"Sepertinya, ini bukan hutan saat kita bertemu dengan orang asing yang minta ayam itu," kata Wisaka.
Faruq memandang sekeliling, nampak dia juga heran dengan lingkungan sekitar. Mereka seperti berada di sebuah kampung. Tak jauh dari situ ada beberapa rumah penduduk diterangi lampu teplok. Sayup-sayup terdengar seperti ada suara keramaian di kejauhan.
"Apakah ini masih kampung yang tadi, ya? Itu terdengar suara ramai-ramai dari sebelah sana," tanya Faruq sambil menunjuk ke depan.
"Entahlah, kita tidak boleh gegabah lagi, ini bukannya sudah tengah malam, ya, kok orang-orang tidak tidur?" Jawaban Wisaka diakhiri pertanyaan dari rasa herannya.
Suara-suara itu semakin ramai, seperti orang yang bersukacita karena mendapatkan sesuatu. Wisaka dan Faruq tergoda juga hatinya untuk melihat, ada apa sesungguhnya? Mereka berjalan menghampiri suara ramai itu.
Diam-diam mereka mengintip dari celah pepohonan yang terlindung dari sinar bulan. Nampak oleh merek
Wisaka memperhatikan dan bertanya kepada dirinya sendiri. Mereka dengan cepat mendapat padi berkarung-karung dan yang aneh panen di malam hari. Wisaka yang keheranan tetap mengintip para penduduk itu. Penduduk kegirangan, mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Mereka menyimpan padinya di lumbung. Setelah semua rapi, mereka masuk kembali ke dalam rumah. Perkampungan kembali sepi. Setelah semua sepi Wisaka mencoba keluar. Dia berniat mengintip salah satu rumah penduduk. Wisaka curiga mereka bukan manusia. Akan tetapi Wisaka tidak punya bukti juga kalau mereka itu siluman. Pemuda itu berjalan di kesunyian malam. Dirinya merasa beberapa pasang mata mengawasi dari kegelapan. Wisaka membalikkan badannya, ternyata hanya beberapa ekor tikus yang memperhatikannya. "Duh, kamu ya tikus, bikin hati deg-degan saja, kirain ada orang yang mengikuti," kata Wisaka kepada tikus yang melihat kepadanya. Wisaka berjingkat-jingkat menghampiri sebuah rumah
Wisaka mengelabui hantu tersebut. "Ini!" Wisaka memberikan sesuatu. Hantu itu mengulurkan tangannya, kemudian memasukan benda tersebut ke mulutnya, sejenak dia terdiam, nampak dia memegangi perutnya. Hoek ... hoek. Hantu itu seperti mau memuntahkan sesuatu. Dia merasa perutnya melilit karena dirinya terbungkuk-bungkuk memegangnya. Dia kemudian terbang meninggalkan mereka. "Akhirnya ...." Bibir Wisaka tersenyum melihat hantu itu terbang. Faruq heran melihatnya, kok tiba-tiba hantu itu mau pergi. Apa yang diberikan oleh Wisaka? "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq. Wisaka tertawa, dia tidak menjawab. Faruq merasa penasaran dengan sikap Wisaka. Tumben, Wisaka melakukan satu kejahilan. "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq sekali lagi. Dia benar-benar merasa penasaran dengan apa yang diberikan Wisaka. Wisaka tertawa lagi, entah apa yang merasukinya, mungkin karena kesal tidak pergi juga itu hantu.
