"Mas..., tolooong!" Yana berteriak saat mencuci piring di sumur.
"Duh, apaan sih Yan, gangguin saja," tukasku seraya sesekali membuang puntung rokok sembari melihat acara tivi.
Tak lupa di atas meja ruang tengah sudah tersaji berbagai kudapan khas desa, bakwan sayur dan pisang goreng serta kopi panas yang masih mengepulkan uap panasnya. Nikmat. Setelah sekitar lima hari hidup di jalanan dengan bekerja sebagai sopir truk sembako antar kota, memang enak kalau menikmati secangkir kopi di sore hari.
Kuraih cangkir berisi kopi panas dan kutuang di tatakan piring kecil. Ingin menyeruput kopi susu itu hangat-hangat.
"Maaas!"
"Aduh!"
Sialan! Teriakan perempuan buruk rupa itu membuatku kaget sehingga cairan hitam pekat itu menumpahi tanganku meninggalkan sensasi rasa panas dan terbakar. Aku langsung membersihkan jariku yang terkena kopi dengan kaos yang kukenakan.
"Haduh Yana! Apaan sih kamu, masak dimintai tolong cuci piring saja sudah teriak-teriak sih?!" seru ibuku sambil keluar kamar.
"Met, itu loh istrimu manja banget. Harusnya hamil tua itu banyak kerja, biar lancar dan gampang mbrojolnya!" tukas ibu lagi.
"Iya, bu. Biar saja Yana yang nyuci piring sama baju sendirian!"
Baru saja aku mensecroll hp saat Yana dengan langkah tertatih menghampiriku.
"Mas, aku sudah keluar lendir darahnya," ucapnya cemas.
Aku melihat di kedua kaki Yana. Tampak darah menetes perlahan ke betisnya.
"Oh gitu aja gupuh! Ajak Yana ke kamar dulu Met. Yana harus minum air pelancar lahiran sebelum budhal nang bidan. Ben ra kesuwen ngelarani," tukas ibu.
(Gitu aja panik. Ajak ke kamar dulu. Yana harus minum air pelancar lahiran sebelum berangkat ke bidan. Supaya gak lama proses melahirkannya).Aku mengangguk dan segera membimbing Yana ke kamar lalu merebahkannya di kasur
"Wetengmu wes loro opo durung?" Tanya ibu yang mengikuti ke dalam kamar.
(Perutmu sudah sakit apa belum?)"Kadang sakit, kadang mboten, Bu,"
Ibu terlihat terlihat berpikir sejenak.
"Memang ini sudah waktunya melahirkan to?"
Yana mengangguk.
Ibu lalu menoleh padaku, "Met, kamu siapkan baju Yana sama calon anak kamu ya, setelah Yana minum air rendaman rumput fatimah, kita ke bidan," tukas ibuku.
Aku mengangguk lalu melakukan instruksi ibu.
Baru saja selesai menyiapkan tas dan baju Yana, tiba-tiba terdengar suara Yana memanggil.
"Mas,"
Aku menoleh. "Kenapa Yan?"
"Aku takut melahirkan, Mas. Ini pengalaman pertama,"
Belum sempat aku menyahut, ibu sudah masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa mangkok di tangannya.
"Gak usah takut. Melahirkan itu hal yang lumrah bagi perempuan. Anaknya ibu 3 yo gangsar semua karena minum ini. Sekarang ayo kamu juga minum," Ibuku menyorongkan sebuah mangkok yang didalamnya terdapat sebentuk tanaman berwarna kecoklatan seperti akar yang direndam air.
"Ini apa Bu?"
"Rumput fatimah! Wes ojo kakean takon, ndang diminum!"
Yana mencium air dalam mangkok itu sekilas. Lalu diminumnya perlahan.
Seteguk telah ditelannya, lalu Yana menjauhkan mangkok itu dari mulutnya.
"Habisin!"
Yana dengan takut-takut meminumnya sampai habis.
"Wes, tiduran saja. Habis ini kalau perutmu sudah sakit banget, kita ke bidan. Biar tidak terlalu lama di bidannya, nunggu sekalian sakite seng nemen,"
Yana mengangguk lalu membaringkan diri di kasur dan memejamkan mata lagi.
Tiga puluh menit berselang, Yana berteriak-teriak mengagetkanku yang sedang tertidur di sebelahnya.
