Setelah berhasil membubarkan para tetangganya, Arum langsung melesak masuk kedalam rumah.
"Sudah, saya mohon hentikan! Saya janji akan membayar semua hutang orang tua saya" Ujar Arum, Para rentenir yang berjumlah lebih dari lima orang itu menatap Arum tajam."Omong kosong kamu! Ini sudah melebihi batas tempo, bahkan bunganya sudah banyak!" Sentak salah satu rentenir itu sambil melepaskan cengkraman tangan besarnya yang tadi menggenggam kasar kerah baju bapak, Sontak karena hal itu bapak langsung tersungkur lemas, Arum dan Ibu berusaha menolong Bapa."Stop! Hentikan, tunggu dulu" Tiba-tiba ada suara wanita dari ambang pintu rumah, suara wanita itu berhasil memecah kegaduhan dirumah ini.Semua orang yang ada didalamnya melihat ke arah pintu, Arum dapat melihat dengan jelas wanita yang seusia dengan ibunya memasuki rumah. Dengan menggunakan pakaian mewah, dan sepatu mahal yang menempel di kaki jenjang mulus miliknya. Jelas semua itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan ibu Arum, yang bahkan setiap hari hanya memakai daster lusuh yang tidak pernah diganti ntah sudah berapa tahun lamanya."Nyonya, ada apa datang kemari? Kenapa tidak menelfon kami saja?" Tanya salah satu rentenir itu, wanita itu hanya terdiam acuh.Kemudian wanita itu masuk kedalam rumah. "Kalian pergilah!" Perintah wanita itu dengan tegas.Mendengar itu, Arum dan kedua orang tuanya tersentak kaget, begitu juga para rentenir yang ada disana."Tapi tugas kami belum selesai nyonya" sergah mereka"Pergi! Tugas kalian tidak pernah membuahkan hasil, biar saya yang turun tangan!" Sentak wanita itu lagi."Ba-baik nyonya" jawab rentenir itu kompak, lalu dengan gegas pergi meninggalkan rumah."Pak, siapa wanita itu?" Tanya Arum pada sang Bapak"Dia, nyonya Lidia Narendra, isteri dari orang yang menghutangi bapak" Jawa bapa."Narendra? Nama belakang itu sama seperti milik Alkana" gumam Arum, tapi dia langsung menepis pikirannya tentang pria angkuh yang sudah membuat dirinya kehilangan pekerjaan."Maaf kan saya nyonya, saya belum bisa membayar hutang itu. Saya janji, pasti akan saya lunasi semuanya" ucap Bapak, mata rentanya kini sudah mulai memerah. Mungkin kali ini pria paruh baya itu tengah susah payah menahan diri agar tidak menitikan air mata.Nyonya Lidia menatap seisi rumah mereka. Lalu menggelengkan kepala dan membuang muka."Melunasi? Dengan keadaan kalian yang seperti ini?" Wanita itu tersenyum sinis."Beri kami kesempatan nyonya" jawab ibu."Kesempatan? Kemarin sudah saya kasih banyak kesempatan! Tapi hasilnya masih nol, bahkan kalian tidak mencicil hutang sama sekali!" Sentak Nyonya Lidia."Tunggu sebentar lagi nyonya, saya yang akan membayar hutang orang tua saya" Arum mencoba mengambil hati wanita itu, tapi sepertinya nyonya Lidia sudah terlalu kebal dan tidak mempan lagi untuk diajak bekerja sama."Cukup! Berapa umurmu?" Tanya Lidia pada Arum.Arum menyerit heran mendengar perkataan tidak masuk akal dari wanita ini, bagaimana bisa disaat keadaan genting seperti ini dia malah menanyakan umur Arum."20 tahun nyonya" jawab Arum tak punya pilihan lain."Kerja apa kamu sekarang!" Tanyanya lagi sambil meninggikan nada bicaranya."Anak saya kerja di restoran nyonya" jawab ibu, bahkan Arum belum sempat memberi tahu bahwa hari ini dia sudah dipecat.Arum menatap manik mata ibunya dengan tatapan sendu, "Bu. Arum sudah dipecat" jawab lirih Arum, ibu dan Bapak yang mendengarnya langsung mendadak terdiam. Seolah harapan satu-satunya kini sudah musnah."Bagus, ikut saya sekarang. Kamu akan saya pekerjakan menjadi asisten rumah tangga dirumah saya" perintah Lidia."Ta-tapi saya tidak bisa" Arum mengelak, dia gengsi bekerja seperti itu."Kamu ga kasian sama orang tuamu?"Arum kembali menundukkan kepala, bulir bening berjatuhan dari kedua matanya."Ga