"Bangun ... bangun, Kang," kata Faruq sambil mengguncangkan tubuh Wisaka. Rupanya dia terbangun karena teriakan Wisaka. "Ada apa teriak-teriak?" sambungnya. "Aku mimpi, Mayang diculik orang," ujar Wisaka saat terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur di dahinya, napasnya tersengal-sengal. "Mayang siapa?" tanya Faruq. Perasaan baru kali ini Faruq mendengar nama itu. "Anakku," jawab Wisaka singkat. "Ooh." Faruq tidak banyak bertanya lagi. "Dia diculik," cetus Wisaka setelah lama terdiam. "Ada orang berpakaian serba kuning dan bercadar tiba-tiba menyambarnya," jelasnya. Faruq hanya diam mendengarkan, dirinya bingung harus bicara apa, dia tidak mengenal Mayang, apalagi orang bercadar itu. Wisaka juga ikut terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu kemudian bangkit lalu bersedekap dan memejamkan matanya mencoba bertelepati dengan Leli, istrinya. Wisaka bisa mendengar Leli bicara, dan mendengar suara-suara k
Wisaka dan Faruq berpandangan. Wisaka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kyai Abdullah tentang 'siapa Amir' Wisaka ingat bagaimana Pak Amir melawan Ifrit, bagaimana penduduk menuduh Pak Amir, bagaimana dia begitu gigih menjelaskan tentang dirinya. "Lho, Pak Amir bukannya murid Kakek, ya?" tanya Wisaka hati-hati. "Aku tidak punya murid yang bernama Amir," kata Kyai Abdullah. "Mengapa dia bisa tahu tentang Kakek?" tanya Wisaka. "Entahlah, nanti aku cari tahu," kata Kyai Abdullah. Wisaka tidak habis pikir siapa sesungguhnya Pak Amir itu? Bisa tahu Iprit juga tahu Awang dan Barshi tidak pernah sampai ke tempat Kyai Abdullah. Serta menyuruh Wisaka untuk datang ke sini. "Sudahlah tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu mandi dan beristirahat, kosongkan pikiran dan bersiap untuk menerima apa yang aku ajarkan," suruh Kyai Abdullah. "Setelah mandi, nanti kamu bersemedi di sana." Kyai Abdullah menunjuk sebuah batu besar di bawah pohon.
Orang itu memakai baju hitam dengan celana panjang komprang. Ikat kepala serta penutup muka serba hitam. Pinggangnya diikat ban hitam juga, sepertinya terselip satu senjata berupa pedang di sana. Ia celingukan dengan muka kesal. Terlihat dari sorot matanya yang memandang tajam ke segala arah. Mencari-cari orang yang telah melemparkan buah kepadanya. Wisaka tertawa geli, suruh siapa ia mengerjai dirinya tadi. Giliran dibalas mencak-mencak marah. Wisaka masih menikmati pemandangan itu dari atas pohon. Hup. Wisaka melompat ke bawah, tahu-tahu sudah berdiri di belakang orang yang membuntutinya. Si baju hitam itu belum menyadarinya, malah berteriak-teriak kepada orang yang mengganggunya, suruh menampakkan diri. "Aku di sini, Kisanak," kata Wisaka. Orang itu sampai terlonjak saking kagetnya. Ia bersalto dan bersiaga, menatap marah dengan matanya yang tajam. "Siapa, kau?" tanyanya. "Terbalik, aku yang seha
Wisaka teringat kembali dengan mimpinya, ah ... apa memang itu bisa disebut mimpi. Rasanya seperti nyata. Apalagi kini semua ada di depan matanya. "Cahaya merah itu, apakah ... apak--" Wisaka tidak meneruskan gumamannya. Sinar merah di ujung goa itu semakin mencorong. Wisaka dengan ragu-ragu mendekatinya. Benarkah seperti yang ada dalam penglihatan dalam semedinya bahwa sinar merah menyala itu adalah sepasang mata naga? Wisaka tidak berani terlalu dekat untuk memastikan itu. Dia berbelok ke arah sisi goa, kemudian bersembunyi di antara batu-batu besar. Batu itu terasa hangat seperti berada di depan perapian. Wisaka bersikap waspada, naik perlahan-lahan, kemudian melongok ke arah ceruk. "Astaga, binatang apakah itu?" tanyanya dalam hati. Dia menutup mulutnya sendiri demi dilihatnya seekor binatang berwujud ular, bersisik besar-besar, mengkilap dan berwarna hijau. Rupanya memang benar, warna merah itu berasal dari mata ular yang terbuka se
