"Iya nih, Kang, cuacanya dingin sekali," jawab gadis itu sambil mengerling manja.
Merasa mendapat respon positif, lelaki kekar itu segera meremas jemari tangan gadis misterius itu.
"Sini merapat, Nyai," katanya sambil memeluk bahu sang gadis.
"Ih, Akang ... genit," ujar gadis itu pura-pura menolak.
"Namamu siapa, Cantik?" Jurus rayuan gombal akhirnya keluar dari mulut laki-laki itu.
"Aku Mawar, Kang," jawab gadis cantik itu.
"Aku Badrun, berkelana dari kampung ke kampung demi mencari kesenangan hidup," katanya pongah.
"Banyak uangnya dong, Akang," ujar Mawar.
"Tentu saja, Nyai, asal Nyai mau menuruti keinginan Akang," kata Badrun. Dia mulai memeluk Mawar, kemudian mencium pipinya.
"Jangan, Kang, aku malu," kata Mawar sambil menunduk.
Pipinya yang merona kemerahan semakin nampak menggemaskan di mata Badrun. Badrun sudah tidak sabar ingin mencumbu Mawar yang sepertinya sudah sangat pas
"Ada apa?" tanya Wisaka sambil mendekat. "Itu ...." Faruq menunjuk sesuatu. "Ooh, sarang ular," kata Wisaka. "Waspada! Takut induknya ada di sekitar sini!" suruh Wisaka. "Ayo, kita menjauh, biarkan tidak usah diganggu," sambung Wisaka lagi. Mereka kemudian berpencar, melakukan pencarian kembali. Tetap saja tidak ada jenazah di atas goa. Wisaka bingung, ilmu Lorong Waktu itu jelas sekali kalau jasad Badrun itu di tendang A'mir ke daerah sini, tetapi mengapa tidak ditemukan? Wisaka tak habis pikir. Sementara itu satu makhluk tak kasat mata cekikikan melihat Wisaka dan Faruq kebingungan. Dengan nakalnya ia sudah mengubah penglihatan mereka. "Rasain, aku kerjain engkau, Manusia," katanya sambil tertawa. Lamat-lamat suara tawa itu terdengar oleh Wisaka. Dengan ilmunya, Wisaka akhirnya menyadari ada suatu makhluk yang mempermainkannya. "Keluar kau!" bentak Wisaka. Faruq kaget mendengar bentakan Wisaka, pemuda itu celing
Wisaka merasa ada seseorang yang membuntutinya, bahkan mungkin beberapa orang. Wisaka tidak tahu apakah itu manusia atau bukan. Namun, Wisaka bisa mendeteksi kehadirannya. Hari menjelang sore kala itu. Wisaka, Faruq dan Onet meneruskan perjalanan mereka. Faruq mengikat kaki ayam hutan hasil buruannya tadi, kemudian mengempitnya di ketidak. Wisaka semakin yakin kalau yang membuntuti itu berada tepat di belakangnya kini. Wisaka memalingkan muka dengan cepat, dan berhasil melihat sesuatu berkelebat ke balik pohon. Wisaka menyusulnya ke balik pohon. "Keluar! Mengapa kau membuntuti kami?" tanya Wisaka sambil membentak. Dua sosok manusia yang aneh bentuk mukanya menyeringai. Mungkin juga maksudnya tersenyum saat keluar dari persembunyiannya. Aneh, karena matanya terlalu lebar untuk muka yang kecil dan mengerucut. Gigi-giginya besar sekali, tampak saat ia menyeringai. "Mengapa kau membuntutiku?" ulang Wisaka. "Aku hanya ingin minta ayam itu, kami aka
"Sepertinya, ini bukan hutan saat kita bertemu dengan orang asing yang minta ayam itu," kata Wisaka. Faruq memandang sekeliling, nampak dia juga heran dengan lingkungan sekitar. Mereka seperti berada di sebuah kampung. Tak jauh dari situ ada beberapa rumah penduduk diterangi lampu teplok. Sayup-sayup terdengar seperti ada suara keramaian di kejauhan. "Apakah ini masih kampung yang tadi, ya? Itu terdengar suara ramai-ramai dari sebelah sana," tanya Faruq sambil menunjuk ke depan. "Entahlah, kita tidak boleh gegabah lagi, ini bukannya sudah tengah malam, ya, kok orang-orang tidak tidur?" Jawaban Wisaka diakhiri pertanyaan dari rasa herannya. Suara-suara itu semakin ramai, seperti orang yang bersukacita karena mendapatkan sesuatu. Wisaka dan Faruq tergoda juga hatinya untuk melihat, ada apa sesungguhnya? Mereka berjalan menghampiri suara ramai itu. Diam-diam mereka mengintip dari celah pepohonan yang terlindung dari sinar bulan. Nampak oleh merek
Wisaka memperhatikan dan bertanya kepada dirinya sendiri. Mereka dengan cepat mendapat padi berkarung-karung dan yang aneh panen di malam hari. Wisaka yang keheranan tetap mengintip para penduduk itu. Penduduk kegirangan, mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Mereka menyimpan padinya di lumbung. Setelah semua rapi, mereka masuk kembali ke dalam rumah. Perkampungan kembali sepi. Setelah semua sepi Wisaka mencoba keluar. Dia berniat mengintip salah satu rumah penduduk. Wisaka curiga mereka bukan manusia. Akan tetapi Wisaka tidak punya bukti juga kalau mereka itu siluman. Pemuda itu berjalan di kesunyian malam. Dirinya merasa beberapa pasang mata mengawasi dari kegelapan. Wisaka membalikkan badannya, ternyata hanya beberapa ekor tikus yang memperhatikannya. "Duh, kamu ya tikus, bikin hati deg-degan saja, kirain ada orang yang mengikuti," kata Wisaka kepada tikus yang melihat kepadanya. Wisaka berjingkat-jingkat menghampiri sebuah rumah
