Rival mengetuk pelan pintu kamar Ningsih, mencoba menjelaskan.
"Sayang, ayo buka dong pintunya"Ningsih tak menyahut, tentu saja ia kesal bukan main."Ningsih, Mas mau jelasin semuanya. Tapi pintunya buka dulu ya?" Cklek.....Suara pintu terbuka dari dalam, Rival masuk dan menutup kembali pintu kamar."Ningsih sayang, Mas gak ada maksud apa-apa. Soal omongan Mas ke Luna, Mas sungguh minta maaf. Kalimat itu meluncur begitu saja, waktu Mas nolongin Luna tadi itu dia menangis kakinya terkilir, Mas cuma bilang kalau lebih baik tersenyum daripada menangis. Senyum bikin keliatan jadi manis, itu semata untuk menghibur saja. Sama sekali gak ada maksud atau tujuan lain. Kamu yang bener aja, aku masij tau batesan dong. Luna kan istri Fathir, adik ipar aku. Aku niat tulus cuma pingin bantuin dia aja sekaligus menghibur tadi. Kamu tau juga kan bawaan Ibu hamil gimana? Mas cuma kasihan ajaSaat tersadar, Luna sudah berada di ruangan serba putih, bau khas obat-obatan tercium sangat tajam. Luna mengingat samar apa saja yang sudah teradi padanya.Setelah tersadar sempurna, Luna melihat Fathir yang tertidur sambil duduk memegangi tangannya.Luna memandang Fathir dengan tatapan sendu, ada sedikit nyeri di hatinya, merasa bersalah sekali sudah menghianati orang sebaik dan se sempurna suaminya ini.Luna mengingat dengan jelas apa yang sudah terjadi, lidahnya kelu. Matanya menatap Fathir dengan sendu, dielus lembut rambut Fathir yang tak begitu banyak.Fathir segera terbangun saat terasa kepalanya disentuh seseorang. Ia mendongak dan bergegas terseyum menatap Luna yang telah siuman. Ada sedikit kekhawatiran tercetak di matanya."Alhamdulillah Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Mas khawatir banget sama kamu, jangan capek-capek lagi dan jangan sampai stres. Untung anak kita kuat, anak yang hebat" ujar Fat
"Sejak kapan, Mas?" Ningsih menatap tajam sosok lelaki yang tengah bersimpuh di depannya."Maaf, sungguh maafin aku. Aku khilaf, kamu harus paham satu hal Sayang, aku sama Luna hanya teman main, sebatas untuk hiburan saja, tak lebih. Itupun jauh sebelum Luna kenal dan menikah dengan adikmu, Fathir" Rival masih saja menggenggam kedua tangan Ningsih, berlutut untuk meyakinkan istrinya."Aku hanya tanya sejak kapan, Mas?" kembali Ningsih mengulangi pertanyaannya."Ssee..sejak kamu hamil Alea, maafkan aku Ningsih, ampuni aku. Aku memang khilaf" ucap Rival dengan serak."Berapa kali?" tanya Ningsih dingin.Rival mendongak, bingung akan pertanyaan Ningsih, Rival hanya mengedikkan bahu.Ningsih terkekeh, mencoba menyembunyikan tangis yang sebentar lagi akan pecah."Kamu bilang khilaf, Mas? Tapi kamu tidak tau sudah berapa kali melakukannya. Itu doyan, Mas
Hari Minggu telah tiba, seperti yang tersusun dalam rencana. Keluarga besar Basuki tengah berkumpul bersama.Ningsih datang bersama Rival dan Alea, memakai polo couple berwarna coklat muda. Terlihat Chintya juga datang bersama Arif dan Kiara yang asyik menjilati ice cream varian vanilla.Mereka menunggu kedatangan Fathir dan Luna untuk memulai acara makan-makan. Tak sampai dua puluh menit menunggu, akhirnya Fathir datang bersama Luna. Fathir tampak macho dengan kaos hitam polos dipadu kemeja flanel dan celana jeans berwarna light blue, auranya terlihat seperti remaja yang baru saja lulus sekolah. Serasi dengan Luna yang memakai dress slimfit panjang berwarna hitam dipadu cardigan bermotif floral, rambutnya dicepol membuatnya semakin terlihat cantik."Karena semua udah kumpul, ayo kita makan dulu" Ningsih mengajak semua untuk berkumpul di meja makan.Tersedia aneka lauk, buah, sayur
Semua tergopoh-gopoh membopong Luna ke dalam kamar, mereka tampak khawatir, kecuali Fathir. Lelaki yang beberapa menit lalu masih perhatian dan penuh kasih sayang, kali ini tak lagi peduli. Hanya amarah dan kebencian yang terlihat dari sorot matanya. Ia sungguh kecewa besar dengan apa yang sudah dilakukan Luna padanya.Memang benar jika kecewa levelnya jauh lebih tinggi diatas marah, terbukti dengan Fathir saat ini, bahkan tak berniat sedikit pun melihat kondisi Luna.Ibu dengan cekatan membalur tubuh Luna dengan minyak kayu putih dan memijitnya lembut. Beliau sangat khawatir dengan kondisi Luna, teruma calon cucunya. Ningsih juga tak tinggal diam, ia mengoleskan minyak angin di hidung Luna, berbagai upaya dilakukan, namun Luna tak kunjung sadar.Chintya menemui Fathir yang sedang duduk melamun di ruang tamu."Thir, sebaiknya kita bawa saja Luna ke rumah sakit, ya?" tawar Chintya dengan lembut.
