Wisaka merasa ada seseorang yang membuntutinya, bahkan mungkin beberapa orang. Wisaka tidak tahu apakah itu manusia atau bukan. Namun, Wisaka bisa mendeteksi kehadirannya. Hari menjelang sore kala itu.
Wisaka, Faruq dan Onet meneruskan perjalanan mereka. Faruq mengikat kaki ayam hutan hasil buruannya tadi, kemudian mengempitnya di ketidak. Wisaka semakin yakin kalau yang membuntuti itu berada tepat di belakangnya kini. Wisaka memalingkan muka dengan cepat, dan berhasil melihat sesuatu berkelebat ke balik pohon. Wisaka menyusulnya ke balik pohon.
"Keluar! Mengapa kau membuntuti kami?" tanya Wisaka sambil membentak.
Dua sosok manusia yang aneh bentuk mukanya menyeringai. Mungkin juga maksudnya tersenyum saat keluar dari persembunyiannya. Aneh, karena matanya terlalu lebar untuk muka yang kecil dan mengerucut. Gigi-giginya besar sekali, tampak saat ia menyeringai.
"Mengapa kau membuntutiku?" ulang Wisaka.
"Aku hanya ingin minta ayam itu, kami aka
"Sepertinya, ini bukan hutan saat kita bertemu dengan orang asing yang minta ayam itu," kata Wisaka. Faruq memandang sekeliling, nampak dia juga heran dengan lingkungan sekitar. Mereka seperti berada di sebuah kampung. Tak jauh dari situ ada beberapa rumah penduduk diterangi lampu teplok. Sayup-sayup terdengar seperti ada suara keramaian di kejauhan. "Apakah ini masih kampung yang tadi, ya? Itu terdengar suara ramai-ramai dari sebelah sana," tanya Faruq sambil menunjuk ke depan. "Entahlah, kita tidak boleh gegabah lagi, ini bukannya sudah tengah malam, ya, kok orang-orang tidak tidur?" Jawaban Wisaka diakhiri pertanyaan dari rasa herannya. Suara-suara itu semakin ramai, seperti orang yang bersukacita karena mendapatkan sesuatu. Wisaka dan Faruq tergoda juga hatinya untuk melihat, ada apa sesungguhnya? Mereka berjalan menghampiri suara ramai itu. Diam-diam mereka mengintip dari celah pepohonan yang terlindung dari sinar bulan. Nampak oleh merek
Wisaka memperhatikan dan bertanya kepada dirinya sendiri. Mereka dengan cepat mendapat padi berkarung-karung dan yang aneh panen di malam hari. Wisaka yang keheranan tetap mengintip para penduduk itu. Penduduk kegirangan, mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Mereka menyimpan padinya di lumbung. Setelah semua rapi, mereka masuk kembali ke dalam rumah. Perkampungan kembali sepi. Setelah semua sepi Wisaka mencoba keluar. Dia berniat mengintip salah satu rumah penduduk. Wisaka curiga mereka bukan manusia. Akan tetapi Wisaka tidak punya bukti juga kalau mereka itu siluman. Pemuda itu berjalan di kesunyian malam. Dirinya merasa beberapa pasang mata mengawasi dari kegelapan. Wisaka membalikkan badannya, ternyata hanya beberapa ekor tikus yang memperhatikannya. "Duh, kamu ya tikus, bikin hati deg-degan saja, kirain ada orang yang mengikuti," kata Wisaka kepada tikus yang melihat kepadanya. Wisaka berjingkat-jingkat menghampiri sebuah rumah
Wisaka mengelabui hantu tersebut. "Ini!" Wisaka memberikan sesuatu. Hantu itu mengulurkan tangannya, kemudian memasukan benda tersebut ke mulutnya, sejenak dia terdiam, nampak dia memegangi perutnya. Hoek ... hoek. Hantu itu seperti mau memuntahkan sesuatu. Dia merasa perutnya melilit karena dirinya terbungkuk-bungkuk memegangnya. Dia kemudian terbang meninggalkan mereka. "Akhirnya ...." Bibir Wisaka tersenyum melihat hantu itu terbang. Faruq heran melihatnya, kok tiba-tiba hantu itu mau pergi. Apa yang diberikan oleh Wisaka? "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq. Wisaka tertawa, dia tidak menjawab. Faruq merasa penasaran dengan sikap Wisaka. Tumben, Wisaka melakukan satu kejahilan. "Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq sekali lagi. Dia benar-benar merasa penasaran dengan apa yang diberikan Wisaka. Wisaka tertawa lagi, entah apa yang merasukinya, mungkin karena kesal tidak pergi juga itu hantu.