"Mas, perut Yana mulas," Yana mengerang-erang sambil memegangi perutnya.
"Bentar ya, aku panggilin ibu," sahutku pendek lalu bergegas keluar kamar.
Aku kembali ke kamar diikuti oleh ibu. Ibu memandang Yana yang masih mengerang kesakitan.
"Halah, gak usah manja. Bikinnya aja diem, giliran mengeluarkannya teriak-teriak. Gak isin!" seru ibu.
"Beneran bu, perut Yana sakit. Ya Allah..," Yana berguling kekanan dan kekiri.
"Langsung saja ke bidan, Met. Sepertinya si rumput fatimah sudah muncul efeknya," seru ibu.
"Yan, duduk ya. Biar ibu bantu pakai pembalut," tukas ibu sesaat sebelum aku keluar dari kamar Yana.
Aku segera membawa tas berisi baju bayi dan baju Yana lalu menghidupkan bentorku.*
Untung saja, rumah bidan terdekat hanya 1,5 kilo dari rumah.
Di sepanjang jalan, Yana berteriak-teriak kesakitan sambil memegangi tangan ibu.
"Haduh, lebai sekali dia saat ini. Apa tidak malu kalau diliat orang lain," aku bergumam gusar.
Tiba-tiba terdengar suara ibu berteriak panik. "Met, agak cepat ya. Ini ketubannya pecah. Wedi mbrojol nang dalan,"
"Iya Bu,"
Aku pun semakin mempercepat laju becak montorku.
Sesampainya di rumah bu bidan Indah, aku segera melompat turun dari bentor.
"Met, istrimu pingsan lagi!" Teriak ibu.
Aku bergegas ke depan bentor dan terkejut saat melihat darah berceceran dari kaki Yana.
"Hoeekkk..hoeekk," Aku nyaris mengeluarkan isi perut saat melihat darah itu.
"Lah cemen! Kamu cepet gendong Yana saja biar ibu yang membuka pintu pagar rumah bu Indah," tukas ibuku.
Aku menguatkan hati menggendong Yana. Sementara ibu segera membuka pinta pagar rumah bu Indah. Lalu menggedor pintunya.
"Astaga," darah rupanya telah membasahi daster Yana.
Tanganku gemetar. "Benarkah ini normal. Ini pengalaman pertama menjadi seorang bapak. Aku bingung bagaimana harus menghadapi hal ini," batinku.
"Astaghfirullah, kenapa ini?" Bu Indah terkejut saat di tengah hari bolong membuka pintu rumahnya dan mendapati Yana yang tengah perdarahan dan sedang kubopong.
"Ayo bawa masuk," seru bu Indah seraya membuka pintu salah satu kamar di tempat praktiknya.
"Tidurkan di kasur Pak. Saya minta buku KIA ya, yang warna merah muda,"
Aku mengangguk lalu membaringkan Yana ke kasur yang sudah dialasi oleh perlak warna hitam.
Lalu berlari keluar dan mengambil tas di bentor.
"Ya Allah, ini kan kemarin sudah saya pinta USG sekaligus memeriksa panggul karena takutnya panggul ibu sempit?" tanya bu Indah dengan wajah pucat.
Aku dan ibu berpandangan. "Pak Slamet, sudah sebulan yang lalu kan pak saya minta bapak dan ibu untuk membawa bu Yana ke dokter. Untuk memastikan panggul ibu bisa dilewati bayi atau tidak?" tanya bu Indah lagi.
"Duh, mana bisa menyisihkan uang untuk USG Bu. Untuk merokok saja kurang uangnya," gumamku.
Bu Indah lalu memakai sarung tangan dan mendekati Yana lalu memakaikan semacam korset di lengan Yana.
"Ya Allah, tensinya 80. Drop banget ini!" seru bu Indah panik.
Aku menelan ludah. Parahkah keadaan Yana?
Bu Indah lalu menuangkan semacam gel diatas perut Yana lalu mengambil sebuah alat, menempelkan ujungnya pada perut Yana. Lantas menggeser-geserkan alat itu dengan wajah cemas.
"Ya Allah, jantung janinnya melambat! Sebenarnya apa yang terjadi sebelum pasien kesini? Apa bapak dan ibu meminumkan sesuatu pada pasien?" tanya bu Indah dengan wajah memerah dan mata mendelik seperti hendak menelan kami bulat-bulat.