Luna gelisah di dalam kamar bernuansa coklat muda. Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik jam dinding yang tergantung tepat di atas pintu. Sudah larut malam Fathir tak kunjung pulang, ponselnya pun tak aktif. Luna khawatir akan kondisi Fathir, ia takut Fathir tak terkontrol di luar sana karena sakit hati akibat perbuatannya.Kembali Luna melihat arah jarum yang berjalan di angka sebelas, Luna keluar dari kamar menuju ruang tamu, berniat menunggu Fathir disana.Luna tak bisa tidur, matanya enggan terpejam. Padahal tubuhnya letih, ingin rebahan. Namun, dorongan dalam hatinya lebih kuat untuk tetap menunggu Fathir pulang.Satu jam kemudian...Terdengar deru motor memasuki garasi, Luna mengu
Sore ini rumah Ibu terlihat sepi, Ningsih beserta Alea dan Rival sudah pulang ke rumah mereka. Bapak sedang menghadiri acara di kampung sebelah. Tinggalah Ibu hanya berdua dengan Luna."Assalamualaikum" ucap Fathir saat memasuki rumah, wajahnya tampak kusut dan lelah karena seharian bekerja."Waalaikumsalam, Alhamdulillah sudah pulang, Le" sambut Ibu dengan senyuman hangat."Coba bangunin istrimu, ajak makan bersama. Dari tadi siang tidur, Ibu gak tega yang mau bangunin." titah Ibu saat mengetahui Fathir ingin merebahkan tubuhnya di sofa, bukan menghampiri istrinya terlebih dahulu.Sepertinya Ibu paham dengan situasi dan kondisi mereka berdua pasca tragedi kemarin.
Ibu memandang Fathir dengan tatapan penuh tanya.Fathir terduduk lesu, Ibu hanya mampu mengelus lengan Fathir, berharap hal itu bisa sedikit menguatkan putra bungsunya."Luna dalam bahaya, Bu" sorot mata Fathir tampak kuyu."Kenapa, Le? Cerita sama Ibu, jangan kamu simpan sendiri.""Kata dokter, Luna mengalami gejala komplikasi, butuh penanganan dan pengawasan lebih lanjut lagi. Posisinya sedang mengandung, aku jadi merasa bersalah" Fathir meremas rambutnya pelan."Maksudnya gimana? Tapi sepengetahuan Ibu, selama ini Luna sehat, baik-baik saja" kerut di kening Ibu nampak semakin jelas.
Tok...tok...tok"Permisi, dok""Ya, masuk" terdengar suara sahutan dari dalam, membuat Fathir berani membuka pintu dan masuk ke dalam."Silahkan duduk, Pak Fathir" ujar dokter Adam ramah.Fathir menyeret kursi lebih maju, mendekat ke arah dokter yang sedang sibuk memperhatikan file beramplop coklat di tangannya.Tiba-tiba saja, dada Fathir berdetak tak karuan. Entah apa yan
##BAB Terakhir Ending Akhir Kisah Luna“Apa, sih, Mas?” tanya Stefani kesal. Pasalnya gadis itu capek ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang untuk beristirahat.“Kamu jelaskan sama Mas sekarang! Benarkah kamu yang menaburkan bubuk gatal di pakaian Luna?” tanya Frans kali ini merendahkan suaranya.“Iya, kenapa?” sahut Fani enteng.“Apa alasanmu melakukan itu?” selidik Frans.“Kamu nggak tahu aja, Mas. Mbak Luna itu nyebelin tahu nggak, sih. Dia mesti bikin aku kesal. Nggak Cuma aku, bahkan ke Mama juga. Semua orang yang berdekatan dengannya juga pasti dibuat kesel sama dia!”“Nggak boleh gitu. Walaupun bagaimana kondisinya, Luna itu tetap Kakakmu juga!” kata Frans menasehati.“Dia aja nggak pernah ngehargain aku, Mas. Gimana aku bisa nganggep dia Kakak? Aku nggak suka dia ada di sini!” ketus Fani.“Terus maksud kamu? Kamu ngusir aku?” tanya Frans.“Bukan begitu. Pokoknya aku nggak suka Mas Frans sama dia. Kayak nggak ada cewek lain saja!”“Nggak bisa. Mas cinta sama Luna lagi pula s
