Setelah mendengarkan dokter kandungan yang mengomel panjang kali lebar kali tinggi, aku dan ibu pun pamit melangkahkan kaki keluar dari ruang dokter dengan perasaan amburadul.
Buaaaaghhhh!
Baru saja aku dan ibu pulang dari makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.Buaaaaghhhh!Aku terpental dan terjatuh di ubin rumah sakit. Beberapa keluarga pasien yang sedang duduk di kursi tunggu serentak berdiri dan mengelilingi kami.Aku merasakan pipiku ngilu dan darah mengalir di ujung bibir. Dengan perlahan aku berusaha bangkit. Tapi sebelum sempat benar-benar berdiri, sebuah tangan sudah terkepal dan meninju wajah sebelah kiriku. "Aargggh!"Ibu menjerit. Sedangkan kedua pipiku memanas. Hendak membalas tapi tidak mungkin karena yang memukulku adalah mertuaku sendiri. "Apa salah Slamet Pak? Saya tidak terima kalau anak saya dipukuli oleh mertuanya sendiri!" Seru ibu sambil membantuku berdiri. "Saya cuma memukul pipi Slamet dan ibu berteriak-teriak seperti kesetanan? Terus gimana perasaan saya saat melihat anak saya terkapar tak berdaya di dalam ruang I
Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. "Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana."Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih."Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!""Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? "Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak
Flash back on :Aku tidak tahu minuman apa yang diberikan padaku karena tiba-tiba perutku terasa mulas. Rasanya seperti mau mati saja. Seolah ada tangan-tangan yang meremas perutku dengan sekuat tenaga. Aku mengerang-erang sampai sepertinya mas Slamet dan mertuaku marah. Tapi aku tidak peduli lagi dengan omelan mertua karena selama ini aku sangat menuruti kemauan mereka, padahal aku sudah tidak tahan lagi. Jadi sekarang aku tidak peduli jika aku berteriak keras-keras karena aku sungguh kesakitan.Hingga saat aku mulai naik ke atas bentor, aku tidak bisa menahan rasa mulas, hingga akhirnya aku merasakan ada yang meletus di dalam jalan lahir.Dan saat itu seolah sebuah tangan meremas perutku sekuat tenaga membuat seluruh pandanganku menggelap.***Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadar, tapi aku merasakan perutku sakit luar biasa dan badanku seakan tidak punya tulang. Sangat lemas dan tidak bertenaga. Mataku pun hendak terbuka tapi terasa sangat berat.Tapi telingaku seolah mend
Salah beli baju menyesal sehari, salah potong rambut menyesal seminggu. Tapi salah milih suami, menyesalnya semur hidup.***Yana dan keluarganya serentak menatap ke arah suster itu. "Apa kabarnya bayi saya Sus?" tanya Yana cemas.Suster itu lalu memandang Yana sejenak dan berkata, "Alhamdulillah, bayinya sudah mulai menangis keras. Dan sekarang rencana mulai dipasang selang untuk minum susu. Apa ada permintaan susu tertentu dari pihak keluarga?" Setelah mendapat keterangan dari suster tentang bayinya, Yana merasa energi luar biasa seolah merasuki tubuhnya.Ada semangat untuk sehat dan sembuh yang terpancar dari hati."Suster, berikan yang terbaik untuk cucu saya. Mahal tidak apa-apa. Petugas medis pasti lebih tahu kandungan susu yang terbaik untuk kondisi cucu saya. Karena anak saya baru keluar dari ICU, ASInya belum lancar," Ucap ibu Yana sambil mendekat ke arah suster tersebut."Oh, baiklah. Kalau gitu saya sampaikan ke ruang bayi dulu ya," suster itu hendak pamit meninggalkan rua