"Bangun ... bangun, Kang," kata Faruq sambil mengguncangkan tubuh Wisaka. Rupanya dia terbangun karena teriakan Wisaka. "Ada apa teriak-teriak?" sambungnya. "Aku mimpi, Mayang diculik orang," ujar Wisaka saat terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur di dahinya, napasnya tersengal-sengal. "Mayang siapa?" tanya Faruq. Perasaan baru kali ini Faruq mendengar nama itu. "Anakku," jawab Wisaka singkat. "Ooh." Faruq tidak banyak bertanya lagi. "Dia diculik," cetus Wisaka setelah lama terdiam. "Ada orang berpakaian serba kuning dan bercadar tiba-tiba menyambarnya," jelasnya. Faruq hanya diam mendengarkan, dirinya bingung harus bicara apa, dia tidak mengenal Mayang, apalagi orang bercadar itu. Wisaka juga ikut terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu kemudian bangkit lalu bersedekap dan memejamkan matanya mencoba bertelepati dengan Leli, istrinya. Wisaka bisa mendengar Leli bicara, dan mendengar suara-suara k
Wisaka dan Faruq berpandangan. Wisaka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kyai Abdullah tentang 'siapa Amir' Wisaka ingat bagaimana Pak Amir melawan Ifrit, bagaimana penduduk menuduh Pak Amir, bagaimana dia begitu gigih menjelaskan tentang dirinya. "Lho, Pak Amir bukannya murid Kakek, ya?" tanya Wisaka hati-hati. "Aku tidak punya murid yang bernama Amir," kata Kyai Abdullah. "Mengapa dia bisa tahu tentang Kakek?" tanya Wisaka. "Entahlah, nanti aku cari tahu," kata Kyai Abdullah. Wisaka tidak habis pikir siapa sesungguhnya Pak Amir itu? Bisa tahu Iprit juga tahu Awang dan Barshi tidak pernah sampai ke tempat Kyai Abdullah. Serta menyuruh Wisaka untuk datang ke sini. "Sudahlah tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu mandi dan beristirahat, kosongkan pikiran dan bersiap untuk menerima apa yang aku ajarkan," suruh Kyai Abdullah. "Setelah mandi, nanti kamu bersemedi di sana." Kyai Abdullah menunjuk sebuah batu besar di bawah pohon.
Orang itu memakai baju hitam dengan celana panjang komprang. Ikat kepala serta penutup muka serba hitam. Pinggangnya diikat ban hitam juga, sepertinya terselip satu senjata berupa pedang di sana. Ia celingukan dengan muka kesal. Terlihat dari sorot matanya yang memandang tajam ke segala arah. Mencari-cari orang yang telah melemparkan buah kepadanya. Wisaka tertawa geli, suruh siapa ia mengerjai dirinya tadi. Giliran dibalas mencak-mencak marah. Wisaka masih menikmati pemandangan itu dari atas pohon. Hup. Wisaka melompat ke bawah, tahu-tahu sudah berdiri di belakang orang yang membuntutinya. Si baju hitam itu belum menyadarinya, malah berteriak-teriak kepada orang yang mengganggunya, suruh menampakkan diri. "Aku di sini, Kisanak," kata Wisaka. Orang itu sampai terlonjak saking kagetnya. Ia bersalto dan bersiaga, menatap marah dengan matanya yang tajam. "Siapa, kau?" tanyanya. "Terbalik, aku yang seha
Wisaka teringat kembali dengan mimpinya, ah ... apa memang itu bisa disebut mimpi. Rasanya seperti nyata. Apalagi kini semua ada di depan matanya. "Cahaya merah itu, apakah ... apak--" Wisaka tidak meneruskan gumamannya. Sinar merah di ujung goa itu semakin mencorong. Wisaka dengan ragu-ragu mendekatinya. Benarkah seperti yang ada dalam penglihatan dalam semedinya bahwa sinar merah menyala itu adalah sepasang mata naga? Wisaka tidak berani terlalu dekat untuk memastikan itu. Dia berbelok ke arah sisi goa, kemudian bersembunyi di antara batu-batu besar. Batu itu terasa hangat seperti berada di depan perapian. Wisaka bersikap waspada, naik perlahan-lahan, kemudian melongok ke arah ceruk. "Astaga, binatang apakah itu?" tanyanya dalam hati. Dia menutup mulutnya sendiri demi dilihatnya seekor binatang berwujud ular, bersisik besar-besar, mengkilap dan berwarna hijau. Rupanya memang benar, warna merah itu berasal dari mata ular yang terbuka se
Badan Wisaka meluncur tidak dapat tertahan lagi. Bruuuk. Pemuda itu dimuntahkan oleh ular, Wisaka terpelanting di udara. Dia bersalto dan menjejak tanah lantai goa. Berdiri limbung dengan badan yang basah oleh lendir berwarna hijau. Sesaat dia berdiri sambil mengusap wajahnya. Secepatnya berlari keluar goa menuju kediaman Kyai Abdullah. "Kakek ... Kakek, aku sudah dapatkan pusakanya!" Wisaka berteriak-teriak dari halaman pondok. Kyai Abdullah, Faruq dan Onet keluar dari dalam pondok. Begitu melihat keadaan Wisaka, Faruq tertawa terpingkal-pingkal. "Hahaha ... kamu dari mana, Kakang?" tanya Faruq. "Diam kau!" hardik Wisaka. "Upps." Faruq menutup mulutnya. "Ini, Kek," kata Wisaka. Pemuda itu menyodorkan kotak berukir. Kyai Abdullah menerimanya, kemudian menyuruh Wisaka segera membersihkan diri. Wisaka berlalu, kemudian kembali menghadap Kyai Abdullah setelah selesai mandi. Kyai Abdullah dan Wisaka mempelajari ilmu