Ibuku nampak memucat. Dengan perlahan ibu memandangiku dan bu Indah bergantian lalu menjawab,...
Ibuku nampak memucat. Dengan perlahan ibu memandangiku dan bu Indah bergantian lalu menjawab, " Tadi Yana minum rendaman rumput fatimah."Bidan Indah semakin mendelik. "Astaghfirullah Bu. Kenapa ibu berani memberikannya tanpa berkonsultasi pada medis?" tanya bu Indah garang.Bu Indah langsung meraih sebuah alat bening seperti masker yang terhubung dengan tabung besar lalu memasangkannya di hidung Yana."Bu Yana harus diberi oksigen. Kondisinya drop, perdarahan dan denyut jantung janinnya menurun. Saya curiga rahim bu Yana robek karena telah meminum rendaman rumput fatimah,""Loh, memang kenapa dengan rumput fatimah, Bu? Saya dulu turun temurun juga sebelum melahirkan meminum rendaman rumput fatimah dan anak-anak saya bisa lahir dengan sehat selamat," tukas ibu ngeyel.Bu Indah segera menghela nafas panjang."Ini kondisi darurat. Harus dipasang infus dobel!" Hanya itu jawaban bu Indah. Lalu dengan secepat kilat, bu Indah menuju lemari kaca dan mengambil beberapa peralatan.Bu Indah ta
Ciiittttt! "Hah, apa?!!" Aku berseru kaget sampai tanpa sengaja mengerem mobil mendadak."Duh, kamu ini Met. Bisa nggak sih bawa mobil?" gerutu ibu."Maaf Bu, tadi Slamet kaget saat bu Indah bilang kalau rahim Yana bisa robek lalu diangkat dan tidak punya anak selamanya." "Bu Indah, tolong jangan menakut-nakutin. Bu Indah kan tenaga medis. Tolong jangan menakut-nakuti orang awam macam kami," seru ibuku."Saya tidak menakut-nakutin Bu. Saya hanya ingin memberi informasi yang selama ini sering salah kaprah dan dianggap lumrah dalam masyarakat. Saat periksa bulan lalu, saya sudah menulis rujukan untuk ke dokter kandungan. Kenapa tidak dilaksanakan bu?"Ibuku terdiam sejenak. "Bu bidan, dulu saat saya masih kecil, banyak loh orang-orang hamil yang minum rumput fatimah dan tidak ke dokter kandungan. Tapi tetep selamat kan? Kenapa sekarang mantu saya bisa tepar seperti ini?" tanya ibuku."Ya Allah Bu, apa ibu tahu dulu sebenarnya angka kematian dan kesakitan ibu bersalin dan bayi baru la
"Suami bu Yana? Bisa ikut saya sebentar. Saya dokter Anak. Ada yang perlu saya bicarakan terkait dengan kondisi bayi Anda," Aku tercekat. "Anak saya kenapa Dok?" tanyaku berdebar."Mari kita bicara di ruangan saja," Pria yang berjas putih dan berkata sebagai dokter anak itu berjalan ke arah ruang bayi. Aku dan ibu berjalan mengikutinya."Silakan duduk dulu," tukas dokter anak itu padaku dan ibu.Aku dan ibu saling berpandangan lalu menuruti perintah dokter itu untuk duduk."Anak bapak telah lahir laki-laki," suara dokter itu menjeda kalimatnya."Alhamdulillah," aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku. 'Syukurlah anakku bisa hidup. Awas saja kalau karena Yana, anakku yang berharga menjadi kehilangan nyawa!' bisikku dalam hati. Sedikit lega karena anakku tidak apa-apa. Namun, kalimat dokter selanjutnya, membuat dadaku berdebar kencang. "Tapi.., kondisinya belum stabil,"Ucapan dokter anak itu serasa membuat jantungku tercabut paksa."Maksudnya belum stabil gimana Dok?" tanya
Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!"Tunggu, kenapa tidak dibawa ke ruang nifas? Kata perawat di UGD tadi di UGD istri saya harus dibawa ke ruang nifas?" tanyaku bingung.Perawat yang sedang mendorong tempat tidur beroda berhenti dan melihat sekilas ke arahku."Kondisi bu Yana masih belum stabil Pak. Masih butuh observasi ketat karena saturasi (kadar oksigen dalam darah) rendah, apalagi bu Yana mengalami anemia berat. Jadi harus dirawat di ruang ICU terlebih dahulu,"Penjelasan perawat membuatku tercenung. Seluruh lantai yang kupijak kurasakan goyah."Berarti tidak bisa dijenguk ya Sus?" tanyaku lirih."Belum bisa Pak. Nunggu kondisi pasien membaik terlebih dahulu kemudian pindah ke ruang nifas. Baru boleh dijenguk," tukas suster itu lanjut mendorong Yana dan masuk ke ruangan ICU.Aku hanya bisa terpekur di luar ruangan yang terpisah oleh dinding kac