usah nak, nanti biar bapak yang kerja buat lunasin semua hutang ini" ujar bapak, jelas dia tidak tega jika anaknya harus bekerja seperti ini. Terlebih dia takut kalau anak bungsunya disiksa oleh nyonya Lidia yang notabenya galak."Mungkin, ini jalan terbaik pak" Lirih Arum, ibu menggelengkan kepala."Semua ini salah kakakmu, juga salah orang tuamu. Maafkan kami Arum" ibu menghambur memeluk Arum."Dasar drama! Besok saya akan jemput kamu. Persiapkan dirimu Arum!" Ujar Lidia, wanita itu muak menyeksikan begitu banyak kesedihan dirumah ini."Ba-baik nyonya" jawab Arum, setelahnya Lidia langsung meninggalkan rumah tanpa berpamitan."Arum, apa yang terjadi dengan pekerjaanmu nak?" Tanya ibu setelah nyonya Lidia pergi meninggalkan rumah.Arum menarik nafas panjang, lalu menghembuskanya dengan pelan. "Arum di pecat buk, tadi Arum gak sengaja bikin pelanggan direstoran marah," jawab gadis itu.Kedua orang tua Arum hanya bisa menunduk lesu, saat mendengar jawaban dari putri bungsunya itu.Arum langsung menggenggam erat kedua tangan ibunya, "Tapi kalian berdua ga perlu khawatir, besok kan Arum bisa bekerja di tempat nyonya Lidia. Arum yakin nanti Arum bisa ngelunasin hutang itu""Tidak! Bapak tidak mengizinkanmu," tegas bapak, Arum tau betul bagaimana perasaan Bapaknya. Terlebih Arum sejak kecil tidak pernah jauh dari kedua orang tuanya, pastilah akan sangat berat rasanya membiarkan Arum bekerja jauh dari rumah."Maafin Arum pak, kali ini Arum tidak bisa menuruti permintaan bapak. Bukan karna Arum tidak patuh, tapi memang mungkin ini adalah jalan satu-satunya, supaya Arum bisa melunasi hutang ini""Tapi Arum?" Ibu menatap manik mata Arum dengan sendu"Ga papa Bu, Arum yakin pasti bisa! Lagian mbak Ambar dan suaminya sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini, Arum juga sudah lelah ngeliat bapak sama ibu menjadi bahan gunjingan para tetangga disini." Jawab Arum mantap.Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan, selain pasrah dan berharap kepada Arum.Waktu berjalan sangat cepat bagi Arum, karna baru saja dia terlelap tapi rasanya pagi datang dengan sangat cepat. Padahal sebelum tidur gadis itu meminta agar malam ini waktu diperlambat.Arum menggenggam tangannya takut saat mendengar suara ayam jantan berkokok saling bersahutan."Nggak! Aku ga boleh takut! Ini semua demi ibu sama bapak. Aku yakin aku bisa! Aku ga boleh kaya gini terus!" Gumam gadis itu memberi kekuatan pada dirinya sendiri.Setelah puas bermonolog dengan dirinya sendiri, Arum langsung memijakan kakinya diatas ubin dingin kamar kemudian melaksanakan perintah agama."Bawa enam stel baju aja kayanya cukup," Arum memasukan pakaiannya kedalam tas ransel yang dia miliki sejak sekolah menengah atas, kemudian langsung membersihkan diri."Arum. Kita sarapan dulu, nak?" Ajak ibu saat Arum baru saja keluar dari kamar mandi.Arum menganggukan kepala menuruti ajakan ibunya, mereka bertiga sarapan dengan khidmat walau hanya dengan menu seadanya saja berupa telur dadar dan nasi goreng yang porsinya bahkan tidak mengenyangkan."Jam berapa nyonya Lidia menjemputmu, Rum?" Tanya bapak"Mungkin sebentar lagi pak,""Nanti kalau disana ,sering kabarin ibu sama bapak yah. Walaupun ibu ga punya ponsel, kamu bisa ngasih kabar ke Mbak Risti," ujar ibu, mbak Risti adalah anak teman ibu, rumahnya tidak terlalu jauh dari sini.Maklum saja, jangankan untuk membeli ponsel. Untuk makan sehari-hari saja mereka kebingungan."Pasti ibu, nanti Arum akan sering kasih kabar kok""Nanti kalau ga betah, ga usah di paksakan ya? Kalau ada apa-apa segera bilang ke bapak" tegas bapak, Arum hanya bisa mengangguk sambil berurai air mata.Tin..Tin..Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari arah luar rumah, mereka bertiga saling berpandangan satu sama lain."Kayanya jemputan Arum udah Dateng, Arum harus segera pergi. Bapak sama ibu jaga diri baik-baik yah, Arum pasti bakalan kangen banget sama kalian berdua" ujar Arum sambil menangis, dia langsung berhambur memeluk kedua orang tuanya.Bapak yang biasanya paling anti menangis, hari ini meneteskan air matanya karna anaknya akan pergi."Nak, maafin bapak yah""Ga usah minta maaf pak, Arum ga kenapa-kenapa kok" jawab Arum"Hati-hati ya, Rum. Ibu selalu berdoa buat kamu"Arum menyalami kedua tangan orang tuanya kemudian berpamitan dengan perasaan yang sangat berat."Sudah siap?" Tanya supir pribadi nyonya Lidia."Pentesnya sih ga jadi supir, masa ganteng begini di jadiin supir" gumam Arum."Sudah siap?" Tanya pria yang usianya bisa ditaksir sudah memasuki kepala tiga itu pada Arum."Eh, iya sudah" Arum tersentak, lalu segera masuk kedalam mobil mewah berwarna putih.Arum menatap lekat kedua orang tuanya dari balik jendela mobil, perasaan sedih menggerogoti setiap inci dihatinya."Sehat selalu ya pak, Bu" gumam Arum dalam hati.Jarak waktu yang dibutuhkan adalah satu jam lebih menuju rumah nyonya Lidia, di sepanjang jalan mata Arum dimanjakan oleh hiruk pikuk dunia perkotaan dan mobil yang berlalu lalang di jalan tol."Masih lama ya, Pak?" Tanya Arum pada supir itu"Panggil saja Mas Ridwan," jawab pria itu, sepertinya dia merasa tidak terima dipanggil bapak karena usianya yang belum terlalu tua."Oh maaf, apakah masih lama?" Arum kembali bertanya"Sebentar lagi sampai, tinggal masuk perumahan didepan" jawab Ridwan cuek.Arum hanya menganggukan kepalanya, lalu kembali fokus menatap jalanan didepannya."Wah, besar banget perumahan ini" Arum begitu takjub saat mobil mewah yang dia tumpangi memasuki kawasan perumahan mewah di kota ini.Tak selang lama, mobil itu terparkir dihalaman luas yang bisa Arum prediksi, ini adalah rumah nyonya Lidia."Ini sih bukan rumah, tapi istana" decak Arum kagum."Wah sudah datang kamu!" Teriak Nyonya Lidia dari ambang pintu. Arum langsung mengambil ransel miliknya dan segera pergi menuju sumber suara."Kemarilah, ayo masuk! Biar aku tunjukan apa saja tugasmu disini," ajak nyonya Lidia, Arum hanya mengekor dibelakang."Tugas utama kamu dirumah ini adalah mengurus ibuku, dia sudah tua dan agak susah untuk berjalan. Kamu harus menuntunnya kemanapun dia pergi, dan memastikan makanan serta obat yang harus dia makan setiap hari!" Terang nyonya Lidia, sambil terus menunjukan setiap inci dari rumah mewah ini yang membuat Arum tak henti berdecak kagum."Apa kamu denger, Arum!"Arum tersentak kaget, "Iya, nyonya sa-saya dengar" jawab Arum."Ini kamar kamu, kamar kamu bersebelahan dengan kamar ibuku. Supaya nanti gampang kalau ibu butuh sesuatu""Kamu bereskan dulu pakaianmu, aku akan kembali setelah sarapan," ucap nyonya Lidia.Arum menghembuskan nafas lega saat Lidia pergi dari hadapannya, gadis itu langsung masuk kedalam kamar yang sudah disiapkan nyonya Lidia untuknya."Tidak terlalu besar, tapi ini lebih besar dari kamar tidurku dirumah."Arum langsung menata pakaiannya di lemari kecil yang sudah disediakan, di dalam kamar terdapat juga tv dan kipas angin. Fasilitas yang tidak dia dapatkan didalam kamarnya yang ada dirumah."Aku takut, takut ibunya nyonya Lidia galak" gumam Arum dalam hati. Dia langsung mengambil ponsel miliknya dan mengirimkan pesan pada mbak Risti, supaya kedua orang tuanya tidak merasa khawatir."Aku harus betah disini, demi ibu sama bapak," tekad Arum.Saat Arum sedang membereskan pakaian miliknya, dia mendengar ada bunyi bel di salah satu sudut kemari kecil miliknya."Bel? Bel apa ini, kenapa disini?" Arum bertanya dalam hati. Lalu sepersekian detik dia tersadar."Mungkin ibu dari nyonya Lidia yang membunyikan bel ini. Dan sepertinya dia membutuhkan sesuatu, aku harus segera kesana"Arum tampak