuanya dirumah. Karena semenjak dia dirumah ini, Arum sama sekali belum memberi kabar kepada orang tuanya. Dan orang tuanya juga tidak pernah memberikan kabar pada dirinya.*Waktu berjalan sangat cepat, hari ini adalah hari dimana Alkana dan Mona akan mengikat sebuah ikatan sebelum pernikahan, semua sudah dipersiapkan. Dari mulai barang bawaan yang akan dibawa oleh keluarga Alkana.Bukan keluarga besar tapi hanya keluarga inti."Siapa saja yang nanti akan ikut Oma?" Tanya Arum pada Oma saat dirinya sedang menyuapi wanita paruh baya itu bubur ayam."Tidak ada, hanya kita berempat. Juga beberapa pelayan dan bodyguard," jawab Oma disela dia mengunyah makanannya Netra Arum terbelalak kaget, karena biasanya kalau acara pertunangan akan dihadiri oleh keluarga besar, baik dari pihak perempuan dan pihak laki-laki."Keluarga besar Oma, tidak ikut?" Tanya Arum ragu-ragu "Tidak, mereka ada di kampung. Terlalu jauh untuk datang kesi
Alkana mengantar Arum ke rumahnya, sebelum dia pulang ke rumah."Huh, cape banget pergi dari siang. Malem gini baru sampe rumah, mana dijadiin obat nyamuk sama pasangan bucin ini," runtuk Arum dalam hati."Mampir dulu yah?" Tawar Tante Dira, suaranya yang keras bisa Arum dengar walaupun dia berada didalam mobil. Jelas saja wanita itu tidak diajak turun oleh Alkana dan Mona."Tidak usah Tante, sudah malam. Lagian kayanya Mona cape," jawab Alkana sopan."Awas saja kalau sampe mampir!" Gerutu Arum."Yaudah kalau gitu, hati-hati yah. Makasih nak," Ujar Dira.Dira memang terlihat baik, walau wajahnya terkesan judes mirip sekali dengan anaknya Mona."Aku pamit ya, sayang." Pamit Alkana pada Mona. Mona langsung menganggukinya.Alkana kembali ke dalam mobil setelah berpamitan."Kenapa muka Lo? Ditekuk gitu? Makin jelek aja Lo!" Ledek Alkana saat melihat Arum dengan keadaan yang sudah tidak beraturan.Wajah gadis ini tampak sangat kelelahan, rambutnya juga sudah mulai lepek tak terurus."Ga pa