Badan Wisaka meluncur tidak dapat tertahan lagi. Bruuuk. Pemuda itu dimuntahkan oleh ular, Wisaka terpelanting di udara. Dia bersalto dan menjejak tanah lantai goa. Berdiri limbung dengan badan yang basah oleh lendir berwarna hijau. Sesaat dia berdiri sambil mengusap wajahnya. Secepatnya berlari keluar goa menuju kediaman Kyai Abdullah. "Kakek ... Kakek, aku sudah dapatkan pusakanya!" Wisaka berteriak-teriak dari halaman pondok. Kyai Abdullah, Faruq dan Onet keluar dari dalam pondok. Begitu melihat keadaan Wisaka, Faruq tertawa terpingkal-pingkal. "Hahaha ... kamu dari mana, Kakang?" tanya Faruq. "Diam kau!" hardik Wisaka. "Upps." Faruq menutup mulutnya. "Ini, Kek," kata Wisaka. Pemuda itu menyodorkan kotak berukir. Kyai Abdullah menerimanya, kemudian menyuruh Wisaka segera membersihkan diri. Wisaka berlalu, kemudian kembali menghadap Kyai Abdullah setelah selesai mandi. Kyai Abdullah dan Wisaka mempelajari ilmu
"Itu bukan iblis yang kita cari," kata Wisaka sambil menggeleng. "Kalau bukan, siapakah dia?" tanya Faruq. Wisaka terdiam sejenak, dia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada Faruq tentang yang dilihatnya ketika perjalanan dalam ilmu Lorong Waktu. "Nanti saatnya aku kasih tahu." Akhirnya Wisaka berkilah. "Jelaskan sekarang," rengek Faruq. "Kita samperin gak, itu makhluk?" tanya Faruq lagi. "Tidak usah, ada waktunya nanti kita balik ke sini," ujar Wisaka lagi. "Ayo berangkat, keburu malam kita harus mencari tempat bermalam," lanjut Wisaka. Setengah berlari Faruq mengikuti langkah Wisaka yang lebar-lebar. Mereka bergegas sebab hari menjelang malam. Ekor Onet terayun-ayun di atas pundak Faruq. Dengan pedang pusaka Naga Api, Wisaka membabat pohon dan menjadikannya pondok sederhana untuk menginap malam ini. Faruq mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Onet memanjat pohon yang sedang berbuah, dan melemparnya ke arah Faru
Anggini tidak menyangka Eyang Gayatri sampai turun untuk membasmi para iblis ini. "Anggini, lama tidak berjumpa." Eyang Gayatri mengusap rambut gadis itu. Dia sudah menganggapnya sebagai cucu. Setelah Cempaka --muridnya menikah dengan Wisaka. Makanya Eyang Gayatri menganjurkan Cempaka untuk mengajari jurus Bunga Persik. Sementara itu, Iblis Tengkorak tengah berjuang mengenyahkan suara dari telinganya. Darah kental semakin banyak mengucur dari telinganya. Jurus Kijang Mengorek Telinga ini memang begitu dahsyat. Apalagi yang melemparkan jurus Eyang Astamaya. Iblis Tengkorak tidak bisa berkutik. Benang ajaib yang membelitnya semakin membuatnya tidak berdaya. Sejurus kemudian Eyang Gayatri menunduk malu. Sebelumnya kedua orang tua itu saling bertatapan mata. Eyang Astamaya tersenyum kepada Gayatri. Eyang Gayatri tersenyum juga dari balik cadarnya. Eyang Gayatri memberikan kantung hitam kepada Eyang Astamaya. Tempat arwah iblis yang menyamar menjadi Sumina
