Warga yang marah mengamuk dengan membakar rumah Pak Amir. Seandainya Pak Amir ada, tentu dia tidak akan kebagian nyawa lagi. Mungkin tubuhnya akan ikut terbakar bersama rumahnya.
"Tambahkan lagi obornya!"
"Bakar ... bakar!"
Sampai larut malam warga melampiaskan kemarahannya dengan menunggui rumah Pak Amir sampai ludes terbakar, hancur menjadi abu.
Kalau warga sudah marah memang tidak ada yang sanggup mencegah. Pak RT saja hanya bisa memandang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau teringat dan melihat korban dulu tewas, memang begitu mengenaskan. Tubuh menghitam, kering tanpa darah tersisa di tubuh. Pengantin perempuan walau tidak mati, jiwanya kosong. Cempaka, korban terakhir dia menjadi bisu. Pantas saja sekarang warga membalaskan dendam, atas kematian-kematian penduduk kampung.
Menjelang pagi, rumah itu benar-benar tinggal puing-puing arang, penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggal Wisaka, Faruq dan Usman yang masih tinggal
"Tunggu ... tunggu, manusia laknat!" seru Wisaka berulang-ulang. Sayang, Wisaka kalah cepat, bayangan kuning tersebut sudah tidak nampak lagi. Wisaka bingung harus mengejar ke mana lagi. Dia terduduk di tanah saking putus asanya. Segera Wisaka bersedekap melihat dengan ilmu Lorong Waktu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Wisaka hanya melihat Cempaka dipanggul orang berpakaian serba kuning dan bercadar kuning pula. "Tunggu ... tunggu, sepertinya aku pernah melihat orang itu, tapi di mana?" gumamnya. "Siapa, Kang?" tanya Faruq tiba-tiba. Rupanya lelaki sudah sampai ke tempat Wisaka saat tadi tertinggal. "Orang bercadar kuning," jawab Faruq. "Dia bukannya orang yang berseteru dengan kuntilanak terakhir yang kita temui di hutan. Wanita bercadar kuning berlari mengejarnya, kan?" "Ya, aku ingat sekarang!" seru Wisaka. Dia menepuk jidatnya dengan keras. "Mengapa aku bisa lupa?" "Cempaka dibawa ke mana, Kang?" tanya Faruq.
Usman semakin asik dengan perempuan yang dia kira Ningsih. Andai saja dia tahu, tidak jauh dari tempat mereka bergumul. Dua orang gadis dan laki-laki melakukan hal yang sama. Laki-laki itu memeluk Ningsih dengan begitu erat. Gadis itu megap-megap kehabisan napas. Pemuda asing itu merobek baju Ningsih dan melahap tubuhnya yang kencang. Ningsih masih berontak melakukan perlawanan. Dadanya terasa sakit karena hisapan-hisapan kasar yang dilakukan manusia laknat itu. Manusia itu begitu bernafsu, sehingga dia melupakan sesuatu terhadap Ningsih. Laki-laki itu lupa menghipnotis Ningsih. Kini, gadis ayu itu sudah setengah telanjang. Lelaki itu semakin buas melihat kemolekan tubuh Ningsih. dia berusaha membuat gadis itu menyerah. Akan tetapi Ningsih tidak putus asa melawan, walau baju sudah robek sana-sini. Plaak. Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ningsih. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mata merah milik pemuda itu melotot memandangi darah sega
Laki-laki itu memeluk Ningsih dengan begitu erat. Gadis itu megap-megap kehabisan napas. Pemuda asing itu merobek baju Ningsih dan melahap dadanya yang kencang.Ningsih masih berontak melakukan perlawanan. Dadanya terasa sakit karena hisapan-hisapan kasar yang dilakukan manusia laknat itu. Manusia itu begitu bernafsu, sehingga ia melupakan sesuatu terhadap Ningsih. Laki-laki itu lupa menghipnotis Ningsih.Kini, gadis ayu itu sudah setengah telanjang. Lelaki itu semakin buas melihat kemolekan tubuh Ningsih. Ia berusaha membuat gadis itu menyerah. Akan tetapi Ningsih tidak putus asa melawan, walau baju sudah robek sana-sini.Plaak.Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ningsih. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mata merah milik pemuda itu melotot memandangi darah segar yang mengalir dari bibir Ningsih. Dengan jarinya pemuda itu mengusapnya, kemudian menjilati darah tersebut. Ningsih dapat melihat lidah itu kecil dan bercabang.'Itu lidah ular,' pi
