"Itu bukan iblis yang kita cari," kata Wisaka sambil menggeleng.
"Kalau bukan, siapakah dia?" tanya Faruq.
Wisaka terdiam sejenak, dia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada Faruq tentang yang dilihatnya ketika perjalanan dalam ilmu Lorong Waktu. "Nanti saatnya aku kasih tahu." Akhirnya Wisaka berkilah.
"Jelaskan sekarang," rengek Faruq. "Kita samperin gak, itu makhluk?" tanya Faruq lagi.
"Tidak usah, ada waktunya nanti kita balik ke sini," ujar Wisaka lagi. "Ayo berangkat, keburu malam kita harus mencari tempat bermalam," lanjut Wisaka.
Setengah berlari Faruq mengikuti langkah Wisaka yang lebar-lebar. Mereka bergegas sebab hari menjelang malam. Ekor Onet terayun-ayun di atas pundak Faruq.
Dengan pedang pusaka Naga Api, Wisaka membabat pohon dan menjadikannya pondok sederhana untuk menginap malam ini. Faruq mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Onet memanjat pohon yang sedang berbuah, dan melemparnya ke arah Faru
Wisaka memandang nanar orang yang baru datang. Dia yakin sekali bahwa itu adalah Pak Amir. Wisaka ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Pak Amir kepada Faruq. Faruq kaget melihat kemunculan Pak Amir. Laki-laki tambun itu mengira yang bersuit tadi adalah Wisaka. Faruq memperhatikan orang di depannya itu. Dilihat dari gelagatnya dia tahu laki-laki di depannya itu tidak bermaksud baik. Tanpa melihat mukanya Faruq tahu kalau umur orang asing itu sudah tua. "Orang tua, mengapa kau menghalangi jalanku, singkirkan tanganmu yang keriput itu!" seru Faruq. "Hahaha ... hahaha, ini adalah hutan kekuasaanku, tidak ada yang terjadi di sini tanpa sepengetahuanku," ujarnya sambil bertolak pinggang. 'Maksudnya apa hutan kekuasaannya?" pikir Wisaka. "Memang kau seorang raja hutan, he he he?" tanya Faruq. Rupanya pikiran Faruq sama dengan pikiran Wisaka. "Kau orang asing, banyak ngoceh!" teriak Pak Amir marah. "Eit ... eit, mengapa marah-marah
Faruq tersadar dari hipnotis Pak Amir. Dia tergagap-gagap begitu melihat Wisaka, kemudian menunjuk ke depannya. "Iiitu ... Kang, orangnya!" seru Faruq panik. "Siapa?" tanya Wisaka sambil melihat kiri-kanan. Tidak ada siapa pun, tetapi kemudian ingat kalau Faruq baru pulih dari pengaruh makhluk terkutuk itu. "Iblis yang ada di gambar itu, Kakang dari mana saja?" tanya Faruq. "Sudah kabur, ayo cepat, kita harus secepatnya sampai di kampung, aku khawatir dia akan mencari korban lainnya," ajak Wisaka sambil melesat lari. "Ayo!" seru Faruq sambil berlari mengejar Wisaka. Mereka berlari tanpa henti, kalau bisa malam ini juga Wisaka ingin mencapai tempat tujuan. Wisaka dan Faruq berlari secepat mereka bisa. Mereka terlihat seperti kelebatan hantu di siang bolong. Tiba-tiba Faruq dan Wisaka terjatuh seperti menghantam satu benteng pertahanan di depan. Wisaka yang sedang berlari kencang tidak menyadari rintangan di depan. Dia dan Faruq
"Baiklah, waktu itu aku di goa sedang bersemedi. Aku bertemu dengan roh Eyang Astamaya, beliau mengajariku jurus-jurus yang ada di dinding goa. Entah darimana asalnya tiba-tiba seorang wanita berjuluk Dewi Kematian datang menghampiri. Wanita itu begitu marah, karena jurus-jurus yang diciptakannya beserta Eyang Astamaya, berpuluh tahun yang lalu diturunkan kepadaku tanpa izinnya." "Bukankah mereka sudah tenang di alam sana?" tanya Faruq. "Entahlah, aku juga tidak mengerti. Ayo kita cari tempat menginap malam ini," ajak Wisaka. Malam itu mereka terpaksa menginap lagi di hutan, karena untuk mencapai kampung masih diperlukan waktu setengah hari penuh. Besok sore, kalau tidak ada yang menghadang, Wisaka bisa sampai di desanya. Seperti biasa Faruq menyalakan api unggun. Untuk mengusir nyamuk serta dinginnya malam. "Mudah-mudahan bisa juga buat mengusir hantu," celetuk Faruq. Rupanya dia merasa trauma dengan malam-malam sebelumnya yang berurusan terus
Wisaka melongok ke dalam rumah. Faruq semakin penasaran, rumah siapakah ini sebenarnya? Mengapa Wisaka sampai ngintip-ngintip segala. Akhirnya Faruq ikut-ikutan melongok-longok ke dalam rumah sambil kebingungan. Gelap di dalam rumah, tidak ada tanda-tanda dari penghuninya. Wisaka pergi ke arah belakang rumah. Sama tidak nampak orang, hanya beberapa ayam piaraan Pak Amir di sana. Wisaka balik lagi, kembali memandangi rumah. Faruq semakin heran dan penasaran. "Rumah siapa sih, Kang?" tanya Faruq lagi. "Rumah Pak Amir," jawab Wisaka datar. "Ya--ya--yang kemarin menghipnotis aku itu?" Faruq tergagap-gagap, terkesiap dan bertambah penasaran. "Iya, rupanya dia tidak pulang ke sini kemarin," jawab Wisaka. Pemuda itu bersiap meninggalkan tempat. "Ayo!" ajaknya. Wisaka dan Faruq melanjutkan perjalanan menuju rumah. Mereka bergegas karena hari semakin gelap. "Wisaka, ya?" Tiba-tiba seseorang memukul bahu Wisaka. Ia memperhatikan Wisaka d