Jangan pernah membuat wanita yang mencintaimu menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada pria lain yang membantu menghapus air matanya.***Ibu Slamet ngeloyor pergi setelah mendapat ceramah gratis tentang bayi menangis dan pisang yang tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 6 bulan. "Bu, mau kemana?" tanya Slamet mengejar ibunya yang berjalan mendahului."Diam dulu Met. Ibu lagi berpikir," Ibu Slamet mempercepat langkah menuju kantin rumah sakit dan Slamet mengikutinya dengan bingung."Pak, bakso satu es teh satu," kata ibu Slamet sambil duduk di salah satu kursi."Bu, Slamet juga pesen bakso ya," pinta Slamet lalu duduk di depan ibunya. "Pesen ajah," sahut ibunya lalu membuka kulit pisang dan memakannya."Heran sama anak muda sekarang. Nggak ada sopan-sopannya sama orang tua," tukas ibunya Slamet kesal."Maksudnya apa, Bu?" tanya Slamet bingung. "Suster yang tadi lo Met. Masih bocah kok berani-beraninya ngasih tahu ibu. Padahal kalau lihat wajahnya, pasti dia belum ni
Pergilah dariku, maka kamu tidak akan menemukan pengganti yang terbaik dan mengerti kamu melebihi aku.***Saat suster itu hendak mendorong kursi roda Yana masuk kedalam ruang bayi, Slamet tiba-tiba berseru, "Yana, mas tahu kalau kamu hanya pura-pura lupa ingatan saja kan, maafkan Mas ya. Ayo kita mulai dari awal. Mas janji akan membantu semua pekerjaan rumah kamu," Yana masih duduk diatas kursi roda dan meminta pada suster untuk berhenti, lalu dia menoleh pada Slamet dan berkata, "Kamu bilang apa sih? Saya beneran nggak kenal sama kamu," tukas Yana ketus dan memberi tanda pada suster untuk mendorong kursi rodanya lagi."Yan...Yana! Tunggu!" Slamet terkejut dan meremas rambutnya frustasi."Met! Ora pantes wong lanang ngemis-ngemis nang wong wadon koyok ngono!" seru ibu Slamet sambil menarik tangan Slamet agar berdiri.Ali yang melihat pemandangan di hadapannya tersenyum geli.Slamet menurut pada ibunya. Dia berdiri perlahan tapi tidak mengikuti langkah sang ibu yang menjauh dari rua
Pria yang bersifat seorang raja akan memposisikan wanitanya sebagai ratu, tapi pria yang bersifat penjahat, akan memposisikan wanita sebagai belenggu atau bahkan alas di kakinya.***Ibunya terkejut melihat Slamet membuka wadah obat nyamuk cair dan mendekatnya ke mulutnya. "Tolong izinkan Yana dan anak Slamet kembali ke sini atau ibu akan melihat mayat Slamet!" teriak Slamet yakin.Ibunya mendelik! Tidak menyangka Slamet akan berbuat nekat seperti itu. "Turunkan obat nyamuk itu, Met. Bahaya!" Seru ibunya panik."Tidak Bu! Lebih baik Slamet mati saja jika Yana dan anak Slamet tidak pulang kesini!" Seru Slamet bertahan. Ibu menghela nafas. Merasa ragu apakah Slamet hanya akting saja demi membawa Yana dan anaknya pulang atau benar-benar berani meminum obat serangga itu."Met, ibu tahu. Kamu tidak akan senekat itu. Ibu tahu kamu bisa berpikir logis. Dan yang terpenting, ibu yakin kamu takut untuk meminumnya!" Kata ibunya yakin.Slamet terhenyak. Dia tidak menyangka jika ibunya tidak mu
Yana melihat mertuanya pergi menjauh dengan tersenyum penuh kemenangan."Emang enak," gumamnya lirih lalu kembali ke bayinya dan memeluk sang anak seraya memejamkan mata kembali."Yan, mas berangkat dulu ya," kata Slamet yang muncul dari kamar sebelah."Iya Mas," sahut Yana setengah terpejam.Memang sesuai kesepakatan dalam masa menunggu ingatan Yana kembali, Yana meminta tidur di kamar sendirian dengan bayinya dan Slamet di kamar sebelah.Dan Slametpun setuju. Dia tidur di kamar sebelah kamar Yana. Dan akan masuk ke kamar Yana kalau Yana memintanya untuk membantu menggendong anak mereka sementara Yana melanjutkan istirahat setelah menyusui.Slamet mendekat ke arah Yana. Sebenarnya dia ingin Yana kembali seperti dulu. Mengantarkannya sampai ke pintu depan rumah saat dia berangkat bekerja. Tapi sekarang, jangankan mengantarkan ke depan pintu, untuk tersenyum tulus pada Slamet saja sepertinya Yana keberatan. "Huft, entah lupa beneran atau pura-pura lupa, aku bersyukur Yana mau tinggal
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An