"Baiklah, waktu itu aku di goa sedang bersemedi. Aku bertemu dengan roh Eyang Astamaya, beliau mengajariku jurus-jurus yang ada di dinding goa. Entah darimana asalnya tiba-tiba seorang wanita berjuluk Dewi Kematian datang menghampiri. Wanita itu begitu marah, karena jurus-jurus yang diciptakannya beserta Eyang Astamaya, berpuluh tahun yang lalu diturunkan kepadaku tanpa izinnya."
"Bukankah mereka sudah tenang di alam sana?" tanya Faruq.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Ayo kita cari tempat menginap malam ini," ajak Wisaka.
Malam itu mereka terpaksa menginap lagi di hutan, karena untuk mencapai kampung masih diperlukan waktu setengah hari penuh. Besok sore, kalau tidak ada yang menghadang, Wisaka bisa sampai di desanya. Seperti biasa Faruq menyalakan api unggun. Untuk mengusir nyamuk serta dinginnya malam.
"Mudah-mudahan bisa juga buat mengusir hantu," celetuk Faruq. Rupanya dia merasa trauma dengan malam-malam sebelumnya yang berurusan terus
Wisaka melongok ke dalam rumah. Faruq semakin penasaran, rumah siapakah ini sebenarnya? Mengapa Wisaka sampai ngintip-ngintip segala. Akhirnya Faruq ikut-ikutan melongok-longok ke dalam rumah sambil kebingungan. Gelap di dalam rumah, tidak ada tanda-tanda dari penghuninya. Wisaka pergi ke arah belakang rumah. Sama tidak nampak orang, hanya beberapa ayam piaraan Pak Amir di sana. Wisaka balik lagi, kembali memandangi rumah. Faruq semakin heran dan penasaran. "Rumah siapa sih, Kang?" tanya Faruq lagi. "Rumah Pak Amir," jawab Wisaka datar. "Ya--ya--yang kemarin menghipnotis aku itu?" Faruq tergagap-gagap, terkesiap dan bertambah penasaran. "Iya, rupanya dia tidak pulang ke sini kemarin," jawab Wisaka. Pemuda itu bersiap meninggalkan tempat. "Ayo!" ajaknya. Wisaka dan Faruq melanjutkan perjalanan menuju rumah. Mereka bergegas karena hari semakin gelap. "Wisaka, ya?" Tiba-tiba seseorang memukul bahu Wisaka. Ia memperhatikan Wisaka d
"Cempaka, keluarlah, Nak," suruh Abahnya. Cempaka makin bingung, dia yang merasa malu dengan keadaan dirinya kini, mau nekat pergi. Namun, dirinya merasa bingung karena tidak pernah pergi keluar kampung sendiri. Akhirnya hanya berdiri mematung di depan jendela. Bapaknya Cempaka merasa curiga karena lama sekali Cempaka tidak keluar. Akhirnya menyusul anaknya ke kamar. "Ya Allah, apa yang kau lakukan, Nak?!" teriaknya. Demi mendengar teriakkan bapaknya Cempaka, semua orang memburu masuk ke kamar Cempaka. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Cempaka, kamu mau ke mana?" tanya Wisaka. "Ini aku sudah kembali," sambungnya lagi. Abah memapah Cempaka dari pinggir jendela. Sekilas gadis itu memandang Wisaka, kemudian tertunduk. Matanya terlihat sendu dan basah. Badannya yang dulu berisi sekarang kurus. "Cempaka, apa yang terjadi? ceritakan padaku," suruh Wisaka. Cempaka yang duduk di pinggir tempat tidur, hanya menunduk sambil m
Warga yang marah mengamuk dengan membakar rumah Pak Amir. Seandainya Pak Amir ada, tentu dia tidak akan kebagian nyawa lagi. Mungkin tubuhnya akan ikut terbakar bersama rumahnya. "Tambahkan lagi obornya!" "Bakar ... bakar!" Sampai larut malam warga melampiaskan kemarahannya dengan menunggui rumah Pak Amir sampai ludes terbakar, hancur menjadi abu. Kalau warga sudah marah memang tidak ada yang sanggup mencegah. Pak RT saja hanya bisa memandang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau teringat dan melihat korban dulu tewas, memang begitu mengenaskan. Tubuh menghitam, kering tanpa darah tersisa di tubuh. Pengantin perempuan walau tidak mati, jiwanya kosong. Cempaka, korban terakhir dia menjadi bisu. Pantas saja sekarang warga membalaskan dendam, atas kematian-kematian penduduk kampung. Menjelang pagi, rumah itu benar-benar tinggal puing-puing arang, penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggal Wisaka, Faruq dan Usman yang masih tinggal
"Tunggu ... tunggu, manusia laknat!" seru Wisaka berulang-ulang. Sayang, Wisaka kalah cepat, bayangan kuning tersebut sudah tidak nampak lagi. Wisaka bingung harus mengejar ke mana lagi. Dia terduduk di tanah saking putus asanya. Segera Wisaka bersedekap melihat dengan ilmu Lorong Waktu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Wisaka hanya melihat Cempaka dipanggul orang berpakaian serba kuning dan bercadar kuning pula. "Tunggu ... tunggu, sepertinya aku pernah melihat orang itu, tapi di mana?" gumamnya. "Siapa, Kang?" tanya Faruq tiba-tiba. Rupanya lelaki sudah sampai ke tempat Wisaka saat tadi tertinggal. "Orang bercadar kuning," jawab Faruq. "Dia bukannya orang yang berseteru dengan kuntilanak terakhir yang kita temui di hutan. Wanita bercadar kuning berlari mengejarnya, kan?" "Ya, aku ingat sekarang!" seru Wisaka. Dia menepuk jidatnya dengan keras. "Mengapa aku bisa lupa?" "Cempaka dibawa ke mana, Kang?" tanya Faruq.