"Cempaka, keluarlah, Nak," suruh Abahnya. Cempaka makin bingung, dia yang merasa malu dengan keadaan dirinya kini, mau nekat pergi. Namun, dirinya merasa bingung karena tidak pernah pergi keluar kampung sendiri. Akhirnya hanya berdiri mematung di depan jendela. Bapaknya Cempaka merasa curiga karena lama sekali Cempaka tidak keluar. Akhirnya menyusul anaknya ke kamar. "Ya Allah, apa yang kau lakukan, Nak?!" teriaknya. Demi mendengar teriakkan bapaknya Cempaka, semua orang memburu masuk ke kamar Cempaka. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Cempaka, kamu mau ke mana?" tanya Wisaka. "Ini aku sudah kembali," sambungnya lagi. Abah memapah Cempaka dari pinggir jendela. Sekilas gadis itu memandang Wisaka, kemudian tertunduk. Matanya terlihat sendu dan basah. Badannya yang dulu berisi sekarang kurus. "Cempaka, apa yang terjadi? ceritakan padaku," suruh Wisaka. Cempaka yang duduk di pinggir tempat tidur, hanya menunduk sambil m
Warga yang marah mengamuk dengan membakar rumah Pak Amir. Seandainya Pak Amir ada, tentu dia tidak akan kebagian nyawa lagi. Mungkin tubuhnya akan ikut terbakar bersama rumahnya. "Tambahkan lagi obornya!" "Bakar ... bakar!" Sampai larut malam warga melampiaskan kemarahannya dengan menunggui rumah Pak Amir sampai ludes terbakar, hancur menjadi abu. Kalau warga sudah marah memang tidak ada yang sanggup mencegah. Pak RT saja hanya bisa memandang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau teringat dan melihat korban dulu tewas, memang begitu mengenaskan. Tubuh menghitam, kering tanpa darah tersisa di tubuh. Pengantin perempuan walau tidak mati, jiwanya kosong. Cempaka, korban terakhir dia menjadi bisu. Pantas saja sekarang warga membalaskan dendam, atas kematian-kematian penduduk kampung. Menjelang pagi, rumah itu benar-benar tinggal puing-puing arang, penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggal Wisaka, Faruq dan Usman yang masih tinggal
"Tunggu ... tunggu, manusia laknat!" seru Wisaka berulang-ulang. Sayang, Wisaka kalah cepat, bayangan kuning tersebut sudah tidak nampak lagi. Wisaka bingung harus mengejar ke mana lagi. Dia terduduk di tanah saking putus asanya. Segera Wisaka bersedekap melihat dengan ilmu Lorong Waktu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Wisaka hanya melihat Cempaka dipanggul orang berpakaian serba kuning dan bercadar kuning pula. "Tunggu ... tunggu, sepertinya aku pernah melihat orang itu, tapi di mana?" gumamnya. "Siapa, Kang?" tanya Faruq tiba-tiba. Rupanya lelaki sudah sampai ke tempat Wisaka saat tadi tertinggal. "Orang bercadar kuning," jawab Faruq. "Dia bukannya orang yang berseteru dengan kuntilanak terakhir yang kita temui di hutan. Wanita bercadar kuning berlari mengejarnya, kan?" "Ya, aku ingat sekarang!" seru Wisaka. Dia menepuk jidatnya dengan keras. "Mengapa aku bisa lupa?" "Cempaka dibawa ke mana, Kang?" tanya Faruq.
Usman semakin asik dengan perempuan yang dia kira Ningsih. Andai saja dia tahu, tidak jauh dari tempat mereka bergumul. Dua orang gadis dan laki-laki melakukan hal yang sama. Laki-laki itu memeluk Ningsih dengan begitu erat. Gadis itu megap-megap kehabisan napas. Pemuda asing itu merobek baju Ningsih dan melahap tubuhnya yang kencang. Ningsih masih berontak melakukan perlawanan. Dadanya terasa sakit karena hisapan-hisapan kasar yang dilakukan manusia laknat itu. Manusia itu begitu bernafsu, sehingga dia melupakan sesuatu terhadap Ningsih. Laki-laki itu lupa menghipnotis Ningsih. Kini, gadis ayu itu sudah setengah telanjang. Lelaki itu semakin buas melihat kemolekan tubuh Ningsih. dia berusaha membuat gadis itu menyerah. Akan tetapi Ningsih tidak putus asa melawan, walau baju sudah robek sana-sini. Plaak. Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ningsih. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mata merah milik pemuda itu melotot memandangi darah sega