Entah sudah berapa lama Luna terpejam, ia terbangun karena tenggorokannya kering. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.Luna beranjak dari tempat tidur, ia keluar kamar menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia menuang air galon ke dalam gelas. Meneguknya hingga tandas.Setelah puas minum, Luna penasaran akan Frans dan Zhuema, ke mana mereka?Sejak kejadian tadi malam, Luna belum melihat keberadaan mereka.Dengan langkah pelan, ia meuju kamar tidur khusus tamu yang terletak di kamar sebelahnya. Entah kenapa perasaannya mengatakan Frans ada di dalam.Ceklek!Luna memutar knop pintu dengan pelan, tak ingin menimbulkan suara di tengah malam seperti ini.Luna mengendap-endap masuk ke dalam kamar tersebut, dengan cahaya yang remang ia masih mampu melihat seseorang yang sedang terlelap di atas kasur berukuran standart.Matanya memicing, mengamati wajah seseorang itu. Benar sekali perasaannya, seseorang itu adalah Frans, suaminya. Nampak tertidur pulas dengan suara dengkuran halus.
"Paket ... paket ... paket ...," teriak kurir berjaket hitam dengan menggunakan sepeda motor berwarna senada. Kurir tersebut tampak celingukan di depan pagar rumah Pak Handoko.Satpam menghampiri tanpa membuka pagar."Iya, Pak. Ada apa?" tanya satpam sembari memandang penampilan kurir dari atas ke bawah."Ini ada paket atas nama Stefani benar di sini?" kata kurir sembari mengacungkan sebuah barang berbungkus plastik hitam."Iya, dari mana?" tanya satpam."Dari Jonggol, ya, mana saya tahu ini dari mana, tugas saya cuma ngirim. Bener nggak di sini kediaman Bu Stefani?" kata kurir lagi sembari memandang satpam tak yakin."Bener, sih. Tapi Mbak Stefani itu belum menikah, ngapain situ panggil-panggil Bu?" tanya satpam masih keukeh tak membukakan pagar."Duh, Pak. Ini terima, sini saya foto, capek deh kalo nemu orang gaptek macem ni bisa puyeng akikah!" Kurir bergegas menscan barcode yang tertera di sampul paketan, lalu menyerah
Entah sudah berapa lama Luna terpejam, ia terbangun karena tenggorokannya kering. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.Luna beranjak dari tempat tidur, ia keluar kamar menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia menuang air galon ke dalam gelas. Meneguknya hingga tandas.Setelah puas minum, Luna penasaran akan Frans dan Zhuema, ke mana mereka?Sejak kejadian tadi malam, Luna belum melihat keberadaan mereka.Dengan langkah pelan, ia meuju kamar tidur khusus tamu yang terletak di kamar sebelahnya. Entah kenapa perasaannya mengatakan Frans ada di dalam.Ceklek!Luna memutar knop pintu dengan pelan, tak ingin menimbulkan suara di tengah malam seperti ini.Luna mengendap-endap masuk ke dalam kamar tersebut, dengan cahaya yang remang ia masih mampu melihat seseorang yang sedang terlelap di atas kasur berukuran standart.Matanya memicing, mengamati wajah seseorang itu. Benar sekali perasaannya, seseor
Zhuema kembali terlelap dalam gendongan Luna. Dengan hati-hati, Luna meletakkan Zhuema ke dalam box bayi, tempat tidur Zhuema selama ini. Bahkan box tersebut pemberian dari mantan ibu mertuanya, Bu Lujeng.Setelah memastikan Zhuema pulas, Luna berjalan mendekat. Ia naik ke atas kasur, mengambil bantal yang menutupi wajah suaminya."Kenapa, sih?" tanya Luna menatap wajah Frans dengan lekat."Hmm ...," gumam Frans tanpa mau membuka mata."Ayo cerita sini, kenapa?" ulang Luna sembari mengguncang tubuh Frans.Frans yang merasa tidak nyaman dengan perlakuan Luna, terpaksa membuka mata. Ia melirik sekilas ke arah Luna."Duduk! Cerita sama aku, kamu kenapa!" tegas Luna.Frans menuruti perkataan Luna, ia menyusun beberapa bantal di belakang tubuhnya, untuk bersandar.Kini mereka sama-sama terdiam dalam posisi duduk bersandar pada bantal.Luna menunggu dengan sabar kalimat yang akan muncul dari bibir Frans."Aku habi