ragu untuk membuka pintu kamar didepannya, tapi dia tidak ingin hal buruk terjadi pada ibunya nyonya Lidia.Gadis itu memberanikan diri untuk masuk kedalam, saat pertama kali masuk. Arum melihat wanita tua yang terduduk di sudut kasur, tapi kecantikan diwajahnya masih saja melekat indah disana."Siapa kamu! Berani-beraninya kamu masuk kedalam kamarku! Dasar lancang!" Sentak nenek itu pada Arum.Arum berdecih sebal, "Mukanya doang ramah, sikapnya mirip sama nyonya Lidia,""Hei! Apa kamu tidak bisa dengar!" Nenek itu kembali berteriak."Ma-maf Bu. Perkenalkan nama saya Arum, saya ditugaskan untuk menjaga dan merawat ibu disini. Nyonya Lidia yang menyuruh saya" jawab Arum."Oh, baiklah. Tapi tunggu, jangan panggil aku nenek! Panggil aku Oma" jawab wanita tua itu, Arum hanya bisa menganggukan kepala canggung."Emm, apa Oma butuh sesuatu?" Tanya Arum ragu."Ambilkan aku obat diatas lemari itu," perintah Oma, Arum langsung bergegas mengambilkan obat."Oma mau minum obat? Oma udah makan?" Tanya Arum, Oma mengangguk lalu mengambil obat itu dengan kasar.Arum terkesiap karna tindakan Oma, padahal niat hati mau ngebantu."Ini minumnya Oma""Terima kasih" jawab Oma singkat."Arum? Kamu udah disini? Baguslah kamu sepertinya sigap" ucap nyonya Lidia memecah keheningan diantara Arum dan Oma."Ma-maaf nyonya, tadi saya denger bell jadi langsung kesini" jawab Arum. Lidia hanya menganggukan kepala."Biasanya Oma setiap pagi selalu jalan-jalan ke taman. Kamu ajaklah Oma ketaman di depan rumah sekarang" perintah Lidia."Aku akan pergi ke kantor untuk bekerja, ingat jangan sampai terjadi apa-apa sama ibuku!" Tegas Lidia pada Arum, gadis itu hanya menganggukan kepala dengan khidmat."Mau jalan-jalan sekarang Oma?" Tanya Arum."Iya, ayo bantu aku berdiri" Arum langsung dengan cekatan membantu Oma berdiri. Beruntung badan Oma tidak terlalu besar, sehingga bisa dengan mudah Arum membantunya untuk berdiri.Arum membawa Oma jalan-jalan ditaman depan rumah nyonya Lidia. "Rumahnya besar yah Oma?" Arum mencoba memecah keheningan diantara dirinya dan Oma."Besar dan indah, tapi tidak dengan kehidupan didalamnya," ujar Oma lirih, tapi Arum masih bisa mendengar ucapan Oma.Gadis itu terpaku menatap Oma, ada gurat sedih tampak jelas disudut wajah tuanya."Oma mau makan buah?" Tanya Arum, Oma menggelengkan kepala."Sepertinya kamu orang baik," Oma memuji Arum, padahal baru pertama kali dirinya mengenal gadis ini. Tapi dilihat dari sifat dan tingkah laku sudah bisa ditebak kalau Arum adalah gadis baik-baik.Arum hanya tersenyum mendengar ucapan Oma."Aku ingi masuk ke dalam," titah Oma, Arum menurutinya.Saat sudah berada didepan pintu, Arum melihat ada wanita seusianya sedang duduk memainkan ponsel mahal di sofa ruang tamu."Mau apa lagi dia kesini," ketus Oma, Arum ingin sekali bertanya pada Oma tapi urung karena mungkin akan tidak sopan jika dirinya yang bukan siapa-siapa ingin tau dengan keh
"Udah-udah, biarin aja dia pergi ngerusak moments saja. Lebih baik sekarang kita makan diluar," ajak Alkana, Mona hanya menganggukan kepala sambil tersenyum dengan tangannya bergelayut manja dilengan Alka."Ayo kita berangkat sekarang," "Mau kemana kalian?" Tanya Oma yang baru saja keluar dari kamar bersama Arum.Mona berdecih kesal mendengar pertanyaan Oma."Mau pergi keluar sebentar Oma" jawab Alkana sambil tersenyum ramah."Semenjak kamu kenal sama wanita ini, waktumu habis hanya untuk mengurusi dia." Sindir Oma pada cucu semata wayangnya."Apa maksud Oma?" Tanya Mona dengan suara memelas, Arum yang melihatnya menaikan bahu tak suka."Oma, Alkana cinta sama Mona," Alkana berusaha membela diri."Kamu memang cinta sama dia, tapi wanita itu cuma cinta sama hartamu!" Sentak Oma.Arum hanya terdiam mendengar perselisihan yang terjadi di antara mereka."Oma!" Sentak Alkana. Oma hanya memalingkan wajahnya."Ayo Arum, antar aku ke dapur," pinta Oma. Arum hanya mampu menurutinya.*Lampu ru