Usman semakin asik dengan perempuan yang dia kira Ningsih. Andai saja dia tahu, tidak jauh dari tempat mereka bergumul. Dua orang gadis dan laki-laki melakukan hal yang sama. Laki-laki itu memeluk Ningsih dengan begitu erat. Gadis itu megap-megap kehabisan napas. Pemuda asing itu merobek baju Ningsih dan melahap tubuhnya yang kencang. Ningsih masih berontak melakukan perlawanan. Dadanya terasa sakit karena hisapan-hisapan kasar yang dilakukan manusia laknat itu. Manusia itu begitu bernafsu, sehingga dia melupakan sesuatu terhadap Ningsih. Laki-laki itu lupa menghipnotis Ningsih. Kini, gadis ayu itu sudah setengah telanjang. Lelaki itu semakin buas melihat kemolekan tubuh Ningsih. dia berusaha membuat gadis itu menyerah. Akan tetapi Ningsih tidak putus asa melawan, walau baju sudah robek sana-sini. Plaak. Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ningsih. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mata merah milik pemuda itu melotot memandangi darah sega
Laki-laki itu memeluk Ningsih dengan begitu erat. Gadis itu megap-megap kehabisan napas. Pemuda asing itu merobek baju Ningsih dan melahap dadanya yang kencang.Ningsih masih berontak melakukan perlawanan. Dadanya terasa sakit karena hisapan-hisapan kasar yang dilakukan manusia laknat itu. Manusia itu begitu bernafsu, sehingga ia melupakan sesuatu terhadap Ningsih. Laki-laki itu lupa menghipnotis Ningsih.Kini, gadis ayu itu sudah setengah telanjang. Lelaki itu semakin buas melihat kemolekan tubuh Ningsih. Ia berusaha membuat gadis itu menyerah. Akan tetapi Ningsih tidak putus asa melawan, walau baju sudah robek sana-sini.Plaak.Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ningsih. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mata merah milik pemuda itu melotot memandangi darah segar yang mengalir dari bibir Ningsih. Dengan jarinya pemuda itu mengusapnya, kemudian menjilati darah tersebut. Ningsih dapat melihat lidah itu kecil dan bercabang.'Itu lidah ular,' pi
Terlihat oleh Wisaka Faruq membantunya menghantam perempuan jadi-jadian tersebut. Binatang itu menyeringai buas, ia berjalan cepat mendekati Faruq. Faruq mundur, tetapi binatang itu tetap saja merangsek maju. Tiba-tiba mahluk itu menjambak baju Faruq dan mengangkatnya. Tubuhnya yang tambun nampak begitu enteng berada di tangannya. Pemuda itu menjadi mainan, makhluk itu memutar-mutar badan Faruq. Ia menampakkan giginya yang kecil-kecil dan runcing. Bruuuk. Dilemparkan tubuh tambun itu ke depan Wisaka. Wisaka cepat memburu, bermaksud hendak menolong. Di saat Wisaka lengah, Iprit itu cepat melarikan diri. "Pergi ... pergi, Kang, cepat susul dia, jangan sampai lolos!" teriak Faruq. Pemuda itu berusaha bangun walau pinggangnya terasa patah. Wisaka menoleh, benar saja Iprit itu sudah lari menjauh. Wisaka berbalik mengejarnya, dia membiarkan Faruq kali ini. Wisaka mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyusul binatang itu. Iblis itu berlari menuju
Wisaka berteriak marah kepada Faruq yang baru datang. Tentu saja Faruq heran, bukankah Pak Amir sekutu iblis itu. "Dia Iprit juga, kan?" tanya Faruq. Pemuda itu memandang Wisaka dan Pak Amir meminta jawaban. Wisaka melemparkan pandangan ke arah Pak Amir, menatap tajam seolah-olah sama meminta penjelasan. Pak Amir maklum akan hal itu. Dengan terhuyung-huyung dia bangkit. "Ayo kita bakar dulu jasad Iprit betina ini," ajak Pak Amir. Wisaka, Barshi yang sudah menjelma menjadi manusia kembali, serta Awang yang masih berwujud binatang, Faruq dan Pak Amir, terlihat bahu membahu mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyulutnya dibawah jasad makhluk jadi-jadian tersebut. Api berkobar demikian hebat, mengubah jasad itu menjadi seonggok abu yang tidak berharga. Bau sangit memenuhi ruangan itu. Mereka semua akhirnya keluar dari goa, setelah yakin jasad itu telah terbakar. Fajar di ufuk timur mulai menyingsing, menghadirkan rona kemerahan