Wisaka mengelabui hantu tersebut. "Ini!" Wisaka memberikan sesuatu. Hantu itu mengulurkan tangannya, kemudian memasukan benda tersebut ke mulutnya, sejenak dia terdiam, nampak dia memegangi perutnya. Hoek ... hoek. Hantu itu seperti mau memuntahkan sesuatu. Dia merasa perutnya melilit karena dirinya terbungkuk-bungkuk memegangnya. Dia kemudian terbang meninggalkan mereka. "Akhirnya ...." Bibir Wisaka tersenyum melihat hantu itu terbang. Faruq heran melihatnya, kok tiba-tiba hantu itu mau pergi. Apa yang diberikan oleh Wisaka? "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq. Wisaka tertawa, dia tidak menjawab. Faruq merasa penasaran dengan sikap Wisaka. Tumben, Wisaka melakukan satu kejahilan. "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq sekali lagi. Dia benar-benar merasa penasaran dengan apa yang diberikan Wisaka. Wisaka tertawa lagi, entah apa yang merasukinya, mungkin karena kesal tidak pergi juga itu hantu.
"Bangun ... bangun, Kang," kata Faruq sambil mengguncangkan tubuh Wisaka. Rupanya dia terbangun karena teriakan Wisaka. "Ada apa teriak-teriak?" sambungnya. "Aku mimpi, Mayang diculik orang," ujar Wisaka saat terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur di dahinya, napasnya tersengal-sengal. "Mayang siapa?" tanya Faruq. Perasaan baru kali ini Faruq mendengar nama itu. "Anakku," jawab Wisaka singkat. "Ooh." Faruq tidak banyak bertanya lagi. "Dia diculik," cetus Wisaka setelah lama terdiam. "Ada orang berpakaian serba kuning dan bercadar tiba-tiba menyambarnya," jelasnya. Faruq hanya diam mendengarkan, dirinya bingung harus bicara apa, dia tidak mengenal Mayang, apalagi orang bercadar itu. Wisaka juga ikut terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu kemudian bangkit lalu bersedekap dan memejamkan matanya mencoba bertelepati dengan Leli, istrinya. Wisaka bisa mendengar Leli bicara, dan mendengar suara-suara k
Wisaka dan Faruq berpandangan. Wisaka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kyai Abdullah tentang 'siapa Amir' Wisaka ingat bagaimana Pak Amir melawan Ifrit, bagaimana penduduk menuduh Pak Amir, bagaimana dia begitu gigih menjelaskan tentang dirinya. "Lho, Pak Amir bukannya murid Kakek, ya?" tanya Wisaka hati-hati. "Aku tidak punya murid yang bernama Amir," kata Kyai Abdullah. "Mengapa dia bisa tahu tentang Kakek?" tanya Wisaka. "Entahlah, nanti aku cari tahu," kata Kyai Abdullah. Wisaka tidak habis pikir siapa sesungguhnya Pak Amir itu? Bisa tahu Iprit juga tahu Awang dan Barshi tidak pernah sampai ke tempat Kyai Abdullah. Serta menyuruh Wisaka untuk datang ke sini. "Sudahlah tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu mandi dan beristirahat, kosongkan pikiran dan bersiap untuk menerima apa yang aku ajarkan," suruh Kyai Abdullah. "Setelah mandi, nanti kamu bersemedi di sana." Kyai Abdullah menunjuk sebuah batu besar di bawah pohon.
Orang itu memakai baju hitam dengan celana panjang komprang. Ikat kepala serta penutup muka serba hitam. Pinggangnya diikat ban hitam juga, sepertinya terselip satu senjata berupa pedang di sana. Ia celingukan dengan muka kesal. Terlihat dari sorot matanya yang memandang tajam ke segala arah. Mencari-cari orang yang telah melemparkan buah kepadanya. Wisaka tertawa geli, suruh siapa ia mengerjai dirinya tadi. Giliran dibalas mencak-mencak marah. Wisaka masih menikmati pemandangan itu dari atas pohon. Hup. Wisaka melompat ke bawah, tahu-tahu sudah berdiri di belakang orang yang membuntutinya. Si baju hitam itu belum menyadarinya, malah berteriak-teriak kepada orang yang mengganggunya, suruh menampakkan diri. "Aku di sini, Kisanak," kata Wisaka. Orang itu sampai terlonjak saking kagetnya. Ia bersalto dan bersiaga, menatap marah dengan matanya yang tajam. "Siapa, kau?" tanyanya. "Terbalik, aku yang seha