Pagi hari keluarga ini melakukan aktivitas makan pagi bersama, walau tidak diiringi canda tawa. Sangat berbeda dengan apa yang Arum rasakan di rumahnya, kehangatan dalam keluarga disini sama sekali tidak dia dapatkan.Arum pun tersadar, kalau nyonya Lidia ini sepertinya janda. Buktinya sejak awal dia kesini dia tidak melihat ada suami dari nyonya Lidia, bahkan dia tidak mendapati foto nyonya Lidia bersama suaminya dirumah ini. Hanya ada foto majikanya, Oma dan Alkana si pria menyebalkan itu."Kalau jadi janda kaya Raya gini sih aku juga mau," gumam Arum."Ternyata seperti ini sisi buruk keluarga ini, pantas saja Oma merasa kesepian." Sambung Arum dalam hati.Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu, Arum ikut duduk disamping oma karena nyonya Lidia yang menyuruhnya, Arum ditugaskan untuk membantu Oma saat makan. Karena tangan Oma masih lemas jika digerakan.Oma menderita lumpuh sebagian, di bagian tubuh kirinya dari atas kepala hingga kaki. Tapi karena sering berobat diru
"Sadar diri Lo?" Sindir Alka."Apaan sih," ketus Arum"Beliin aja Alka, pakai uang oma aja" pungkas Oma.Ntah mengapa ada perasaan haru dalam benak Arum, padahal baru hitungan hari Oma dan dirinya saling kenal. Tapi Oma sudah perhatian seperti ini pada dirinya."Ga usah Oma, ngrepotin. Arum kan baru dua hari kerja," tolak Arum perlahan."Memangnya kenapa? Ga harus nunggu kerja lama." Paksa Oma, Arum hanya bisa pasrah."Udah deh nurut aja, bersyukur aja Lo dibeliin sama Oma," sinis Alkana."Makasih Oma," ujar Arum sambil tersenyum manis kepada Oma, Oma hanya menganggukan kepalanya.Alkana langsung membayar kalung dan gelang itu untuk Oma dan Arum. Setelah itu Alka langsung memakaikan kalung liontin indah itu di leher Oma."Cantik," puji Alka pada Oma."Alka!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tidak asing ditelinga mereka bertiga.Kompak mereka menoleh, dan melihat Mona sedang berlari kecil kearah mereka."Mona? Kamu ngapain disini?" Tanya Alkana terkejut."Harusnya aku yang tanya
"Arum, kamu kamana saja. Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu," ucap Oma saat Arum baru saja mendudukan tubuhnya di jok mobil samping Oma."Maaf Oma, tadi Arum terserat. Untung bisa ketemu tuan Alkana," jawab Arum.Alkana mendesis kesal, "Makanya jadi orang jangan terlalu polos, di mall aja sampe nyasar gitu." Sentak Alkana, Arum hanya terdiam."Udah-udah lebih baik kita pulang saja sekarang, Oma sudah cape," pungkas Oma melerai perdebatan antara dua manusia ini. Tubuh rentanya sudah mulai kelah karena jalan-jalan hari ini, apalagi kalau ditambah perdebatan antara Arum dan Alkana yang tidak ada habisnya pasti akan tambah pusing dibuatnya.Alkana langsung menancap gas membelah jalanan ibukota disore hari, sengaja memang pulang sebelum jam empat sore. Karena jam itu adalah jam rawan macet di ibukota.Tak butuh waktu lama, mobil mewah Alkana sudah masuk ke area halaman rumah yang luas. Halaman yang dijaga oleh beberapa satpam, dengan baju rapih di depan gerbang."Ngapain lagi dia kesin
Arum membantu Oma mendudukanya diranjang. Oma terdiam sejenak, air matanya kemudian luruh. Suara perdebatan antara ketiga orang diluar masih terdengar nyaring ditelinga Oma dan Arum dari dalam kamar."Oma? Oma makan dulu yah, biar Arum bawakan," Arum memecah keheningan, Oma menjawab pertanyaan Arum dengan gelengan kepala pelan."Tidak perlu Arum, saya tidak lapar. Sudah kenyang rasanya melihat perdebatan mereka yang diluar," jawab Oma. Hati Arum langsung terenyuh.Kehidupan keluarga ini dengan keluarganya memang berbanding terbalik, keluarganya harmonis walau kakaknya Ambar tidak tau diri, tapi mereka masih bisa hidup bahagia.Sedangkan keluarga ini, bergelimang harta tapi sangat berantakan."Tapi Oma harus minum obat, Oma." Titah Arum."Untuk kali ini, biarkan aku bebas dari yang namanya obat. Kamu tau? Sakit lumpuh ini penyebabnya apa? Karena Danial!" Oma membuka cerita pada Arum.Arum tidak habis pikir, mungkin semenjak Oma tau bahwa menantunya selingkuh dirinya langsung drop."Bai