Jaka dan Anggara tengah terpesona, mereka melihat kehebatan makhluk yang bernama Suminar. Namun Jaka sudah mendapat peringatan dari bapaknya, itu hanyalah tipuan."Anggara, usap matamu … usap matamu!" Jaka berteriak."Baiklah, Jaka!"Mereka berkali-kali mengusap mata masing-masing, kemudian mundur karena kaget. Perempuan itu tampak sangat menyeramkan kini. Kedua matanya pecah, meleleh darah kental di mukanya."Wow!" Jaka berteriak.Anehnya, Suminar masih bisa tahu posisi Anggara dan Jaka. Dia mempersiapkan sebuah serangan."Kang, hati-hati!" Anggara berteriak memperingatkan Jaka."Siap!" Jaka mempersiapkan sebuah pukulan jarak jauh.Setelah yakin dengan perkiraannya, Suminar mendorong sebuah kekuatan dahsyat ke arah mereka berdua. Tentu saja Anggara dan Jaka secepat kilat berganti posisi. Angin yang dihasilkan dari serangan Suminar melabrak sebuah pohon.Draaak … bruuuk.Pohon bes
Suminar bergerak diam-diam. Dia mulai menjamah Anggara. Lidahnya perlahan-lahan menjulur-julur keluar masuk dengan cepat. Kepalanya berubah menjadi kecil dan gepeng. Ia menampakkan wujud aslinya, seekor ular siluman.Suminar yang masih bertubuh manusia, menyentuh tubuh lelaki itu. Anggara belum menyadari apa yang terjadi. Dia masih tertidur pulas. Suminar mendesis, air liurnya menetes dari sela-sela taringnya yang tajam."Mengapa tubuhnya berbau amis?" Hati Suminar bertanya-tanya. Dia merasa terganggu dengan bau badan Anggara. Lelaki itu tetap terlelap.Suminar mengabaikan bau badan Anggara. Dia meneruskan aksinya. Malam ini Anggara harus menjadi pengantinnya. Ritual ini harus segera dilakukan. Tidak boleh gagal lagi."Beruntung sekali, aku menemukan pemuda ini … ssst … ssst, dia cari mati dengan mengantarkan nyawanya ke sini." Wanita siluman itu sangat senang. Dia tidak berpayah-payah mencari tumbal untuk malam purnama ini. Dia mendes
Semua kaget dengan pernyataan Wisaka. Besok malam gadis itu harus menjadi umpan Sepasang Iblis dari Timur. Sebenarnya Wisaka mempunyai rencana yang begitu hebat. Wisaka sudah paham kebiasaan sepasang iblis itu."Besok malam adalah malam purnama. Kalau sepasang iblis itu benar adanya Iprit, mereka pasti akan mencari tumbal. Seorang gadis untuk ritual pengantin." kata Wisaka menjelaskan."Tidakkah itu berbahaya, wahai Wisaka?" tanya Anjani."Tentu saja kita akan mengawalnya, mengawasi diam-diam." Wisaka mengatur siasat untuk besok malam. Mereka mendengarkan baik-baik.Jaka memegang tangan Dialin yang terasa dingin, mencoba menyalurkan kehangatan. Dialin memandang Jaka, kemudian menunduk. Hatinya merasa bahagia bertemu dengan Jaka. Pengganti kekasihnya yang tewas di tangan sepasang iblis. Dialin seperti mendapatkan kembali roh jiwanya. Sejak kematian kekasihnya, jiwanya juga terasa ikut mati.Dialin seperti mendapat kekuatan kembali. Dendam mengalir d
Jaka bangkit dari tidurnya, duduk di dahan sambil memperhatikan jalan. Bayangan hitam itu begitu cepat melesat. Jaka tidak sempat melihatnya.Tidak lama kemudian datang dua orang yang sama berpakaian hitam juga. Rupanya mereka mengejar bayangan tadi. Jaka beranjak mengikuti keduanya."Sialan!" umpat si pengejar."Ke mana dia perginya?" tanya yang satu lagi."Entahlah, ayo cepat kita susul!"Jaka yang bersembunyi di rimbunan pepohonan melihat mereka pergi. Pemuda itu menggeliatkan badan."Ssst …."Satu desisan terdengar dari samping pemuda itu. Jaka cepat menoleh, terlihat olehnya seorang gadis tengah menempelkan telunjuknya di bibirnya."Dialin!" seru Jaka tertahan. Senang sekali Jaka bisa bertemu dengan gadis tersebut.Dialin memberi isyarat supaya Jaka diam. Matanya masih memperhatikan ke arah jalan tadi. Takut pengejarnya datang lagi."Mereka sudah pergi," bisik Jaka.Dialin me