Setelah mendengarkan dokter kandungan yang mengomel panjang kali lebar kali tinggi, aku dan ibu pun pamit melangkahkan kaki keluar dari ruang dokter dengan perasaan amburadul."Met, ibu capek. Kita istirahat di ruangan nifasnya si Yana saja ya," pinta ibu.Aku mengangguk. Aku juga merasakan kelelahan yang menyerbu leher dan pundak akibat terlalu tegang memikirkan nasib anak istri. Kami berjalan perlahan menuju ruang nifas. "Ibu tadi kok berani banget sih membantah dokternya?" tanyaku pada ibu.Ibu melirik galak padaku. "Ibu cuma mau cari dukungan, Met. Karena hal seperti itu yang ibu kenal selama ibu masih muda dulu.""Tapi kan justru ibu yang mendapat omelan dari dokter," tukasku cepat.Ibu hanya diam tanpa menjawab dengan sepotong kalimatpun."Slamet takut jika orang tua Yana sampai tahu soal rumput fatimah tersebut, terus menuntut kita gimana dong Bu?"Ibu juga tampak terkejut. "Lah, kamu jangan bilang kalau karena rumput fatimah dong. Lagian banyak yang minum tapi enggak apa-apa
Baru saja aku dan ibu pulang dari makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.Buaaaaghhhh!Aku terpental dan terjatuh di ubin rumah sakit. Beberapa keluarga pasien yang sedang duduk di kursi tunggu serentak berdiri dan mengelilingi kami.Aku merasakan pipiku ngilu dan darah mengalir di ujung bibir. Dengan perlahan aku berusaha bangkit. Tapi sebelum sempat benar-benar berdiri, sebuah tangan sudah terkepal dan meninju wajah sebelah kiriku. "Aargggh!"Ibu menjerit. Sedangkan kedua pipiku memanas. Hendak membalas tapi tidak mungkin karena yang memukulku adalah mertuaku sendiri. "Apa salah Slamet Pak? Saya tidak terima kalau anak saya dipukuli oleh mertuanya sendiri!" Seru ibu sambil membantuku berdiri. "Saya cuma memukul pipi Slamet dan ibu berteriak-teriak seperti kesetanan? Terus gimana perasaan saya saat melihat anak saya terkapar tak berdaya di dalam ruang I
Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. "Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana."Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih."Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!""Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? "Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak
Flash back on :Aku tidak tahu minuman apa yang diberikan padaku karena tiba-tiba perutku terasa mulas. Rasanya seperti mau mati saja. Seolah ada tangan-tangan yang meremas perutku dengan sekuat tenaga. Aku mengerang-erang sampai sepertinya mas Slamet dan mertuaku marah. Tapi aku tidak peduli lagi dengan omelan mertua karena selama ini aku sangat menuruti kemauan mereka, padahal aku sudah tidak tahan lagi. Jadi sekarang aku tidak peduli jika aku berteriak keras-keras karena aku sungguh kesakitan.Hingga saat aku mulai naik ke atas bentor, aku tidak bisa menahan rasa mulas, hingga akhirnya aku merasakan ada yang meletus di dalam jalan lahir.Dan saat itu seolah sebuah tangan meremas perutku sekuat tenaga membuat seluruh pandanganku menggelap.***Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadar, tapi aku merasakan perutku sakit luar biasa dan badanku seakan tidak punya tulang. Sangat lemas dan tidak bertenaga. Mataku pun hendak terbuka tapi terasa sangat berat.Tapi telingaku seolah mend
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An