Arum membeli dua botol Air mineral, dan empat bungkus roti untuk mengganjal perut.Dia ingin membeli nasi, tapi Arum yakin Alkana tidak akan mau memakannya."Tuan, minum dulu. Sama makan rotinya," tawar Arum sambil menyodorkan satu botol air mineral dan roti pada Alka.Alkana hanya terdiam, tatapanya kosong."Tuan?" Panggil Arum sekali lagi."Brisik Lo! Ga usah so perhatian. Gue masih inget banget kesalahan Lo waktu di restoran!" Sentak Alkana.Arum mendesis pelan, apakah harus sekali membahas hal seperti itu saat sedang dirumah sakit, dan saat ada didalam situasi seperti ini?"Bukan begitu tuan, saya hanya khawatir kalau nanti tuan Alkana ikut sakit. Siapa yang akan merawat Oma dan nyonya Lidia, masa saya? Saya kan hanya seorang pelayan," jawab Arum dengan suara datarnya.Alaka menatap sekilas botol minum dan roti yang masih berada ditangan Arum, tanpa memandang wajah Arum. Alkana langsung menyambar botol dan roti itu.Arum terkekeh pelan melihat tingkah Alkana, "Bilang aja laper!" T
"Brisik kamu, kamu hanya seorang pelayan!" Sentak Mona.Arum menyerit kaget mendapatkan bentakan dari Mona, ingin rasanya dia mendorong tubuh Mona kuat-kuat. Tapi kembali lagi dia sadar posisinya Disini hanya sebagai pelayan."Arum, kamu siapkan baju mamih. Sama sekalian bersihkan diri kamu!" Titah Alkana dengan tegas, Arum hanya acuh lalu masuk ke dalam rumah."Pokoknya aku ga mau tau, kita harus cepet-cepet nikah! Biar aku bisa terus pantau kamu kemanapun kamu pergi!" Seloroh Mona.Mata Alka membulat mendengar penuturan dari kekasihnya itu, menikah? Jangankan memikirkan untuk menikah. Memikirkan masalah yang ada di keluarganya saja bikin kepalanya sudah hampir mau meledak."Astaga Mona, ya ga bisa gitu dong! Kamu tau kan, kita belum dapat restu dari Oma" bujuk Alka.Mona hanya mencebik kesal, "Itu hanya alasan kamu, pokoknya aku mau kita cepat menikah! Kalau tidak aku mau bunuh diri!" Ancam Mona. Alkana langsung memeluk tubuh Mona erat."Jangan gitu dong, iya-iya. Aku usahain deh, a
Lidia tidak sabar menunggu para bodyguard yang berjaga itu membuka pintu, dengan cekatan wanita itu langsung mendorong para bodyguard dan langsung membuka pintu dengan keras.Lidia dan Alkana dapat melihat pemandangan didalam kamar, dimana semua orang termasuk Mona dan ibunya tengah bersiap."Hentikan semua persiapan ini!" Sentak Lidia. Alkana yang berada tepat disamping ibu kandungnya langsung terperangah kaget."Apa-apaan ini mamih? Bagaimana semua harus dihentikan! Mona dan keluarganya sedang bersiap untuk acara nanti!" Sentak Alkana.Mona dan sang ibu langsung menghampiri Lidia. Mereka berdua dan semua keluarga yang ada dikamar ini dapat melihat dengan jelas kemarahan yang ada di raut wajah cantik Lidia.Lidia tak menghiraukan ucapan anaknya, dia berjalan cepat kemudian langsung menutup pintu dengan keras. Karena tidak ingin permasalahan ini diliput oleh media.Tapi saat akan menutup pintu, Lidia langsung terhenti karena melihat Lita datang bersama Danial."Munafik!" Sungut Lidia