Jaka menghadik Aliya yang sudah kurang ajar kepadanya. Dia belum tahu dengan siapa berhadapan. Jaka menuntun Anggini mengajaknya pergi."Tunggu!" seru Aliya.Jaka, Anggara dan Anggini mengurungkan niatnya pergi dari tempat itu. Memandang heran kepada Aliya."Seenaknya saja kau bawa dia!" sergah Aliya sambil menunjuk Anggini."Mau kau apakan adikku?" tanya Jaka.Aliya terdiam saat Jaka menyebutkan Anggini sebagai adiknya. Lama dia memperhatikan wajah lelaki di depannya itu. Ketampanan Jaka sudah membuatnya terpesona."Dia adikmu?" tanya Aliya kepada Jaka."Kau pikir aku siapanya?" dengkus Anggini kesal. "Ayo! gak usah ladeni dia, Perempuan Gila!"Aliya sangat marah saat dikatakan perempuan gila oleh Anggini. Aliya meradang, menyerang Anggini dengan beringas. Sudah dari tadi dia ingin sekali menyakiti Anggini. Gadis yang dicintai oleh Anggara."Berani sekali kau mengatai diriku gila, Perempuan Sundal,"
Jaka memperhatikan Dialin yang berkelebat cepat meninggalkannya. Heran sendiri, padahal wajahnya tidak ada yang aneh. "Bahkan kata orang aku ganteng," pikir Jaka. Pemuda itu tertawa kecil.Jaka membiarkan Dialin pergi. Dunia ini sempit, nanti juga pasti bertemu lagi. Hari di penghujung siang. Binatang malam mulai bernyanyi. Onet sudah mengambil posisi paling nyaman di sebuah pohon.Sementara Jaka merebahkan diri di dahan bercabang. Berbantalkan kedua tangannya, dia kembali bersyair."Malam yang datang tanpa hadirmuGelap mencumbu bayanganBintang membisu di sudut langitRembulan mengintip malu-maluMemelukmu adalah keniscayaanKerinduan entah untuk siapamenyeruak nakal dalam benakCinta datang tanpa diundangMemenuhi segala ruang hati"Jaka memandang langit, mencoba mencari bayangan wajah gadis yang baru saja dikenalnya. Perlahan-lahan raut wajah itu terukir di antara awan. Jaka tersenyum sendiri me
Jaka bangkit dari tidurnya, dia duduk di dahan pohon sambil mengamati sekitar. Suara halus itu mengganggu konsentrasinya. Tidak terlihat siapa pun ... senyap. Dia kembali bersyair. "Wahai angin yang menyembunyikan rasa Datanglah di sela daun-daun Hinggap bersama burung-burung Bernyanyilah walau suara parau Aku pastikan suaramu merdu di telingaku." Tak ada balasan, tetap hening. Jaka merasa penasaran. "Kau mempermainkan aku, Gadis," gumam Jaka. Jaka merasakan aura seseorang yang mempunyai kemampuan lumayan. Wanita penyair itu punya ilmu cukup tinggi. Jaka hampir tidak bisa mendeteksi keberadaannya, Jaka bersyair kembali. "Samarkudendangkan nyanyian Angin pengembara membawanya Berkelana di jagat senyap Langit akan menangkap tandanya Awan 'kan menjadi saksi Bertemunya dua hati" Terdengar tawa lirih. Namun, seperti ada nada luka pada tawanya itu. Jaka yang berhati halus
Sepasang siluman itu melayang keluar dari gerbang Negeri Bunga Persik. Mereka berkelana mencari raga baru untuk memulai rencana baru.Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara duduk berdua di tepi danau. Mereka lupa sekeliling sampai malam sudah semakin larut. Mereka tidak menyadari kalau aura di sekitarnya sudah berubah.Hawa dingin malah semakin membuat mereka bertambah dekat. Tidak menyadari bahaya mengintai. Mereka malah melakukan hubungan terlarang.Kedua Iblis itu semakin mengipasi mereka dengan hawa dingin. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat sepasang manusia tersebut. Keduanya menunggu waktu yang tepat untuk menukar raga.Rupanya lelaki dari pasangan itu lama-lama sadar ada sesuatu yang mengganggunya. Ia sedikit paham dengan ilmu kanuragan. Ada aura yang semakin dingin berada di sekitarnya."Keluar, kau!" teriak lelaki itu."Hahaha hahaha hahaha hahaha." Hanya suara tawa yang menjawabnya."Sebaiknya kau menye