Seusai sarapan, Frans mengajak Luna ke Mall, mereka akan membeli ponsel baru untuk Luna. Tentu saja setelah menitipkan Zhuema pada Bi Asih."Mas, pokoknya aku mau iphone series terbaru, ya!" kata Luna manja."Iya!" kata Frans singkat.Mereka memasuki konter dengan brand ternama. Setelah disambut dengan hangat, Luna segera meluncur ke etalase. Matanya berbinar melihat aneka ponsel mahal berjejer rapi."Mbak, iphone series terbaru sekarang ini apa, ya?" tanya Luna pada SPG konter."Oh, yang baru launching, sih, iphone 12 pro max, Kak. Udah lengkap banget untuk specnya," ujar Mbak SPG ramah."Oke, mau satu, ya, Mbak!" kata Luna.Mbak SPG segera mengambilkan pesanan Luna, namun dalam bentuk contoh display. Setelah dijelaskan mengenai fitur dan lain sebagainya. Luna mengiyakan, ia segera meminta Frans untuk membayarnya."Mas, bayar, gih!" titah Luna.Frans mengambil dompetnya, ia meng
Bu Niken menatap tajam ke arah Luna dan Stefani bergantian."Ada yang bisa jelasin ini kenapa?" tanya Bu Niken dengan sorot mata menyeramkan.Luna menunduk, Stefani pun angkat bicara. Frans menghela napas panjang. Mereka terdiam, tidak satu pun berniat menjelaskan."Fani ...," panggil Bu Niken menatap Stefani, berharap putrinya itu mau menjelaskan."Menantu Mama itu nggak ada akhlaq!" cebik Stefani.Bu Niken mengerutkan kening, tatapannya beralih ke Luna."Anak Mama aja, tuh, yang lebay. Bocil alay!" kata Luna memutar bola mata malas."Kenapa, sih? Frans coba jelaskan!" Bu Niken mengambil jalan tengah, ia ingin putranya menjelaskan dengan detail."Fani tuh tiba-tiba gedor kamar pengantin, mana malam pertama. Nggak sopan banget!" jelas Frans pada Mamanya."Eh, kalo istri kesayanganmu itu nggak cari gara-gara duluan, aku nggak sudi juga kali ganggu waktumu!" kata Stefani dengan kesal."Hmm ... kamu
Acara pernikahan Frans dan Luna akhirnya selesai juga. Mereka cukup lelah menyambut tamu yang datang. Tapi wajah Luna tampak fresh dan berseri-seri. Mereka pindah ke kamar yang berada di lantai atas. Tepat di sebelah kamar Stefani. Luna meminta Frans untuk segera mencarikan baby sitter. Bu Niken keberatan, karena di rumah sudah ada Bi Asih yang menyiapkan segala keperluan mereka. Jadi Bu Niken merasa Luna masih sanggup menjaga baby Zhue tanpa bantuan baby sitter. "Pokoknya aku nggak mau tau, ya, Mas! Aku minta baby sitter untuk merawat baby Zhue. Aku bisa cepet tua kalo harus merawat baby Zhue sendirian setiap hari, belum lagi harus melayani kamu. Stres yang ada!" Luna menata pakaiannya di dalam lemari besar. Ia langsung meminta pindah kamar saat acara usai. "Iya-iya. Gampang lah nanti aku carikan. Oh, ya. Aku keberatan kalo Zhuema harus dipanggil baby Zhue. Itu 'kan nama pemberian Fathir. Mulai sekarang panggil dia Zhuema nggak usah d
Setelah kejadian di malam itu, Luna mengurung diri di kamar.Ia tak lagi mempedulikan pernikahannya yang hanya hitungan jam.Frans terpaksa harus merayunya. Seperti sekarang, ia sudah berdiri di depan pintu Luna. Berkali-kali Frans mengetuk pintu namun Luna tak kunjung membukanya."Sayang, dih calon manten kok ngambekan sih?" ucap Fathir sembari tetap mengetuk pintu."Udah sana kamu urus aja keluargamu, nggak usah peduli sama aku!" tandas Luna dari dalam kamar."Eh, jangan teriak - teriak dong, Princess. Nanti baby Zhue bangun kasihan." Frans mengetuk pintu sekali lagi.Luna tetap saja tak mau membuka pintu. Tak kehabisan akal, Frans membujuk dengan jurus andalan. Seakan ia sudah paham kelemahan wanita yang dicintainya tersebut."Yakin nih nggak mau buka? Aku punya sesuatu, loh. Hmm ... tebel banget nih kantong aku. Yakin nggak mau shopping pasca acara nikahan nanti?" tanya Frans dengan nada menggoda. Berharap Luna luluh.