Danial masih terdiam ditempat, sebelum sedetik kemudian keringat dingin keluar dari kening membasahi seluruh wajah tampan dan tegasnya.Danial melihat seorang wanita, wanita yang beberapa tahun silam sudah membuat hatinya luluh. Dan membuat rumah tangganya hancur.Danial dengan tergesa langsung menghampiri wanita itu, wanita yang memakai gaun panjang berwarna toska dengan riasan rambut dan dandanan yang tampak indah memoles wajahnya."Tunggu? Ada perlu apa kamu disini?" Tanya Danial, batunya kembali dipenuhi rasa penyesalan. Rasa ketertarikan ya pada wanita ini, hari ini bahkan dari beberapa tahun yang lalu sejak rumah tangganya hancur sudah berhasil membuat perasaan Danial berubah menjadi benci."Da-danial? Kamu?" Wanita itu juga tampak terkejut melihat Danial hadir diacara ini."Apa yang kamu lakukan disini, Lita?" Tanya Danial pada wanita. "A-aku? Anak dari kakaku bertunangan malam ini Danial!" Jawab Lita gugup.Lita memang masih muda untuk menjadi Pelakor rumah tangga Danial dan
"Sudah siap semua?" Tanya Alkana pada semua orang yang sedang berkumpul diruang tamu. Termasuk para pelayan, sedangkan para bodyguard sudah lebih dulu berada di gedung untuk mengamankan kondisi disana. Dan untuk memastikan jika Danial tidak membuat keributan."Sudah tuan, tinggal menunggu nyonya Lidia." Jawab Bi Tuti. Wanita itu jelas ikut dan ditugaskan untuk memantau perjamuan makanan yang ada disana nanti.Tak selang lama, Lidia turun dari tangga dibantu asistenya dibelakang. Asistenya tampak membawakan tas mewah milik Lidia.Arum berdecak kagum melihat Lidia, kecantikannya sungguh terpancar malam ini, gaun warna merah maroon dengan motif bunga sangat indah melekat dibadan ramping milik Lidia.Bahkan kalau dilihat-lihat, Lidia lebih cocok menjadi kakak Alkana dibandingkan ibu kandungnya.Walaupun usianya sudah menginjak kepala empat, tapi Lidia masih tetap terlihat cantik dan menawan. Tapi ntah kenapa, wanita itu tidak menikah lagi setelah pernikahannya gagal dengan Danial."Ayo Al
"Baik Oma, terima kasih" ujar Lidia sambil tersenyum menatap ibunya."Bagaimana, betah disini?" Tanya Bi Tuti pada Arum yang tengah asik menikmati sarapan paginya.Arum langsung terkejut dan menelan makanan yang ada didalam mulutnya, dia tersenyum setengah dipaksakan."Em, ya betah sih Bi. Kan ada tujuanya juga," jawab Arum.Bi Tuti yang belum tau asal usul Arum kesini langsung terlihat bertanya-tanya."Tujuan apa? Mau jadi mantu nyonya Lidia?" Tebak bi Tuti sedikit becanda. Tapi berhasil membuat Arum tersedak minumanya."Uhuk-uhuk, aduh bi! Bukan itu maksud Arum," sergah Arum tak terima.Mana mungkin juga tuan Alkana mau menjadi pendamping hidupnya, dan kalaupun itu terjadi. Mungkin hanya akan terjadi didalam mimpi Arum saja, tidak akan pernah terwujud didunia nyata."Ya terus apa dong? Hahaha," Bi Tuti memang memiliki selera humor yang lumayan tinggi, selama ini Arum belum pernah diajak bicara serius oleh wanita itu."Arum kesini buat ngelunasin hutang orang tua Arum, orang tua Aru
Arum memilih tidur lebih cepat, untuk mengumpulkan stamina yang akan dia gunakan besok hari.••Dan benar saja, saat masih pagi semua orang sudah tampak sibuk menyiapkan perlengkapan. Bahkan beberapa bodyguard nyonya Lidia diperintahkan untuk berjaga di gedung yang akan dipakai nanti malam."Bagaimana dengan Danial?" Tanya Lidia pada Alkana.Alkana langsung mendekat ke ibunya, dan ikut duduk dimeja makan."Aku sudah menemuinya, dan mengizinkannya untuk datang. Dengan syarat dia tidak akan menganggu kehidupan keluarga kita lagi setelah ini," jawab Alkana.Lidia tampak menganggukan kepala setuju, sambil mengoleskan selai kacang ke roti tawar yang sedang dia pegang, untuk sarapan pagi."Tapi Alka belum bicara sama oma, rasanya berat. Dan takut, Alka takut jika Oma sampai drop kembali," ujar Alkana pada ibunya. Ada gurat khawatir yang terselubung dibalik wajah tampan milik Alkana."Biar nanti mamih yang bicara sama Oma, apapun yang terjadi lebih baik bicara sekarang. Jangan sampai Oma mel