Terlihat oleh Wisaka Faruq membantunya menghantam perempuan jadi-jadian tersebut. Binatang itu menyeringai buas, ia berjalan cepat mendekati Faruq. Faruq mundur, tetapi binatang itu tetap saja merangsek maju. Tiba-tiba mahluk itu menjambak baju Faruq dan mengangkatnya. Tubuhnya yang tambun nampak begitu enteng berada di tangannya. Pemuda itu menjadi mainan, makhluk itu memutar-mutar badan Faruq. Ia menampakkan giginya yang kecil-kecil dan runcing. Bruuuk. Dilemparkan tubuh tambun itu ke depan Wisaka. Wisaka cepat memburu, bermaksud hendak menolong. Di saat Wisaka lengah, Iprit itu cepat melarikan diri. "Pergi ... pergi, Kang, cepat susul dia, jangan sampai lolos!" teriak Faruq. Pemuda itu berusaha bangun walau pinggangnya terasa patah. Wisaka menoleh, benar saja Iprit itu sudah lari menjauh. Wisaka berbalik mengejarnya, dia membiarkan Faruq kali ini. Wisaka mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyusul binatang itu. Iblis itu berlari menuju
Wisaka berteriak marah kepada Faruq yang baru datang. Tentu saja Faruq heran, bukankah Pak Amir sekutu iblis itu. "Dia Iprit juga, kan?" tanya Faruq. Pemuda itu memandang Wisaka dan Pak Amir meminta jawaban. Wisaka melemparkan pandangan ke arah Pak Amir, menatap tajam seolah-olah sama meminta penjelasan. Pak Amir maklum akan hal itu. Dengan terhuyung-huyung dia bangkit. "Ayo kita bakar dulu jasad Iprit betina ini," ajak Pak Amir. Wisaka, Barshi yang sudah menjelma menjadi manusia kembali, serta Awang yang masih berwujud binatang, Faruq dan Pak Amir, terlihat bahu membahu mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyulutnya dibawah jasad makhluk jadi-jadian tersebut. Api berkobar demikian hebat, mengubah jasad itu menjadi seonggok abu yang tidak berharga. Bau sangit memenuhi ruangan itu. Mereka semua akhirnya keluar dari goa, setelah yakin jasad itu telah terbakar. Fajar di ufuk timur mulai menyingsing, menghadirkan rona kemerahan
"Dia ... dia ... berhasil melarikan diri," kata Wisaka. "Apa!" seru warga berbarengan. Wajah-wajah cemas terlihat dari mereka yang hadir. Muka mereka berubah pucat. Refleks mereka melihat kiri-kanan sembari badan tiba-tiba merinding. "Iya, iblis laki-laki itu berhasil melarikan diri, tapi iblis betina sudah berhasil aku jadikan abu. Kalian tenang! Semua masalah pasti selesai," kata Wisaka kepada warga. Sesungguhnya Wisaka juga gundah dengan masalah yang muncul bertubi-tubi. Cempaka diculik, Iprit laki-laki berhasil kabur, Pak Amir serta Awang dan Barshi. Akan tetapi semua kerisauannya tidak ditunjukkan, khawatir mereka semakin cemas. Menjelang tengah hari pemakaman selesai. Ningsih yang berhasil melarikan diri dari sergapan manusia biadab itu, menangis meraung-raung meratapi kematian calon suaminya. Beruntung nasibnya tidak seperti Sulastri ataupun Cempaka. Gadis tersebut tidak sempat terkena ilmu gendam dari Iprit yang menyamar. Ningsih masih
Iblis itu tertawa melihat mata Rima yang semakin sayu. Sesaat lelaki itu mempermainkannya. Gadis itu semakin kewalahan dengan hasratnya sendiri. "Kau sudah siap, Gadisku?" Sekali lagi Iblis Lembah Perawan itu bertanya nakal kepada gadis di depannya. Gadis muda itu ingin sekali menganggukkan kepala tanda setuju. Namun rasa malunya lebih besar, membuat dia mengurungkan niatnya. Lelaki itu semakin membakar gairahnya. Dia menelusuri setiap inci tubuh gadis cantik itu. Rima semakin tak kuasa menahan hasratnya. "Iya ... iya," katanya. Semburat merah muda kembali membayang di pipi halusnya. Napasnya memburu, terengah-engah karena desakan nafsunya sendiri. Begitu mendengar kata-kata dari perawan itu, tidak secepatnya lelaki itu mengambil posisi di atas. Dirinya masih ingin wanita itu mengemis-ngemis kepadanya. Kembali Iblis itu menjamah badan mulus tersebut. Dipermainkan begitu rupa, gadis itu semakin tenggelam dalam sensasi yang luar biasa. Napasnya
Sapto ditarik oleh arwah Rima. Rima menyeret Sapto kembali ke gua. Lelaki itu terjengkang ke belakang, mundur seolah-olah binatang yang diikat penggembala. Rima mempermainkan Sapto untuk membalaskan kesumatnya. "Hihihi hihihi hihihi, Sapto ... Saptoo." Lirih Rima memanggil-manggil nama lelaki muda tersebut. Suara dingin yang mengandung magic tersebut mampu meremangkan bulu kuduk Sapto. Setelah Rima menjadi arwah tentu saja lebih menakutkan daripada Rima yang masih hidup. Entah siapa kini yang bersemayam di tubuhnya Rima. Arwah gadis itu kini mempunyai ilmu yang membuatnya takluk. "Jangan ... jangan," kata Sapto. "Diam! Nikmati permainanku kali ini," kata arwah Rima dengan muka dingin. Wajah Sapto pucat pasi, badannya bergetar karena ketakutan. Dia membayangkan dirinya akan menjadi bulan-bulanan arwah Rima. Tulangnya akan hancur terpatah-patah. "Hihihi hihihi hihihi hihihi ...." Ting. Saat arwah Rima mengacungkan