"Aku harap, Alkana dan Mona akan hidup bahagia. Jangan seperti diriku," ujar Lidia pada Oma.'kita doakan saja, Alkana" sambung Oma.Lidia menatap Arum sejenak, "Arum, kamu punya bagu bagus apa tidak? Ya setidaknya bisa dipakai untuk acara besok." Tanya Lidia pada Arum.Arum menundukan kepalanya, jelas saja gadis itu sama sekali tidak punya baju bagus. Baju bagus menurut Arum hanya sekedar kemeja dan dipadukan dengan jelana jeans, itupun murah."Ti-tidak nyonya, saya tidak punya." Jawab Arum."Baiklah, biar nanti aku cari baju lamaku yang masih bagus dan belum pernah aku pakai," jawab Lidia datar.Arum sudah paham, yang namanya orang kaya apalagi seperti Lidia. Pasti sangat hobi membeli baju-baju baru, dan tak jarang hanya hobi membeli saja padahal tidak pernah dipakai."Terima kasih nyonya," ujar Arum.Lidia langsung menyuruh asistenya untuk memilihkan beberapa baju yang sudah tidak dia pakai tapi masih baru. Arum juga ikut diminta memilih bersama asisten nyonya Lidia itu."Yang ini
"Apakah ada tamu?" Tanya Oma saat Arum baru saja masuk kedalam kamar Oma."Tidak Oma," jawab Arum menutupi kedatang Tuan Danial tadi."Terus kenapa tadi Lidia menyuruhmu pergi?" Oma kembali bertanya, rasa penasaran kini menyelimuti pikiran Oma.Mungkin Lidia tidak memberikan sebuah alasan kepada Oma, saat dirinya meminta Arum untuk keluar dari kamar ini.Arum terdiam sejenak, mencoba berfikir alasan apa yang akan dia berikan kepada Oma."Ah itu Oma, tadi tuan Alkana minta dibuatkan jus jeruk." Pungkas Arum, ntah sejak kapan wanita ini menjadi pandai sedikit dalam hal berbohong.Oma hanya menganggukan kepalanya.Di tempat lain, tepatnya didalam kamar. Lidia sedang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Alkana."Apa yang manusia licik itu katakan padamu tadi?" Tanya Lidia."Dia memintaku, untuk mengizinkan dia hadis diacara pertunangan besok malam," jawab Alkana sambil mendudukan tubuhnya diatas ranjang kamarnya."Berani sekali dia berbicara seperti itu, pokonya mamih ga mau kalau Dania
Sebelum bisa benar-benar tertidur Arum memikirkan kedua orang tuanya dirumah. Karena semenjak dia dirumah ini, Arum sama sekali belum memberi kabar kepada orang tuanya. Dan orang tuanya juga tidak pernah memberikan kabar pada dirinya.*Waktu berjalan sangat cepat, hari ini adalah hari dimana Alkana dan Mona akan mengikat sebuah ikatan sebelum pernikahan, semua sudah dipersiapkan. Dari mulai barang bawaan yang akan dibawa oleh keluarga Alkana.Bukan keluarga besar tapi hanya keluarga inti."Siapa saja yang nanti akan ikut Oma?" Tanya Arum pada Oma saat dirinya sedang menyuapi wanita paruh baya itu bubur ayam."Tidak ada, hanya kita berempat. Juga beberapa pelayan dan bodyguard," jawab Oma disela dia mengunyah makanannya Netra Arum terbelalak kaget, karena biasanya kalau acara pertunangan akan dihadiri oleh keluarga besar, baik dari pihak perempuan dan pihak laki-laki."Keluarga besar Oma, tidak ikut?" Tanya Arum ragu-ragu "Tidak, mereka ada di kampung. Terlalu jauh untuk datang kesi
Alkana mengantar Arum ke rumahnya, sebelum dia pulang ke rumah."Huh, cape banget pergi dari siang. Malem gini baru sampe rumah, mana dijadiin obat nyamuk sama pasangan bucin ini," runtuk Arum dalam hati."Mampir dulu yah?" Tawar Tante Dira, suaranya yang keras bisa Arum dengar walaupun dia berada didalam mobil. Jelas saja wanita itu tidak diajak turun oleh Alkana dan Mona."Tidak usah Tante, sudah malam. Lagian kayanya Mona cape," jawab Alkana sopan."Awas saja kalau sampe mampir!" Gerutu Arum."Yaudah kalau gitu, hati-hati yah. Makasih nak," Ujar Dira.Dira memang terlihat baik, walau wajahnya terkesan judes mirip sekali dengan anaknya Mona."Aku pamit ya, sayang." Pamit Alkana pada Mona. Mona langsung menganggukinya.Alkana kembali ke dalam mobil setelah berpamitan."Kenapa muka Lo? Ditekuk gitu? Makin jelek aja Lo!" Ledek Alkana saat melihat Arum dengan keadaan yang sudah tidak beraturan.Wajah gadis ini tampak sangat kelelahan, rambutnya juga sudah mulai lepek tak terurus."Ga pa